Masalah Jalan di Indonesia
Dipublikasikan oleh Hansel pada 24 Oktober 2025
Tomohon di Persimpangan Jalan: Potret Kota yang Terjebak dalam Pertumbuhannya Sendiri
Bayangkan pemandangan yang begitu akrab bagi jutaan penduduk kota di Indonesia: jarum jam mendekati pukul lima sore di Bundaran Matani, Kota Tomohon. Deru mesin yang tak sabar, laju kendaraan yang merayap, dan hamparan lampu rem yang menyala serempak melukiskan potret frustrasi kolektif. Di sepanjang Jalan Raya Kakaskasen 3 menuju Kinilow, pemandangan serupa tersaji setiap pagi dan sore, mengubah perjalanan yang seharusnya singkat menjadi ujian kesabaran.1 Ini adalah denyut nadi kemacetan, sebuah penyakit kronis perkotaan yang tidak hanya merenggut waktu, tetapi juga produktivitas dan kualitas hidup warganya.
Namun, kemacetan di Tomohon bukanlah tanda kegagalan, melainkan paradoks dari keberhasilannya sendiri. Sebagai kota yang terus tumbuh dan berkembang, Tomohon menjadi cerminan dari tren urbanisasi nasional yang tak terhindarkan. Proyeksi menunjukkan bahwa pada tahun 2045, lebih dari 80% populasi Indonesia akan menghuni area perkotaan.1 Dalam skala yang lebih kecil, Tomohon sedang menghadapi tantangan masa depan tersebut hari ini. Pertumbuhan ekonomi dan populasi secara alami memicu peningkatan volume kendaraan, namun infrastruktur jalan yang ada seolah tak mampu mengimbangi derap langkah pertumbuhan tersebut.
Angka-angka di balik keluhan para komuter menceritakan kisah yang lebih dalam. Data dari Dinas Perhubungan Kota Tomohon menunjukkan sebuah tren yang mengkhawatirkan. Hanya dalam kurun waktu satu tahun, dari 2015 hingga 2016, jumlah kendaraan pribadi melonjak dari 2.626 unit menjadi 2.839 unit.1 Artinya, lebih dari 200 mobil dan motor baru tumpah ke jalanan kota—sebuah armada kecil yang menuntut ruang di atas aspal yang lebarnya nyaris tak bertambah.
Pada saat yang sama, tulang punggung transportasi publik justru menunjukkan pelemahan. Jumlah angkutan umum menurun dari 651 unit menjadi 636 unit dalam periode yang sama.1 Kedua data ini, jika dilihat bersamaan, bukanlah dua tren yang terpisah. Keduanya terjalin dalam sebuah lingkaran setan mobilitas perkotaan. Ketika jumlah angkutan umum berkurang, layanan menjadi kurang andal, frekuensi menurun, dan waktu tunggu menjadi lebih lama. Hal ini membuat transportasi publik menjadi pilihan yang kurang menarik. Akibatnya, warga yang memiliki kemampuan finansial akan beralih ke kenyamanan dan kepastian kendaraan pribadi. Ironisnya, lonjakan kendaraan pribadi inilah yang kemudian memperparah kemacetan, yang pada gilirannya membuat sisa angkutan umum yang beroperasi menjadi semakin lambat dan tidak efisien. Siklus ini terus berputar, memperburuk masalah dari hari ke hari.
Banjir Data, Haus Informasi: Dilema Tersembunyi di Balik Meja Dinas Perhubungan
Di tengah hiruk pikuk jalanan, ada pertempuran lain yang terjadi di ruang-ruang kantor pemerintahan. Upaya Pemerintah Kota Tomohon bersama Dinas Perhubungan untuk mengurai benang kusut kemacetan ini bukannya tanpa usaha. Namun, berbagai kebijakan yang telah coba diterapkan belum membuahkan hasil yang signifikan.1 Penyebabnya bukanlah kurangnya niat, melainkan sebuah tantangan yang lebih fundamental dan tak kasat mata: krisis informasi.
Penelitian yang dilakukan oleh Nadya Verona Viani Kamasi dan Stephanie Mariane Felly Nangoy menyoroti akar masalah yang tersembunyi ini. Persoalan utamanya terletak pada "kekurangan data yang valid, ketidakmampuan untuk mengolah data dalam jumlah besar serta memanfaatkan informasi dari data yang diolah untuk menjadi keputusan yang tepat".1 Dinas Perhubungan, pada kenyataannya, tidak kekurangan data. Mereka justru tenggelam di dalamnya.
Data yang mereka miliki sangat beragam dan potensial, mencakup:
Masalahnya, semua data ini tersimpan dalam format yang terpisah, tidak terintegrasi, dan terlalu masif untuk dianalisis secara manual. Kondisi ini sering disebut sebagai fenomena “data-rich, information-poor”—kaya akan data mentah, tetapi miskin akan wawasan yang bisa ditindaklanjuti. Bayangkan sebuah perpustakaan raksasa di mana jutaan buku berisi informasi berharga hanya ditumpuk di lantai tanpa katalog, tanpa sistem pengarsipan. Meskipun semua jawaban mungkin ada di dalam tumpukan itu, menemukannya menjadi sebuah tugas yang mustahil. Inilah dilema yang dihadapi para pengambil keputusan di Tomohon. Kebijakan yang mereka buat sering kali harus didasarkan pada pengamatan lapangan dan intuisi, bukan pada analisis data komprehensif yang dapat mengungkap pola-pola tersembunyi di balik kemacetan.
Perjuangan Dinas Perhubungan Tomohon ini sejatinya adalah sebuah studi kasus tentang tantangan modernisasi tata kelola pemerintahan. Di abad ke-21, memiliki akses ke big data tidak lagi cukup. Kemampuan untuk menganalisis, menafsirkan, dan mengubah data tersebut menjadi kebijakan yang cerdas adalah kunci keberhasilan. Penelitian ini tidak hanya bertujuan membangun sebuah aplikasi canggih; ia mencoba menjembatani kesenjangan fundamental antara ketersediaan data dan kapasitas analitis di sektor publik. Ini adalah langkah awal untuk mengubah cara pemerintah kota beroperasi—beralih dari pengambilan keputusan berdasarkan kebiasaan menjadi kebijakan berbasis bukti.
Membedah 'Kecerdasan Bisnis': Senjata Digital Baru Tomohon Melawan Macet
Untuk mengatasi banjir data yang tak terkelola, para peneliti dari Universitas Sariputra Indonesia Tomohon tidak menawarkan solusi konvensional seperti pelebaran jalan atau penambahan rambu lalu lintas. Mereka memperkenalkan sebuah senjata digital yang lebih canggih: Business Intelligence (BI) atau Kecerdasan Bisnis.1 Meskipun namanya berbau korporat, prinsip di baliknya sangat relevan untuk tata kelola kota.
Secara sederhana, bayangkan BI sebagai seorang analis super cerdas yang bekerja untuk kota. Analis ini mampu membaca ribuan laporan data yang berbeda—jumlah kendaraan, kondisi jalan, rute populer, jam sibuk—dalam sekejap mata. Tidak hanya membaca, ia juga mampu menemukan pola-pola tersembunyi yang tidak akan terlihat oleh mata manusia, lalu menyajikan semua temuannya dalam satu halaman ringkasan visual yang mudah dipahami oleh para pemimpin kota. Inilah esensi dari sistem BI yang dikembangkan untuk Tomohon.
Proses "memasak" data mentah menjadi wawasan matang ini mengikuti resep empat langkah yang sistematis, sebagaimana diuraikan dalam penelitian:
Di balik teknologi ini, ada kisah kolaborasi yang tak kalah penting. Para peneliti menggunakan metode Action Research, sebuah pendekatan yang menekankan partisipasi dan pemecahan masalah di dunia nyata.1 Ini berarti mereka tidak bekerja di menara gading akademis, melainkan turun langsung, bekerja sama dengan Dinas Perhubungan, mendiagnosis masalah mereka secara spesifik, dan membangun solusi yang benar-benar sesuai dengan kebutuhan mereka. Model kemitraan antara universitas lokal dan pemerintah kota ini menjadi fondasi penting bagi keberhasilan inovasi teknologi sipil.
