Pembuatan Terowongan dan Konstruksi Bawah Tanah
Dipublikasikan oleh Dewi Sulistiowati pada 08 Mei 2025
Mengupas Risiko Penurunan Tanah Akibat Konstruksi Terowongan di Tanah Loess: Studi Komprehensif Xi’an Metro
Penurunan tanah permukaan (surface settlement/SS) akibat konstruksi terowongan dengan metode shield tunneling menjadi tantangan serius dalam teknik sipil, khususnya di wilayah tanah loess seperti Xi’an, Tiongkok. Artikel oleh Caihui Zhu (2021) dari Advances in Materials Science and Engineering mengulas secara mendalam sembilan faktor utama yang menyebabkan SS dan menyajikan model prediksi serta analisis sensitivitas dari setiap faktor tersebut.
Dengan mengangkat studi kasus pada Xi’an Metro Line 2, artikel ini menggabungkan pendekatan teori analitik, simulasi numerik, dan data geoteknik aktual untuk memberikan panduan teknis dalam pengendalian risiko penurunan tanah di wilayah loess yang rawan konsolidasi dan perubahan kadar air tanah.
Kenapa Penurunan Tanah Penting untuk Dikaji?
Terowongan di Xi’an dibangun di bawah situs kuno, gedung tinggi, jaringan pipa air dan gas, serta struktur infrastruktur penting lainnya. Penurunan tanah yang tidak terkendali dapat menyebabkan:
Retakan pada segmen lapisan pelapis terowongan
Infiltrasi air
Kerusakan pada pipa bawah tanah
Kemiringan bangunan dan pondasi
Studi ini mengklasifikasikan penurunan tanah menjadi dua jenis:
Selama masa konstruksi (karena kontrol buruk dalam penggalian)
Setelah konstruksi selesai (karena perubahan geoteknik seperti penyusutan air tanah atau getaran kereta)
Sembilan Faktor Penyebab Penurunan Tanah
Artikel ini mengidentifikasi sembilan penyebab utama, yaitu:
Tekanan pendukung shield yang tidak memadai
Grouting di bagian ekor shield yang tidak mencukupi
Tekanan grouting yang kurang optimal
Penggalian berlebih akibat gerakan shield
Posisi atau kemiringan shield yang tidak tepat
Rekompresi tanah di zona longgar
Dissipasi tekanan air pori berlebih
Penurunan muka air tanah
Getaran dari operasi kereta
Studi Kasus: Xi’an Metro Line 2
Dalam proyek ini, kedalaman terowongan berkisar antara 14–22 meter, menembus lapisan tanah seperti:
Loess jenuh
Tanah kuno
Tanah liat berpasir
Parameter seperti modulus elastisitas tanah, tekanan air pori, dan koefisien konsolidasi digunakan untuk menghitung penurunan berdasarkan rumus analitik. Artikel memuat detail rinci, misalnya:
Rata-rata modulus kompresi loess jenuh: 6.0 MPa
Koefisien konsolidasi: 0.50 MPa⁻¹
Estimasi Penurunan: Teori yang Diterapkan
Selama Konstruksi: Digunakan pendekatan seperti Peck Curve untuk mengukur volume kehilangan tanah. Lima faktor dihitung kontribusinya terhadap penurunan tanah melalui:
Rasio tekanan shield terhadap tekanan tanah sekitarnya
Efektivitas grouting dan celah fisik antara lapisan pelapis dan tanah
Sudut penyimpangan shield
Setelah Konstruksi: Empat faktor tambahan dipertimbangkan, seperti:
Konsolidasi akibat hilangnya tekanan air pori
Penurunan air tanah yang mendorong konsolidasi tambahan
Kompaksi akibat getaran kereta
Hasil Analisis Sensitivitas
Faktor paling berpengaruh terhadap penurunan tanah (MSS):
Rasio radius zona tanah longgar (η): 98,97
Penurunan muka air tanah (θ): 11,20
Efisiensi grouting di ekor shield (ω): 4,00
Faktor paling kecil dampaknya:
Kemiringan shield (ξ): 0,99
Penggalian berlebih (κ): 0,99
Opini Fadil:
Artikel ini menunjukkan bahwa kontrol terhadap gangguan tanah saat penggalian shield adalah faktor dominan. Menariknya, efek jangka panjang akibat penurunan air tanah punya dampak yang hampir tak kalah signifikan, menyoroti pentingnya sistem drainase yang baik pada proyek bawah tanah.
