Partisipasi Masyarakat
Dipublikasikan oleh Izura Ramadhani Fauziyah pada 10 Mei 2025
Partisipasi masyarakat dalam pembentukan undang-undang merupakan aspek penting dalam demokrasi modern. Dalam jurnal Partisipasi Masyarakat dalam Pembentukan Undang-Undang (Studi Perbandingan Indonesia dengan Afrika Selatan) karya Siti Hidayati, dikaji bagaimana tingkat keterlibatan masyarakat dalam proses legislasi di Indonesia dibandingkan dengan Afrika Selatan.
Jurnal ini menggunakan pendekatan yuridis normatif dan metode perbandingan untuk mengevaluasi perbedaan dan persamaan antara kedua negara dalam melibatkan masyarakat dalam pembentukan undang-undang. Studi ini menyoroti bagaimana partisipasi masyarakat di Afrika Selatan lebih terstruktur dibandingkan di Indonesia, serta bagaimana pembelajaran dari sistem Afrika Selatan dapat diadaptasi untuk meningkatkan keterlibatan masyarakat dalam proses legislasi di Indonesia.
Dalam sistem demokrasi, keterlibatan masyarakat dalam pembentukan peraturan perundang-undangan dianggap sebagai mekanisme utama untuk memastikan bahwa undang-undang mencerminkan aspirasi rakyat. Namun, di Indonesia, mekanisme partisipasi masyarakat masih bersifat formalitas dan belum memiliki standar yang baku.
Sebagai perbandingan, Afrika Selatan telah mengatur partisipasi publik dalam proses pembentukan undang-undang secara lebih sistematis melalui Konstitusi 1996 dan Public Participation Framework, yang mewajibkan keterlibatan masyarakat dalam berbagai tahapan legislasi.
Penelitian ini dilakukan dengan metode yuridis normatif, menggunakan data sekunder berupa peraturan perundang-undangan, literatur akademik, serta hasil-hasil penelitian terkait. Pendekatan perbandingan hukum digunakan untuk mengevaluasi kesamaan dan perbedaan dalam partisipasi publik di Indonesia dan Afrika Selatan.
Partisipasi Masyarakat dalam Pembentukan Undang-Undang di Indonesia
Di Indonesia, partisipasi masyarakat dalam pembentukan undang-undang diatur dalam:
Bentuk partisipasi yang diakui meliputi:
Namun, pelaksanaan partisipasi ini masih memiliki berbagai kendala, antara lain:
Partisipasi Masyarakat dalam Pembentukan Undang-Undang di Afrika Selatan
Di Afrika Selatan, partisipasi masyarakat dalam pembentukan undang-undang adalah kewajiban konstitusional yang diatur dalam:
Bentuk-bentuk partisipasi yang diimplementasikan meliputi:
Hasil penelitian menunjukkan bahwa Afrika Selatan memiliki sistem partisipasi yang lebih maju dibandingkan Indonesia karena:
Studi Kasus: Implementasi Partisipasi Masyarakat dalam Legislasi
1. Studi Kasus di Indonesia
Dalam penyusunan Undang-Undang Ketenagakerjaan, partisipasi masyarakat masih terbatas.
2. Studi Kasus di Afrika Selatan
Dalam penyusunan undang-undang, Afrika Selatan melibatkan berbagai mekanisme partisipasi masyarakat:
Perbandingan Indonesia dan Afrika Selatan
AspekIndonesiaAfrika SelatanDasar HukumUU No. 12 Tahun 2011, Peraturan DPR No. 1 Tahun 2014Konstitusi 1996, 9th Edition Rules of National AssemblyKewajiban PartisipasiOpsional, tidak wajibWajib dalam proses legislasiBentuk PartisipasiRDPU, kunjungan kerja, seminarPublic hearings, petitions, outreach programsAkses InformasiTerbatas, tidak semua dokumen tersedia untuk publikTerbuka, dokumen legislasi mudah diaksesPengaruh PartisipasiMasih sering bersifat formalitas Masukan masyarakat sering diakomodasi
Relevansi dan Implikasi
1. Pelajaran dari Afrika Selatan
Indonesia dapat meningkatkan partisipasi masyarakat dalam legislasi dengan:
2. Dampak bagi Demokrasi
Jurnal Partisipasi Masyarakat dalam Pembentukan Undang-Undang (Studi Perbandingan Indonesia dengan Afrika Selatan) memberikan wawasan penting tentang pentingnya keterlibatan masyarakat dalam proses legislasi.