Dari Angka Menjadi Aksi: Ketika Dashboard Mengungkap Rahasia Jalanan Tomohon
Hasil akhir dari seluruh proses teknis yang rumit ini adalah sesuatu yang sangat sederhana dan kuat: sebuah dashboard. Dashboard ini adalah jembatan yang menghubungkan dunia analisis data yang kompleks dengan dunia pengambilan keputusan yang praktis. Alih-alih menyajikan tabel-tabel angka yang membosankan, sistem BI ini menampilkan informasi dalam bentuk visual yang intuitif seperti grafik, diagram, dan peta.1
Mari kita ambil satu contoh nyata yang disajikan dalam penelitian: sebuah grafik lingkaran (pie chart) yang menunjukkan sebaran kendaraan bermotor di Kecamatan Tomohon Tengah.1 Bagi orang awam, ini mungkin hanya lingkaran berwarna-warni. Namun bagi seorang perencana kota yang menggunakan dashboard BI, ini adalah peta harta karun.
Dalam sekejap, ia bisa melihat bahwa Kelurahan Matani dan Matani II menjadi kontributor utama lalu lintas di area tersebut, menyumbang hampir 40% dari total volume kendaraan. Ini bukan lagi sekadar firasat atau keluhan warga; ini adalah fakta visual yang tak terbantahkan. Informasi ini segera memicu pertanyaan-pertanyaan strategis: Mengapa kedua kelurahan ini begitu padat? Apakah ada pusat kegiatan ekonomi atau perumahan padat di sana? Apakah infrastruktur jalan di sana memadai?
Kekuatan sebenarnya dari dashboard ini terletak pada kemampuannya untuk menggali lebih dalam. Dengan beberapa klik, perencana kota tersebut bisa memfilter data ini untuk hanya menampilkan kondisi pada jam 8 pagi. Mungkin ia akan menemukan bahwa 90% lalu lintas di Matani pada jam itu adalah sepeda motor. Dengan klik lain, ia bisa melapisi data ini dengan peta rute angkutan umum, dan mungkin menemukan bahwa tidak ada rute angkutan umum langsung yang melayani koridor padat ini. Tiba-tiba, solusi potensial mulai muncul dengan jelas: mungkin perlu diperkenalkan rute angkutan umum baru yang menyasar para pekerja di pagi hari, atau mungkin pembangunan jalur khusus motor bisa menjadi solusi jangka pendek yang efektif.
Inilah transformasi fundamental yang ditawarkan oleh sistem BI. Ia mengubah cara pemerintah kota bekerja, dari yang tadinya reaktif menjadi proaktif. Secara tradisional, manajemen lalu lintas bersifat seperti pemadam kebakaran: ketika kemacetan terjadi, petugas dikirim untuk mengurainya. Dengan dashboard BI, pemerintah dapat mengenali pola—misalnya, "kemacetan di Bundaran Matani selalu memuncak pada hari Jumat sore minggu gajian." Ini memungkinkan mereka untuk melakukan intervensi taktis, seperti menempatkan petugas sebelum kemacetan terjadi.
Lebih jauh lagi, dengan mengintegrasikan data lain di masa depan—seperti izin mendirikan bangunan baru, jadwal acara kota, atau data demografi—sistem ini dapat berevolusi menjadi alat prediksi. Pemerintah bisa mengantisipasi, "Pembangunan kompleks perumahan baru di wilayah X kemungkinan besar akan menciptakan titik kemacetan baru di persimpangan Y dalam 18 bulan ke depan." Kemampuan prediktif ini memungkinkan perencanaan proaktif: melebarkan jalan atau membangun sistem transportasi publik sebelum masalah terjadi. Sistem BI ini, pada akhirnya, berpotensi mengubah pejabat kota dari sekadar "polisi lalu lintas" menjadi "arsitek perkotaan" yang merancang alur kehidupan kota di masa depan.
Perspektif Kritis: Sebuah Langkah Awal yang Menjanjikan, Namun Bukan Jalan Tol Menuju Solusi
Penting untuk melihat temuan ini dengan kacamata yang jernih dan realistis. Penelitian ini berhasil mendokumentasikan pengembangan sebuah alat pendukung keputusan yang sangat kuat dan inovatif.1 Namun, sebuah alat secanggih apa pun hanya akan efektif di tangan pengguna yang terampil dan dalam lingkungan yang mendukung. Laporan ini menandai selesainya fase pengembangan teknologi, tetapi fase implementasi yang jauh lebih menantang baru saja dimulai.
Sistem BI ini adalah sebuah solusi teknis, tetapi kemacetan adalah masalah sosio-teknis yang kompleks. Ada beberapa pertanyaan krusial yang belum terjawab oleh penelitian ini, yang menjadi batasan implisit dari lingkupnya:
Pada dasarnya, bagian tersulit dari implementasi teknologi sipil sering kali bukan terletak pada penulisan kode atau perancangan algoritma, melainkan pada perubahan budaya organisasi, proses birokrasi, dan dinamika politik. Keberhasilan jangka panjang dari sistem BI di Tomohon akan lebih bergantung pada manusia dan proses di sekitarnya daripada pada kecanggihan teknologinya semata. Kemenangan teknologi yang didokumentasikan dalam penelitian ini hanyalah pertempuran pertama dalam perang yang jauh lebih panjang melawan inersia kelembagaan dan kompleksitas tata kelola perkotaan.
Visi Kota Cerdas Tomohon: Dampak Nyata di Balik Kode dan Algoritma
Pada akhirnya, kisah pengembangan Business Intelligence di Tomohon adalah tentang manusia. Ini tentang komuter yang terjebak macet di Bundaran Matani, tentang orang tua yang ingin pulang lebih cepat untuk bertemu anak-anaknya, dan tentang pemilik usaha yang produktivitasnya terhambat oleh logistik yang lambat. Teknologi canggih ini tidak ada artinya jika tidak memberikan dampak nyata bagi kehidupan mereka.
Visi yang ditawarkan oleh sistem ini adalah visi tentang sebuah kota yang lebih cerdas, responsif, dan efisien. Dengan memanfaatkan kekuatan data, Tomohon dapat membuat keputusan yang lebih tepat sasaran. Alih-alih menebak-nebak, pemerintah dapat mengalokasikan sumber daya yang terbatas—baik itu anggaran infrastruktur maupun personel di lapangan—ke titik-titik yang paling membutuhkannya, pada waktu yang paling krusial.
Jika sistem ini diadopsi sepenuhnya dan didukung oleh kebijakan yang responsif, Tomohon berpotensi menjadi cetak biru bagi kota-kota berukuran sedang lainnya di seluruh Indonesia yang menghadapi tantangan serupa. Dalam lima tahun, bukan tidak mungkin waktu tempuh di jam-jam sibuk bisa dipangkas secara signifikan. Ini bukan sekadar angka dalam laporan; ini adalah puluhan menit tambahan setiap hari bagi warga untuk keluarga, pekerjaan, atau istirahat. Ini adalah penghematan biaya bahan bakar yang berarti bagi para pekerja dan pelaku usaha. Dan pada akhirnya, ini adalah kontribusi untuk udara yang lebih bersih dan lingkungan kota yang lebih layak huni bagi semua.
Kisah dari Tomohon ini mengajarkan sebuah pelajaran penting: di era digital, solusi untuk masalah fisik seperti kemacetan tidak selalu harus berupa beton dan aspal. Terkadang, solusi yang paling transformatif justru datang dari kecerdasan, data, dan kemauan untuk berinovasi. Ini adalah cerita tentang bagaimana sebuah kota, dihadapkan pada masalah universal, memilih untuk melawan balik dengan senjata paling modern yang dimilikinya: informasi.