Pendekatan Praktis untuk Pengendalian
Artikel ini tidak hanya teoritis, namun menyarankan tindakan praktis:
Penguatan struktur tanah dalam radius 3–5 meter di sekitar terowongan
Penggunaan grouting bertekanan tinggi dengan pengawasan ketat
Sistem drainase dan isolasi air yang solid untuk mencegah infiltrasi
Monitoring getaran dan penggunaan bahan peredam getaran pada rel
Kritik dan Perbandingan
Meski lengkap dan sistematis, studi ini masih mengandalkan model matematika deterministik. Di era AI dan machine learning, pendekatan berbasis data besar bisa memperkaya akurasi prediksi, terutama untuk daerah yang memiliki keragaman geoteknik tinggi.
Perbandingan:
Penelitian Soga et al. (2006) di London Underground menunjukkan bahwa kombinasi pemantauan real-time dengan model numerik bisa menurunkan risiko kerusakan struktur secara signifikan. Pendekatan serupa perlu diadopsi di proyek-proyek Asia yang menghadapi urbanisasi cepat.
Kesimpulan
Penelitian Caihui Zhu menawarkan peta jalan sistematis dalam memahami dan mengendalikan penurunan tanah akibat konstruksi terowongan di tanah loess. Dengan analisis sembilan faktor utama dan sensitivitasnya, artikel ini menjadi referensi penting bagi:
Kontraktor dan konsultan teknik sipil
Perencana metro atau MRT di wilayah rawan longsor
Akademisi dan peneliti geoteknik
Dalam konteks urbanisasi cepat dan pembangunan transportasi bawah tanah, pendekatan seperti ini penting untuk memastikan keamanan struktur, efisiensi biaya, dan kelestarian lingkungan bawah tanah.
Sumber : Zhu, C. (2021). Surface Settlement Analysis Induced by Shield Tunneling Construction in the Loess Region. Advances in Materials Science and Engineering, 2021, Article ID 5573372.
Pembuatan Terowongan dan Konstruksi Bawah Tanah
Dipublikasikan oleh Dewi Sulistiowati pada 07 Mei 2025
Deep learning (DL) kini menjadi bagian integral dari teknik sipil modern, khususnya dalam pembangunan terowongan di Tiongkok yang menghadapi tantangan geologi kompleks, risiko longsor, dan kebutuhan transportasi tinggi. Artikel yang ditulis oleh Chunsheng Su et al. dalam Applied Sciences (2024) menawarkan tinjauan komprehensif atas bagaimana kecerdasan buatan merevolusi cara perencanaan, pembangunan, dan pemeliharaan terowongan dilakukan di berbagai lingkungan: gunung, perkotaan, dan bawah laut.
Dominasi China dalam Infrastruktur Terowongan
Hingga akhir 2022, China telah mengoperasikan lebih dari 42.700 terowongan, termasuk 24.850 terowongan jalan raya dan 17.873 terowongan kereta api, dengan total panjang masing-masing 26.784 km dan 21.978 km. Angka ini menjadikan China sebagai pemimpin global dalam infrastruktur terowongan.
Namun, pertumbuhan ini dibarengi tantangan teknis besar: lingkungan geoteknik yang tidak pasti, gangguan seismik, air tanah, serta struktur batuan yang tidak seragam. Karena itu, teknologi prediktif berbasis data seperti deep learning sangat dibutuhkan.
Mengapa Deep Learning Penting dalam Teknik Terowongan?
Deep learning, subbidang dari machine learning (ML), bekerja secara hierarkis melalui jaringan saraf dalam (deep neural networks/DNN). DL dapat mengolah data tanpa harus melakukan ekstraksi fitur manual, membuatnya cocok untuk lingkungan tidak pasti seperti teknik terowongan.
Penggunaan DL mencakup:
Studi Kasus: Prediksi Rockburst di Terowongan Gunung
Rockburst merupakan bencana geologi yang sering terjadi di terowongan dengan kedalaman tinggi dan tekanan tanah besar. Model DA-DNN (Deep Neural Network) yang dikembangkan Tian et al. memanfaatkan parameter seperti tegangan tangensial maksimum dan indeks energi elastis untuk memprediksi intensitas rockburst, menghasilkan akurasi tinggi bahkan dalam data terbatas.
Sementara itu, metode monitoring mikro-seismik yang diproses melalui jaringan konvolusional mendalam digunakan Zhang untuk membangun sistem peringatan otomatis, memungkinkan klasifikasi sinyal real-time dan estimasi titik sumber getaran.