Poin utama yang dapat disimpulkan:
Sumber: Siti Hidayati. Partisipasi Masyarakat dalam Pembentukan Undang-Undang (Studi Perbandingan Indonesia dengan Afrika Selatan). Jurnal Bina Mulia Hukum, Volume 3, Nomor 2, Maret 2019.
Partisipasi Masyarakat
Dipublikasikan oleh Anisa pada 08 Mei 2025
Pendahuluan:
Di Balik Ambisi Infrastruktur Indonesia
Indonesia tengah berpacu dengan waktu untuk membangun infrastruktur sebagai fondasi pertumbuhan ekonomi. Salah satu proyek unggulan adalah Kereta Cepat Jakarta-Bandung (KCJB), kereta berkecepatan tinggi pertama di Asia Tenggara. Proyek ini menjadi simbol kemajuan, tetapi di balik lajunya yang menjanjikan, tersimpan persoalan pelik: mulai dari konflik lahan, pembengkakan anggaran, hingga konsultasi publik yang kurang bermakna.
Paper yang ditulis oleh Androvaga Renandra Tetama dan timnya dalam Jurnal Widya Bhumi mengupas persoalan tersebut secara mendalam. Fokus utamanya adalah pentingnya proses konsultasi publik dan partisipasi masyarakat dalam pengadaan tanah, yang selama ini seringkali hanya formalitas.
Antara Target dan Realita Pembangunan
Data per akhir 2022 menunjukkan:
Pengadaan tanah telah selesai 100% mencakup 7,6 juta m² sepanjang 142,3 km.
Pembangunan fisik proyek mencapai 88,8%.
Pembiayaan membengkak dari Rp 2 triliun menjadi Rp 113,9 triliun.
KCJB dirancang untuk menghubungkan empat stasiun utama: Halim, Karawang, Padalarang, dan Tegalluar. Meski demikian, berbagai kendala seperti pembebasan lahan, persoalan pembiayaan, dan perubahan skema kerja sama membuat proyek ini berjalan jauh lebih lambat dari rencana semula.
Akar Masalah: Pengadaan Tanah yang Tidak Partisipatif
Dari skema B2B ke campur tangan negara
Awalnya proyek dibiayai lewat skema business-to-business antara konsorsium BUMN Indonesia dan China. Namun, karena pembengkakan biaya dan konflik agraria, pemerintah Indonesia akhirnya ikut campur lewat Penyertaan Modal Negara (PMN).
Permasalahan teknis dan sosial
Masalah utama dalam pengadaan tanah adalah:
Ketidakpastian hukum kepemilikan tanah meski bersertifikat.
Penolakan warga atas nilai ganti rugi.
Perubahan trase yang tidak dikomunikasikan dengan baik.
Konsultasi publik yang hanya formalitas.
Padahal, UU No. 2 Tahun 2012 menegaskan bahwa setiap pengadaan tanah harus melalui tahapan: perencanaan, persiapan, pelaksanaan, dan penyerahan hasil—dengan melibatkan masyarakat secara aktif.
Studi Kasus: Ketimpangan Ganti Rugi dan Ketegangan Sosial
Salah satu konflik mencuat di wilayah Walini dan Tegalluar. Warga menolak nilai ganti rugi yang dianggap terlalu rendah dibanding harga pasar. Terdapat pula laporan intimidasi kepada warga yang tidak mau melepas tanahnya.