Masalah Jalan di Indonesia
Dipublikasikan oleh Hansel pada 20 Oktober 2025
Bayangkan sejenak skenario yang terlalu akrab bagi jutaan penduduk kota: jarum jam di dasbor mobil bergerak lebih cepat daripada mobil itu sendiri. Deretan lampu rem merah menyala sejauh mata memandang, mesin-mesin menggeram dalam kesia-siaan, dan rasa frustrasi yang membara merayap masuk. Ini adalah realitas kemacetan lalu lintas, sebuah mimpi buruk perkotaan yang tidak hanya mencuri waktu kita tetapi juga merugikan ekonomi dan merusak lingkungan.
Ini bukan sekadar perasaan. Data menunjukkan krisis ini nyata dan semakin parah. Sebuah laporan pada tahun 2023 mengungkapkan bahwa kemacetan lalu lintas merugikan ekonomi Amerika Serikat lebih dari $70,4 miliar, sebuah lonjakan signifikan sebesar 15% dari tahun sebelumnya. Bagi individu, kerugian ini terasa lebih personal: rata-rata komuter di kota-kota besar kehilangan 42 jam setiap tahunnya hanya karena terjebak di jalan.1 Waktu yang seharusnya bisa dihabiskan bersama keluarga, untuk bekerja, atau beristirahat, lenyap ditelan aspal.
Akar masalahnya sering kali tersembunyi di depan mata, di setiap persimpangan jalan: lampu lalu lintas. Sebagian besar sistem yang kita andalkan saat ini pada dasarnya "bodoh". Mereka beroperasi berdasarkan jadwal waktu yang tetap, diprogram berdasarkan data historis yang mungkin sudah tidak relevan lagi.1 Sistem ini tidak mampu beradaptasi dengan denyut nadi kota yang dinamis—lonjakan lalu lintas saat jam sibuk, kecelakaan yang tak terduga, atau acara publik yang mengubah alur jalan. Akibatnya, kita sering terjebak di lampu merah padahal tidak ada satu pun kendaraan yang melintas dari arah lain.
Kondisi ini memunculkan sebuah pertanyaan mendasar yang coba dijawab oleh sebuah penelitian terobosan dari Lund University: Bagaimana jika setiap lampu lalu lintas bisa "berpikir" untuk dirinya sendiri? Bagaimana jika mereka bisa berkolaborasi secara cerdas untuk menciptakan aliran lalu lintas yang mulus dan efisien? Jawabannya mungkin terletak pada perpaduan tiga teknologi canggih yang berpotensi merevolusi cara kita bergerak di dalam kota.
Tiga Pilar Teknologi di Balik Revolusi Lalu Lintas: Membedah Otak di Balik Lampu Merah Cerdas
Untuk memecahkan masalah yang kompleks seperti kemacetan, para peneliti tidak bisa hanya mengandalkan satu solusi. Studi ini, yang dipimpin oleh Chun Xu, mengintegrasikan tiga teknologi kuat yang bekerja secara sinergis. Bayangkan ini sebagai tim ahli: satu adalah pengambil keputusan super cepat di lapangan, satu lagi adalah ahli strategi jenius yang terus belajar, dan yang terakhir adalah arsitek yang membangun dunia virtual untuk menguji setiap strategi tanpa risiko.
Komputasi Tepi (Edge Computing): Otak Lokal di Setiap Persimpangan
Masalah utama sistem lalu lintas "pintar" yang ada saat ini adalah latensi atau jeda waktu. Banyak sistem mengumpulkan data dari sensor di jalan, mengirimkannya ke pusat data (cloud) yang jauh, menganalisisnya, lalu mengirimkan perintah kembali ke lampu lalu lintas. Proses ini, meskipun terdengar cepat, bisa memakan waktu beberapa detik yang sangat berharga. Dalam lalu lintas, satu detik penundaan dapat menyebabkan antrean panjang.
Di sinilah edge computing atau komputasi tepi masuk sebagai pengubah permainan. Alih-alih mengirim data dalam perjalanan jauh, komputasi tepi menempatkan "otak mini" yang kuat tepat di lokasi—dalam hal ini, di setiap persimpangan.1 Data lalu lintas dari kamera dan sensor diproses secara lokal, memungkinkan keputusan dibuat dalam hitungan milidetik. Ini adalah perbedaan antara menunggu instruksi dari markas besar dan memiliki komandan lapangan yang dapat bertindak seketika. Kemampuan untuk merespons secara real-time adalah kunci untuk mengelola kondisi lalu lintas yang selalu berubah.1
Algoritma Evolusi Diferensial (DE): Seleksi Alam Digital untuk Jadwal Terbaik
Jika komputasi tepi adalah perangkat kerasnya, maka Algoritma Evolusi Diferensial (DE) adalah perangkat lunak cerdas atau "otak" di baliknya. DE adalah jenis kecerdasan buatan (AI) yang terinspirasi oleh teori evolusi Charles Darwin.1 Cara kerjanya sangat cerdas dan intuitif.
Bayangkan algoritma ini mengadakan sebuah kompetisi.
Pada dasarnya, DE secara sistematis dan tanpa lelah mencari kombinasi waktu lampu hijau, kuning, dan merah yang paling efisien di seluruh jaringan, sebuah tugas yang mustahil dilakukan oleh manusia.
Simulasi SUMO: Laboratorium Digital untuk Kota Masa Depan
Menguji coba algoritma lalu lintas baru di kota nyata adalah resep untuk kekacauan. Di sinilah SUMO (Simulation of Urban Mobility) memainkan peran vitalnya. SUMO adalah perangkat lunak simulasi sumber terbuka yang canggih, pada dasarnya sebuah "kembaran digital" atau digital twin dari lingkungan perkotaan.1
Para peneliti menggunakan SUMO untuk membangun model virtual kota yang realistis, lengkap dengan jalan, persimpangan, dan berbagai jenis kendaraan seperti mobil, bus, dan truk.1 Laboratorium digital ini memungkinkan mereka untuk melepaskan algoritma DE dan menguji ribuan skenario lalu lintas yang berbeda secara aman dan tanpa biaya. Mereka bisa mensimulasikan jam sibuk, kondisi lalu lintas lengang, dan segala sesuatu di antaranya, tanpa menyebabkan satu pun kemacetan di dunia nyata.1
Untuk menghubungkan otak (DE) dengan dunia virtual (SUMO), mereka menggunakan jembatan yang disebut TraCI (Traffic Control Interface). TraCI bertindak sebagai "remote control" yang memungkinkan algoritma DE untuk secara dinamis mengubah pengaturan lampu lalu lintas di dalam simulasi dan secara instan menerima umpan balik tentang dampaknya.1 Kombinasi ketiga pilar inilah—platform real-time dari komputasi tepi, kecerdasan adaptif dari DE, dan lingkungan pengujian bebas risiko dari SUMO—yang menciptakan fondasi untuk sistem manajemen lalu lintas yang benar-benar cerdas.
Di Dalam Laboratorium Digital: Mengintip Uji Coba yang Bisa Mengubah Wajah Kota
Untuk membuktikan keampuhan sistem ini, para peneliti tidak hanya berteori. Mereka membangun sebuah kota virtual. Menggunakan data peta dunia nyata dari OpenStreetMap (OSM), mereka mereplikasi jaringan jalan yang terdiri dari empat persimpangan utama yang saling terhubung. Ini bukan sekadar empat lampu lalu lintas yang terisolasi, melainkan sebuah sistem mini yang meniru bagaimana persimpangan di kota saling memengaruhi.1
Eksperimen dimulai dengan sebuah skenario yang disebut "kekacauan digital". Algoritma DE sengaja dimulai dengan populasi jadwal lampu lalu lintas yang sepenuhnya acak dan tidak terkoordinasi. Hasilnya persis seperti yang diharapkan: kemacetan virtual, antrean panjang, dan inefisiensi total. Pengukuran awal menunjukkan rata-rata waktu tunda kendaraan mencapai 13,91 detik di setiap persimpangan.1 Angka ini menjadi tolok ukur—titik awal yang buruk yang harus diperbaiki oleh AI.