Kolaborasi Data Mining & Neural Network
Keterbatasan data di lapangan menjadi tantangan besar. Untuk mengatasinya, digunakan teknik data mining, seperti rough set theory oleh Zhang et al., yang dikombinasikan dengan RBF neural network. Hasilnya adalah prediksi non-linier yang sangat efektif terhadap risiko rockburst.
Identifikasi Keretakan dan Rembesan Air pada Terowongan Bawah Tanah Kota
Pada terowongan perkotaan seperti MRT, kerusakan struktural dapat menyebabkan masalah besar. Xue et al. mengembangkan model V-6 berbasis GoogLeNet untuk mendeteksi kerusakan seperti retakan, kebocoran, sambungan, dan pipa, dengan akurasi 95,24%. Selain itu, Mask R-CNN dan Fully Convolutional Network (FCN) berhasil memisahkan area kerusakan secara otomatis, mengurangi ketergantungan terhadap inspeksi manual.
Prediksi Penurunan Tanah Akibat Konstruksi Subway
Studi oleh Wen et al. menggunakan model NARX neural network untuk memprediksi penurunan tanah dengan memasukkan karakteristik lingkungan dan konstruksi. Hasilnya mendekati kondisi riil dengan error rendah. Mahmoodzadeh et al. membandingkan 300 data proyek di Iran dengan 8 algoritma seperti LSTM, GPR, dan DNN, dan menemukan LSTM menghasilkan akurasi hingga 98,96% dalam memprediksi penurunan tanah.
Tantangan Unik Terowongan Bawah Laut
Terowongan bawah laut seperti Xiamen Xiang’an dan Hong Kong-Zhuhai-Macao Bridge menghadapi risiko air laut yang tinggi. Untuk memprediksi stabilitas struktur dan potensi kerusakan akibat infiltrasi air laut, peneliti seperti Chen et al. melakukan simulasi fluid-solid coupling dan menggunakan algoritma Nelder–Mead dalam inversi parameter batuan.
ATSNL, sebuah model yang menggabungkan autoencoder dan RNN, berhasil memprediksi respons struktural terhadap beban air laut dan suhu, membantu memonitor integritas jangka panjang terowongan.
Kerusakan Akibat Erosi Air Laut
Sifat kimia air laut menyebabkan korosi serius pada struktur beton. Studi oleh Wang et al. memodelkan difusi ion klorida dan prediksi masa pakai struktur menggunakan model prediktif umur teknis, sangat relevan untuk subsea tunnel seperti Qingdao Jiaozhou Bay Tunnel.
Prediksi Risiko Rembesan Air Laut
Kombinasi metode numerik, GIS, dan deep learning digunakan oleh Li et al. untuk memodelkan interaksi antara tekanan air laut dan karakteristik batuan sekitar. Xiao menggabungkan genetic algorithm dan neural network untuk prediksi debit air masuk, meningkatkan presisi meski data masih terbatas.
Tantangan dan Prospek Masa Depan
Beberapa tantangan masih harus diatasi:
Opini dan Implikasi Industri
Kombinasi deep learning, data besar, dan teori fisika adalah arah masa depan teknik terowongan. Artikel ini menunjukkan bahwa sektor konstruksi di China tidak hanya berkembang secara kuantitatif, tetapi juga secara teknologis dan intelektual.
Model seperti DA-DNN, Mask R-CNN, dan ATSLN menandai transisi dari rekayasa konvensional menuju rekayasa prediktif cerdas. Bahkan, dalam era strategi rendah karbon, penerapan DL akan diperluas ke estimasi emisi karbon dari sistem mekanisasi konstruksi.
Kesimpulan
Artikel ini menekankan bahwa penerapan deep learning dalam teknik terowongan bukan hanya tren sementara, tapi kebutuhan mendesak dalam menghadapi kondisi geologi kompleks, kebutuhan efisiensi, dan keamanan struktural. Pendekatan yang menggabungkan simulasi numerik, algoritma optimasi, dan pembelajaran mendalam menjadikan teknik terowongan lebih tanggap, efisien, dan aman.
Sumber : Su, C., Hu, Q., Yang, Z., & Huo, R. (2024). A review of deep learning applications in tunneling and underground engineering in China. Applied Sciences, 14(1720).
