Operation Engineering and Management

Penelitian Ini Mengungkap Rahasia di Balik Kesenjangan Keterampilan Lulusan Teknik – dan Ini yang Harus Anda Ketahui!

Dipublikasikan oleh Hansel pada 26 September 2025


Kurikulum teknik sering dipuji karena menghasilkan lulusan dengan pengetahuan teknis yang mumpuni. Namun, industri berulang kali menyuarakan keluhan bahwa lulusan masih kurang dalam keterampilan lunak seperti komunikasi, kerja tim, dan kepemimpinan. Sebuah studi terobosan yang dipublikasikan di European Journal of Engineering Education mengungkap alasan di balik kesenjangan ini: bukan soal kurangnya upaya, melainkan masalah komunikasi dan instrumen penilaian yang tidak memadai. Artikel ini membedah temuan utama penelitian tersebut, implikasinya bagi pendidikan teknik, dan bagaimana solusi baru bisa menjembatani universitas dan industri.

 

Ketika Kurikulum Bertemu Realitas Industri

Dalam dekade terakhir, sebuah keluhan yang tak kunjung usai sering terdengar di ruang-ruang rapat perusahaan teknologi dan manufaktur: lulusan teknik, meskipun unggul dalam pengetahuan teknis, kerap dianggap kurang memiliki kompetensi "lunak" yang krusial untuk kesuksesan di dunia kerja. Keterampilan seperti komunikasi, kerja sama tim, dan kemampuan beradaptasi ini, yang secara kolektif disebut sebagai kompetensi transversal (TCs), menciptakan sebuah "kesenjangan keterampilan" yang nyata, menghambat produktivitas dan inovasi di industri.

Isu ini bukan sekadar keluhan tanpa dasar. Studi dari berbagai negara, mulai dari Inggris, Amerika Serikat, hingga Australia, telah berulang kali mendokumentasikan adanya ketidakcocokan antara kompetensi yang diperoleh mahasiswa di bangku kuliah dengan kebutuhan pasar kerja. Meskipun berbagai upaya telah dilakukan oleh universitas di seluruh dunia untuk menyelaraskan kurikulum mereka, masalah ini tampaknya terus bertahan. Hal ini memunculkan pertanyaan kritis: mengapa kesenjangan ini begitu sulit diatasi? Apakah ada sesuatu yang hilang dari persamaan antara pendidikan dan industri?

Sebuah studi terobosan yang diterbitkan dalam European Journal of Engineering Education oleh Mariana Leandro Cruz dan Gillian N. Saunders-Smits menawarkan sebuah jawaban yang berpotensi transformatif.1 Alih-alih hanya mengeluh, para peneliti ini mengambil pendekatan radikal: mereka menggunakan instrumen penilaian kompetensi yang sudah dipakai oleh industri, dan mengujinya di lingkungan akademis. Ini bukan sekadar penelitian teoretis; ini adalah upaya untuk menciptakan jembatan yang kokoh antara dua dunia yang seringkali terpisah. Laporan ini tidak akan sekadar memaparkan data, melainkan akan mengungkap kisah-kisah penting di baliknya: apa yang paling mengejutkan para peneliti, siapa saja yang paling terdampak oleh temuan ini, dan mengapa solusi yang mereka tawarkan begitu relevan di era kita saat ini.1

 

Mengapa Kompetensi Lintas Bidang Begitu Penting Hari Ini?

Untuk memahami relevansi penelitian ini, kita harus melihat lanskap industri rekayasa yang telah berubah secara fundamental. Puluhan tahun yang lalu, fokus utama seorang insinyur mungkin adalah mendesain komponen tunggal atau memecahkan masalah teknis yang spesifik. Namun, seiring berjalannya waktu, industri bergeser ke arah "solusi pelanggan" yang lebih kompleks. Teknologi menjadi semakin terintegrasi, mobilitas global profesi meningkat, dan tuntutan akan kreativitas dan inovasi menjadi keharusan.1

Di tengah dinamika ini, pengetahuan teknis saja tidak lagi cukup. Seorang insinyur modern juga harus mampu bekerja dalam tim multidisiplin, berkomunikasi secara efektif dengan berbagai pemangku kepentingan, memahami konteks bisnis yang lebih luas, dan belajar hal baru sepanjang karier mereka. TCs inilah yang memungkinkan seorang lulusan untuk tidak hanya berfungsi, tetapi juga berkembang dan beradaptasi dalam ekonomi berbasis pengetahuan yang terus bergerak cepat.1

Meskipun urgensi TCs sudah disadari oleh semua pihak, pertanyaan mendalam tetap ada: mengapa kesenjangan keterampilan terus dilaporkan? Salah satu alasan yang dikemukakan dalam penelitian ini adalah ketidakjelasan dan subjektivitas dalam mendefinisikan TCs itu sendiri. Banyak studi sebelumnya gagal memberikan definisi yang jelas untuk kompetensi seperti "komunikasi" atau "kepemimpinan." Akibatnya, setiap orang—baik dari industri maupun akademisi—memiliki interpretasi yang berbeda. Ini menciptakan sebuah "masalah bahasa" yang mendasar, di mana dua pihak berbicara tentang hal yang sama tetapi dengan pemahaman yang berbeda. Instrumen yang dikembangkan oleh para peneliti ini berupaya menyelesaikan masalah ini dengan memberikan definisi yang rinci dan terstratifikasi untuk setiap sub-kompetensi, mengubahnya dari konsep abstrak menjadi sesuatu yang dapat diukur dan didiskusikan secara objektif.1

 

Dari Jurnal Teknis ke Alat Praktis: Sebuah Instrumen untuk Mengukur Bakat Tersembunyi

Inti dari studi ini adalah sebuah instrumen penilaian kompetensi yang diadaptasi dari model yang digunakan oleh Siemens, sebuah perusahaan teknik global.1 Instrumen ini tidak seperti kuesioner pada umumnya yang hanya menggunakan skala 1-5. Sebaliknya, ia membedah TCs menjadi 36 sub-kompetensi yang lebih rinci dan memberikan definisi serta tingkat penguasaan deskriptif untuk masing-masingnya.