Kemudian, proses evolusi pun dimulai. Generasi demi generasi, algoritma DE bekerja tanpa henti. Di setiap siklus, ia mengirimkan set instruksi baru ke dunia SUMO melalui TraCI. SUMO menjalankan simulasi, dengan teliti menghitung setiap detik penundaan yang dialami oleh setiap kendaraan, dan melaporkan "skor" kebugaran kembali ke DE. Algoritma kemudian membuang strategi yang berkinerja buruk, menggabungkan fitur-fitur dari strategi pemenang, dan melahirkan generasi baru yang lebih cerdas.
Para peneliti mengamati bahwa kurva pembelajaran AI ini sangat curam. Sebagian besar perbaikan dramatis terjadi dalam 40 hingga 60 generasi pertama.1 Ini menunjukkan betapa cepatnya sistem dapat belajar dari kekacauan dan mulai menemukan pola-pola efisiensi. Setelah 100 generasi evolusi digital, sistem akhirnya mencapai sebuah solusi yang stabil dan sangat optimal. Hasilnya sungguh mengejutkan.
Lompatan Kuantum dalam Efisiensi: Dari 14 Detik Tunggu Menjadi Hanya 4 Detik
Inilah momen puncak dari penelitian ini. Setelah proses optimisasi yang intensif, algoritma DE berhasil mengubah kekacauan lalu lintas menjadi sebuah simfoni yang terkoordinasi dengan baik.
Ini bukan sekadar perbaikan kecil; ini adalah sebuah lompatan kuantum. Sistem ini berhasil mengurangi waktu tunda kendaraan sebesar 72,8%.1
Untuk memahami betapa signifikannya angka ini, mari kita gunakan beberapa analogi:
Keajaiban dari solusi ini tidak terletak pada optimisasi satu lampu lalu lintas secara terpisah, melainkan pada kemampuannya untuk mengoptimalkan seluruh jaringan sebagai satu kesatuan. Algoritma ini memahami bahwa memberikan waktu hijau lebih lama di satu jalan utama dapat mencegah penumpukan yang akan menyumbat tiga persimpangan lainnya.
Sebagai contoh, solusi akhir yang ditemukan bukanlah jadwal yang seragam, melainkan sebuah tarian waktu yang kompleks dan disesuaikan. Di satu persimpangan, fase utama mungkin mendapatkan lampu hijau selama 27,6 detik. Namun, di persimpangan lain yang merupakan arteri utama, sistem dengan cerdas mengalokasikan hampir 60 detik lampu hijau untuk membersihkan volume lalu lintas yang padat.1 Kemampuan untuk membuat keputusan yang disesuaikan dan terkoordinasi inilah yang menjadi inti dari keunggulan sistem ini. Ini adalah bukti bahwa AI tidak hanya membuat setiap lampu menjadi lebih pintar, tetapi juga membuat seluruh jaringan lalu lintas bekerja secara harmonis.
Mengapa Temuan Ini Penting Hari Ini? Efek Domino bagi Ekonomi, Lingkungan, dan Keseharian Kita
Pengurangan waktu tunda sebesar 72,8% dalam sebuah simulasi mungkin terdengar akademis, tetapi jika diterapkan di dunia nyata, dampaknya akan terasa di hampir setiap aspek kehidupan perkotaan. Ini adalah efek domino yang positif.
Lebih jauh lagi, infrastruktur yang diusulkan—unit komputasi lokal di setiap persimpangan—adalah platform serbaguna. Setelah terpasang, perangkat keras yang sama dapat digunakan untuk aplikasi kota pintar lainnya, seperti pemantauan kualitas udara, manajemen parkir cerdas, atau bahkan mendukung komunikasi untuk kendaraan otonom di masa depan. Ini bukan hanya solusi untuk satu masalah, melainkan sebuah langkah fundamental menuju ekosistem perkotaan yang benar-benar terhubung dan cerdas.
Jalan Masih Panjang: Kritik Realistis dan Tantangan Menuju Implementasi Penuh
Meskipun hasilnya sangat menjanjikan, penting untuk tetap realistis. Penelitian ini adalah bukti konsep yang brilian, tetapi jalan dari simulasi laboratorium ke implementasi di jalanan kota yang sibuk masih panjang dan penuh tantangan. Peneliti sendiri secara transparan menguraikan beberapa batasan utama.1
Batasan-batasan ini bukanlah kegagalan, melainkan sebuah peta jalan yang jelas untuk penelitian dan pengembangan selanjutnya. Mereka menyoroti langkah-langkah rekayasa yang diperlukan untuk mengubah ide cemerlang ini menjadi kenyataan yang andal.
Kesimpulan: Jika Diterapkan, Inilah Wajah Baru Kota Kita dalam Lima Tahun ke Depan
Penelitian ini memberikan lebih dari sekadar data; ia menawarkan sebuah visi yang meyakinkan tentang masa depan mobilitas perkotaan. Sinergi yang kuat antara komputasi tepi yang responsif, kecerdasan buatan evolusioner, dan simulasi yang realistis telah membuktikan sebuah jalur yang layak untuk secara dramatis mengurangi salah satu masalah paling pelik di zaman modern.
Kita memulai dengan gambaran frustrasi di balik kemudi. Kini, kita bisa membayangkan sebuah masa depan yang berbeda: kota dengan lalu lintas yang mengalir lancar, udara yang lebih bersih untuk dihirup, dan warga yang lebih tenang dan produktif. Ini bukan lagi mimpi fiksi ilmiah yang jauh. Teknologi dasarnya sudah ada, dan penelitian seperti ini menunjukkan cara untuk merakitnya menjadi solusi yang efektif.
Meskipun tantangan rekayasa yang signifikan masih ada, arahnya sudah jelas. Jika kerangka kerja ini terus diadopsi dan dikembangkan oleh perencana kota dan insinyur, para ahli memproyeksikan bahwa kota-kota besar dapat melihat pengurangan nyata dalam biaya terkait kemacetan dan pemotongan signifikan dalam emisi transportasi dalam lima hingga sepuluh tahun ke depan. Perjalanan dari lampu merah yang membuat frustrasi menuju kota yang cerdas dan mengalir telah dimulai, satu baris kode pada satu waktu
Masalah Jalan di Indonesia
Dipublikasikan oleh Hansel pada 20 Oktober 2025
Krisis Senyap di Bawah Roda Kita: Mengapa Jalanan Indonesia Berada di Titik Puncak Kerentanan
Di jantung perputaran ekonomi Indonesia, terdapat sebuah paradoks yang mengkhawatirkan. Nadi kehidupan bangsa ini berdetak di atas aspal, di mana truk-truk pengangkut barang melintasi ribuan kilometer untuk memastikan setiap kebutuhan kita terpenuhi. Sebuah penelitian terbaru menyoroti fakta yang tak terbantahkan: denyut nadi ekonomi kita sangat bergantung pada jalan raya. Data menunjukkan bahwa $90\%$ dari seluruh lalu lintas angkut barang di nusantara dilayani oleh moda jalan, meninggalkan hanya $7\%$ untuk moda laut dan $3\%$ sisanya untuk moda transportasi lain.1 Angka ini bukan sekadar statistik; ini adalah cerminan realitas bahwa setiap produk yang kita konsumsi, dari makanan di meja hingga gawai di tangan kita, pernah menempuh perjalanan di atas jaringan jalan nasional.