Data dari PT KCIC menunjukkan bahwa 75% dana proyek berasal dari pinjaman China Development Bank (CDB), dengan bunga 2% untuk USD dan 3,4% untuk yuan. Ketergantungan pada pinjaman luar negeri, ditambah ketidakterbukaan soal nilai lahan, memicu ketegangan sosial dan memperlambat proyek.
Mengapa Konsultasi Publik Itu Esensial
Paper ini menekankan bahwa proyek strategis nasional seperti KCJB memerlukan pelibatan warga, bukan sekadar pemberitahuan sepihak. Berdasarkan Putusan Mahkamah Konstitusi No. 91/PUU-XVIII/2020, terdapat tiga pilar penting:
Hak masyarakat untuk menyampaikan pendapat.
Hak agar pendapat tersebut dipertimbangkan.
Hak untuk mendapatkan penjelasan atas pendapatnya.
Sayangnya, konsultasi publik dalam proyek ini sering kali hanya bersifat simbolik dan tidak berdampak pada keputusan.
Belajar dari Praktik Internasional
Asian Development Bank (ADB) menetapkan standar partisipasi publik bermakna yang mencakup:
Konsultasi sejak awal hingga akhir proyek.
Penyediaan informasi yang mudah dipahami dan inklusif
Proses bebas intimidasi dan menjangkau kelompok rentan.
Pengaruh nyata terhadap pengambilan keputusan.
Standar ini masih jauh dari implementasi dalam proyek KCJB. Jika diterapkan, kemungkinan besar banyak konflik bisa dicegah sejak dini.
Dampak Sosial dan Peluang yang Terlewatkan
Meskipun bertujuan meningkatkan konektivitas dan menurunkan biaya logistik, manfaat langsung proyek belum banyak dirasakan masyarakat sekitar. Beberapa temuan penting:
Sebagian besar pekerja proyek adalah tenaga asing, bukan warga lokal.
UMKM lokal belum banyak dilibatkan.
Warga kehilangan lahan tanpa mendapat kompensasi yang layak.
Proyek ini justru bisa menjadi peluang besar jika masyarakat dilibatkan secara menyeluruh, misalnya dalam pelatihan kerja, penyediaan material lokal, dan pengawasan proyek secara partisipatif.
Kritik terhadap Penelitian dan Usulan Perbaikan
Penelitian ini unggul karena memberikan narasi lengkap dari pra-perencanaan hingga pasca-konstruksi. Namun, akan lebih kuat jika penulis menambahkan:
Wawancara langsung dengan warga terdampak.
Perbandingan internasional dengan proyek serupa (misalnya kereta cepat Mumbai-Ahmedabad di India).
Kajian tentang dampak terhadap perempuan dan kelompok rentan dalam pengadaan tanah.
Dengan pendekatan ini, kajian bisa menjadi rujukan utama dalam penyusunan kebijakan agraria dan infrastruktur.
Kesimpulan: Pembangunan Inklusif adalah Kunci
Pembangunan infrastruktur tak hanya soal fisik, tetapi juga soal etika, keadilan, dan partisipasi. KCJB adalah pelajaran penting bahwa megastruktur tanpa partisipasi publik dapat menimbulkan konflik berkepanjangan dan inefisiensi anggaran.
Untuk proyek-proyek strategis ke depan, partisipasi publik bermakna harus menjadi fondasi, bukan hanya formalitas. Pemerintah dan investor harus mengubah cara pandang: dari sekadar mengejar target pembangunan, menjadi membangun bersama rakyat.
Sumber
Paper asli:
“Pembangunan Kereta Cepat Jakarta-Bandung: Memaknai Konsultasi Publik dan Partisipasi Masyarakat dalam Pengadaan Tanah”
Penulis: Androvaga Renandra Tetama, Suharno, Yaritza Nafa Tyola
Jurnal Widya Bhumi, Vol. 2 No. 2, 2022
DOI: https://doi.org/10.31292/wb.v2i2.25