Sebagai contoh, alih-alih hanya menanyakan seberapa "kritis" seseorang, instrumen ini membedah "pemikiran kritis" menjadi level-level yang dapat diamati: mulai dari "level dasar" hingga "level ahli".1 Ini seperti membedakan kemampuan seorang musisi dari hanya "bisa bermain gitar" menjadi "mampu membaca not balok, mengimprovisasi melodi, dan memimpin sebuah ansambel." Pendekatan ini mengubah pengukuran TCs dari penilaian subjektif menjadi penilaian yang lebih objektif dan nuansanya lebih kaya. Instrumen ini membagi TCs ke dalam lima domain besar: kewirausahaan, inovasi, kerja tim, komunikasi, dan pembelajaran seumur hidup, sehingga mencakup semua aspek yang relevan untuk karier seorang insinyur modern.

 

Pandangan Tiga Pihak: Sebuah Cerita di Balik Data

Kisah 1: Persepsi Industri - Lonjakan Harapan untuk Lulusan S2

Untuk mengukur ekspektasi, para peneliti menyurvei perwakilan industri di Eropa.1 Temuan mereka mengonfirmasi apa yang telah lama dihipotesiskan: industri mengharapkan lulusan S2 memiliki tingkat penguasaan yang jauh lebih tinggi dibandingkan lulusan S1 di hampir semua aspek kompetensi transversal.1 Temuan ini memiliki efek yang signifikan, seolah-olah industri melihat lulusan S2 sebagai individu yang tidak hanya memahami teori, tetapi juga siap untuk menghadapi kompleksitas di dunia kerja. Hasil uji statistik menunjukkan perbedaan yang signifikan antara ekspektasi untuk lulusan S1 dan S2, dengan tingkat efek yang besar, mengindikasikan bahwa temuan ini sangatlah penting dan tidak bisa diabaikan.1

Menariknya, meskipun harapan untuk lulusan S2 lebih tinggi, ada tujuh kompetensi yang secara konsisten masuk dalam 10 besar untuk kedua jenjang. Ini termasuk "kesadaran akan kekuatan dan kelemahan diri," "kemampuan mendengarkan," "kemampuan menulis," dan "manajemen waktu." Ini menunjukkan bahwa ada fondasi keterampilan yang diharapkan industri dari setiap insinyur, tanpa memandang tingkat pendidikan mereka.

Namun, yang paling mengejutkan adalah pergeseran fokus di tingkat S2. Kompetensi seperti "memecahkan masalah" dan "pemikiran kritis" melompat ke posisi teratas dalam daftar kompetensi yang diharapkan memiliki penguasaan tinggi.1 Pergeseran ini menunjukkan bahwa industri mengharapkan lulusan S2 lebih dari sekadar eksekutor teknis; mereka diharapkan untuk menjadi pemikir strategis yang mampu menganalisis situasi kompleks dan merumuskan solusi inovatif.

Kontradiksi yang Mengungkap Sebuah Tujuan Tersembunyi

Analisis yang lebih dalam terhadap data kuantitatif dari industri menemukan sebuah kontradiksi yang sangat mendalam. Para peneliti membandingkan daftar 10 kompetensi yang dianggap "paling penting" oleh industri dengan 10 kompetensi yang diharapkan memiliki "tingkat penguasaan tertinggi" saat lulus.1 Secara mengejutkan, kedua daftar ini sangat berbeda secara substansial.

Hanya tiga kompetensi—"memecahkan masalah," "pencarian pembelajaran aktif," dan "kesadaran akan kekuatan dan kelemahan diri"—yang masuk ke dalam kedua daftar tersebut.1 Kompetensi lain yang dianggap "paling penting" seperti "manajemen proyek," "kewirausahaan," dan "kepemimpinan" tidak berada dalam daftar kompetensi yang diharapkan memiliki tingkat penguasaan tertinggi. Hal ini menunjukkan bahwa industri membedakan antara:

  • Keterampilan Fondasi: Keterampilan dasar yang harus dikuasai saat lulus (misalnya, menulis, mendengarkan, manajemen waktu). Kompetensi ini diharapkan sudah berada di tingkat mahir saat lulus dan merupakan prasyarat untuk bekerja.
  • Kompetensi Strategis: Kompetensi yang sangat penting untuk karier jangka panjang, tetapi tidak diharapkan untuk dikuasai secara ahli saat lulus (misalnya, kepemimpinan, negosiasi).

Ini adalah sebuah wawasan yang mengubah cara pandang pendidikan. Universitas tidak diharapkan untuk menciptakan pemimpin tingkat ahli atau negosiator ulung dalam hitungan tahun. Sebaliknya, peran mereka adalah menanamkan fondasi yang kokoh yang memungkinkan individu untuk berkembang menjadi profesional yang kompeten di masa depan. Ini memberikan kejelasan strategis bagi para pendidik: fokus pada fondasi yang solid, sisanya akan dikembangkan di tempat kerja seiring berjalannya waktu.