Namun, di balik ketergantungan masif ini, tersembunyi sebuah krisis yang berjalan senyap. Penelitian yang sama menyajikan diagnosis yang suram mengenai kondisi infrastruktur vital ini. Secara nasional, hampir separuh, atau tepatnya $46\%$, dari total jalan sepanjang 348.241 km berada dalam kondisi "buruk". Bayangkan, hampir setengah dari arteri utama yang menopang kehidupan ekonomi kita sedang mengalami kerusakan sistemik. Situasi ini bahkan lebih genting di tingkat provinsi, di mana hanya $28\%$ jalan yang berada dalam kondisi "baik". Sisanya, $35\%$ dinilai "cukup" dan $37\%$ lainnya berada dalam kondisi "buruk".1 Artinya, lebih dari dua pertiga jalan provinsi berada di bawah standar yang seharusnya.
Kondisi ini lebih dari sekadar ketidaknyamanan berupa lubang di jalan. Ini adalah pajak tersembunyi yang membebani seluruh lapisan masyarakat. Ketika $90\%$ barang diangkut melalui jalanan yang nyaris separuhnya rusak, konsekuensi ekonominya sangat besar. Truk-truk memerlukan lebih banyak bahan bakar, biaya perawatan kendaraan melonjak, waktu tempuh menjadi lebih lama, dan risiko kerusakan barang dalam perjalanan meningkat. Semua biaya tambahan ini, pada akhirnya, dibebankan kepada konsumen melalui harga barang yang lebih tinggi. Dengan kata lain, jalan yang rusak bukan hanya masalah teknis, melainkan salah satu pendorong inflasi dan penghambat daya saing bangsa.
Angka-angka yang mengkhawatirkan ini juga mengisyaratkan adanya pola pengelolaan infrastruktur yang cenderung reaktif, bukan proaktif. Kondisi jalan yang dibiarkan menurun hingga tingkat kerusakan parah menunjukkan sebuah siklus yang terus berulang: bangun, abaikan, lalu bangun kembali dengan biaya selangit. Anggaran publik kemungkinan besar lebih sering dialokasikan untuk proyek-proyek baru yang monumental atau perbaikan darurat pada ruas jalan yang sudah hancur total, sementara pemeliharaan rutin yang bersifat pencegahan justru terabaikan. Siklus ini menciptakan bom waktu, di mana jumlah jalan rusak terus bertambah lebih cepat daripada kemampuan kita untuk memperbaikinya, yang pada akhirnya menyebabkan pembengkakan biaya rekonstruksi dan gangguan ekonomi yang tak berkesudahan.
Melampaui Tambal Sulam: Sebuah Pergeseran Revolusioner dalam Merawat Aset Bangsa
Di tengah potret suram kondisi infrastruktur jalan, sebuah penelitian yang dipublikasikan dalam Jurnal Vorteks menawarkan secercah harapan melalui pendekatan yang revolusioner. Solusi ini bukanlah tentang menemukan jenis aspal baru yang lebih kuat, melainkan sebuah pergeseran fundamental dalam cara kita berpikir tentang jalan: dari sekadar "memperbaiki" menjadi "merawat". Konsep ini dikenal dengan metode preservasi jalan "Long Segment" atau ruas panjang.1
Metode Long Segment pada dasarnya adalah sebuah filosofi penanganan holistik. Alih-alih melakukan tambal sulam pada lubang-lubang yang muncul secara sporadis, pendekatan ini menangani satu ruas jalan yang panjang dan berkesinambungan sebagai satu kesatuan unit. Tujuannya adalah untuk mencapai kondisi jalan yang seragam, stabil, dan sesuai standar di sepanjang segmen tersebut.1 Hasilnya adalah pengalaman berkendara yang mulus dan aman, tanpa transisi kasar antara aspal baru dan permukaan jalan lama yang mulai retak.
Inti dari revolusi pemikiran ini terletak pada pemahaman mendalam tentang perbedaan antara "preservasi" dan "rekonstruksi". Analogi terbaik untuk menjelaskannya adalah dunia kesehatan:
Penelitian ini mengidentifikasi serangkaian "terapi" pencegahan yang menjadi andalan dalam metode preservasi. Teknik-teknik seperti fog seal, chip seal, slurry seal, micro seal, dan SAMI mungkin terdengar teknis, tetapi fungsinya dapat diibaratkan sebagai "perawatan kulit untuk jalan".1 Lapisan-lapisan tipis ini berfungsi sebagai pelindung yang menjaga permukaan jalan dari infiltrasi air dan gesekan roda kendaraan, dua musuh utama aspal. Dengan biaya yang jauh lebih murah daripada pelapisan ulang total, perawatan ini mampu memperpanjang umur jalan secara signifikan.
Namun, tantangan terbesar dalam menerapkan filosofi cerdas ini bukanlah pada aspek teknis, melainkan pada aspek manusia dan sistem. Dokumen penelitian menyoroti bahwa sistem kontrak berbasis Long Segment masih "dianggap baru bagi pengguna jasa" dan memerlukan pemahaman mendalam dari para kontraktor.1 Bahkan, sebuah studi kasus di Sorong, Papua Barat, menunjukkan bahwa "pemahaman indikator yang masih rancu" di antara kontraktor dan konsultan lokal telah menyebabkan kegagalan proyek.1 Ini adalah sebuah pengingat penting: solusi rekayasa terbaik sekalipun akan sia-sia jika para pelaksana di lapangan—mulai dari pejabat pemerintah daerah hingga kontraktor lokal—tidak memahami, menerima, dan mampu menjalankan sistem baru ini dengan benar. Keberhasilan adopsi metode ini secara nasional lebih bergantung pada kualitas pelatihan, kejelasan komunikasi, dan manajemen kontrak yang kuat daripada pada campuran aspal itu sendiri.
Studi Kasus di Sumatera Utara: Proyek Percontohan yang Mengungkap Masa Depan Perawatan Jalan
Untuk membuktikan keampuhan metode Long Segment di dunia nyata, penelitian ini menyajikan sebuah studi kasus mendalam pada proyek preservasi jalan yang menghubungkan Kota Medan dengan Kabupaten Tanah Karo. Proyek ini bukan sekadar demonstrasi teknis, melainkan sebuah orkestrasi logistik yang kompleks, membentang di tiga wilayah administratif berbeda: Kota Medan, Kabupaten Deli Serdang, dan Kabupaten Tanah Karo.1 Dengan membedah proyek ini, kita dapat melihat bagaimana teori preservasi yang elegan diterjemahkan menjadi tindakan nyata di lapangan.
Skala proyek ini menunjukkan fleksibilitas dan presisi yang luar biasa dari metode Long Segment. Di satu sisi, proyek ini menangani urat nadi ekonomi regional, yaitu ruas jalan sepanjang $37.67$ km yang menghubungkan Batas Kota Medan dengan Batas Tanah Karo. Ruas raksasa ini menyerap lebih dari sepertiga, atau tepatnya $35\%$, dari total upaya preservasi. Di sini, fokus utamanya adalah "Pemeliharaan Rutin Kondisi" sepanjang $21.27$ km dan "Pemeliharaan Rutin" sepanjang $11.40$ km, memastikan koridor vital ini tetap dalam kondisi prima untuk menopang arus barang dan manusia.1
Di sisi lain, proyek ini menunjukkan perhatian yang sama seriusnya pada skala mikro. Sebagai contoh, di Kabanjahe, sebuah ruas jalan bernama Jalan Kapten Bangi Sembiring yang panjangnya hanya $0.56$ km juga mendapatkan penanganan preservasi. Detail ini sangat penting. Ini membuktikan bahwa pendekatan Long Segment tidak hanya dirancang untuk jalan tol atau jalan lintas provinsi, tetapi juga memiliki ketajaman untuk merawat jalan-jalan di perkotaan yang lebih pendek. Pesannya jelas: tidak ada jalan yang terlalu kecil atau tidak penting untuk dirawat dengan benar.1
Jika kita memvisualisasikan keseluruhan proyek ini sebagai sebuah kampanye terpadu, kita akan melihat sebuah strategi yang cerdas. Lebih dari sepertiga sumber daya difokuskan pada arteri utama Medan-Karo. Porsi signifikan lainnya, hampir $20\%$, dialokasikan untuk rute Kabanjahe-Merek. Sementara itu, segmen-segmen yang lebih kecil namun sama pentingnya di sekitar Medan, seperti Jalan Industri dan Jalan AH Nasution, masing-masing mendapatkan sekitar $5\%$ dari total fokus.1 Distribusi ini bukanlah alokasi acak, melainkan sebuah strategi triase yang cermat, di mana sumber daya diarahkan secara presisi berdasarkan tingkat kepentingan dan kondisi aktual setiap ruas jalan. Ini adalah bukti nyata dari sebuah sistem yang tidak hanya bekerja di atas kertas, tetapi juga efektif di lapangan yang kompleks.
