Pengembangan Karier

Bukan Soal Tools: 5 Rahasia Sukses Proyek yang Terlupakan (Studi Kasus dari Riset Konstruksi)

Dipublikasikan oleh Melchior Celtic pada 20 Oktober 2025


Sebuah Pagi yang Mengubah Cara Saya Memandang "Kesuksesan"

Saya ingat betul perasaan itu. Duduk di tengah rapat evaluasi sebuah proyek peluncuran produk digital beberapa tahun lalu. Di layar, terpampang dashboard perangkat lunak manajemen proyek kami yang canggih. Gantt chart berwarna-warni, metrik produktivitas yang terisi otomatis, dan kanal komunikasi yang terintegrasi. Kami punya semua tools terbaik yang bisa dibeli. Tapi hasilnya? Jauh dari harapan. Proyek molor, komunikasi macet, dan produk akhir terasa seperti kompromi yang melelahkan. Kami punya mesin yang sempurna, tapi entah kenapa mesin itu berjalan tersendat-sendat.

Kekalahan kecil itu terus menghantui saya. Kita hidup di zaman yang terobsesi dengan toolshacks, dan proses. Kita percaya bahwa jika kita bisa menemukan aplikasi atau metodologi yang tepat, kesuksesan akan datang dengan sendirinya. Namun, pengalaman saya membuktikan sebaliknya. Ada sesuatu yang hilang.

Beberapa minggu lalu, saat sedang menelusuri literatur tentang pengembangan profesional, saya tak sengaja menemukan sebuah paper akademis. Judulnya, “Pengaruh Sertifikasi Keahlian Terhadap Keberhasilan Proyek Konstruksi Pada Manajemen Konstruksi” oleh Amris Setyo Hastomo dan Darmawan Pontan. Jujur saja, reaksi pertama saya adalah, "Apa yang bisa saya pelajari dari paper tentang proyek konstruksi? Bidang saya kan beda jauh." Saya hampir menutupnya. Tapi rasa penasaran menahan saya.   

Dan saya bersyukur untuk itu. Karena di dalam laporan penelitian yang padat itu, saya tidak menemukan formula teknis tentang bangunan. Sebaliknya, saya menemukan sebuah peta harta karun—sebuah cetak biru universal tentang elemen-elemen manusiawi yang menjadi fondasi dari setiap proyek yang berhasil, baik itu membangun gedung pencakar langit, meluncurkan kampanye pemasaran, atau menulis sebuah buku. Paper ini membuktikan bahwa kita selama ini mungkin telah mencari kunci kesuksesan di tempat yang salah.

Membedah Mesin Proyek: Apa yang Sebenarnya Membuatnya Berjalan?

Sebelum kita menyelam ke dalam temuan mengejutkan dari riset ini, mari kita samakan persepsi tentang apa itu "keberhasilan proyek". Secara tradisional, keberhasilan sebuah proyek sering diukur dengan apa yang disebut "segitiga ajaib": menyelesaikannya tepat waktu, sesuai anggaran, dan dengan mutu atau kualitas yang diharapkan. Tiga pilar ini menjadi barometer standar di hampir semua industri.   

Para peneliti, Hastomo dan Pontan, memulai dengan premis yang menarik. Mereka tidak meneliti tim biasa. Mereka secara spesifik ingin tahu: di dalam sebuah tim yang anggotanya sudah terbukti kompeten dan memiliki Sertifikat Keahlian (SKA), faktor apa yang menjadi pembeda antara proyek yang biasa-biasa saja dan proyek yang luar biasa sukses?. Ini adalah pertanyaan yang brilian. Jika semua orang di dalam ruangan sudah "pintar" secara teknis, apa lagi yang tersisa?   

Untuk menjawabnya, mereka tidak menebak-nebak. Mereka menyebarkan kuesioner kepada puluhan profesional yang terlibat langsung dalam proyek konstruksi—mulai dari kontraktor, konsultan, hingga pemilik proyek. Mereka adalah orang-orang yang setiap hari bergelut dengan tenggat waktu, anggaran terbatas, dan tantangan di lapangan. Jawaban-jawaban ini kemudian diolah menggunakan analisis statistik (SPSS) untuk menyaring opini menjadi data keras, mengidentifikasi faktor-faktor yang paling dominan.   

Namun, ada satu detail demografis dalam penelitian ini yang membuat temuannya menjadi jauh lebih relevan bagi kita semua. Mayoritas responden adalah para profesional muda, berusia antara 25-35 tahun, dengan pengalaman kerja 0-6 tahun. Awalnya, kita mungkin berpikir bahwa kebijaksanaan tentang manajemen proyek seharusnya datang dari para veteran berpengalaman. Tapi data ini justru sebaliknya. Temuan ini datang langsung dari "ruang mesin" proyek—dari generasi pelaksana yang berada di garis depan. Ini bukan teori dari menara gading; ini adalah kebenaran pahit yang dipelajari dari pengalaman langsung oleh mereka yang benar-benar mengerjakan pekerjaan itu. Ini membuat setiap pelajaran dari riset ini terasa otentik, mendesak, dan bisa langsung diterapkan.   

Lima Elemen Tak Terduga yang Menjadi Fondasi Keberhasilan

Inilah bagian yang paling mengejutkan saya. Ketika para peneliti menyaring semua data, lima faktor teratas yang paling berpengaruh terhadap keberhasilan proyek sama sekali bukan tentang teknologi canggih, metodologi agile, atau perangkat lunak terbaru. Kelimanya bersifat fundamental, personal, dan sangat manusiawi.

Fondasi yang Tak Terlihat: Kekuatan dari Sebuah Kedisiplinan

Fakta bahwa "Kedisiplinan Tenaga Kerja" menduduki peringkat pertama dengan skor tertinggi (4.52) adalah sebuah pencerahan. Di dunia yang mengagungkan "hustle culture" dan kesibukan yang terlihat, riset ini mengingatkan kita bahwa konsistensi yang tenang jauh lebih berharga daripada aktivitas yang kacau.   

Bayangkan sebuah gedung pencakar langit. Kita mengagumi arsitekturnya yang megah, jendela kacanya yang berkilauan, dan puncaknya yang menembus awan. Tapi kita tidak pernah melihat fondasinya yang tersembunyi puluhan meter di bawah tanah. Disiplin profesional adalah fondasi itu. Ia tidak glamor. Ia tidak terlihat. Tapi tanpanya, struktur semegah apa pun akan runtuh.

Dalam konteks proyek, disiplin bukan sekadar datang tepat waktu. Ia adalah komitmen untuk mengikuti proses yang telah disepakati, memenuhi tenggat waktu mikro setiap hari, menjaga standar kualitas tanpa perlu terus-menerus diingatkan, dan berkomunikasi secara proaktif saat ada masalah. Disiplin adalah sistem operasi yang menjalankan semua software keahlian lainnya. Seseorang bisa jadi jenius, tapi jika ia tidak disiplin, ia justru menjadi beban. Ketidakdisiplinannya menciptakan ketidakpastian, memaksa anggota tim lain membuang energi untuk mengelolanya, dan merusak ritme kerja kolektif. Temuan ini adalah argumen terkuat untuk mulai memprioritaskan dan melatih disiplin sebagai kompetensi inti, baik untuk diri sendiri maupun tim kita.

Keahlian dan Keterampilan: Tarian Antara "Mengapa" dan "Bagaimana"

Riset ini dengan cerdas membedakan antara "Keahlian" (peringkat #2) dan "Keterampilan" (peringkat #4). Ini adalah perbedaan yang sangat penting namun sering diabaikan.   

Untuk memahaminya, mari gunakan analogi seorang koki. Seorang juru masak di restoran cepat saji mungkin memiliki keterampilan (skill) yang luar biasa untuk menggoreng kentang dengan sempurna setiap saat. Dia tahu persis bagaimana melakukannya sesuai resep. Namun, seorang master chef memiliki keahlian (expertise). Dia tidak hanya tahu bagaimana cara memasak, tetapi juga mengerti mengapa sebuah resep berhasil. Dia paham ilmu di balik karamelisasi, emulsi, dan reaksi Maillard. Keahlian inilah yang memungkinkannya berimprovisasi saat ada bahan yang kurang, memecahkan masalah saat hidangan tidak berjalan sesuai rencana, dan bahkan menciptakan resep baru.

Di sinilah peran sertifikasi profesional menjadi sangat jelas. Seluruh premis penelitian ini adalah mengamati para profesional yang memiliki Sertifikat Keahlian (SKA). Temuan bahwa "Keahlian" dinilai lebih tinggi daripada "Keterampilan" adalah validasi langsung dari proses sertifikasi itu sendiri. Untuk mendapatkan sertifikasi, seseorang tidak bisa hanya mengandalkan pengalaman praktis. Mereka harus belajar teorinya, memahami prinsip-prinsip dasarnya, dan membuktikan pemahaman konseptual mereka. Proses inilah yang mengubah seorang praktisi terampil menjadi seorang ahli sejati. Ini membuktikan bahwa berinvestasi dalam sertifikasi profesional bukanlah sekadar untuk mendapatkan selembar kertas, melainkan sebuah perjalanan strategis untuk membangun pemahaman mendalam yang secara langsung mendorong keberhasilan proyek.   

Jaring Pengaman Tak Kasat Mata: Peran Vital Keselamatan dan Pengawasan

Dua faktor terakhir, "Pekerja Memperhatikan Keselamatan" (#3) dan "Pengawasan Proyek Secara Berkala" (#5), mungkin terdengar seperti birokrasi yang membosankan. Tapi dalam kerangka kerja ini, mereka berfungsi sebagai sistem imun dan sistem saraf pusat sebuah proyek.   

Mari kita terjemahkan "Keselamatan" ke dalam bahasa yang lebih universal: "kesadaran akan risiko". Ini adalah kemampuan proaktif untuk melihat potensi masalah sebelum terjadi dan mengambil langkah-langkah untuk mencegahnya. Sementara itu, "Pengawasan Berkala" adalah ritme komunikasi dan umpan balik yang menjaga semua orang tetap selaras dan memungkinkan adanya koreksi arah secara cepat. Bayangkan seorang pilot. Kesadaran risiko adalah daftar periksa pra-penerbangan yang ia lakukan dengan teliti. Pengawasan berkala adalah komunikasinya yang konstan dengan menara kontrol lalu lintas udara. Keduanya tidak mendebarkan, tetapi mutlak diperlukan untuk memastikan perjalanan yang aman dan sukses.

Mungkin muncul pertanyaan: mengapa tim yang terdiri dari para ahli bersertifikat masih menilai pengawasan begitu tinggi? Jawabannya kembali pada demografi responden: para profesional muda. Bagi mereka yang berada di awal hingga pertengahan karier, pengawasan yang baik bukanlah micromanagement. Sebaliknya, itu adalah bentuk dukungan. Pengawasan berkala menciptakan keamanan psikologis—sebuah lingkungan di mana mereka merasa aman untuk bertanya, mengakui kesalahan lebih awal, dan meminta bimbingan. Ia adalah mekanisme yang memperkuat disiplin, memberikan kesempatan untuk memperdalam keahlian, dan memastikan kesadaran risiko tetap menjadi prioritas. Manajemen yang baik bukanlah tentang kontrol, melainkan tentang menciptakan ritme interaksi yang dapat diandalkan yang memungkinkan setiap orang untuk melakukan pekerjaan terbaiknya.   

Jadi, Apa Artinya Ini Semua Bagi Karier Kita?

Setelah menelaah data ini, saya menyadari bahwa pelajaran dari proyek konstruksi ini berlaku universal. Baik Anda seorang desainer grafis, manajer produk, atau analis keuangan, prinsip-prinsip ini tetap relevan. Riset ini memberikan peta jalan yang jelas tentang di mana kita harus memfokuskan energi kita untuk pengembangan diri dan tim.

Berikut adalah beberapa pelajaran utama yang saya petik:

  • 🚀 Hasilnya luar biasa: Riset ini membuktikan bahwa investasi pada kualitas manusia—disiplin, keahlian, dan kesadaran risiko—adalah tuas paling kuat untuk keberhasilan, jauh melampaui sekadar proses atau software.

  • 🧠 Inovasinya: Menempatkan "disiplin" sebagai faktor #1 adalah sebuah tamparan lembut di zaman yang mengagungkan "hustle culture." Konsistensi yang tenang mengalahkan kesibukan yang kacau.

  • 💡 Pelajaran: Berhentilah mencari tool atau hack produktivitas berikutnya. Fondasi kesuksesan sejati ada di dalam diri kita dan cara kita berinteraksi dalam tim. Bangunlah fondasi itu terlebih dahulu.

Tentu saja, tidak ada penelitian yang sempurna. Meskipun temuannya sangat kuat dan relevan, saya merasa metodologi Index Mean dalam paper ini, walau standar dalam penelitian kuantitatif, terasa sedikit abstrak bagi pembaca awam. Angka-angka ini menunjukkan 'apa' yang penting, tapi tidak menceritakan 'mengapa' dari perspektif manusia. Akan lebih berdampak jika ada satu atau dua studi kasus kualitatif yang menyertai data ini, memberikan wajah dan cerita pada angka-angka tersebut.   

Membangun ekosistem yang terdiri dari disiplin, keahlian, dan pengawasan yang efektif ini bukanlah sesuatu yang terjadi dalam semalam. Ini membutuhkan kerangka kerja dan metodologi yang terbukti. Jika Anda ingin memperdalam pemahaman tentang cara mengelola semua elemen ini secara sistematis, mengikuti kursus Manajemen Proyek Konstruksi yang komprehensif bisa menjadi langkah strategis untuk membangun fondasi karier yang kokoh, di mana pun bidang Anda.   

Langkah Anda Selanjutnya: Dari Pembaca Menjadi Pelaku

Perjalanan saya menelusuri paper ini adalah pengingat yang kuat bahwa kebijaksanaan bisa datang dari tempat yang tak terduga. Ia menegaskan kembali keyakinan saya bahwa pada akhirnya, semua proyek adalah proyek tentang manusia. Alat yang paling canggih adalah pikiran yang disiplin, proses yang terbaik adalah usaha yang konsisten, dan aset terbesar adalah tim yang terdiri dari manusia-manusia yang bisa diandalkan. Kesuksesan bukanlah sesuatu yang Anda instal; ia adalah sesuatu yang Anda tanam dan rawat, dari dalam ke luar.

Jika Anda penasaran dan ingin melihat data mentahnya sendiri, saya sangat merekomendasikan untuk membaca paper aslinya. Ini adalah bacaan yang padat namun sangat mencerahkan.

(https://doi.org/10.24912/sim.v2i1.18957)

Selengkapnya
Bukan Soal Tools: 5 Rahasia Sukses Proyek yang Terlupakan (Studi Kasus dari Riset Konstruksi)

Pengembangan Karier

Kenapa Kerja Keras Saja Tidak Cukup: Pelajaran Karier Tak Terduga dari Mandor Konstruksi

Dipublikasikan oleh Melchior Celtic pada 15 Oktober 2025


Pernahkah Kamu Merasa Bekerja Keras, Tapi Hasilnya Kurang Diapresiasi?

Saya mau cerita. Bayangkan seorang desainer grafis yang menghabiskan waktu berjam-jam menyempurnakan gradasi warna dan kerning font pada sebuah logo. Baginya, ini adalah puncak keahlian teknis, sebuah mahakarya detail. Tapi bagi klien atau CEO, yang terpenting adalah apakah logo itu bisa dikenali dari jarak 50 meter di papan reklame jalan tol dan apakah warnanya sesuai dengan citra merek yang ingin dibangun. Keduanya benar, tapi mereka seolah berbicara dalam bahasa yang berbeda.

Si desainer merasa kerja kerasnya pada detail tidak dihargai. Si CEO merasa desainer tidak memahami gambaran besar bisnis.

Kisah ini, dalam berbagai bentuk, terjadi setiap hari di hampir semua industri. Saya menyebutnya The Great Perception Gap—kesenjangan besar antara apa yang kita, sebagai eksekutor, anggap penting dalam pekerjaan kita (keunggulan teknis, kesempurnaan detail) dan apa yang dianggap penting oleh atasan atau organisasi (dampak strategis, efisiensi, hasil akhir). Kesenjangan ini adalah sumber frustrasi, demotivasi, dan perasaan "kerja keras tapi tak dianggap" yang paling umum di dunia profesional. Kita fokus pada input (usaha, jam kerja, kerumitan teknis), sementara mereka fokus pada output (hasil, ketepatan waktu, kesesuaian dengan tujuan besar).

Baru-baru ini, saya tidak sengaja menemukan sebuah paper penelitian dari dunia yang mungkin terdengar jauh dari keseharian kita: konstruksi. Paper ini menganalisis kompetensi para mandor di proyek-proyek konstruksi di Surabaya. Awalnya saya skeptis, apa relevansinya untuk saya? Tapi setelah membacanya, saya sadar bahwa paper ini bukan sekadar bacaan teknis yang kering. Ini adalah "peta harta karun" yang secara tidak sengaja memetakan The Great Perception Gap dengan data yang sangat jernih dan angka yang tidak bisa dibantah.  

Studi ini, meski berlatar belakang debu dan baja, memegang cermin bagi kita semua—para desainer, programmer, penulis, marketer, dan profesional lainnya. Ia mengungkap dinamika tersembunyi di tempat kerja dan menunjukkan dengan tepat di mana letak miskomunikasi antara "pekerja di lapangan" dan "manajer di kantor". Dan yang lebih penting, ia memberi petunjuk tentang cara menjembatani kesenjangan itu.

Dua Dunia yang Berbeda: Apa yang Paling Penting Menurut Mandor vs. Kontraktor

Inti dari penemuan ini terletak pada satu pertanyaan sederhana yang diajukan kepada dua kelompok: para mandor (eksekutor di lapangan) dan para kontraktor (manajer mereka). Pertanyaannya adalah: "Dari 30 kompetensi ini, mana yang paling penting untuk sukses?" Jawaban mereka, seperti yang akan kita lihat, seolah berasal dari dua planet yang berbeda.

Fokus Sang Eksekutor: "Beri Aku Gambar Kerja, Sisanya Aku Urus"

Bagi para mandor, dunia mereka berputar pada eksekusi. Ketika ditanya apa skill terpenting, jawaban nomor satu mereka sangat jelas: "Membaca dan memahami gambar kerja dengan teliti dan tepat". Bagi mereka, keunggulan adalah tentang presisi teknis. Mereka melihat diri mereka sebagai seorang craftsman, seorang seniman lapangan yang tugasnya adalah mengubah cetak biru (gambar kerja) menjadi kenyataan fisik tanpa cacat sedikit pun.  

Pola pikir ini diperkuat oleh dua prioritas utama mereka lainnya: "Memimpin para tukang dengan baik" dan "Memiliki cara komunikasi kerja yang baik dengan tenaga kerja". Semuanya berfokus ke dalam—pada tim internal, pada pelaksanaan tugas, pada kesempurnaan teknis sesuai instruksi yang diberikan. Dunia mereka adalah dunia bagaimana pekerjaan itu dilakukan.  

Pandangan Sang Manajer: "Pahami Gambaran Besarnya, Bukan Hanya Tugasmu"

Sekarang, mari kita beralih ke dunia kontraktor. Apa yang mereka anggap sebagai kompetensi nomor satu? Bukan kemampuan teknis membaca gambar. Prioritas utama mereka adalah "Memiliki pengetahuan tentang jenis dan lingkup pekerjaan".  

Ini adalah sebuah perbedaan yang fundamental. Kontraktor tidak hanya peduli bagaimana sebuah dinding dibangun, tetapi mengapa dinding itu dibangun di sana, apa batasannya, dan bagaimana pembangunan dinding itu memengaruhi jadwal keseluruhan proyek dan anggarannya. Mereka membutuhkan mandor yang memahami konteks, batasan proyek, tujuan komersial, dan bagaimana tugas-tugas individu saling terhubung. Ini adalah pola pikir seorang project manager.

Dunia mereka adalah dunia mengapa dan apa. Mereka sangat menghargai mandor yang "Konsisten dalam menjalankan prosedur pekerjaan yang telah ditentukan". Mengapa? Karena konsistensi dan pemahaman lingkup adalah tentang mitigasi risiko dan prediktabilitas—dua hal yang membuat seorang manajer bisa tidur nyenyak di malam hari.

Dan di sinilah letak bom waktunya. Ada satu kompetensi yang perbedaannya paling drastis: "Memiliki pengetahuan tentang keselamatan dan kesehatan kerja (K3)". Para mandor menempatkan skill ini di peringkat paling buncit, nomor 30 dari 30!. Bagi mereka, K3 mungkin terasa seperti birokrasi yang memperlambat pekerjaan. Namun, bagi kontraktor, K3 adalah prioritas 10 besar. Mengapa? Karena satu kecelakaan kerja bisa menghentikan seluruh proyek, menimbulkan kerugian miliaran, dan merusak reputasi perusahaan.  

Apa yang dianggap "gangguan" oleh eksekutor adalah "keharusan absolut" bagi manajer. Dan kesenjangan inilah yang seringkali membuat karier seseorang mandek.

Satu Lembar Kertas yang Mengubah Segalanya: Kekuatan Tersembunyi dari Sertifikasi

Jadi, kita punya dua dunia dengan prioritas yang berbeda. Apakah mereka ditakdirkan untuk tidak pernah bertemu? Ternyata tidak. Penelitian ini menemukan satu faktor yang secara dramatis mampu menjembatani kesenjangan tersebut: sertifikasi.

Awalnya saya pikir, "Ah, sertifikasi. Cuma selembar kertas, kan?" Tapi data dari studi ini menunjukkan sesuatu yang jauh lebih dalam. Kontraktor secara konsisten menilai mandor yang memiliki sertifikat kompetensi kerja jauh lebih tinggi dalam beberapa area krusial—area yang paling mereka hargai.

Apa yang Bikin Saya Terkejut: Data Bicara Lebih Keras dari Opini

Ketika para peneliti membandingkan mandor bersertifikat dengan yang tidak, perbedaannya sangat signifikan secara statistik. Ini bukan lagi soal opini, ini soal angka.

  • 🚀 Pengetahuan Strategis: Mandor bersertifikat dinilai jauh lebih unggul dalam memiliki pengetahuan tentang jenis dan lingkup pekerjaan dan pengetahuan tentang K3. Ini adalah dua skill yang paling dihargai kontraktor dan paling diremehkan mandor. Sertifikasi, tampaknya, "memaksa" mereka untuk melihat gambaran besar.  

  • 🧠 Pengawasan Presisi: Mereka juga dinilai signifikan lebih baik dalam mengawasi pelaksanaan pekerjaan sesuai dengan metode kerja, spesifikasi teknis, dan jadwal kerja. Ini bukan lagi sekadar mengawasi, ini tentang mengawasi sesuai standar—bahasa yang dimengerti oleh manajemen.  

  • 🎯 Akurasi Terukur: Mereka terbukti lebih baik dalam mengukur dan menghitung hasil kerja tepat sesuai kenyataan. Ini menunjukkan keandalan, akuntabilitas, dan transparansi—tiga pilar kepercayaan antara manajer dan timnya.  

  • 💡 Mentor Tersembunyi: Dan ini yang paling membuat saya terkesima. Perbedaan paling dramatis dari semuanya ada pada indikator "memiliki keinginan untuk mengajar / mendorong orang lain dalam pekerjaannya". Mandor bersertifikat dinilai jauh, jauh lebih tinggi di sini. Ini adalah sebuah transformasi. Sertifikasi tidak hanya membuat mereka menjadi eksekutor yang lebih baik, tapi mengubah mereka dari seorang individual contributor menjadi seorang force multiplier—seseorang yang membangun kapasitas seluruh tim.  

Sertifikasi, ternyata, bukan hanya tentang belajar skill teknis baru. Ia tentang mengadopsi bahasa dan pola pikir manajemen. Ia mengajari para eksekutor untuk melihat pekerjaan mereka melalui kacamata manajer mereka.

Sebuah Kritik Halus dan Refleksi Pribadi

Meskipun temuan tentang sertifikasi ini luar biasa, saya tidak bisa tidak bertanya-tanya: apa kata para pekerja di bawah mandor? Studi ini dengan bijak menyarankan penelitian di masa depan harus menyertakan perspektif mereka. Apakah mandor bersertifikat yang dinilai "lebih baik" oleh kontraktor ini juga dirasakan sebagai pemimpin yang lebih baik oleh tim yang dipimpinnya setiap hari? Itu adalah kepingan puzzle yang hilang.  

Satu hal lagi yang menarik perhatian saya adalah temuan bahwa, pada beberapa aspek, kontraktor menilai kompetensi mandor lebih tinggi daripada penilaian mandor terhadap diri mereka sendiri. Ini mengingatkan saya pada imposter syndrome. Mungkin kita seringkali lebih kompeten dari yang kita kira, tapi kita tidak pernah tahu karena tidak ada yang memberi tahu kita, atau karena kita terlalu fokus pada kekurangan teknis kita sendiri dan lupa melihat dampak yang sudah kita hasilkan.  

Pelajaran untuk Kita Semua, Bahkan Jika Kamu Bukan Mandor Konstruksi

Oke, jadi apa artinya semua ini bagi kita yang tidak memakai helm proyek setiap hari? Artinya sangat besar. "Mandor" dan "kontraktor" hanyalah metafora untuk setiap hubungan karyawan-manajer.

Kamu mungkin seorang programmer (mandor) yang terobsesi pada keindahan dan efisiensi kode. Atasanmu adalah manajer produk (kontraktor) yang terobsesi pada jadwal rilis dan tingkat adopsi pengguna. Kamu fokus pada "gambar kerja" (spesifikasi teknis), dia fokus pada "lingkup pekerjaan" (kebutuhan pasar). Kesenjangan itu nyata, dan menjembataninya adalah kunci untuk akselerasi karier.

Dari studi ini, kita bisa menarik tiga pelajaran praktis:

  1. Bicaralah dalam Bahasa Manajermu. Lain kali saat kamu melaporkan progres, jangan hanya bilang, "Saya sudah menyelesaikan tugas A, B, dan C." Coba katakan, "Saya sudah menyelesaikan A, yang akan mengurangi risiko X. Saya juga sudah menyelesaikan B, yang akan membuat kita bisa rilis lebih cepat sesuai jadwal. Dan C akan membantu tim lain untuk bekerja lebih efisien." Alih-alih melaporkan aktivitas (dunia mandor), laporkan dampak (dunia kontraktor).

  2. Cari "Sertifikasi" Versimu. Ini tidak harus berupa sertifikat formal. Ini bisa berarti mengambil kursus online, menghadiri lokakarya, atau bahkan hanya membaca buku tentang manajemen proyek, strategi bisnis, atau keuangan di bidangmu. Tujuannya adalah untuk mendapatkan "pengetahuan tentang jenis dan lingkup pekerjaan" di luar tugas harianmu. Jika Anda ingin mengambil langkah nyata untuk menutup kesenjangan kompetensi ini, mengikuti kursus terstruktur bisa menjadi solusi. Platform seperti(https://diklatkerja.com) menawarkan berbagai program yang dirancang untuk meningkatkan skill manajerial dan teknis Anda, membantu Anda berbicara dalam bahasa yang sama dengan para pengambil keputusan.

  3. Jadilah "Mentor Tersembunyi". Ingat temuan paling mengejutkan tentang mandor bersertifikat? Mereka punya keinginan untuk mengajar. Mulailah secara proaktif berbagi pengetahuan dengan rekan timmu. Buat dokumentasi sederhana. Tawarkan bantuan pada anggota tim yang lebih junior. Ini tidak hanya membantu mereka, tetapi juga mengubah persepsi manajemen tentangmu—dari seorang eksekutor andal menjadi seorang calon pemimpin.

Selami Datanya Sendiri dan Kesimpulan Akhir

Pada akhirnya, keunggulan karier sejati terletak di persimpangan antara keahlian teknis (dunia mandor) dan pemahaman strategis (dunia kontraktor). Menjadi hebat dalam pekerjaanmu itu penting. Tapi memahami mengapa pekerjaanmu penting adalah hal yang akan benar-benar membedakanmu dari yang lain.

Studi tentang para mandor di Surabaya ini, bagi saya, adalah pengingat yang kuat bahwa terkadang wawasan paling berharga datang dari tempat yang paling tidak kita duga. Ia mengajarkan kita untuk sesekali mengangkat kepala dari "gambar kerja" kita dan mencoba melihat "lingkup proyek" yang lebih luas.

Kalau kamu tipe orang yang suka melihat angka di balik cerita, atau jika kamu bekerja di industri terkait dan ingin detail yang lebih dalam, saya sangat merekomendasikan untuk membaca paper aslinya. Ini adalah bacaan yang padat tapi sangat mencerahkan.

(https://doi.org/10.9744/petra.v20i1.0000)

Selengkapnya
Kenapa Kerja Keras Saja Tidak Cukup: Pelajaran Karier Tak Terduga dari Mandor Konstruksi

Pengembangan Karier

Cetak Biru yang Tertunda: Bagaimana Krisis Lisensi 8 Tahun Menghambat Arsitek Nigeria (dan Pelajaran untuk Kita Semua)

Dipublikasikan oleh Melchior Celtic pada 02 Oktober 2025


Perasaan Terjebak oleh Sistem yang Rusak

Saya pernah mengalaminya. Mungkin kamu juga. Perasaan terjebak dalam labirin birokrasi yang tak masuk akal. Waktu itu saya harus mengurus perizinan sederhana yang seharusnya selesai dalam seminggu. Tapi minggu berganti bulan. Setiap kali datang, ada aturan baru yang entah dari mana datangnya, formulir yang berbeda, atau petugas yang saling lempar tanggung jawab. Saya sudah melakukan semua yang diminta, mengikuti setiap langkah, tapi tetap saja terbentur tembok. Tembok yang dibangun bukan dari aturan, melainkan dari ego dan politik internal yang tak terlihat. Perasaan tidak berdaya itu, perasaan ketika kamu sudah melakukan segalanya dengan benar tapi tetap dihambat oleh sistem yang lupa tujuannya, benar-benar menguras energi.

Sekarang, bayangkan perasaan itu. Tapi jangan hanya sehari atau sebulan. Bayangkan perasaan itu membentang selama delapan tahun. Bayangkan seluruh karier dan identitas profesionalmu disandera oleh pertarungan yang sama sekali bukan urusanmu. Itulah kenyataan pahit yang dihadapi ribuan calon arsitek di Nigeria, sebuah drama manusia berskala nasional yang baru-rata terungkap dalam sebuah paper penelitian yang luar biasa.

Cetak Biru Bangsa yang Tertunda: Skala Krisis yang Mengejutkan

Untuk memahami betapa dalamnya luka ini, kita perlu melihat angka-angkanya. Ini bukan sekadar cerita tentang beberapa orang yang frustrasi; ini adalah kegagalan di tingkat nasional. Sebuah studi baru yang diterbitkan dalam Discover Civil Engineering memaparkan skala krisis ini dengan data yang gamblang ().  

Krisis pendaftaran arsitek ini berlangsung selama delapan tahun penuh, dari 2015 hingga 2023 (, p.1). Selama itu, keran untuk menjadi arsitek profesional di Nigeria praktis tertutup rapat. Padahal, negara ini mengalami defisit arsitek yang sangat parah. Nigeria membutuhkan minimal 18.000 arsitek untuk pembangunannya, tetapi hingga 2021, jumlah yang terdaftar hanya 4.926 orang. Sebelum krisis membeku total, sistem ini hanya mampu menghasilkan 694 arsitek dalam tiga tahun—jumlah yang sangat sedikit (, p.2).  

Konsekuensinya bukanlah hal yang abstrak. Paper ini secara berani menarik garis lurus antara kekurangan tenaga profesional yang berkualitas dengan tingginya angka bangunan runtuh. Di Lagos saja, tercatat ada 115 kasus bangunan runtuh antara tahun 2012 dan 2022 (, p.2). Ini mengubah segalanya. Ini bukan lagi sekadar sengketa profesional; ini adalah darurat keselamatan publik. Pertarungan tentang siapa yang berhak menandatangani selembar kertas lisensi secara tidak langsung berkontribusi pada bangunan yang merenggut nyawa. "Perebutan kekuasaan" yang terjadi di ruang rapat ber-AC berdampak langsung pada keselamatan warga biasa di jalanan.  

Ini Bukan soal Dokumen, Ini soal Kekuasaan: Drama Manusia di Balik Kebuntuan

Jadi, mengapa ini bisa terjadi? Paper ini membongkar akar masalahnya, yang ternyata lebih mirip drama perebutan takhta daripada masalah administrasi.

Dua Kapten yang Berlayar ke Arah Berlawanan

Inti dari konflik ini adalah pertarungan antara dua lembaga utama: Nigerian Institute of Architects (NIA), asosiasi profesi, dan Architects Registration Council of Nigeria (ARCON), badan regulator pemerintah (, p.4). Mereka berselisih tentang siapa yang memiliki wewenang untuk menyelenggarakan ujian praktik profesional akhir—gerbang terakhir untuk menjadi arsitek berlisensi.  

Ironisnya, konflik ini dimulai dari masalah yang sah. Pada tahun 2015, NIA sendiri yang melaporkan adanya "kejanggalan dan anomali" dalam proses ujian mereka. Temuannya mengejutkan: ada "buku catatan (logbook) yang dinilai oleh non-arsitek," "buku catatan kosong yang sudah ditandatangani," dan berbagai pelanggaran lainnya (, p.5).  

Intervensi ARCON pada awalnya tampak wajar dan diperlukan untuk menjaga standar profesi. Namun, respons yang seharusnya menjadi upaya perbaikan bersama justru berubah menjadi perang dingin yang membekukan seluruh sistem selama delapan tahun. Tujuan bergeser dari "menjamin kualitas" menjadi "memenangkan kendali." Kedua belah pihak menjadi begitu terpaku pada posisi mereka sehingga mereka lupa pada tugas utama mereka: melayani profesi dan publik. Ini adalah studi kasus tragis tentang bagaimana ego institusional dapat menghancurkan hal yang seharusnya mereka lindungi.

Labirin Pendidikan Tanpa Pintu Keluar

Krisis ini tidak hanya terjadi di tingkat regulator, tetapi juga merambat jauh ke dalam sistem pendidikan. Salah satu masalah institusional yang diidentifikasi adalah universitas yang "menjalankan sekolah arsitektur padahal mereka belum memenuhi persyaratan NUC dan ARCON" (, p.10).  

Bayangkan menghabiskan lima tahun belajar, mengorbankan waktu dan biaya, untuk mendapatkan sebuah kunci, hanya untuk menemukan saat lulus bahwa kunci itu tidak cocok untuk satu pun pintu di seluruh negeri. Itulah kenyataan bagi banyak mahasiswa yang lulus dari program yang tidak terakreditasi.

Masalah ini diperparah oleh diskriminasi sistemik terhadap pemegang Higher National Diploma (HND), yang menghadapi rintangan luar biasa untuk mendapatkan lisensi dibandingkan dengan rekan-rekan mereka yang bergelar sarjana (BSc/MSc) dari universitas (, p.6, 11, 14). Sebuah negara yang sangat membutuhkan lebih banyak arsitek, pada saat yang sama, secara aktif menolak kualifikasi sebagian besar lulusannya sendiri. Ini bukan hanya tidak adil; ini adalah tindakan sabotase diri yang irasional dalam skala nasional. Alih-alih membangun sebanyak mungkin jembatan untuk mengatasi defisit, sistem ini justru sibuk membangun tembok.  

Yang Paling Mengejutkan Saya: Masalah "Generasi Tua"

Dari semua temuan dalam paper ini, ada satu hal yang benar-benar membuat saya terhenyak. Para peneliti menggunakan bahasa yang sangat lugas untuk menggambarkan masalah budaya di dalam profesi. Wawancara dengan para arsitek menunjuk pada "perebutan kekuasaan dan pertarungan pribadi," "kepentingan egois dari anggota senior," dan "ketakutan bahwa arsitek yang lebih muda dan lebih kompeten akan mengambil tempat mereka" (, p.1, 11).  

Di sini, saya harus menyuarakan opini pribadi saya. Ini adalah temuan yang paling menyedihkan. Ini bukan lagi tentang sistem yang gagal, tetapi tentang satu generasi pemimpin yang secara aktif menggagalkan generasi berikutnya karena kesombongan dan rasa tidak aman. Kurangnya bimbingan (mentorship) bukanlah sebuah kebetulan; itu adalah gejala dari budaya yang memandang talenta muda sebagai ancaman, bukan aset.

"Saya Masih Menderita": Suara dari Garis Depan Krisis

Paper ini tidak hanya berbicara tentang data, tetapi juga memberikan suara kepada 34 arsitek yang diwawancarai. Pengalaman mereka melukiskan gambaran penderitaan manusia di balik statistik yang dingin.

Seorang arsitek Provisional Stage II mengungkapkan kepedihannya: "Pada September 2016, saya lulus Ujian NIAPPE, dan hingga hari ini, ARCON menolak untuk mendaftarkan saya... Saya masih menderita akibat dari sesuatu yang seharusnya bisa dengan mudah diselesaikan oleh para eksekutif NIA/ARCON yang lebih tua dan berpengalaman." (, p.14).  

Perjuangan mereka bisa diringkas dalam beberapa poin kunci:

  • 🤯 Kekosongan Bimbingan: Para calon arsitek merasa berada "dalam jaring intrik yang tidak bisa dijelaskan" di antara dua "gajah raksasa" yang seharusnya membimbing mereka (, p.11). Bimbingan digambarkan sebagai sesuatu yang "langka" (, p.12).  

  • 💸 Mimpi Buruk Finansial dan Logistik: Para kandidat menghadapi rintangan besar, mulai dari sulitnya mencari sponsor yang memenuhi syarat secara finansial hingga harus menempuh "perjalanan panjang ke Abuja" untuk ujian yang terpusat (, p.12, 13). Sistem ini seolah dirancang untuk menyulitkan penggunanya.  

  • Penderitaan Menanti: Bertahun-tahun hidup mereka hilang hanya untuk "menyaksikan perseteruan antara NIA dan ARCON" (, p.14), dengan karier, keuangan, dan kesehatan mental mereka di ujung tanduk.  

Secercah Harapan: Cetak Biru untuk Membangun Kembali

Setelah memaparkan masalahnya secara mendalam, paper ini beralih dari kegelapan menuju cahaya. Para peneliti tidak hanya mengkritik; mereka menawarkan sebuah kerangka kerja solusi yang komprehensif dan penuh harapan.

Jalan yang Adil untuk Setiap Lulusan

Solusi yang diusulkan bersifat sistemik, bukan sekadar "mari berdamai." Para peneliti merancang ulang seluruh jalur pipa profesional, mulai dari hulu hingga hilir. Mereka mengusulkan kerangka kerja yang jelas dengan jalur yang berbeda untuk lulusan HND, BSc, dan MSc, yang bertujuan untuk menghilangkan diskriminasi dan kebingungan (, p.14-19).  

Salah satu inovasi utamanya adalah gagasan "Finishing school for all categories of graduates" (sekolah pemantapan untuk semua kategori lulusan) (, p.18, 19). Ini adalah pengakuan bahwa gelar akademis saja tidak cukup. Seperti pengacara yang magang atau dokter yang menjalani residensi, sekolah pemantapan ini akan menjembatani kesenjangan krusial antara teori di kampus dan praktik di dunia nyata. Bagi mereka yang ingin secara proaktif menjembatani kesenjangan ini, mengikuti kursus pengembangan profesional seperti yang ditawarkan oleh  

(https://www.diklatkerja.com/) bisa menjadi langkah awal yang vital untuk memperoleh keterampilan praktis yang siap kerja.

Ini menunjukkan bahwa masalahnya tidak pernah hanya soal pertarungan politik; pertarungan itu hanyalah gejala dari sistem yang dirancang dengan buruk. Solusi yang diusulkan bersifat holistik, bertujuan untuk memperbaiki cacat struktural yang mendasarinya.

Pandangan Saya tentang Solusi Ini (dan Apa yang Hilang)

Saya memuji kerangka kerja ini karena sangat teliti dan adil. Ini adalah cetak biru yang logis dan beralasan. Namun, saya punya satu kritik halus: paper ini menyediakan "apa" yang harus dilakukan, tetapi tidak bisa menjamin "bagaimana" itu akan dilakukan. Keberhasilan seluruh kerangka kerja ini bergantung pada kemauan politik dari para pemimpin yang sama, yang telah melanggengkan krisis selama delapan tahun, untuk akhirnya berkolaborasi dan melepaskan kontrol absolut. Paper ini adalah analisis teknis dan sosial yang brilian, tetapi tidak bisa menyelesaikan masalah kemauan politik. Cetak birunya sempurna, tetapi para pembangunnya adalah orang-orang yang sama yang membiarkan rumah tua itu runtuh.

Pelajaran Universal: Mengapa Kisah Nigeria Ini Penting di Mana Saja

Pada akhirnya, ini bukan hanya cerita tentang arsitek di Nigeria. Ini adalah studi kasus universal dengan pelajaran bagi para profesional di bidang apa pun, di mana pun di dunia.

  • 🚀 Hasilnya: Kebuntuan selama delapan tahun menciptakan krisis keselamatan publik dan menghambat pembangunan sebuah negara. Ini menunjukkan bagaimana politik internal dapat memiliki konsekuensi eksternal yang menghancurkan.

  • 🧠 Inovasinya: Solusinya bukan sekadar gencatan senjata; ini adalah desain ulang total jalur profesional, dari pendidikan hingga lisensi, yang berfokus pada inklusivitas dan keterampilan praktis.

  • 💡 Pelajaran: Ketika badan profesi lupa bahwa mereka ada untuk melayani anggota dan publik, mereka berubah menjadi penjaga gerbang yang egois. Kisah ini adalah peringatan keras terhadap ego institusional dan pentingnya membangun sistem yang dirancang untuk manusia, bukan untuk kekuasaan.

Sekarang Giliranmu untuk Membangun

Jika cerita ini memicu sesuatu dalam dirimu, saya sangat merekomendasikan untuk membaca paper akademis lengkapnya. Tingkat detailnya sangat menarik dan membuka mata. Renungkanlah industrimu sendiri. Apakah ada "perebutan kekuasaan" serupa atau sistem rusak yang menahan orang lain? Apa yang bisa kita lakukan untuk memperbaikinya?

(https://doi.org/10.1007/s44290-024-00078-8)

Selengkapnya
Cetak Biru yang Tertunda: Bagaimana Krisis Lisensi 8 Tahun Menghambat Arsitek Nigeria (dan Pelajaran untuk Kita Semua)

Pengembangan Karier

Ijazah vs. Pengalaman: Riset Ini Mengubah Cara Saya Memandang Karier

Dipublikasikan oleh Melchior Celtic pada 02 Oktober 2025


I. Pengakuan Dosa Seorang Kolektor Ijazah

Izinkan saya memulai dengan sebuah pengakuan dosa. Selama bertahun-tahun, saya adalah seorang pemuja ijazah. Saya percaya dengan sepenuh hati bahwa jalan menuju kesuksesan dilapisi kertas-kertas berharga dengan logo universitas ternama di atasnya. Mentalitas saya sederhana: kumpulkan sebanyak mungkin "huruf-huruf di belakang nama," maka pintu-pintu emas akan terbuka dengan sendirinya. Saya sibuk berburu logo di atas kertas, meyakini bahwa kualifikasi formal adalah segalanya. Setiap sertifikat baru terasa seperti menabung satu keping emas untuk masa depan.

Namun, seiring waktu, sebuah kegelisahan mulai merayap. Di dunia nyata, saya melihat orang-orang dengan portofolio pengalaman yang kaya melesat lebih cepat daripada mereka yang hanya berbekal transkrip nilai cemerlang. Pertanyaan itu terus menghantui: apakah semua ijazah yang saya kumpulkan ini benar-benar sepenting yang saya kira?

Di tengah kegelisahan itulah saya menemukan sebuah paper penelitian oleh Eddie Fisher dan Yorkys Santana González. Judulnya sederhana: “Qualifications and Certificates v Practical Knowledge and Experience: Is There a Winner?”. Paper ini seolah menjadi jawaban atas pertanyaan yang sudah lama saya pendam. Ia bukan sekadar opini, melainkan sebuah investigasi sistematis yang memberikan data dan kerangka untuk memahami perdebatan klasik ini.  

Para penulisnya membuka riset mereka dengan menghadapkan dua kutipan legendaris yang seolah saling bertentangan. Di satu sisi, ada Albert Einstein yang berkata, 'Satu-satunya sumber pengetahuan adalah pengalaman.' Di sisi lain, Benjamin Franklin menimpali, 'Investasi dalam pengetahuan membayar bunga terbaik'. Inilah konflik utamanya. Apakah kita berada di tim Einstein, yang mengagungkan pengalaman praktis? Ataukah kita pengikut setia Franklin, yang percaya pada kekuatan pengetahuan formal? Paper ini mengajak kita untuk tidak sekadar memilih tim, tetapi untuk memahami medan pertempuran yang sesungguhnya.  

II. Pertarungan Abadi: Apa Kata Riset Soal Ijazah vs. Pengalaman?

Saat Einstein dan Franklin Berdebat di Meja Kerjamu

Perdebatan antara ijazah dan pengalaman bukan lagi sekadar obrolan filosofis di warung kopi. Ini adalah masalah ekonomi yang sangat nyata bagi perusahaan, dan riset ini membuktikannya dengan angka yang gamblang. Bayangkan Anda seorang manajer. Setiap kali seorang karyawan mengundurkan diri, perusahaan Anda harus menanggung biaya rata-rata sebesar £31,000 untuk mencari penggantinya. Biaya ini mencakup hilangnya produktivitas selama masa transisi hingga biaya logistik rekrutmen.  

Angka yang lebih mengejutkan lagi adalah durasi adaptasi. Seorang karyawan yang pindah dari sektor industri yang sama butuh waktu sekitar 15 minggu untuk mencapai produktivitas optimal. Namun, seorang lulusan baru—fresh graduate dengan ijazah mengilap—membutuhkan waktu hingga 40 minggu, atau hampir setahun penuh, untuk mencapai level yang sama.  

Di sinilah letak inti masalahnya. "Pergeseran paradigma" dari kualifikasi ke pengalaman yang disorot dalam paper ini bukanlah sekadar tren atau mode sesaat. Ini adalah reaksi pasar yang logis, yang didorong oleh efisiensi dan biaya. Ketika model "rekrut berdasarkan ijazah" terbukti sangat mahal dan lambat, pasar secara alami akan mengoreksi dirinya sendiri. Perusahaan, yang pada dasarnya adalah entitas yang digerakkan oleh efisiensi, mulai memprioritaskan kandidat yang bisa "langsung tancap gas" dan meminimalkan biaya adaptasi selama 40 minggu tersebut. Jadi, ketika perusahaan lebih memilih kandidat berpengalaman, itu bukan karena mereka tidak menghargai pendidikan, melainkan karena mereka membuat keputusan bisnis yang rasional.  

Bukan Sekadar Kertas, Inilah Nilai Sebenarnya dari Gelarmu

Namun, menyimpulkan bahwa ijazah tidak lagi berharga adalah sebuah kesalahan fatal. Paper ini dengan adil menyajikan argumen yang kuat untuk mendukung pendidikan formal. Kualifikasi akademis bukan hanya tentang mendapatkan pekerjaan; ini adalah fondasi untuk pengembangan intelektual, personal, dan sosial.  

Saya suka menggunakan analogi ini: memiliki gelar itu seperti mempelajari denah dan fondasi sebuah bangunan. Anda mungkin belum pernah meletakkan satu bata pun, tetapi Anda memahami prinsip-prinsip fisika, material, dan desain yang membuat bangunan itu berdiri kokoh. Tanpa pengetahuan teoretis ini, pengalaman praktis hanya akan menjadi serangkaian tindakan coba-coba tanpa pemahaman yang mendalam. Seperti yang ditekankan dalam riset, aplikasi praktis sering kali didasarkan pada pengetahuan teoretis yang sudah ada sebelumnya. Teori memberi kita "peta," sementara praktik adalah perjalanannya. Tanpa peta, perjalanan bisa jadi tanpa arah.  

Tiga Tahun di "Universitas Kehidupan" yang Mengalahkan S1

Di sisi lain, argumen untuk pengalaman kerja juga tak kalah kuatnya. Riset ini mencatat bahwa seorang kandidat yang pada usia 21 tahun telah memiliki tiga tahun pengalaman kerja yang solid sering kali berada di posisi yang lebih menguntungkan daripada rekan sebayanya yang baru lulus S1. Mengapa? Karena pengalaman memberikan sesuatu yang tidak bisa ditawarkan oleh transkrip nilai: bukti nyata.  

Pengalaman kerja adalah portofolio hidup yang menunjukkan bahwa Anda bisa bekerja dalam tim, bertahan di bawah tekanan, disiplin, tepat waktu, dan mampu beradaptasi dalam lingkungan kerja yang dinamis. Ini adalah bukti bahwa Anda memahami bagaimana sebuah perusahaan benar-benar berfungsi—ritme rapat, politik kantor, cara berkomunikasi dengan atasan—hal-hal yang tidak akan pernah diajarkan di ruang kelas. Pengalaman mengubah pengetahuan abstrak menjadi kompetensi yang teruji.  

III. Pemenangnya Bukan yang Kamu Kira: Lahirnya Pendekatan Hibrida

Riset Ini Mengungkap Jawaban yang Mengejutkan (dan Melegakan)

Jadi, siapa pemenangnya? Einstein atau Franklin? Ijazah atau pengalaman? Di sinilah paper ini memberikan kesimpulan puncaknya yang brilian dan melegakan. Pemenangnya bukanlah salah satu dari keduanya. Jawabannya adalah pendekatan hibrida, tetapi dengan sebuah penekanan yang sangat penting. Pendekatan terbaik adalah fokus utama pada pengalaman praktis yang didukung oleh pengetahuan teoretis yang relevan, bukan sebaliknya.  

Ini adalah sebuah pembalikan dari cara berpikir tradisional. Selama ini kita diajarkan untuk belajar teori dulu di bangku kuliah, baru kemudian mencari pengalaman. Riset ini menyarankan sebaliknya: terjunlah, dapatkan pengalaman, dan gunakan teori untuk memperdalam, mengontekstualisasikan, dan mengoptimalkan pengalaman tersebut.

Mari kita ringkas temuan utamanya:

  • 🚀 Hasilnya luar biasa: Pendekatan hibrida yang memprioritaskan pengalaman terbukti paling efektif untuk menjembatani kesenjangan antara dunia pendidikan dan dunia kerja.

  • 🧠 Inovasinya: Urutannya penting. Bukan teori dulu baru praktik, tapi fokus pada praktik yang diperkuat oleh teori. Ini membalik cara pikir tradisional kita.

  • 💡 Pelajaran: Jangan terjebak dalam perlombaan mengumpulkan ijazah. Mulailah membangun portofolio pengalaman, dan gunakan pengetahuan teoretis untuk membuatnya lebih bermakna.

Apa yang Bikin Saya Terkejut: Bukan Cuma Skill, Tapi "Mindset"

Saat saya menggali lebih dalam, saya menemukan lapisan wawasan yang lebih mengejutkan. Ternyata, di atas kualifikasi dan pengalaman, ada lapisan ketiga yang sering kali menjadi penentu utama: atribut dan kualitas pribadi.

Paper ini mengutip argumen dari Williams yang menyatakan bahwa faktor-faktor seperti kontribusi, kesesuaian budaya (cultural fit), motivasi, dan keterlibatan sering kali lebih berbobot daripada kualifikasi atau pengalaman itu sendiri. Hal ini diperkuat oleh data dari Chartered Management Institute (CMI) yang menempatkan "Sikap dan ambisi" serta "Presentasi pribadi" di urutan teratas dalam faktor-faktor yang memengaruhi keputusan rekrutmen, bahkan di atas kualifikasi akademis.  

Ini membawa kita pada konsep kunci yang disebut “Employability”. Employability bukanlah sekadar gabungan dari ijazah dan pengalaman. Ini adalah sebuah "meta-skill" yang berpusat pada mindset—kemampuan untuk terus belajar, beradaptasi, dan yang terpenting, merefleksikan pengalaman. Paper ini mendefinisikannya sebagai kombinasi dari pengetahuan, keterampilan, dan sikap. Model Karier dari Sewell dan Dacre Pool bahkan melangkah lebih jauh dengan memasukkan elemen-elemen psikologis seperti  

self-esteem (harga diri), self-efficacy (keyakinan pada kemampuan diri), dan self-confidence (kepercayaan diri) sebagai komponen inti dari employability.  

Ijazah dan pengalaman hanyalah bukti atau proksi dari employability, bukan employability itu sendiri. Tujuan akhirnya bukanlah mengumpulkan kertas atau jabatan, melainkan mengembangkan mindset seorang pembelajar yang adaptif. Dalam konteks ini, pengalaman kerja, magang, dan bahkan proyek sukarela adalah "gym" terbaik untuk melatih otot employability ini.

IV. Cara Menerapkannya Hari Ini (Bahkan Jika Kamu Masih Mahasiswa)

Meretas Sistem: Cara Membangun "Portofolio Karier" Sejak Dini

Lalu, bagaimana cara menerapkan wawasan ini dalam kehidupan nyata? Jawabannya adalah dengan mengadopsi konsep "portofolio karier" (career portfolios) yang disebutkan dalam paper. Berhentilah berpikir seperti "mahasiswa" atau "karyawan junior," dan mulailah berpikir seperti "profesional dalam pelatihan." Ini berarti secara proaktif mencari setiap kesempatan—sekecil apa pun—untuk membangun bukti nyata dari kemampuan Anda. Setiap proyek kelas, kegiatan organisasi, pekerjaan paruh waktu, atau bahkan hobi bisa menjadi bagian dari portofolio Anda jika Anda bisa menceritakan apa yang Anda pelajari dari sana.  

Jadilah "Pembelajar Aktif", Bukan Kolektor Pasif

Kunci untuk membangun portofolio yang kuat adalah dengan menjadi pembelajar aktif, dan di sinilah Siklus Belajar Kolb (Kolb's Learning Cycle) yang dijelaskan dalam paper menjadi sangat relevan. Bayangkan belajar memasak. Anda tidak bisa hanya membaca buku resep (teori). Anda harus masuk ke dapur dan mencoba (  

Concrete Experience). Mungkin masakan pertama Anda gosong. Anda lalu berpikir, 'Apa yang salah? Oh, apinya terlalu besar' (Reflection & Observation). Dari sana, Anda menyimpulkan sebuah prinsip baru, 'Untuk resep ini, api sedang adalah yang terbaik' (Abstraction & Conceptualisation). Keesokan harinya, Anda mencoba lagi dengan api yang lebih kecil (Active Experimentation).

Itulah cara belajar yang sebenarnya, dan siklus ini berlaku untuk karier juga. Setiap tugas, setiap kegagalan, setiap keberhasilan adalah kesempatan untuk melalui keempat tahap ini. Orang yang memiliki employability tinggi adalah mereka yang secara sadar dan terus-menerus memutar siklus belajar ini.

Magang, Proyek Sukarela, dan "Sandwich Course" Adalah Senjata Rahasiamu

Cara paling langsung untuk menerapkan pendekatan hibrida dan memutar Siklus Belajar Kolb adalah melalui pengalaman terstruktur. Paper ini menyoroti pentingnya magang, penempatan kerja (sandwich placements), dan bahkan pekerjaan sukarela. Sebuah data menarik menyebutkan bahwa 73% perusahaan lebih memilih kandidat dengan pengalaman sukarela, dan 58% percaya bahwa pengalaman sukarela bisa lebih berharga daripada pekerjaan berbayar.  

Ini adalah senjata rahasia Anda. Jika Anda ingin meningkatkan skill praktis sambil tetap belajar teori, program seperti yang ditawarkan di(https://www.diklatkerja.com) bisa menjadi jembatan yang sempurna antara dunia kampus dan dunia kerja, membantumu menerapkan siklus belajar Kolb dalam konteks profesional.

Opini Pribadi: Di Mana Letak Kelemahan Riset Ini?

Tentu saja, tidak ada riset yang sempurna. Meskipun temuan dari paper ini sangat berharga, penting untuk melihatnya dengan kacamata kritis. Metodologi penelitian ini memiliki keterbatasan yang perlu diakui. Wawancara tatap muka yang menjadi dasar analisis kualitatifnya hanya melibatkan 21 mahasiswa psikologi sarjana di Angola. Ini berarti, meskipun wawasannya kuat secara konseptual, generalisasinya ke industri lain (misalnya, hukum atau kedokteran yang sangat bergantung pada kualifikasi formal) atau ke budaya kerja yang berbeda mungkin memerlukan kehati-hatian.  

Keterbatasan ini juga menyoroti bahaya lain yang disinggung dalam paper: fenomena “over-education” atau kelebihan kualifikasi, seperti yang terjadi di Spanyol. Di pasar kerja yang sangat kompetitif, ada kecenderungan bagi individu untuk terus menumpuk kualifikasi sebagai cara untuk "menandai" kemampuan mereka, berharap bisa menonjol dari keramaian.  

Di sinilah letak sebuah kontradiksi yang tragis. Di satu sisi, individu merasa cemas dan merespons dengan mengumpulkan lebih banyak ijazah. Di sisi lain, paper yang sama menunjukkan bahwa perusahaan semakin tidak peduli dengan sinyal tersebut dan lebih menghargai bukti pengalaman praktis. Ini adalah sebuah feedback loop negatif. Individu berinvestasi besar-besaran pada strategi yang nilainya semakin menurun di mata pasar. Peringatan bagi kita semua adalah: jangan jatuh ke dalam perangkap ini. Sadari perubahan aturan main dan jangan hanya mengikuti jalur tradisional secara membabi buta.

V. Kesimpulan: Berhenti Mengejar Gelar, Mulai Bangun Pengalaman

Kembali ke pengakuan dosa saya di awal. Setelah membaca dan merenungkan riset ini, saya menyadari bahwa saya bukanlah seorang "pemuja ijazah" lagi. Saya telah bertobat. Saya sekarang adalah seorang "pembangun portofolio."

Pesan utama dari riset ini bukanlah untuk memilih antara ijazah atau pengalaman. Pesannya jauh lebih dalam: kita harus beralih dari mentalitas "kolektor pasif" yang hanya mengumpulkan sertifikat, menjadi "pembangun aktif" yang secara sengaja menciptakan dan merefleksikan pengalaman. Kunci sukses di dunia kerja modern bukanlah ijazah atau pengalaman, melainkan integrasi cerdas antara keduanya, yang dijalankan oleh mindset seorang pembelajar seumur hidup.

Tentu saja, tulisan ini hanya menggores permukaan dari sebuah riset yang kaya. Kalau kamu tertarik untuk menyelami datanya lebih dalam dan melihat sendiri bagaimana para peneliti sampai pada kesimpulan ini, saya sangat merekomendasikan untuk membaca paper aslinya.

(https://doi.org/10.5296/ber.v10i2.16520)

Selengkapnya
Ijazah vs. Pengalaman: Riset Ini Mengubah Cara Saya Memandang Karier

Pengembangan Karier

Menguatkan Kompetensi Tenaga Kerja melalui Sertifikasi Profesional

Dipublikasikan oleh Marioe Tri Wardhana pada 29 September 2025


Mengapa Temuan Ini Penting untuk Kebijakan?

Sertifikasi profesional, baik lokal maupun internasional, telah menjadi instrumen penting dalam membangun kompetensi tenaga kerja sekaligus memperkuat daya saing global. Studi Adeosun & Adegbite (2023) menunjukkan bahwa sertifikasi asing sering kali lebih diakui di pasar global dibandingkan sertifikasi lokal, meskipun keduanya memiliki peran strategis dalam pengembangan karier.

Temuan ini penting bagi Indonesia karena menghadapi tantangan serupa. Sertifikasi lokal kadang dipandang kurang kredibel oleh industri internasional, sementara sertifikasi asing sulit diakses karena biaya tinggi dan kendala bahasa. Akibatnya, tenaga kerja nasional berisiko tertinggal dalam kompetisi global. Hal ini sejalan dengan artikel Membedah Pentingnya Sertifikasi Kompetensi Pekerja Konstruksi di Indonesia, yang mengulas tantangan dan manfaat sertifikasi lokal dalam konteks kompetisi ASEAN dan teknologi modern.

Selain itu, langkah reformasi sertifikasi perlu juga menguatkan lembaga yang menyelenggarakan sertifikasi. Sebagai contoh, artikel Lembaga Sertifikasi Profesi (LSP) menjelaskan bahwa LSP sebagai lembaga yang melaksanakan aktivitas pengujian dan sertifikasi profesi harus diakui oleh BNSP agar sertifikasi dianggap sah dan kredibel.

Implementasi di Lapangan: Dampak, Hambatan, dan Peluang

Penerapan sertifikasi profesional yang kuat memberikan dampak positif berupa peningkatan kredibilitas tenaga kerja, mobilitas karier, serta perlindungan publik melalui standar keahlian yang jelas. Perusahaan juga diuntungkan karena memiliki jaminan bahwa karyawan mereka kompeten di bidangnya.

Namun, hambatan muncul dari perbedaan standar antara sertifikasi lokal dan asing. Banyak tenaga kerja kesulitan mengikuti sertifikasi internasional karena biaya, keterbatasan akses, dan kurangnya fasilitas pelatihan. Di sisi lain, sertifikasi lokal sering dianggap tidak setara, sehingga lulusan program tersebut menghadapi keterbatasan dalam bersaing di pasar global.

Meski demikian, peluang terbuka dengan adanya digitalisasi pelatihan, kerja sama lintas negara, serta harmonisasi standar sertifikasi. Dengan strategi yang tepat, sertifikasi lokal dapat diperkuat agar diakui secara internasional, sementara akses ke sertifikasi asing bisa diperluas melalui subsidi atau program beasiswa.

5 Rekomendasi Kebijakan Praktis

Pertama, pemerintah perlu memperkuat standar sertifikasi lokal agar selaras dengan standar internasional. Kedua, subsidi atau insentif bagi tenaga kerja yang ingin mengikuti sertifikasi asing harus diperluas. Ketiga, kolaborasi dengan lembaga sertifikasi global dapat membuka jalan bagi sertifikasi bersama (joint certification). Keempat, perguruan tinggi dan lembaga pelatihan harus dilibatkan dalam merancang kurikulum yang sesuai dengan kebutuhan sertifikasi. Kelima, sistem informasi nasional tentang sertifikasi perlu dibangun agar perusahaan dan tenaga kerja lebih mudah mengakses data kompetensi.

Kritik terhadap Potensi Kegagalan Kebijakan

Jika kebijakan sertifikasi hanya sebatas regulasi tanpa implementasi nyata, maka sertifikasi lokal tetap akan dipandang rendah, sementara akses ke sertifikasi asing tetap terbatas bagi mayoritas tenaga kerja. Akibatnya, tenaga kerja Indonesia akan menghadapi kesenjangan kompetensi dan kesulitan dalam bersaing di pasar global. Risiko lain adalah meningkatnya ketergantungan pada sertifikasi asing yang mahal, sehingga memperburuk ketidaksetaraan akses terhadap pengembangan karier.

Penutup

Studi Adeosun & Adegbite (2023) memberikan pelajaran penting bahwa sertifikasi, baik lokal maupun asing, memiliki peran besar dalam membentuk kompetensi tenaga kerja. Indonesia perlu merumuskan kebijakan yang menyeimbangkan keduanya: memperkuat kredibilitas sertifikasi lokal sekaligus memperluas akses ke sertifikasi global. Dengan demikian, sertifikasi benar-benar berfungsi sebagai instrumen pembangunan SDM unggul yang mampu bersaing di pasar global.

Sumber

Adeosun, O., & Adegbite, K. (2023). Professional Certification and Career Development: A Comparative Analysis between Local and Foreign Certifications. Journal of Professional Management.

Selengkapnya
Menguatkan Kompetensi Tenaga Kerja melalui Sertifikasi Profesional
page 1 of 1