Kisah 2: Kesenjangan Kurikulum yang Mengejutkan

Temuan yang paling penting dari penelitian ini adalah adanya "kesenjangan antara kurikulum formal dan yang dipersepsikan".1 Para peneliti membandingkan deskripsi kursus formal yang tercantum dalam dokumen panduan studi dengan persepsi dosen tentang kompetensi yang mereka ajarkan di kelas.1

Hasilnya sangat mengejutkan. Meskipun hanya 27 dari 61 mata kuliah yang secara eksplisit mencantumkan TCs dalam silabus, survei terhadap dosen menunjukkan bahwa 95% mata kuliah merasa mereka mengajarkan setidaknya lima TCs yang berbeda.1 Ini seperti sebuah restoran yang menawarkan "Hidangan Spesial Ayam Panggang" di menu, tetapi sebenarnya koki di dapur juga menambahkan "bumbu rahasia" yang membuat hidangan itu istimewa—namun bumbu rahasia itu tidak pernah tertulis di menu.

Kesenjangan ini memiliki konsekuensi yang serius bagi semua pihak yang terlibat 1:

  • Bagi Mahasiswa: Mereka mungkin tidak menyadari bahwa mereka telah mempelajari keterampilan yang sangat dicari oleh industri. Saat melamar pekerjaan, mereka tidak dapat secara efektif "menjual" diri mereka karena tidak memiliki kosakata yang tepat untuk menggambarkan kompetensi yang mereka miliki.
  • Bagi Akademisi: Upaya mereka untuk memasukkan TCs ke dalam pengajaran tidak tercatat secara resmi. Hal ini menyulitkan proses akreditasi dan membuat implementasi TCs menjadi rentan, karena jika seorang dosen pindah, "kurikulum tersembunyi" itu bisa hilang.
  • Bagi Institusi: Kurangnya transparansi ini mempersulit manajemen kurikulum dan pemantauan kualitas, sehingga mengurangi kemampuan untuk menjamin bahwa semua lulusan menerima paparan yang konsisten terhadap kompetensi-kompetensi penting ini.

Temuan ini menunjukkan bahwa masalah bukan terletak pada ketidakmauan dosen untuk mengajarkan TCs, melainkan pada kurangnya alat yang memadai untuk mendokumentasikan dan menilai apa yang sudah mereka lakukan.

 

Jembatan Menuju Masa Depan: Praktek Nyata dan Rekomendasi

Praktek Mengajar yang Menginspirasi

Wawancara dengan lima dosen dalam studi ini menunjukkan bahwa instrumen yang dikembangkan bukan hanya alat teoritis; ia dapat digunakan secara praktis untuk membantu para pendidik mengartikulasikan metode pengajaran mereka dengan lebih jelas.1 Para dosen ini mampu mengidentifikasi secara spesifik bagaimana praktek mengajar mereka membantu siswa mencapai tingkat penguasaan kompetensi yang dibutuhkan industri.1

Beberapa contoh praktek nyata yang diidentifikasi meliputi:

  • Pembelajaran Berbasis Proyek (Project-Based Learning): Dosen memberikan masalah yang "tidak jelas" dan "terbuka," seringkali tanpa satu solusi yang benar, memaksa siswa untuk secara mandiri memecahkan masalah, berpikir kritis, dan menghasilkan ide.1 Dalam proses ini, siswa juga belajar untuk menilai dan mengelola risiko finansial, dan membuktikan kelayakan ide-ide mereka.1
  • Peran Dosen sebagai Pelatih (Coaching): Dosen tidak hanya memberikan jawaban, tetapi juga memandu siswa melalui proses refleksi dan introspeksi. Mereka menggunakan pertanyaan dan umpan balik untuk membantu siswa menyadari kekuatan dan kelemahan diri mereka, serta belajar dari kegagalan—sebuah proses yang sangat penting untuk mengembangkan "kesadaran diri" dan "toleransi risiko".1
  • Aktivitas Berpusat pada Siswa (Student-Centred Activities): Dosen memberikan otonomi penuh kepada siswa dalam proyek-proyek, menuntut mereka untuk bertanggung jawab atas perencanaan, penetapan tenggat waktu, dan manajemen waktu mereka sendiri.1 Ini adalah cara efektif untuk mengajarkan "manajemen waktu" dan "pencarian pembelajaran aktif" secara mandiri.

 

Kritik dan Jalan ke Depan

Penelitian ini, seperti halnya studi lain, memiliki keterbatasan yang realistis. Ukuran sampel industri yang relatif kecil (hanya 28 responden) dan fokus pada satu universitas di Belanda membatasi seberapa jauh temuan ini dapat digeneralisasi.1 Namun, keterbatasan ini tidak mengurangi validitas instrumen dan metodologi yang diusulkan. Justru sebaliknya, studi ini membuka jalan untuk penelitian lanjutan yang lebih luas.