Keberhasilan proyek yang membentang di tiga yurisdiksi pemerintahan ini juga menyoroti satu aspek krusial yang sering terabaikan: koordinasi. Mengelola tim, material, dan jadwal kerja secara simultan di belasan titik lokasi yang berbeda—dari Jalan Ngumban Surbakti di Medan hingga Jalan Veteran di Kabanjahe—adalah sebuah tantangan manajerial yang luar biasa. Oleh karena itu, kesimpulan penelitian yang menekankan perlunya "struktur koordinasi dan prosedur kerja yang tepat" bukanlah sekadar jargon birokrasi, melainkan kunci utama keberhasilan.1 Studi kasus ini membuktikan bahwa Long Segment bukan hanya inovasi rekayasa, tetapi juga sebuah inovasi dalam manajemen proyek infrastruktur.
Kalkulus Cerdas di Balik Pencegahan: Apa yang Ditemukan Para Peneliti
Analisis mendalam terhadap proyek di Sumatera Utara ini mengungkap sebuah kalkulus ekonomi yang cerdas: investasi kecil yang dilakukan pada waktu yang tepat dapat mencegah pengeluaran besar yang katastrofik di masa depan. Temuan inti dari penelitian ini menegaskan bahwa tindakan preservasi paling efektif dan efisien jika dilakukan pada jalan yang kondisinya belum rusak parah. Momen ketika sebuah jalan melewati ambang batas dari kondisi "sedang" ke "rusak berat" adalah titik di mana biaya perbaikan meroket secara eksponensial. Dengan demikian, tindakan paling bijaksana secara fiskal adalah melakukan intervensi sebelum titik kritis tersebut tercapai.1
Menariknya, penelitian ini juga mengakui realitas keterbatasan anggaran yang sering dihadapi pemerintah. Untuk itu, diperkenalkan sebuah kategori penanganan yang pragmatis, yaitu "Holding". Ini adalah kegiatan penunjang yang dilakukan pada ruas jalan yang sudah terlanjur rusak namun tidak dapat segera ditangani karena dana yang terbatas. Melalui teknik seperti Block Patching, kondisi jalan "ditahan" agar tidak semakin parah sambil menunggu alokasi anggaran untuk rekonstruksi penuh.1 Pendekatan ini menunjukkan bahwa sistem Long Segment tidak kaku, melainkan cukup fleksibel untuk beradaptasi dengan kendala finansial yang nyata di lapangan.
Meski demikian, penting untuk menempatkan temuan ini dalam konteks yang realistis. Studi ini memberikan cetak biru yang sangat berharga, namun fokusnya adalah pada koridor jalan yang spesifik di Sumatera Utara. Walaupun prinsip dasarnya bersifat universal, tantangan implementasi di daerah lain bisa sangat berbeda. Faktor-faktor seperti kondisi tanah yang unik di Kalimantan, curah hujan ekstrem di beberapa wilayah, ketersediaan kontraktor yang kompeten di Papua, atau kapasitas pemerintah daerah yang bervariasi di Jawa, semuanya memerlukan adaptasi. Oleh karena itu, penerapan metode ini secara nasional tidak bisa dilakukan dengan pendekatan "satu ukuran untuk semua". Diperlukan proyek-proyek percontohan regional lebih lanjut untuk menyempurnakan model implementasinya agar sesuai dengan kondisi lokal.
Pada akhirnya, penelitian ini secara tidak langsung mendorong kita untuk mendefinisikan kembali arti "nilai" dalam proyek pekerjaan umum. Secara tradisional, nilai sering kali diasosiasikan dengan proyek-proyek baru yang besar dan terlihat—jembatan megah atau jalan tol baru yang bisa diresmikan dengan meriah. Metode preservasi, sebaliknya, memperjuangkan bentuk nilai yang lebih subtil namun jauh lebih berdampak: ketiadaan kegagalan. Kesuksesan terbesarnya adalah jalan yang tidak pernah menjadi berita utama karena tidak pernah longsor atau hancur. Ini menuntut sebuah edukasi, baik bagi para pembuat kebijakan maupun masyarakat luas, untuk mulai menghargai nilai ekonomi luar biasa yang terkandung dalam pemeliharaan rutin yang "membosankan" namun konsisten, ketimbang perbaikan reaktif yang mahal dan selalu terlambat.
Jalan di Depan Mata: Cetak Biru untuk Indonesia yang Lebih Terhubung dan Sejahtera
Penelitian mengenai preservasi jalan di koridor Medan-Tanah Karo ini lebih dari sekadar laporan teknis; ia menawarkan sebuah cetak biru strategis untuk masa depan infrastruktur Indonesia. Kesimpulan utamanya dapat dirangkum dalam dua pilar fundamental yang menjadi syarat mutlak keberhasilan.
Pertama adalah Penanganan Komprehensif. Untuk menciptakan jalan yang mantap dan berstandar, diperlukan sebuah pendekatan menyeluruh. Ini dimulai dari identifikasi akurat kondisi setiap jengkal jalan, hingga memastikan ketepatan waktu dalam alokasi dana dan pelaksanaan di lapangan. Jalan tidak lagi dilihat sebagai potongan-potongan terpisah, melainkan sebagai sebuah sistem jaringan yang saling terhubung dan harus dikelola secara terintegrasi.1
Kedua adalah pendekatan yang Sistematis dan Terarah. Keberhasilan tidak hanya bergantung pada apa yang dilakukan, tetapi juga bagaimana cara melakukannya. Diperlukan struktur koordinasi yang jelas antar lembaga, prosedur kerja yang baku, dan sistem manajemen profesional yang mampu mengawal setiap tahap pekerjaan dengan presisi. Tanpa sistem yang solid, ide terbaik pun akan gagal dalam eksekusi.1
Jika diterapkan secara konsisten di seluruh Indonesia, filosofi preservasi ini bukan lagi sekadar wacana perbaikan jalan. Ini adalah sebuah strategi ekonomi yang transformatif dengan dampak nyata yang bisa kita rasakan bersama.
Pada akhirnya, temuan dari sebuah penelitian di Sumatera Utara ini menawarkan lebih dari sekadar janji aspal yang lebih halus. Ia menawarkan sebuah jalan yang lebih cerdas menuju Indonesia yang lebih efisien, lebih terhubung, dan pada akhirnya, lebih sejahtera bagi semua.