Pembuatan Terowongan dan Konstruksi Bawah Tanah
Dipublikasikan oleh Dewi Sulistiowati pada 07 Mei 2025
Pengantar: Pentingnya Monitoring Otomatis di Era Konstruksi Modern
Konstruksi bawah tanah kini menjadi bagian vital dari pembangunan infrastruktur modern, mulai dari terowongan, subway, hingga fasilitas bawah tanah lainnya. Seiring meningkatnya kompleksitas proyek, keamanan dan keberlanjutan konstruksi menjadi prioritas utama. Di sinilah peran sistem monitoring otomatis menjadi sangat penting, menggantikan metode manual yang lambat, berisiko, dan kurang akurat. Artikel ini mengulas secara mendalam bagaimana sistem monitoring otomatis berkembang, teknologi yang digunakan, studi kasus nyata, serta tantangan dan prospeknya di masa depan, berdasarkan tinjauan komprehensif oleh Wang et al. (2020).
Evolusi Sistem Monitoring: Dari Manual ke Otomatis
Pada masa lalu, monitoring konstruksi bawah tanah didominasi oleh metode manual seperti pengukuran langsung di lapangan menggunakan alat leveling, penggaris baja, dan konvergensi meter. Namun, metode ini memiliki banyak keterbatasan:
Data lambat dan kurang real-time
Resiko tinggi bagi pekerja karena harus berada di lingkungan berbahaya
Rentan terhadap human error
Dengan kemajuan teknologi, sensor otomatis mulai menggantikan peran manusia. Tiga jenis sensor utama yang kini mendominasi adalah vibrating wire sensor, optical fiber sensor, dan MEMS sensor.
Teknologi Sensor: Keunggulan dan Studi Kasus
Vibrating Wire Sensor
Sensor ini mengubah perubahan tegangan menjadi frekuensi getaran pada kawat logam, lalu dikonversi ke sinyal listrik. Keunggulannya adalah daya tahan tinggi dan tahan terhadap interferensi lingkungan. Studi oleh Yang et al. (2020) pada Terowongan Bawah Air Sungai Yangtze di Wuhan menunjukkan bahwa 83,3% sensor tetap berfungsi baik setelah tiga tahun operasi. Di Singapura dan Malaysia, sensor ini bahkan bertahan hingga delapan tahun (Moyo, 2013).
Optical Fiber Sensor
Teknologi ini awalnya dikembangkan untuk telekomunikasi, namun kini menjadi primadona monitoring bawah tanah karena akurasi tinggi, tahan interferensi elektromagnetik, dan mampu monitoring jarak jauh. Sato et al. (2015) membuktikan bahwa Fiber Bragg Grating (FBG) memberikan hasil pengukuran regangan tanah lebih akurat dibanding metode konvensional. Di proyek MRT Singapura, teknologi BOTDR digunakan untuk monitoring regangan sepanjang terowongan dan hasilnya konsisten dengan alat tradisional.
MEMS Sensor
Microelectromechanical System (MEMS) menawarkan ukuran sangat kecil, ringan, dan multifungsi. Sensor ini banyak digunakan untuk monitoring deformasi, suhu, hingga percepatan. Dasenbrock (2017) menggabungkan MEMS dengan sistem geodetik otomatis untuk memantau deformasi tiga dimensi objek, termasuk deteksi dini longsor. SAA (Shape Acceleration Array), yang terdiri dari ratusan akselerometer MEMS, terbukti lebih efektif dibanding metode lama dalam monitoring tanah bergerak.
Sistem Data: Akuisisi, Transmisi, dan Analisis
Sistem monitoring modern terdiri dari empat pilar utama:
Akuisisi Data: Sensor dan kamera otomatis mengumpulkan data tekanan, regangan, perpindahan, dan parameter lain secara real-time.
Transmisi Data: Data dikirim melalui kabel, Bluetooth, Wi-Fi, atau jaringan sensor nirkabel (WSN). WSN sangat penting untuk area luas seperti tambang batubara.
Analisis Data: Data besar diolah menggunakan algoritma cerdas, mulai dari model statistik, machine learning, hingga neural network. Contohnya, Adoko et al. (2018) menggunakan ANN untuk memprediksi konvergensi diameter terowongan kereta cepat.
Peringatan Dini: Sistem memberikan peringatan otomatis jika parameter melebihi batas aman, sehingga mitigasi bisa dilakukan sebelum terjadi kegagalan.
Standar Keamanan dan Penentuan Titik Monitoring
Penentuan titik monitoring sangat krusial agar data yang diambil representatif terhadap kondisi lapangan. Standar teknis seperti Shanghai Foundation Pit Engineering Technical Standards dan Shenzhen Urban Rail Transit Underground Engineering Monitoring Standards mengatur batas-batas aman untuk pergeseran horizontal, vertikal, dan tekanan tanah. Namun, penelitian menunjukkan bahwa standar ini masih perlu dikembangkan agar lebih adaptif terhadap kondisi geoteknik dan hidrogeologi lokal.