Berdasarkan temuan-temuan ini, langkah selanjutnya sangat jelas. Institusi pendidikan harus:

  1. Meningkatkan Transparansi Kurikulum: Universitas perlu secara eksplisit memasukkan TCs ke dalam silabus dan deskripsi mata kuliah. Ini akan membantu mahasiswa membuat pilihan yang lebih terinformasi dan menyadari kompetensi yang mereka kembangkan.1
  2. Mengembangkan Asesmen yang Lebih Baik: Perlu ada cara yang lebih sistematis untuk menilai TCs, melampaui sekadar nilai ujian. Ini bisa berupa asesmen berbasis deskripsi yang menggunakan instrumen seperti yang diusulkan dalam penelitian ini.
  3. Mendorong Dialog Terbuka: Dialog yang berkesinambungan antara akademisi dan industri harus terus didorong, menggunakan instrumen seperti ini sebagai "bahasa bersama" untuk memastikan bahwa kurikulum selalu relevan dengan kebutuhan pasar.1

 

Kesimpulan: Dampak Nyata untuk Masa Depan Pendidikan Teknik

Secara ringkas, penelitian ini membuktikan bahwa kesenjangan antara pendidikan teknik dan industri bukanlah masalah kurangnya upaya, melainkan masalah komunikasi dan alat yang tidak memadai. Instrumen yang dikembangkan oleh Leandro Cruz dan Saunders-Smits berfungsi sebagai sebuah "jembatan linguistik" yang sangat dibutuhkan, yang memungkinkan industri dan akademisi untuk berkomunikasi dengan bahasa yang sama tentang apa yang benar-benar penting.1

Jika diterapkan secara luas, instrumen ini bisa menjadi katalisator bagi perubahan besar. Dalam waktu lima tahun, hal ini berpotensi:

  • Mengurangi waktu dan biaya yang dibutuhkan industri untuk melatih lulusan baru, karena mereka akan lebih siap kerja sejak hari pertama.
  • Meningkatkan kesiapan kerja lulusan, membuat mereka lebih kompetitif dan percaya diri di pasar kerja global.
  • Menciptakan ekosistem pendidikan-industri yang lebih harmonis, di mana kurikulum pendidikan berevolusi sejalan dengan dinamika dan kebutuhan pasar kerja yang selalu berubah.1

Ini adalah langkah maju yang signifikan, mengubah masalah yang rumit menjadi sebuah solusi yang praktis dan dapat diukur.

 

Sumber Artikel:

https://doi.org/10.1080/03043797.2021.1909539

Selengkapnya
Penelitian Ini Mengungkap Rahasia di Balik Kesenjangan Keterampilan Lulusan Teknik – dan Ini yang Harus Anda Ketahui!

Operation Engineering and Management

Waktu respon (teknologi)

Dipublikasikan oleh Viskha Dwi Marcella Nanda pada 19 Februari 2025


Dalam teknologi, waktu respon adalah waktu yang dibutuhkan sistem atau unit fungsional untuk bereaksi terhadap input yang diberikan.

Komputasi

Response time adalah jumlah total waktu yang dibutuhkan untuk menanggapi permintaan layanan. Layanan itu bisa apa saja mulai dari pengambilan memori, ke disk IO, hingga kueri basis data yang kompleks, atau memuat halaman web lengkap. Mengabaikan waktu transmisi sejenak, waktu respons adalah jumlah waktu layanan dan waktu tunggu. Waktu layanan adalah waktu yang diperlukan untuk melakukan pekerjaan yang Anda minta. Untuk permintaan tertentu, waktu layanan sedikit berbeda seiring dengan meningkatnya beban kerja – untuk melakukan X jumlah pekerjaan selalu membutuhkan X jumlah waktu. Waktu tunggu adalah berapa lama permintaan harus menunggu dalam antrian sebelum dilayani dan bervariasi dari nol, ketika tidak diperlukan menunggu, hingga kelipatan besar dari waktu layanan, karena banyak permintaan sudah dalam antrian dan harus dilayani terlebih dahulu.

Dengan matematika teori antrian dasar Anda dapat menghitung bagaimana waktu tunggu rata-rata meningkat saat perangkat yang menyediakan layanan berubah dari 0-100% sibuk. Saat perangkat menjadi lebih sibuk, waktu tunggu rata-rata meningkat secara non-linear. Semakin sibuk perangkat, semakin dramatis peningkatan waktu respons saat Anda mendekati 100% sibuk; Semua peningkatan itu disebabkan oleh bertambahnya waktu tunggu, yang merupakan akibat dari semua permintaan yang menunggu dalam antrian yang harus dijalankan terlebih dahulu.

Waktu transmisi ditambahkan ke waktu respons saat permintaan Anda dan respons yang dihasilkan harus melewati jaringan dan itu bisa sangat signifikan. Waktu transmisi dapat mencakup penundaan propagasi karena jarak (kecepatan cahaya terbatas), penundaan karena kesalahan transmisi, dan batas bandwidth komunikasi data (terutama pada last mile) memperlambat kecepatan transmisi permintaan atau balasan.

Sistem waktu nyata

Dalam sistem waktu nyata, waktu respons dari tugas atau utas didefinisikan sebagai waktu yang berlalu antara pengiriman (waktu ketika tugas siap untuk dieksekusi) hingga waktu ketika menyelesaikan tugasnya (satu pengiriman). Waktu respons berbeda dari WCET yang merupakan waktu maksimum yang diperlukan tugas jika dijalankan tanpa gangguan. Ini juga berbeda dari tenggat waktu yang merupakan lamanya waktu di mana output tugas akan valid dalam konteks sistem tertentu. Dan ini memiliki hubungan dengan TTFB, yaitu waktu antara pengiriman dan saat respons dimulai.

Teknologi tampilan

Waktu respons adalah jumlah waktu yang diperlukan piksel dalam tampilan untuk berubah. Ini diukur dalam milidetik (ms). Angka yang lebih rendah berarti transisi yang lebih cepat dan oleh karena itu lebih sedikit artefak gambar yang terlihat. Tampilan monitor dengan waktu respons yang lama akan membuat tampilan buram gerakan di sekitar objek bergerak, membuatnya tidak dapat diterima untuk gambar yang bergerak cepat. Waktu respons biasanya diukur dari transisi abu-abu ke abu-abu, berdasarkan standar industri VESA dari 10% hingga 90% poin dalam kurva respons piksel.

 

Sumber Artikel: en.wikipedia.org

Selengkapnya
Waktu respon (teknologi)

Operation Engineering and Management

Rekayasa Operasi

Dipublikasikan oleh Viskha Dwi Marcella Nanda pada 19 Februari 2025


Rekayasa operasi adalah cabang dari teknik yang terutama berkaitan dengan analisis dan optimalisasi masalah operasional menggunakan metode ilmiah dan matematis. Lebih sering memiliki aplikasi di bidang Penyiaran/Teknik Industri dan juga di Industri Kreatif dan Teknologi.

Rekayasa operasi dianggap sebagai subdisiplin Riset Operasi dan Manajemen Operasi.

Asosiasi

  • INFORMASIKAN
  • operasi industri

 

Sumber Artikel: en.wikipedia.org

Selengkapnya
Rekayasa Operasi

Operation Engineering and Management

Silo informasi

Dipublikasikan oleh Viskha Dwi Marcella Nanda pada 19 Februari 2025


Sebuah silo informasi, atau sekelompok silo tersebut, adalah sistem manajemen picik di mana satu sistem informasi atau subsistem tidak mampu operasi timbal balik dengan orang lain yang, atau seharusnya, terkait. Jadi informasi tidak dibagikan secara memadai melainkan tetap diasingkan dalam setiap sistem atau subsistem, secara kiasan terperangkap di dalam wadah seperti biji-bijian terperangkap di dalam silo: mungkin ada banyak, dan mungkin ditumpuk cukup tinggi dan tersedia secara bebas dalam batas-batas itu, tetapi tidak berpengaruh di luar batas tersebut. Data silo tersebut terbukti menjadi kendala bagi bisnis yang ingin menggunakan data mining untuk memanfaatkan data mereka secara produktif.

Silo informasi terjadi ketika sistem data tidak kompatibel atau tidak terintegrasi dengan sistem data lainnya. Ketidakcocokan ini dapat terjadi dalam arsitektur teknis, dalam arsitektur aplikasi, atau dalam arsitektur data dari sistem data apa pun. Namun, karena telah ditunjukkan bahwa metode pemodelan data yang mapan adalah akar penyebab masalah integrasi data, sebagian besar sistem data setidaknya tidak kompatibel di lapisan arsitektur data.

Dalam organisasi

Dalam memahami perilaku organisasi, istilah mentalitas silo sering mengacu pada pola pikir yang menciptakan dan memelihara silo informasi dalam suatu organisasi. Mentalitas silo diciptakan oleh tujuan yang berbeda dari unit organisasi yang berbeda: itu didefinisikan oleh Kamus Bisnis sebagai "pola pikir yang hadir ketika departemen atau sektor tertentu tidak ingin berbagi informasi dengan orang lain di perusahaan yang sama". Hal ini juga dapat digambarkan sebagai varian dari masalah principal-agent.

Mentalitas silo terutama terjadi di organisasi yang lebih besar dan dapat menyebabkan kinerja yang lebih buruk dan berdampak negatif pada budaya perusahaan. Mentalitas silo dapat dilawan dengan pengenalan tujuan bersama, peningkatan aktivitas jaringan internal dan perataan hierarki.

Prediktor terjadinya silo adalah

  • Jumlah Karyawan
  • Jumlah unit organisasi dalam seluruh organisasi
  • Derajat spesialisasi
  • Jumlah mekanisme insentif yang berbeda.

Gleeson dan Rozo menyarankan bahwa pola pikir silo "tidak muncul secara tidak sengaja... lebih sering daripada tidak, silo adalah hasil dari tim kepemimpinan yang berkonflik. Menciptakan "tim kepemimpinan terpadu" dipandang sebagai obat utama yang akan "mendorong kepercayaan, ciptakan pemberdayaan, dan hancurkan para manajer dari mentalitas 'departemen saya' mereka ke dalam mentalitas 'organisasi kami'".

Etimologi

Istilah sindrom silo fungsional diciptakan pada tahun 1988 oleh Phil S. Ensor (1931–2018) yang bekerja dalam pengembangan organisasi dan hubungan karyawan untuk Goodyear Tire and Rubber Company dan Eaton Corporation, dan sebagai konsultan. "Silo" dan "pipa kompor" (seperti dalam "organisasi pipa" dan "sistem pipa") sekarang digunakan secara bergantian dan diterapkan secara luas. Penggunaan istilah "silo" oleh Phil Ensor mencerminkan asal-usul pedesaan Illinois dan banyak silo biji-bijian yang akan dia lewati pada kunjungan kembali saat dia merenungkan tantangan organisasi modern tempat dia bekerja.

Studi interdisipliner

Bagi seorang praktisi dari hampir semua bidang untuk mengintegrasikan pengetahuan dari bidang lain, seringkali ia harus mempelajari bidang-bidang ini secara terpisah. Dia harus melanjutkan sesuai dengan tradisi dan metode masing-masing bidang minat. Bidang-bidang ini dapat mencakup fisika klasik atau kuantum, geometri, aljabar, biologi evolusioner, ilmu saraf, psikologi, sejarah manusia, sosiologi, ekonomi, ilmu politik, linguistik, musik, seni, pembuatan film, atau pemrograman komputer, dan banyak lainnya.

 

Sumber Artikel: en.wikipedia.org

Selengkapnya
Silo informasi

Operation Engineering and Management

Flow chart

Dipublikasikan oleh Viskha Dwi Marcella Nanda pada 19 Februari 2025


Flowchart adalah jenis diagram yang mewakili alur kerja atau proses. Flowchart juga dapat didefinisikan sebagai representasi diagram dari suatu algoritma, pendekatan langkah demi langkah untuk menyelesaikan tugas.

Flowchart menunjukkan langkah-langkah sebagai kotak dari berbagai jenis, dan urutannya dengan menghubungkan kotak dengan panah. Representasi diagram ini menggambarkan model solusi untuk masalah yang diberikan. Flowchart digunakan dalam menganalisis, merancang, mendokumentasikan atau mengelola suatu proses atau program di berbagai bidang.

Ringkasan

Flowchart dari gaya-C untuk loop

Flowchart digunakan untuk merancang dan mendokumentasikan proses atau program sederhana. Seperti jenis diagram lainnya, diagram membantu memvisualisasikan proses. Dua dari banyak manfaat adalah kekurangan dan kemacetan mungkin menjadi jelas. Flowchart biasanya menggunakan simbol utama berikut:

  • Langkah proses, biasanya disebut aktivitas, dilambangkan sebagai kotak persegi panjang.
  • Sebuah keputusan biasanya dilambangkan sebagai berlian.

Bagan alir digambarkan sebagai "fungsi silang" ketika bagan dibagi menjadi bagian vertikal atau horizontal yang berbeda, untuk menggambarkan kontrol unit organisasi yang berbeda. Simbol yang muncul di bagian tertentu berada dalam kendali unit organisasi tersebut. Bagan alir lintas fungsi memungkinkan penulis untuk dengan benar menemukan tanggung jawab untuk melakukan suatu tindakan atau membuat keputusan, dan untuk menunjukkan tanggung jawab setiap unit organisasi untuk bagian yang berbeda dari satu proses.

Flowchart mewakili aspek-aspek tertentu dari proses dan biasanya dilengkapi dengan jenis diagram lainnya. Misalnya, Kaoru Ishikawa mendefinisikan diagram alur sebagai salah satu dari tujuh alat dasar pengendalian kualitas, di samping histogram, bagan Pareto, lembar periksa, bagan kendali, diagram sebab-akibat, dan diagram pencar. Demikian pula, dalam UML, notasi pemodelan konsep standar yang digunakan dalam pengembangan perangkat lunak, diagram aktivitas, yang merupakan jenis diagram alur, hanyalah salah satu dari banyak jenis diagram yang berbeda.

Diagram Nassi-Shneiderman dan Drakon-chart adalah notasi alternatif untuk aliran proses.

Nama-nama alternatif yang umum meliputi: diagram alir, diagram alir proses, diagram alir fungsional, peta proses, bagan proses, bagan proses fungsional, model proses bisnis, model proses, diagram alir proses, diagram alur kerja, diagram alir bisnis. Istilah "bagan alir" dan "bagan alir" digunakan secara bergantian.

Struktur grafik yang mendasari diagram alur adalah grafik aliran, yang mengabstraksikan jenis simpul, isinya, dan informasi tambahan lainnya.

Sejarah

Metode terstruktur pertama untuk mendokumentasikan alur proses, "bagan proses alur", diperkenalkan oleh Frank dan Lillian Gilbreth dalam presentasi "Bagan Proses: Langkah Pertama dalam Menemukan Satu Cara Terbaik untuk Melakukan Pekerjaan", kepada anggota American Society of Insinyur Mekanik (ASME) pada tahun 1921. Alat Gilbreths dengan cepat menemukan jalan mereka ke dalam kurikulum teknik industri. Pada awal 1930-an, seorang insinyur industri, Allan H. Mogensen mulai melatih pebisnis dalam penggunaan beberapa alat teknik industri pada Konferensi Penyederhanaan Kerjanya di Lake Placid, New York.

Art Spinanger, lulusan tahun 1944 dari kelas Mogensen, membawa alat itu kembali ke Procter and Gamble di mana ia mengembangkan Program Perubahan Metode yang Disengaja. Ben S. Graham, lulusan tahun 1944 lainnya, Direktur Formcraft Engineering di Standard Register Industrial, menerapkan diagram alur proses ke pemrosesan informasi dengan pengembangan diagram proses multi-alirannya, untuk menyajikan banyak dokumen dan hubungannya. Pada tahun 1947, ASME mengadopsi kumpulan simbol yang diturunkan dari karya asli Gilbreth sebagai "ASME Standard: Operation and Flow Process Charts."

Douglas Hartree pada tahun 1949 menjelaskan bahwa Herman Goldstine dan John von Neumann telah mengembangkan diagram alur (awalnya, diagram) untuk merencanakan program komputer. Akun kontemporernya didukung oleh para insinyur IBM dan oleh ingatan pribadi Goldstine. Bagan alur pemrograman asli Goldstine dan von Neumann dapat ditemukan dalam laporan mereka yang tidak dipublikasikan, "Perencanaan dan pengkodean masalah untuk instrumen komputasi elektronik, Bagian II, Volume 1" (1947), yang direproduksi dalam kumpulan karya von Neumann.

Flowchart menjadi alat yang populer untuk menggambarkan algoritma komputer, tetapi popularitasnya menurun pada 1970-an, ketika terminal komputer interaktif dan bahasa pemrograman generasi ketiga menjadi alat umum untuk pemrograman komputer, karena algoritma dapat dinyatakan lebih ringkas sebagai kode sumber dalam bahasa tersebut. Seringkali pseudo-code digunakan, yang menggunakan idiom umum dari bahasa tersebut tanpa secara ketat mengikuti detail bahasa tertentu.

Pada awal abad ke-21, diagram alur masih digunakan untuk menggambarkan algoritma komputer. Teknik modern seperti diagram aktivitas UML dan diagram Drakon dapat dianggap sebagai perluasan diagram alur.

Jenis

Sterneckert (2003) menyarankan bahwa diagram alur dapat dimodelkan dari perspektif kelompok pengguna yang berbeda (seperti manajer, sistem analis dan juru tulis), dan bahwa ada empat tipe umum:

  • Bagan alur dokumen, menunjukkan kontrol atas aliran dokumen melalui sistem
  • Bagan alur data, menunjukkan kontrol atas aliran data dalam suatu sistem
  • Bagan alur sistem, menunjukkan kontrol pada tingkat fisik atau sumber daya
  • Bagan alir program, menunjukkan kontrol dalam suatu program dalam suatu sistem

Perhatikan bahwa setiap jenis diagram alur berfokus pada beberapa jenis kontrol, bukan pada aliran tertentu itu sendiri.

Namun, ada beberapa klasifikasi yang berbeda. Sebagai contoh, Andrew Veronis (1978) menyebutkan tiga tipe dasar diagram alur: diagram alur sistem, diagram alur umum, dan diagram alur terperinci. Pada tahun yang sama Marilyn Bohl (1978) menyatakan "dalam praktiknya, dua jenis diagram alur digunakan dalam perencanaan solusi: diagram alur sistem dan diagram alur program...". Baru-baru ini, Mark A. Fryman (2001) mengidentifikasi lebih banyak perbedaan: "Diagram alur keputusan, bagan alur logika, bagan alur sistem, bagan alur produk, dan bagan alur proses hanyalah beberapa dari jenis bagan alur berbeda yang digunakan dalam bisnis dan pemerintahan".

Selain itu, banyak teknik diagram yang mirip dengan diagram alur tetapi memiliki nama yang berbeda, seperti diagram aktivitas UML.

Blok bangunan

Simbol umum

The American National Standards Institute (ANSI) menetapkan standar untuk diagram alur dan simbolnya pada 1960-an. Organisasi Internasional untuk Standardisasi (ISO) mengadopsi simbol ANSI pada tahun 1970. Standar saat ini, ISO 5807, direvisi pada tahun 1985. Umumnya, flowchart mengalir dari atas ke bawah dan dari kiri ke kanan.

Simbol lainnya

Standar ANSI/ISO mencakup simbol di luar bentuk dasar. Beberapa adalah:

Proses paralel

  • Mode Paralel diwakili oleh dua garis horizontal pada awal atau akhir operasi simultan

Untuk pemrosesan paralel dan bersamaan, garis horizontal Mode Paralel atau bilah horizontal menunjukkan awal atau akhir bagian proses yang dapat dilakukan secara independen:

  • Di percabangan, proses membuat satu atau lebih proses tambahan, yang ditunjukkan oleh bilah dengan satu jalur masuk dan dua atau lebih jalur keluar.
  • Pada suatu join, dua atau lebih proses berlanjut sebagai satu proses, ditunjukkan dengan sebuah bar dengan beberapa jalur masuk dan satu jalur keluar. Semua proses harus selesai sebelum proses tunggal berlanjut.

Perangkat lunak

Pembuatan diagram

Flowgorithm

Program menggambar apa pun dapat digunakan untuk membuat diagram diagram alur, tetapi ini tidak akan memiliki model data yang mendasari untuk berbagi data dengan database atau program lain seperti sistem manajemen proyek atau spreadsheet. Ada banyak paket perangkat lunak yang dapat membuat diagram alur secara otomatis, baik langsung dari kode sumber bahasa pemrograman, atau dari bahasa deskripsi diagram alur.

Ada beberapa aplikasi dan bahasa pemrograman visual yang menggunakan diagram alur untuk mewakili dan menjalankan program. Umumnya ini digunakan sebagai alat pengajaran untuk siswa pemula. Contohnya termasuk Flowgorithm, Raptor, LARP, Visual Logic, Fischertechnik ROBO Pro, dan VisiRule.

 

Sumber Artikel: en.wikipedia.org

Selengkapnya
Flow chart

Operation Engineering and Management

Autonomation

Dipublikasikan oleh Viskha Dwi Marcella Nanda pada 18 Februari 2025


Autonomation menjelaskan fitur desain mesin untuk menerapkan prinsip jidoka (自働化)(じどうか jidouka), yang digunakan dalam Sistem Produksi Toyota (TPS) dan lean manufacturing. Ini dapat digambarkan sebagai "otomatisasi cerdas" atau "otomatisasi dengan sentuhan manusia". Jenis otomatisasi ini menerapkan beberapa fungsi pengawasan daripada fungsi produksi. Di Toyota, ini biasanya berarti bahwa jika situasi tidak normal muncul, mesin berhenti dan pekerja akan menghentikan jalur produksi. Ini adalah proses kontrol kualitas yang menerapkan empat prinsip berikut:

  1. Mendeteksi kelainan.
  2. Berhenti.
  3. Perbaiki atau perbaiki kondisi segera.
  4. Selidiki akar masalahnya dan pasang tindakan pencegahan.

Autonomation bertujuan untuk mencegah produksi produk yang cacat, menghilangkan kelebihan produksi dan memusatkan perhatian pada pemahaman masalah dan memastikan bahwa mereka tidak terulang kembali.

Tujuan dan implementasi

Shigeo Shingo menyebut otonomi sebagai "pra-otomatisasi". Ini memisahkan pekerja dari mesin melalui mekanisme yang mendeteksi kelainan produksi (banyak mesin di Toyota memiliki ini). Dia mengatakan ada dua puluh tiga tahap antara pekerjaan manual dan sepenuhnya otomatis. Untuk menjadi mesin yang sepenuhnya otomatis harus dapat mendeteksi dan memperbaiki masalah operasi mereka sendiri yang saat ini tidak hemat biaya. Namun, sembilan puluh persen dari manfaat otomatisasi penuh dapat diperoleh dengan Otomasi.

Tujuan dari otonomi adalah memungkinkan penanganan, identifikasi, dan koreksi kesalahan yang terjadi secara cepat atau segera dalam suatu proses. Autonomation membebaskan pekerja dari kebutuhan untuk terus menilai apakah pengoperasian mesin itu normal; upaya mereka sekarang hanya dilakukan ketika ada masalah yang diperingatkan oleh mesin. Selain membuat pekerjaan lebih menarik, ini adalah langkah yang diperlukan jika nanti pekerja diminta untuk mengawasi beberapa mesin. Contoh pertama di Toyota adalah alat tenun Sakichi Toyoda yang diaktifkan secara otomatis yang secara otomatis dan segera menghentikan alat tenun jika benang vertikal atau lateral putus atau habis.

Misalnya daripada menunggu sampai akhir jalur produksi untuk memeriksa produk jadi, otonomi dapat digunakan pada langkah-langkah awal dalam proses untuk mengurangi jumlah pekerjaan yang ditambahkan ke produk yang cacat. Seorang pekerja yang sedang memeriksa sendiri pekerjaan mereka, atau memeriksa sumber pekerjaan yang dihasilkan segera sebelum stasiun kerja mereka didorong untuk menghentikan jalur ketika ditemukan cacat. Deteksi ini adalah langkah pertama di Jidoka. Sebuah mesin melakukan proses deteksi cacat yang sama terlibat dalam Autonomation.

Setelah jalur dihentikan, supervisor atau orang yang ditunjuk untuk membantu memperbaiki masalah segera memberikan perhatian pada masalah yang ditemukan oleh pekerja atau mesin tersebut. Untuk melengkapi Jidoka, tidak hanya cacat yang diperbaiki pada produk yang ditemukan, tetapi prosesnya dievaluasi dan diubah untuk menghilangkan kemungkinan membuat kesalahan yang sama lagi. Salah satu solusi untuk masalah tersebut adalah dengan memasukkan perangkat "pemeriksaan kesalahan" di suatu tempat di jalur produksi. Alat seperti itu dikenal sebagai poka-yoke.

Hubungan dengan just-in-time

Taiichi Ohno dan Sakichi Toyoda, pencetus TPS dan praktik dalam pembuatan tekstil, mesin, dan mobil yang menganggap manufaktur tepat waktu dan Otonomi sebagai pilar di mana TPS dibangun. Jeffrey Liker dan David Meier menunjukkan bahwa Jidoka atau "keputusan untuk menghentikan dan memperbaiki masalah yang terjadi daripada mendorongnya untuk diselesaikan nanti" adalah sebagian besar perbedaan antara efektivitas Toyota dan perusahaan lain yang telah mencoba untuk mengadopsi lean manufacturing. Oleh karena itu, otomatisasi dapat dikatakan sebagai elemen kunci dalam implementasi Lean Manufacturing yang sukses.

Untuk sistem just-in-time (JIT), sangat penting untuk memproduksi tanpa cacat, atau cacat ini dapat mengganggu proses produksi - atau alur kerja yang teratur.

JIT dan Lean Manufacturing selalu mencari target untuk perbaikan terus-menerus dalam pencariannya untuk peningkatan kualitas, menemukan dan menghilangkan penyebab masalah sehingga tidak terus-menerus muncul.

Jidoka melibatkan deteksi otomatis kesalahan atau cacat selama produksi. Ketika cacat terdeteksi, penghentian kekuatan produksi segera memperhatikan masalah tersebut.

Penghentian tersebut menyebabkan produksi melambat tetapi diyakini bahwa ini membantu mendeteksi masalah lebih awal dan menghindari penyebaran praktik buruk.

Etimologi

Kata "otonom" , kata pinjaman dari kosakata Sino-Jepang, adalah gabungan dari "autonomous" dan "Autonomation" , yang ditulis menggunakan tiga karakter kanji: ji) "diri", gerakan dou), dan ka)"-isasi". Dalam Sistem Produksi Toyota, karakter kedua diganti dengan dou) "kerja", yang merupakan karakter yang diturunkan dengan menambahkan radikal yang mewakili "manusia" ke asli.

Zenjidoka

Zenjidoka (全自働化) digambarkan sebagai "mengambil jidoka sampai ke kebiasaan er" dan mengacu pada praktik yang diperluas di mana staf penjualan, layanan, dan teknis juga memiliki kekuatan untuk mengganggu produksi untuk memperbaiki kesalahan.

 

Sumber Artikel: en.wikipedia.org

Selengkapnya
Autonomation
page 1 of 3 Next Last »