Sumber Artikel:
Masalah Jalan di Indonesia
Dipublikasikan oleh Hansel pada 15 Oktober 2025
Bagi jutaan warga di seluruh dunia, termasuk di Indonesia, perjalanan sehari-hari seringkali diwarnai oleh guncangan tak terduga. Getaran saat ban mobil menghantam lubang, manuver mendadak untuk menghindari retakan aspal, dan keluhan yang tak kunjung usai: "Mengapa jalan ini tak kunjung diperbaiki?" Pertanyaan ini bukan sekadar keluhan sesaat, melainkan cerminan dari sebuah masalah sistemik yang menghambat perekonomian dan menggerus kualitas hidup. Jalan yang rusak bukan hanya mengganggu kenyamanan; ia secara langsung meningkatkan biaya operasional kendaraan, memperlambat distribusi barang, dan pada akhirnya, membebani anggaran publik.1
Dilema ini terutama dirasakan oleh pemerintah daerah di negara-negara berkembang, di mana anggaran terbatas harus berhadapan dengan jaringan infrastruktur yang luas. Sebuah penelitian terobosan yang dilakukan di Peru menyoroti akar masalahnya: seringkali, persoalannya bukan murni kekurangan dana, melainkan ketiadaan sistem pemantauan yang efisien dan akurat.1 Tanpa data yang solid mengenai kondisi jalan secara real-time, keputusan perbaikan cenderung bersifat reaktif—menunggu kerusakan menjadi parah dan mahal untuk diperbaiki—alih-alih proaktif dan preventif.
Di tengah lanskap inilah, sebuah ruas jalan sepanjang 2 kilometer di Arequipa, Peru, bernama AR-780, diubah menjadi sebuah laboratorium lapangan. Para peneliti dari Universidad Católica de Santa Maria memutuskan untuk menggelar sebuah "pertarungan" langsung: metode tradisional yang lamban, padat karya, dan mahal diadu dengan teknologi cerdas yang ada di saku dan terbang di langit.1 Dua indikator kunci menjadi arena pertarungan ini: International Roughness Index (IRI), yang mengukur kenyamanan dan keamanan permukaan jalan, dan Pavement Condition Index (PCI), yang berfungsi sebagai "rapor kesehatan" aspal secara keseluruhan.
Namun, studi ini menawarkan sesuatu yang lebih fundamental daripada sekadar perbandingan teknologi. Ini adalah tentang demokratisasi alat manajemen infrastruktur. Selama ini, evaluasi jalan yang canggih bergantung pada peralatan khusus yang mahal dan tim ahli yang terlatih, sebuah kemewahan yang tidak dimiliki oleh banyak pemerintah kabupaten atau kota kecil. Penelitian ini membuktikan bahwa solusi untuk masalah kompleks ini bisa datang dari teknologi konsumen yang harganya terjangkau dan mudah diakses: sebuah aplikasi ponsel pintar dan sebuah drone komersial.1 Dengan menyajikan sebuah kerangka kerja yang dapat direplikasi, para peneliti secara efektif menurunkan hambatan teknis dan finansial, memberikan kekuatan kepada pemerintah lokal untuk membuat keputusan berbasis sains, bukan sekadar perkiraan.
Revolusi Digital di Atas Aspal: Ketika Smartphone dan Drone Menantang Tradisi Puluhan Tahun
Eksperimen di jalan AR-780 bukanlah sekadar uji coba akademis, melainkan sebuah demonstrasi nyata tentang bagaimana pergeseran paradigma teknologi dapat menghasilkan efisiensi yang dramatis. Dua skenario perbandingan mengungkapkan betapa besarnya potensi yang belum termanfaatkan.
Aplikasi di Kursi Pengemudi: Bagaimana Ponsel Pintar Mengalahkan Kecepatan Para Ahli
Pertama, para peneliti mengukur International Roughness Index (IRI), sebuah metrik yang secara sederhana dapat diartikan sebagai "skor kenyamanan berkendara." Semakin tinggi nilai IRI, semakin bergelombang dan tidak nyaman jalan tersebut, yang tidak hanya mengganggu pengemudi tetapi juga mempercepat keausan komponen kendaraan.1
Metode konvensional untuk mengukur IRI menggunakan alat bernama Merlin Roughness Meter. Bayangkan sebuah tim yang terdiri dari tiga orang—seorang operator yang mendorong alat, seorang asisten yang mencatat data, dan seorang pengawas lalu lintas—berjalan perlahan di sepanjang jalan. Setiap sekitar dua meter, mereka berhenti untuk mengambil pembacaan. Proses ini sangat teliti, namun luar biasa lambat dan padat karya.1
Di sisi lain, metode cerdas menggunakan aplikasi bernama Roadroid. Prosesnya sangat berbeda. Seorang insinyur hanya perlu memasang ponsel pintar di kaca depan kendaraan, membuka aplikasi, dan mulai berkendara dengan kecepatan normal sekitar 50 km/jam.1 Sensor akselerometer di dalam ponsel secara otomatis merekam setiap getaran dan guncangan, lalu mengolahnya menjadi data IRI yang akurat.
Hasil perbandingannya sangat mencengangkan. Untuk mengevaluasi jalan sepanjang satu kilometer, tim yang menggunakan Merlin Roughness Meter membutuhkan waktu satu jam penuh. Dengan aplikasi Roadroid, pekerjaan yang sama selesai hanya dalam satu menit.1 Ini adalah lompatan efisiensi 60 kali lipat. Secara naratif, apa yang sebelumnya memakan waktu setara dengan menonton satu episode serial TV, kini selesai bahkan sebelum secangkir kopi pagi mendingin.
Efisiensi waktu ini diikuti oleh penghematan biaya yang signifikan. Biaya evaluasi menggunakan Roadroid tercatat 681,29 soles Peru per kilometer, sementara metode Merlin memakan biaya 901,40 soles Peru per kilometer. Ini berarti penghematan sebesar 24,42%.1 Jika dianalogikan, setiap empat kilometer jalan yang dievaluasi menggunakan aplikasi ini, pemerintah daerah menghemat cukup uang untuk membiayai evaluasi kilometer kelima secara gratis.
Yang paling penting, efisiensi ini tidak mengorbankan akurasi. Hasil IRI dari Roadroid menunjukkan korelasi yang sangat tinggi dengan metode Merlin yang jauh lebih lambat, dengan variasi rata-rata hanya berkisar antara 4,0% hingga 8,7%.1 Keduanya bahkan menghasilkan klasifikasi Present Serviceability Index (PSI)—ukuran persepsi pengguna terhadap kualitas jalan—yang sama, yaitu "Baik".1 Ini adalah bukti kuat bahwa teknologi yang lebih cepat dan lebih murah dapat diandalkan untuk pengambilan keputusan.
Pandangan dari Atas: Mata Drone Mengungkap Lebih Banyak, dengan Biaya Jauh Lebih Murah
Selanjutnya, para peneliti beralih ke Pavement Condition Index (PCI), yang bisa dianggap sebagai "rapor kesehatan" jalan. Skornya berkisar dari 100 (sempurna) hingga 0 (gagal total), dan digunakan untuk menentukan jenis intervensi yang diperlukan, apakah cukup perawatan rutin atau sudah memerlukan rehabilitasi total.1
Inspeksi visual konvensional untuk PCI adalah pekerjaan yang sangat melelahkan. Sebuah tim harus berjalan kaki menyusuri setiap petak jalan (dalam studi ini, petak berukuran 30 x 7,6 meter), lalu secara manual mengidentifikasi, mengukur, dan mencatat 19 jenis kerusakan yang berbeda—mulai dari retak buaya, lubang, hingga deformasi permukaan.1 Proses ini tidak hanya lambat tetapi juga rentan terhadap subjektivitas penilai.
Sebagai tandingannya, para peneliti mengerahkan sebuah drone DJI Mavic 2 Pro. Drone ini diterbangkan secara otonom pada ketinggian 50 meter, mengambil ribuan foto resolusi tinggi dengan tumpang tindih 70%. Foto-foto ini kemudian diolah menggunakan perangkat lunak fotogrametri untuk menciptakan orthomosaic—sebuah peta foto tunggal yang sangat detail dari seluruh ruas jalan. Dari peta digital ini, para insinyur dapat mengidentifikasi dan mengukur kerusakan dengan presisi dari kenyamanan kantor mereka.1
Lagi-lagi, hasilnya menunjukkan efisiensi yang luar biasa. Pekerjaan yang membutuhkan 30 jam kerja lapangan oleh tim inspeksi visual—hampir seminggu kerja penuh—diselesaikan oleh drone hanya dalam 3 jam.1 Ini adalah percepatan 10 kali lipat.