Sebagai contoh, batas ambang penurunan tanah (subsidence) pada beberapa proyek ditetapkan maksimal 30 mm. Namun, untuk proyek dengan risiko tinggi, angka ini dianggap terlalu longgar. Oleh karena itu, pengembangan database indeks kontrol keamanan berbasis kondisi lokal menjadi prioritas riset ke depan.
Integrasi IoT, Big Data, dan AI
Internet of Things (IoT) kini menjadi tulang punggung monitoring otomatis. Sensor-sensor terhubung ke cloud, memungkinkan monitoring real-time dari jarak jauh. Sistem seperti yang dikembangkan Zhang et al. (2019) bahkan sudah mampu menampilkan data tiga dimensi dan memberikan kontrol otomatis terhadap sistem keamanan tambang.
Big Data dan AI digunakan untuk menganalisis pola data dalam jumlah besar, mendeteksi anomali, dan memprediksi kegagalan struktur. Namun, tantangan utama masih pada standarisasi protokol, keamanan data, dan pengembangan sensor hemat energi untuk lingkungan bawah tanah yang sulit dijangkau.
Studi Kasus: Monitoring Terowongan dan Tambang Batubara
Tambang Batubara: Bo et al. (2017) mengembangkan sistem monitoring berbasis WSN untuk deteksi dini runtuhnya atap tambang. Sistem ini mampu memberikan peringatan dini sehingga kecelakaan fatal dapat dihindari.
Proyek MRT Singapura: Monitoring regangan terowongan dengan BOTDR memberikan data presisi tinggi, membantu insinyur melakukan perbaikan sebelum terjadi kerusakan besar.
Terowongan Sungai Yangtze: Penggunaan vibrating wire sensor selama lebih dari tiga tahun membuktikan keandalan sistem monitoring otomatis untuk proyek besar dan kritis.
Tantangan dan Prospek Masa Depan
Tantangan utama yang dihadapi sistem monitoring otomatis antara lain:
Keterbatasan sensor hemat energi untuk operasi jangka panjang di bawah tanah
Keamanan data dan perlindungan jaringan dari serangan siber
Standarisasi protokol komunikasi antar perangkat dari berbagai produsen
Integrasi data multisumber agar hasil monitoring lebih komprehensif
Prospek masa depan sangat cerah, terutama dengan integrasi AI, machine learning, dan visualisasi data 3D. Sistem monitoring otomatis akan semakin cerdas, prediktif, dan adaptif terhadap perubahan lingkungan. Pengembangan platform peringatan dini visual berbasis cloud akan menjadi standar baru dalam industri konstruksi bawah tanah.
Opini dan Kritik
Artikel Wang et al. (2020) sangat komprehensif dalam mengulas perkembangan teknologi monitoring bawah tanah. Namun, penulis menilai masih kurangnya pembahasan tentang aspek ekonomi dan keberlanjutan sistem monitoring otomatis, terutama untuk proyek-proyek di negara berkembang. Selain itu, tantangan implementasi di lapangan, seperti keterbatasan SDM dan infrastruktur, perlu mendapat perhatian lebih.
Dibandingkan penelitian lain, artikel ini unggul dalam membahas integrasi berbagai sensor dan teknologi IoT, namun masih bisa diperkaya dengan studi kasus kegagalan sistem monitoring dan lessons learned-nya.
Kesimpulan
Sistem monitoring otomatis adalah masa depan konstruksi bawah tanah. Dengan memanfaatkan sensor canggih, IoT, dan AI, keamanan dan efisiensi proyek dapat ditingkatkan secara signifikan. Studi kasus nyata membuktikan keandalan teknologi ini, meski tantangan teknis dan non-teknis masih harus diatasi. Kolaborasi lintas disiplin dan pengembangan standar global akan menjadi kunci sukses implementasi sistem monitoring otomatis di seluruh dunia.
Sumber Artikel : Wang, L., Xu, S., Qiu, J., Wang, K., Ma, E., Li, C., & Guo, C. (2020). Automatic Monitoring System in Underground Engineering Construction: Review and Prospect. Advances in Civil Engineering, 2020, Article ID 3697253, 16 pages.
Pembuatan Terowongan dan Konstruksi Bawah Tanah
Dipublikasikan oleh Dewi Sulistiowati pada 07 Mei 2025
Pendahuluan
Pembangunan terowongan di daerah pegunungan rentan terhadap risiko longsor, terutama saat terowongan harus melintasi zona geser (sliding surface) yang aktif. Kondisi ini semakin kompleks ketika terjadi gempa, yang dapat memicu deformasi kumulatif dan kerusakan permanen pada struktur terowongan. Paper karya Pai, Wu, dan Wang (2023) mengeksplorasi dampak gempa terhadap deformasi kumulatif terowongan yang melintasi zona geser melalui uji shaking table dan analisis numerik, sekaligus memperkenalkan indikator baru untuk menilai tingkat kerusakan dan ketahanan struktur.
Tantangan Utama: Terowongan di Zona Landslide
Terowongan di daerah pegunungan sering kali harus melintasi zona yang berpotensi longsor akibat aktivitas tektonik atau erosi. Meskipun survei geoteknik telah dilakukan, beberapa zona geser sulit dideteksi pada tahap awal, sehingga terowongan tetap dibangun di area yang berisiko tinggi. Gempa bumi, sebagai salah satu bencana alam paling merusak, dapat mengaktifkan kembali zona longsor yang sebelumnya stabil, bahkan menyebabkan keruntuhan terowongan. Fenomena ini telah banyak terjadi di berbagai negara, seperti pada gempa Kanto (1923, Jepang), Chi-Chi (1999, Taiwan), dan Wenchuan (2008, China), yang menyebabkan kerusakan besar pada ratusan terowongan.
Metode Penelitian: Shaking Table Test & Analisis Numerik
Penelitian ini menggunakan shaking table test untuk mensimulasikan respons dinamis terowongan yang melintasi zona geser akibat gempa. Data percepatan dan regangan dinamis diukur untuk menganalisis perilaku struktur dalam domain waktu dan frekuensi. Selain itu, peneliti juga melakukan simulasi numerik untuk memperkuat hasil eksperimen dan mengembangkan indikator baru dalam menilai kerusakan struktur.
Indikator Baru: MIa, PEC, dan SCFE
Penelitian ini memperkenalkan beberapa indikator baru, yaitu:
Magnification of Arias Intensity (MIa): Digunakan untuk menilai tingkat deformasi lokal dan global pada lining terowongan berdasarkan karakteristik frekuensi dan energi gempa.
Plastic Effect Coefficient (PEC): Menjelaskan tingkat deformasi plastis yang terjadi pada lining akibat beban gempa, dengan makna fisik yang lebih jelas dibandingkan residual strain.
Seismic Cumulative Failure Effect (SCFE): Digunakan untuk mendefinisikan tahapan kerusakan kumulatif akibat gempa, mulai dari tahap elastis (<0.15g), elastis-plastis (0.15g–0.30g), hingga plastis (0.30g–0.40g).
Studi Kasus & Angka Nyata
Penelitian ini mengungkap beberapa temuan penting berdasarkan data eksperimen dan simulasi:
Komponen Frekuensi Gempa: Komponen frekuensi rendah (≤10 Hz) menyebabkan deformasi global pada terowongan, sedangkan komponen frekuensi tinggi (>10 Hz) menyebabkan deformasi lokal yang signifikan pada lining.
Tahapan Kerusakan Kumulatif: Pada intensitas gempa rendah (<0.15g), deformasi masih bersifat elastis dan struktur dapat kembali ke bentuk semula. Pada intensitas 0.15g–0.30g, deformasi mulai bersifat elastis-plastis, dan pada intensitas 0.30g–0.40g, deformasi sudah bersifat plastis dan berpotensi menyebabkan kerusakan permanen.
Kerusakan Lining: Data historis menunjukkan bahwa gempa besar seperti Kanto (1923) menyebabkan kerusakan pada 149 terowongan kereta api, 62% di antaranya memerlukan perbaikan besar. Gempa Wenchuan (2008) merusak 110 terowongan di China, dengan kerusakan berupa retak, runtuh, dan heave pada lining.
Analisis Frekuensi & Energi
Analisis domain frekuensi menunjukkan bahwa komponen frekuensi tinggi (>10 Hz) sangat berpengaruh terhadap kerusakan lokal pada lining. Hal ini disebabkan oleh energi yang terakumulasi pada frekuensi tinggi, yang dapat menyebabkan retak dan keruntuhan pada titik-titik tertentu. Sementara itu, komponen frekuensi rendah menyebabkan deformasi global yang dapat mengubah geometri terowongan secara keseluruhan.
Aplikasi Industri & Tren Terkini
Dalam industri konstruksi terowongan, penggunaan shaking table test dan simulasi numerik semakin menjadi standar untuk menilai ketahanan struktur terhadap gempa. Selain itu, pengembangan indikator baru seperti MIa, PEC, dan SCFE memberikan alat yang lebih akurat untuk merancang struktur terowongan yang lebih tahan gempa, terutama di zona landslide.
Opini & Kritik
Penelitian ini memberikan kontribusi signifikan dalam memahami mekanisme deformasi kumulatif terowongan akibat gempa, terutama di zona geser. Namun, beberapa tantangan masih perlu diatasi, antara lain:
Keterbatasan Data Historis: Data kerusakan terowongan akibat gempa masih terbatas, terutama untuk kasus dengan intensitas sangat tinggi (>0.40g).
Kompleksitas Interaksi Tanah-Struktur: Interaksi antara tanah, zona geser, dan struktur terowongan masih sangat kompleks dan memerlukan penelitian lebih lanjut.
Integrasi Teknologi Digital: Penggunaan AI, IoT, dan sensor real-time dapat meningkatkan akurasi monitoring dan prediksi kerusakan struktur di masa depan.
Kesimpulan
Deformasi kumulatif terowongan akibat gempa di zona landslide merupakan tantangan besar dalam rekayasa geoteknik. Penggunaan shaking table test, analisis numerik, dan indikator baru seperti MIa, PEC, dan SCFE dapat meningkatkan ketahanan dan keamanan struktur terowongan. Penelitian ini juga menyoroti pentingnya monitoring dan desain yang adaptif, terutama di daerah rawan gempa dan longsor.
Sumber : Pai, L., Wu, H., & Wang, X. (2023). Shaking table test and cumulative deformation evaluation analysis of a tunnel across the hauling sliding surface. Deep Underground Science and Engineering, 2, 371–393. DOI: 10.1002/dug2.12046
Pembuatan Terowongan dan Konstruksi Bawah Tanah
Dipublikasikan oleh Dewi Sulistiowati pada 07 Mei 2025
Pendahuluan
Tunneling di wilayah perkotaan dengan tanah lunak seperti lempung atau pasir rentan menyebabkan penurunan permukaan (subsidence) dan keruntuhan tanah. Paper ini mengeksplorasi pengaruh tekanan wajah (face pressure) dan grouting pressure terhadap stabilitas terowongan menggunakan simulasi numerik PLAXIS-3D. Studi ini memberikan wawasan kritis untuk insinyur geoteknik dalam mengoptimalkan desain terowongan.
Metodologi & Studi Kasus
Penelitian ini memodelkan terowongan dengan diameter 9 meter pada kedalaman 12 meter di bawah permukaan tanah. Profil tanah terdiri dari lempung atas (upper clay), lempung bawah (lower clay), dan pasir kaku (stiff sand). Parameter utama yang dianalisis:
- Tekanan wajah (60–410 kPa).
- Tekanan grouting (70–120 kPa).
- Overload factor (N) yang menghubungkan tekanan dukungan dengan kekuatan geser tanah.
Hasil Simulasi:
1. Tekanan Wajah Rendah (N=3, 60 kPa):
- Penurunan tanah mencapai 5.930 mm.
- Pergeseran horizontal 10.975 mm ke dalam terowongan → risiko keruntuhan.
2. Tekanan Optimal (N=1, 200 kPa):
- Penurunan hanya 642 mm dengan heave 5.774 mm.
- Keseimbangan tercapai saat tekanan mendekati tekanan tanah lateral.
3. Tekanan Berlebihan (N=-2, 410 kPa):
- Heave ekstrem (43.442 mm) → deformasi tanah tidak terkendali.
Pengaruh Grouting Pressure
Grouting di celah antara lining terowongan dan TBM mengurangi penurunan tanah. Hasil simulasi menunjukkan:
- Grout 70 kPa: Penurunan 2.939 mm + heave 5.547 mm.
- Grout 110 kPa (optimal): Heave terkontrol 6.006 mm, tanpa penurunan.
- Grout 120 kPa: Heave meningkat 6.750 mm → tekanan berlebih.
Kesimpulan: Kombinasi tekanan wajah 200 kPa dan grout 110 kPa menghasilkan stabilitas maksimal.
Implikasi Praktis
1. Desain EPB Shield: Tekanan wajah harus dihitung berdasarkan kekuatan geser tanah dan kedalaman terowongan.
2. Pemantauan Real-Time: Sensor tekanan wajah dan grouting diperlukan untuk menghindari ground loss.
3. Studi Kasus Nyata: Proyek seperti MRT Jakarta atau Tokyo Metro bisa mengadopsi temuan ini untuk tanah lunak.
Kritik & Rekomendasi
- Keterbatasan Model: PLAXIS-3D mengabaikan efek dinamis seperti getaran konstruksi.
- Saran Penelitian Lanjutan: Integrasi data lapangan (monitoring IoT) untuk validasi model.
Sumber : Maji, V.B., & Adugna, A. (2016). Numerical modelling of tunnelling induced ground deformation and its control. International Journal of Mining and Geo-Engineering, 50(2), 183–188.
Pembuatan Terowongan dan Konstruksi Bawah Tanah
Dipublikasikan oleh Dewi Sulistiowati pada 07 Mei 2025
Latar Belakang
Proyek terowongan sering menghadapi tantangan overrun biaya dan waktu, dengan 9 dari 10 proyek infrastruktur transportasi mengalami overrun biaya (Flyvbjerg et al., 2003). Penyebab utamanya meliputi ketidakpastian geologi, variabilitas kinerja konstruksi, dan peristiwa disruptif. Tesis doktoral Mohammad Mohammadi (2024) dari KTH Royal Institute of Technology memperkenalkan pembaruan pada Model KTH untuk mengatasi masalah ini melalui pendekatan probabilistik.
Studi Kasus: Proyek Terowongan Uri, India
Estimasi Waktu Lebih Akurat: Model KTH yang diperbarui digunakan untuk menghitung waktu konstruksi terowongan Uri di India, dengan mempertimbangkan:
Ketidakpastian geologi melalui distribusi Poisson untuk zona geoteknik.
Variabilitas kinerja konstruksi (misalnya, pengeboran dan peledakan) yang dibagi menjadi 3 komponen: variabilitas tipikal, penundaan kecil mesin, dan penundaan kinerja kru.
Peristiwa disruptif seperti kegagalan mesin atau kesalahan manusia yang dimodelkan sebagai variabel stokastik.
Hasil: Model ini menghasilkan distribusi probabilitas waktu konstruksi, bukan estimasi tunggal, sehingga memungkinkan manajemen risiko yang lebih dinamis.
Inovasi Model KTH
Pemodelan Geologi dengan Metropolis-Hastings (MH) Algorithm:
Memungkinkan simulasi round-by-round untuk proyek dengan multi-heading.
Contoh: Pada terowongan Uri, model ini mengungkap bahwa rata-rata waktu konstruksi 16.118 jam dengan standar deviasi 354 jam ketika critical path tidak pasti, lebih rendah dibandingkan estimasi tradisional (17.256 jam, deviasi 518 jam).
Work Breakdown Structure (WBS):
Membagi aktivitas konstruksi menjadi unit-unit kecil (e.g., pra-pengeboran, peledakan, lining beton) untuk estimasi lebih rinci.
Keuntungan: Subjektivitas ahli berkurang karena fokus pada unit aktivitas spesifik.
PERT Distribution untuk Aktivitas Unit:
Menggantikan distribusi segitiga yang umum digunakan, menghasilkan estimasi lebih realistis dengan mempertimbangkan skewness data.
Analisis Komparatif
vs. Model DAT (Decision Aids for Tunneling):
Model KTH tidak memerlukan profil ground class yang rinci, cukup proporsi zona geoteknik terhadap panjang terowongan.
Lebih fleksibel untuk proyek dengan data geologi terbatas.
vs. Model Spačková:
Model KTH menggunakan produksi effort (Q) sebagai dasar perhitungan, bukan laju advance, sehingga bisa memetakan dampak aktivitas individu terhadap waktu total.
Implikasi untuk Industri
Kontraktor: Dapat mengoptimalkan sumber daya dengan memahami komponen variabilitas kinerja.
Klien: Memiliki dasar lebih kuat untuk alokasi risiko dalam kontrak, terutama terkait kondisi geologi yang tidak terduga.
Regulator: Model ini mendorong adopsi pendekatan probabilistik dalam perencanaan proyek infrastruktur.
Kritik dan Tantangan
Keterbatasan Data: Model bergantung pada subjektivitas ahli untuk input distribusi.
Kompleksitas: Penerapan algoritma MCMC dan MH memerlukan kompetensi teknis tinggi.
Validasi: Sulit dilakukan karena sifat rahasia data proyek.
Kesimpulan
Pembaruan Model KTH oleh Mohammadi menawarkan solusi revolusioner untuk manajemen risiko proyek terowongan. Dengan menggabungkan ketidakpastian geologi, kinerja konstruksi, dan peristiwa disruptif, model ini tidak hanya meningkatkan akurasi estimasi tetapi juga mengurangi bias optimisme dalam perencanaan.
Sumber : Mohammadi, M., Spross, J., & Stille, H. (2024). Risk Management in Tunneling Projects: Estimation and Planning. KTH Royal Institute of Technology.