Namun, penghematan biayalah yang menjadi sorotan utama. Evaluasi menggunakan drone hanya memakan biaya 375 soles Peru per kilometer, sementara metode tradisional menelan biaya 1.422,73 soles Peru per kilometer. Ini adalah pemangkasan anggaran sebesar 73,64%.1 Bayangkan implikasinya dalam skala besar: sebuah pemerintah daerah dengan anggaran 1,4 miliar rupiah untuk inspeksi jalan kini dapat menyelesaikan pekerjaan yang sama hanya dengan 375 juta rupiah. Sisa lebih dari 1 miliar rupiah dapat dialokasikan langsung untuk perbaikan jalan itu sendiri, bukan hanya untuk memeriksanya.
Nilai sejati dari teknologi cerdas ini sejatinya bukanlah karena mereka selalu lebih presisi. Faktanya, penelitian ini mengakui bahwa inspeksi visual di lapangan mampu memberikan detail yang lebih kaya.1 Namun, keunggulan strategisnya terletak pada kemampuannya untuk memungkinkan frekuensi pemantauan yang jauh lebih tinggi dengan biaya yang sangat rendah. Daripada melakukan inspeksi mahal sekali setiap beberapa tahun, pemerintah kini dapat memetakan kondisi seluruh jaringan jalannya setiap enam bulan atau bahkan setiap kuartal. Dengan data serial ini, mereka dapat melacak evolusi kerusakan—melihat retakan kecil sebelum menjadi lubang besar. Ini adalah pergeseran fundamental dari manajemen infrastruktur yang reaktif menjadi prediktif.
Mengapa Eksperimen di Peru Ini Bisa Mengubah Segalanya bagi Pemerintah Daerah
Kerangka kerja yang diusulkan dalam penelitian ini lebih dari sekadar inovasi teknis; ia adalah alat pemberdayaan bagi para pengambil keputusan di tingkat lokal. Dengan data IRI dan PCI yang objektif, cepat, dan terjangkau, percakapan di ruang rapat dinas pekerjaan umum dapat berubah secara drastis. Pertanyaan tidak lagi "Kira-kira, jalan mana yang paling parah kerusakannya?" melainkan "Berdasarkan peta data ini, berikut adalah 10 ruas jalan dengan skor PCI terendah yang harus menjadi prioritas utama dalam anggaran tahun ini."
Potensi optimalisasi anggaran sangat besar. Para peneliti menghitung, jika metode cerdas ini diterapkan pada seluruh 149,64 km jalan lokal di Arequipa, pemerintah akan menghemat 32.937 soles untuk evaluasi IRI dan 146.782 soles untuk evaluasi PCI.1 Dana yang dihemat ini dapat langsung dialihkan untuk membeli aspal, membayar upah pekerja, atau mendanai proyek infrastruktur lainnya yang mendesak.
Lebih jauh lagi, implementasi teknologi ini bukan hanya keputusan teknis, tetapi juga sebuah langkah politik yang kuat menuju tata kelola pemerintahan yang baik. Dalam banyak sistem, alokasi dana perbaikan jalan bisa dipengaruhi oleh lobi politik atau kepentingan elektoral. Data kuantitatif yang dihasilkan oleh Roadroid dan drone menciptakan bukti yang sulit dibantah mengenai kondisi objektif di lapangan. Seorang kepala dinas dapat menyajikan peta berkode warna yang menunjukkan tingkat kerusakan jalan kepada dewan legislatif atau publik, membenarkan alokasi anggaran berdasarkan kebutuhan teknis, bukan preferensi politis. Teknologi ini berfungsi sebagai "wasit" yang objektif, meningkatkan transparansi dan akuntabilitas penggunaan uang pajak.
Pada akhirnya, manfaatnya akan dirasakan langsung oleh masyarakat dalam berbagai bentuk:
Dosis Realitas: Keterbatasan Praktis dari Solusi Teknologi Tinggi
Meskipun hasilnya sangat menjanjikan, penting untuk bersikap realistis. Para peneliti sendiri secara jujur menguraikan keterbatasan dari teknologi yang mereka uji, menegaskan bahwa ini bukanlah "peluru perak" yang bisa menyelesaikan semua masalah, melainkan alat canggih yang harus digunakan dengan pemahaman akan batasannya.1
Aplikasi Roadroid, misalnya, sangat bergantung pada kondisi eksternal. Akurasinya optimal saat kendaraan bergerak dengan kecepatan yang relatif konstan. Di jalanan yang padat lalu lintas atau memiliki banyak tikungan tajam, menjaga kecepatan ini bisa menjadi tantangan. Selain itu, sensornya dapat "tertipu" oleh elemen di luar permukaan jalan, seperti kerikil, cabang pohon, atau gundukan kecil lainnya yang mungkin ada di jalur.1
Sementara itu, drone juga memiliki keterbatasannya. Keterbatasan utamanya adalah ketidakmampuannya untuk melakukan pengukuran kedalaman (sumbu-z) dengan presisi milimetrik, yang terkadang penting untuk menganalisis jenis kerusakan tertentu seperti deformasi. Selain itu, kualitas citra udara bisa sangat terpengaruh oleh bayangan yang dihasilkan oleh pohon-pohon besar atau bangunan tinggi. Oleh karena itu, perencanaan waktu penerbangan menjadi sangat krusial untuk memastikan data yang optimal.1
Pesan kuncinya bukanlah tentang mengganti metode lama secara total, melainkan tentang menciptakan sinergi yang cerdas. Pendekatan yang paling efektif kemungkinan besar adalah model hibrida: gunakan drone dan Roadroid untuk melakukan survei skala besar yang cepat dan murah guna mengidentifikasi titik-titik masalah di seluruh jaringan jalan. Setelah area-area kritis ini terpetakan, barulah kirim tim inspeksi visual untuk melakukan analisis mendalam hanya di lokasi yang benar-benar membutuhkannya. Ini adalah tentang menggunakan alat yang tepat untuk pekerjaan yang tepat, mengoptimalkan sumber daya untuk dampak maksimal.
Jalan ke Depan: Cetak Biru untuk Infrastruktur yang Lebih Cerdas, Murah, dan Aman
Penelitian di Arequipa ini memberikan sebuah pesan yang kuat dan jelas: inovasi transformatif dalam pelayanan publik tidak selalu harus datang dari proyek-proyek raksasa yang menelan biaya triliunan. Seringkali, lompatan terbesar datang dari penerapan cerdas teknologi yang sudah ada, terjangkau, dan mudah diakses.
Cetak biru yang ditawarkan bukan hanya relevan untuk Peru, tetapi juga untuk ribuan pemerintah daerah di seluruh dunia yang menghadapi tantangan serupa. Ini adalah undangan untuk beralih dari siklus perbaikan yang reaktif dan mahal ke sebuah model manajemen aset yang proaktif, berbasis data, dan berkelanjutan.
Jika kerangka kerja yang diuji di Arequipa ini diterapkan secara nasional, pemerintah daerah di seluruh Indonesia bisa merealokasi ratusan miliar rupiah dari anggaran survei ke anggaran perbaikan aktual dalam lima tahun ke depan. Ini berarti lebih banyak jalan mulus, ekonomi lokal yang lebih dinamis, dan kepercayaan publik yang lebih kuat terhadap pemerintah—semua dimulai dari sebuah aplikasi di ponsel dan pandangan dari langit.
Sumber Artikel: