Manajemen Bencana

Menyatukan Balkan: Mengapa "Tata Kelola" Adalah Kunci untuk Kerangka Kerja Kesiapsiagaan Bencana Lintas Batas yang Baru

Dipublikasikan oleh Raihan pada 22 Oktober 2025


Menjembatani Kesenjangan Kesiapsiagaan: Arah Riset Masa Depan untuk Manajemen Bencana Lintas Batas di Balkan

Wilayah Balkan menghadapi kerentanan ganda. Secara geografis, kawasan ini sangat rentan terhadap dampak perubahan iklim, dengan peningkatan frekuensi dan tingkat keparahan bencana alam seperti banjir dan cuaca ekstrem. Secara historis dan politik, respons terhadap bencana ini terfragmentasi, terhambat oleh tantangan koordinasi antara berbagai negara dan yurisdiksi. Meskipun bencana tidak mengenal batas negara , kerangka kerja untuk manajemen bencana bersama—terutama dalam fase kesiapsiagaan yang kritis—dianggap sangat langka, bahkan "hampir tidak ada" dalam literatur ilmiah untuk kawasan ini.

Menanggapi kesenjangan kritis ini, sebuah studi baru oleh Kanteler dan Bakouros (2024) yang diterbitkan dalam International Journal of Disaster Risk Reduction menyajikan upaya perintis untuk merancang kerangka kerja manajemen bencana kesiapsiagaan lintas batas (cross-border) yang holistik dan terintegrasi untuk wilayah Balkan. Penelitian ini tidak hanya memetakan tantangan yang ada tetapi juga membangun konsensus di antara para ahli tentang elemen-elemen fundamental yang diperlukan untuk kolaborasi yang efektif.

Perjalanan penelitian ini dimulai dengan analisis kuantitatif yang mengkhawatirkan menggunakan data INFORM Index. Analisis ini memvalidasi urgensi penelitian: proyeksi menunjukkan peningkatan paparan bahaya di tahun-tahun mendatang, dengan negara-negara seperti Albania, Yunani, dan Kroasia menjadi yang paling rentan. Lebih penting lagi, data menunjukkan "kekurangan serius" dalam kapasitas penanggulangan (coping capacity) di sebagian besar wilayah, dengan Bosnia dan Herzegovina diidentifikasi sebagai yang paling tidak beruntung. Temuan ini menggarisbawahi fakta bahwa kolaborasi lintas batas bukanlah sebuah kemewahan, melainkan kebutuhan mendesak untuk kelangsungan hidup regional, karena negara-negara harus bergantung pada tetangga terdekat mereka untuk mendapatkan bantuan segera.

Untuk membangun kerangka kerja, penelitian ini menggunakan metodologi studi Delphi yang kuat, sebuah proses terstruktur untuk mencapai konsensus ahli. Pertama, tinjauan literatur yang sistematis mengidentifikasi sepuluh pilar inti manajemen darurat, yang mencakup: Tata Kelola & Kepemimpinan, Komando & Kontrol, Teknologi & Keamanan Informasi, Pembangunan Kapasitas, Analisis Risiko, Kapasitas Tenaga Kerja, Jaringan Lintas Batas, Keterlibatan Masyarakat, Sumber Daya, dan Layanan Kesehatan .

Panel ahli kemudian dibentuk, mengumpulkan 102 responden di Putaran 1 dan 70 responden di Putaran 2 dari 11 negara Balkan (termasuk Yunani, Albania, Serbia, Kroasia, dan lainnya) ditambah Siprus. Panel ini beragam, mencakup perwakilan dari Otoritas Perlindungan Sipil, Kementerian Dalam Negeri, Brigade Pemadam Kebakaran, Organisasi Kemanusiaan, Kepolisian, dan Lembaga Penelitian.

Temuan inti dari studi Delphi ini sangat mencerahkan. Terungkap sebuah konsensus universal: "Tata Kelola dan Kepemimpinan" diidentifikasi sebagai prioritas utama nomor satu oleh semua kelompok pemangku kepentingan yang berpartisipasi, tanpa kecuali. Prioritas bersama ini menunjukkan bahwa terlepas dari perbedaan operasional, para ahli di seluruh Balkan setuju bahwa fondasi untuk kolaborasi yang sukses bersifat strategis, melibatkan kebijakan yang jelas, kerangka hukum, dan peran serta tanggung jawab yang terdefinisi dengan baik.

Namun, di bawah kesepakatan tingkat atas ini, analisis klaster mengungkapkan perbedaan prioritas yang penting untuk penelitian di masa depan:

  • Klaster 1 (Otoritas Perlindungan Sipil, Kementerian, LSM, Lembaga Penelitian): Memprioritaskan 1) Tata Kelola, 2) Pembangunan Kapasitas (Pelatihan/Latihan), dan 3) Komando & Kontrol.
  • Klaster 2 (Responden Pertama: Brigade Pemadam Kebakaran, Polisi): Juga memprioritaskan 1) Tata Kelola dan 2) Pembangunan Kapasitas, tetapi memilih 3) Kapasitas Tenaga Kerja sebagai prioritas ketiga mereka, menunjukkan fokus pada kesiapan personel di lapangan.
  • Klaster 3 (Layanan Medis Darurat/EMS): Meskipun juga memprioritaskan Tata Kelola, prioritas mereka yang lain sangat berbeda, dengan penekanan yang jauh lebih tinggi pada "Sumber Daya" (17%) dan "Teknologi & Keamanan Informasi" (15%).

Secara signifikan, penelitian ini juga menemukan "kesenjangan konsensus". Klaster 1—kelompok yang mencakup badan-badan pemerintah inti—menunjukkan konsensus 0% pada pilar "Keterlibatan Masyarakat". Ini adalah temuan kuantitatif yang mencolok, menunjukkan bahwa meskipun literatur akademis memuji keterlibatan komunitas dari bawah ke atas, para pembuat kebijakan di Balkan saat ini tidak memprioritaskannya dalam konteks lintas batas.

Kontribusi Utama terhadap Bidang

Kontribusi penelitian ini bersifat fundamental. Ini adalah studi perintis yang menyediakan kerangka kerja berbasis bukti empiris pertama untuk kesiapsiagaan bencana lintas batas di Balkan. Dengan mencapai konsensus di antara 11 negara dan berbagai lembaga, kerangka kerja ini menciptakan bahasa yang sama dan landasan bersama di wilayah yang secara historis terfragmentasi. Hasilnya adalah satu set elemen dan rekomendasi yang disepakati secara bulat (dirinci dalam Tabel 1-10 dalam paper ) yang dapat diadopsi oleh para pembuat kebijakan untuk menyelaraskan strategi nasional mereka. Selain itu, ini mengisi kesenjangan literatur yang signifikan dan memberikan justifikasi kuantitatif (melalui analisis INFORM dan Delphi) untuk kolaborasi yang lebih erat.

Keterbatasan dan Pertanyaan Terbuka

Para penulis bersikap transparan tentang keterbatasan metodologis. Sampel ahli, meskipun kuat, dibatasi oleh ketersediaan kontak dan sumber daya, dan dengan demikian tidak mewakili seluruh pemangku kepentingan di semua negara Balkan. Selain itu, studi Delphi mengalami pengurangan peserta sebesar 30% antara putaran, sebuah tantangan umum untuk metode ini, meskipun penulis berpendapat bahwa 70 tanggapan akhir tetap berkualitas tinggi.

Keterbatasan ini mengarah pada pertanyaan terbuka yang krusial bagi komunitas riset: Kerangka kerja teoretis kini ada, tetapi bagaimana kerangka kerja ini dapat dioperasionalkan? Apa hambatan politik, keuangan, dan hukum yang nyata untuk implementasinya?

Lebih mendesak lagi, mengapa ada pemutusan hubungan yang begitu tajam antara kebutuhan yang diakui akan keterlibatan masyarakat dan prioritas 0% yang diberikan oleh para pembuat kebijakan? Apakah ini cerminan dari budaya manajemen krisis top-down yang mengakar, kurangnya sumber daya, atau anggapan bahwa logistik lintas batas terlalu rumit untuk melibatkan warga sipil? Pertanyaan ini menuntut penyelidikan segera.

5 Rekomendasi Riset Berkelanjutan (dengan justifikasi ilmiah)

Berdasarkan temuan kuat dan pertanyaan terbuka dari paper ini, kami mengusulkan lima jalur penelitian konkret untuk memajukan bidang ini, yang dirancang khusus untuk peneliti, akademisi, dan badan pemberi hibah.

1. Pengembangan dan Validasi Indikator Kinerja Utama (KPI) dari Kerangka Kerja

  • Basis Temuan: Paper ini berhasil menciptakan kerangka kerja dan serangkaian rekomendasi , tetapi secara eksplisit mencatat bahwa langkah selanjutnya adalah menciptakan "metode pemantauan". Kerangka kerja ini memberi tahu kita apa yang harus dilakukan, tetapi tidak seberapa baik kita melakukannya.
  • Rekomendasi Riset: Melakukan studi Delphi putaran baru atau studi metode campuran yang berfokus secara eksklusif pada penerjemahan 129+ rekomendasi kualitatif kerangka kerja menjadi Indikator Kinerja Utama (KPI) yang kuantitatif dan dapat diukur.
  • Justifikasi Ilmiah: Penelitian ini sangat penting untuk memindahkan kerangka kerja dari dokumen strategis menjadi alat manajemen yang aktif. KPI akan memungkinkan negara-negara untuk mengukur, membandingkan, dan memantau "kualitas kerja sama lintas batas" mereka, memungkinkan pembandingan (benchmarking) dan perbaikan berkelanjutan. Hibah harus difokuskan pada validasi metrik ini untuk keandalan dan kelayakan.

2. Analisis Kesenjangan Implementasi Komparatif di Tingkat Nasional

  • Basis Temuan: Kerangka kerja ini bersifat regional dan kolaboratif , tetapi analisis INFORM menunjukkan perbedaan kapasitas nasional yang drastis. Sebuah kerangka kerja bersama tidak berguna jika beberapa anggota tidak memiliki kapasitas dasar untuk berpartisipasi.
  • Rekomendasi Riset: Melakukan serangkaian studi kasus komparatif di negara-negara partisipan (misalnya, membandingkan negara dengan kapasitas tinggi seperti Yunani dengan negara dengan kapasitas lebih rendah seperti Bosnia dan Herzegovina). Penelitian ini harus menggunakan 10 pilar kerangka kerja sebagai alat audit untuk memetakan kapasitas nasional saat ini (hukum, keuangan, infrastruktur) terhadap standar yang disepakati.
  • Justifikasi Ilmiah: Penelitian ini akan mengidentifikasi hambatan spesifik di tingkat nasional untuk adopsi. Ini akan menjawab: "Di mana letak kesenjangan terbesar antara kerangka kerja ideal dan kenyataan di lapangan?". Temuan ini akan sangat berharga bagi pembuat kebijakan nasional dan UE untuk mengarahkan investasi secara strategis ke titik-titik kelemahan terbesar.

3. Investigasi Kualitatif Mendalam tentang Anomali "Keterlibatan Masyarakat"

  • Basis Temuan: Temuan kuantitatif yang paling provokatif adalah prioritas 0% pada "Keterlibatan Masyarakat" dari Klaster 1 (otoritas pemerintah). Ini bertentangan langsung dengan praktik terbaik manajemen bencana modern.
  • Rekomendasi Riset: Sebuah studi kualitatif yang ditargetkan menggunakan wawancara semi-terstruktur dengan para pembuat keputusan di Otoritas Perlindungan Sipil dan Kementerian Dalam Negeri di seluruh Balkan. Penelitian harus menyelidiki mengapa pilar ini diprioritaskan begitu rendah. Hipotesis yang diuji dapat mencakup (a) kendala sumber daya, (b) budaya kelembagaan top-down, (c) kompleksitas hukum dalam memobilisasi sukarelawan lintas batas, atau (d) ketidakpercayaan historis.
  • Justifikasi Ilmiah: Kesenjangan antara teori akademis dan persepsi praktisi ini sangat penting. Jika pembuat kebijakan tidak melihat nilai dalam keterlibatan masyarakat, kerangka kerja apa pun akan rapuh. Penelitian ini penting untuk memahami hambatan budaya dan kelembagaan terhadap ketahanan masyarakat yang sejati di kawasan ini.

4. Riset Aksi: Merancang dan Menguji Modul Pelatihan Bersama

  • Basis Temuan: "Pembangunan Kapasitas" (termasuk pendidikan, pelatihan, dan latihan simulasi) adalah prioritas 2 teratas untuk hampir semua pemangku kepentingan. Kerangka kerja ini secara eksplisit menyerukan "pendidikan, pelatihan, dan latihan lintas batas bersama".
  • Rekomendasi Riset: Proyek riset aksi (action research) untuk merancang, mengimplementasikan, dan mengevaluasi prototipe modul pelatihan lintas batas. Modul awal harus fokus pada pilar dengan prioritas tertinggi dan konsensus tertinggi: Tata Kelola, Kepemimpinan, dan Komando & Kontrol. Penelitian akan mengukur hasil pembelajaran (peningkatan pengetahuan dan pemahaman bersama) di antara kelompok pemangku kepentingan yang beragam (misalnya, polisi dari Serbia, pemadam kebakaran dari Bulgaria).
  • Justifikasi Ilmiah: Ini akan menjadi tes operasional pertama dari kerangka kerja tersebut. Ini akan memberikan data empiris tentang apakah fondasi bersama yang diciptakan oleh kerangka kerja ini benar-benar dapat meningkatkan interoperabilitas dan koordinasi dalam skenario yang disimulasikan.

5. Pemodelan Efektivitas Kerangka Kerja Melalui Latihan Simulasi (Tabletop Exercise - TTX)

  • Basis Temuan: Seluruh tujuan kerangka kerja adalah untuk meningkatkan kesiapsiagaan terhadap bencana yang semakin parah akibat perubahan iklim.
  • Rekomendasi Riset: Merancang dan memfasilitasi serangkaian tabletop exercises (TTX) berbasis skenario yang ketat. Skenario ini harus kompleks dan lintas batas (misalnya, banjir besar di sepanjang perbatasan Yunani-Bulgaria, atau kegagalan bendungan di Sungai Drina yang mempengaruhi beberapa negara). Panel ahli kemudian harus mengevaluasi dua kondisi: (A) respons menggunakan protokol saat ini yang terfragmentasi, dan (B) respons yang sepenuhnya mengadopsi 10 pilar kerangka kerja baru.
  • Justifikasi Ilmiah: Meskipun bersifat simulasi, penelitian ini akan menghasilkan data kualitatif dan kuantitatif (misalnya, perkiraan waktu respons, perkiraan dampak ekonomi) tentang potensi nilai dan ROI dari penerapan kerangka kerja ini. Ini akan memberikan bukti kuat yang dibutuhkan oleh para pembuat kebijakan untuk membenarkan investasi politik dan keuangan yang diperlukan untuk adopsi skala penuh.

Panggilan untuk Kolaborasi

Penelitian oleh Kanteler dan Bakouros telah memberikan alat yang tak ternilai harganya bagi komunitas manajemen bencana. Mereka telah membangun fondasi bersama. Sekarang, tanggung jawab beralih ke komunitas riset untuk membangun di atas fondasi itu. Tantangannya adalah beralih dari konsensus teoretis ke implementasi praktis dan ketahanan operasional.

Penelitian lebih lanjut harus melibatkan kolaborasi erat antara lembaga akademik, Otoritas Perlindungan Sipil nasional di setiap negara Balkan, organisasi kemanusiaan yang beroperasi di lapangan, dan badan-badan Uni Eropa seperti DG ECHO. Hanya melalui upaya bersama seperti inilah kita dapat memastikan bahwa kerangka kerja yang menjanjikan ini menjadi kenyataan yang menyelamatkan jiwa.

Baca paper aslinya di sini

 

Selengkapnya
Menyatukan Balkan: Mengapa "Tata Kelola" Adalah Kunci untuk Kerangka Kerja Kesiapsiagaan Bencana Lintas Batas yang Baru

Manajemen Bencana

Menggali Pengetahuan Lokal: Bagaimana Tumpukan Sampah Memicu Bencana Longsor di Manado.

Dipublikasikan oleh Raihan pada 22 Oktober 2025


Mengidentifikasi Faktor Risiko yang Terlupakan: Resensi Riset tentang Kearifan Lokal, Sampah, dan Longsor Perkotaan

Dalam lanskap riset kebencanaan, penggabungan kearifan lokal (LK) dengan pengetahuan ilmiah teknis telah lama diakui sebagai komponen penting untuk Pengurangan Risiko Bencana (PRB) yang efektif, sebagaimana diamanatkan oleh kerangka kerja internasional seperti Sendai Framework. Namun, dalam praktiknya, literatur teknis mengenai risiko longsor perkotaan sebagian besar masih didominasi oleh analisis dinamika geologi dan alam. Kearifan lokal sering kali tidak dijadikan titik awal untuk mengidentifikasi faktor risiko yang spesifik secara kontekstual.

Paper "Leveraging local knowledge for landslide disaster risk reduction in an urban informal settlement in Manado, Indonesia" oleh MacAfee et al. (2024) secara langsung menantang kesenjangan ini. Penelitian ini bergeser dari fokus tradisional pada faktor geofisik murni dan menggunakan pendekatan kualitatif untuk menggali pemahaman mendalam penduduk di permukiman informal yang rawan longsor di Manado, Indonesia.

Melalui 19 wawancara kualitatif mendalam, transect walks, dan observasi etnografi, para peneliti membangun jalur logis temuan yang kuat. Berawal dari faktor risiko yang sudah diketahui seperti hujan lebat , lereng curam, dan tanah vulkanik yang porous, analisis bergerak lebih dalam ke faktor-faktor yang diidentifikasi secara unik oleh penduduk. Temuan utama yang paling menonjol—dan menjadi inti kontribusi paper ini—adalah identifikasi manajemen sampah padat (SWM) yang tidak memadai sebagai faktor antropogenik utama yang sering terabaikan dalam risiko longsor perkotaan.

Meskipun studi ini bersifat kualitatif dan tidak menghasilkan koefisien korelasi, data deskriptifnya sangat kuat. Temuan ini secara konsisten muncul dalam wawancara. 5 dari 19 peserta secara eksplisit menyalahkan SWM yang tidak memadai sebagai penyebab longsor , dan 9 peserta mengidentifikasi sistem drainase yang buruk (yang seringkali diperparah oleh sampah) sebagai faktor utama. Penduduk setempat memaparkan mekanisme kausal yang jelas: tumpukan sampah mengubah pola aliran air dengan menghalangi saluran drainase , berkontribusi pada ketidakstabilan tanah (disebutkan oleh seorang peserta sebagai membuat tanah "tenuous" atau rapuh) , dan menambah beban muatan di puncak lereng.

Lebih lanjut, penelitian ini menghubungkan kegagalan SWM ini tidak hanya dengan faktor fisik (akses jalan yang sempit dan curam) tetapi juga dengan faktor sosio-politik yang mengakar, termasuk kemiskinan, stigmatisasi penduduk "kumuh", dan pengecualian permukiman mereka dari layanan pemerintah.

Paper ini secara tajam mengkontraskan temuan LK ini dengan literatur teknis yang ada. Klasifikasi longsor yang dominan (seperti klasifikasi Varnes yang diperbarui oleh Hungr et al. [27]) memang menyebutkan "timbunan antropogenik", tetapi gagal untuk secara eksplisit membedakan atau menganalisis peran sampah rumah tangga yang tidak terkelola sebagai faktor risiko spesifik. Penelitian ini berargumen bahwa di permukiman informal, akumulasi sampah yang tersebar luas ini mungkin memiliki karakteristik yang sama dengan TPA ilegal atau "longsor sampah" (garbage landslides) skala besar yang telah didokumentasikan, namun terjadi pada skala mikro yang kumulatif dan terdesentralisasi.

Kontribusi Utama terhadap Bidang

Studi oleh MacAfee et al. ini memberikan tiga kontribusi fundamental bagi komunitas riset kebencanaan dan perkotaan:

  1. Validasi LK sebagai Sumber Data Primer: Paper ini secara efektif menggeser status kearifan lokal dari sekadar "persepsi risiko" menjadi sumber data primer yang valid untuk identifikasi faktor risiko. Ini menantang hegemoni pengetahuan teknis-geologis dan menunjukkan bahwa penduduk lokal memiliki pemahaman mekanistik yang mendalam tentang lingkungan mereka , yang dapat mengidentifikasi kesenjangan dalam sains formal.
  2. Identifikasi Faktor Risiko Antropogenik Baru (SWM): Kontribusi paling signifikan adalah penyorotan SWM yang tidak memadai sebagai faktor risiko longsor yang spesifik dan terabaikan di permukiman informal perkotaan. Ini membuka kotak pandora penelitian baru tentang bagaimana limbah domestik berinteraksi dengan stabilitas lereng, melampaui fokus tradisional pada penggundulan hutan atau konstruksi.
  3. Penekanan pada Keterkaitan Sosio-Teknis: Penelitian ini dengan kuat menunjukkan bahwa risiko longsor bukanlah murni masalah geoteknik. Ini adalah masalah tata kelola. Kegagalan SWM adalah kegagalan sosio-politik yang berakar pada eksklusi dan stigmatisasi. Ini memaksa peneliti untuk mengintegrasikan analisis kebijakan dan sosiologi perkotaan ke dalam model risiko fisik.

Keterbatasan dan Pertanyaan Terbuka

Sebagai studi kualitatif dengan ukuran sampel yang terfokus, para penulis secara jujur mengakui keterbatasan mereka. Studi ini tidak dapat mengkonfirmasi secara konklusif atau mengukur secara kuantitatif mekanisme fisik di balik interaksi SWM-longsor. Ini, bagaimanapun, bukanlah kelemahan, melainkan sebuah undangan eksplisit untuk penelitian lebih lanjut.

Temuan ini meninggalkan beberapa pertanyaan terbuka yang mendesak bagi komunitas akademik:

  • Mekanisme Fisik: Bagaimana tepatnya sampah rumah tangga mempengaruhi stabilitas geoteknik lereng? Apakah timbunan sampah plastik (non-porous) memiliki dampak yang berbeda pada tekanan air pori dibandingkan dengan sampah organik yang membusuk?
  • Kuantifikasi dan Ambang Batas: Berapa volume atau kepadatan sampah yang diperlukan untuk secara signifikan meningkatkan risiko longsor di berbagai jenis tanah dan sudut lereng?
  • Generalisasi: Apakah temuan ini—bahwa SWM adalah faktor risiko utama—spesifik untuk geologi tanah vulkanik unik di Manado , atau apakah ini fenomena umum di permukiman informal tropis di seluruh Dunia Selatan (Global South)?
  • Implikasi Klasifikasi: Bagaimana seharusnya klasifikasi teknis standar seperti Varnes diperbarui untuk secara fungsional memasukkan "limbah padat rumah tangga yang tidak terkelola" sebagai kategori material yang berbeda dan berisiko?

5 Rekomendasi Riset Berkelanjutan (dengan Justifikasi Ilmiah)

Berdasarkan kesenjangan yang diidentifikasi secara eksplisit oleh MacAfee et al., kami mengusulkan lima arah penelitian lanjutan yang ditargetkan untuk para peneliti dan lembaga pendanaan.

  1. Riset Kuantifikasi Mekanisme Geoteknik SWM-Longsor
    • Justifikasi: Paper ini bersifat kualitatif dan tidak dapat membuktikan mekanisme fisik yang dikemukakan oleh penduduk. Validasi kuantitatif sangat diperlukan.
    • Metode/Variabel Baru: Melakukan studi geoteknik terkontrol di laboratorium dan in-situ di lapangan. Ini harus melibatkan pembuatan model lereng fisik yang "dimuati" (loaded) dengan berbagai komposisi sampah (misalnya, % plastik vs % organik) dan dihadapkan pada skenario curah hujan yang berbeda untuk mensimulasikan infiltrasi air. Variabel kunci untuk diukur adalah kuat geser tanah (shear strength), tekanan air pori (pore water pressure), dan sudut kemiringan kritis sebelum terjadi kegagalan.
    • Perlunya Penelitian Lanjutan: Untuk memvalidasi LK secara teknis dan mengembangkan model prediktif berbasis fisika yang memasukkan SWM sebagai variabel input.
  2. Studi Komparatif Multi-Kota Lintas Geologi (Generalizability)
    • Justifikasi: Temuan ini saat ini terbatas pada satu studi kasus di Manado. Validitas eksternal dari hubungan SWM-longsor ini belum teruji.
    • Metode/Variabel Baru: Mereplikasi metodologi studi kasus kualitatif-kuantitatif (hibrid) di permukiman informal yang rawan longsor di kota-kota tropis lainnya dengan geologi yang berbeda (misalnya, Rio de Janeiro, Freetown, Kathmandu, atau kota-kota lain di Indonesia). Variabel pembanding harus mencakup geologi tanah, curah hujan rata-rata, kepadatan penduduk, dan status tata kelola SWM.
    • Perlunya Penelitian Lanjutan: Untuk menentukan apakah SWM adalah faktor risiko longsor universal di permukiman informal atau apakah interaksinya dimediasi oleh faktor geologi lokal.
  3. Investigasi Diferensial Material Antropogenik
    • Justifikasi: Paper ini menyerukan penelitian tentang jenis sampah yang berbeda, bukan hanya keberadaannya. LK hanya menyebut "sampah" (trash) , dan klasifikasi teknis Brasil hanya mencatat "kehadiran atau ketiadaan".
    • Metode/Variabel Baru: Menggunakan pemodelan geofisika dan analisis kimia-fisika untuk membedakan dampak dari berbagai jenis limbah. Secara khusus, meneliti bagaimana sampah plastik (yang hidrofobik dan tahan lama) mengubah jalur aliran air sub-permukaan versus bagaimana sampah organik (yang terdegradasi dan dapat meningkatkan kandungan air) mempengaruhi stabilitas. Penelitian juga harus menyelidiki efek sampah yang dibakar sebagian atau dikubur.
    • Perlunya Penelitian Lanjutan: Untuk menghasilkan rekomendasi praktis yang sangat spesifik bagi pembuat kebijakan SWM.
  4. Analisis Tata Kelola Integratif: SWM dalam Kerangka PRB
    • Justifikasi: Paper ini secara kuat menetapkan bahwa kegagalan SWM bersifat sosio-politik, berakar pada eksklusi dan stigma. Solusi teknis (Rekomendasi 1-3) akan gagal jika tata kelola yang mendasarinya tidak diperbaiki.
    • Metode/Variabel Baru: Melakukan analisis kebijakan dan penelitian tata kelola (governance research). Studi ini harus memetakan mengapa program SWM konvensional gagal menjangkau area informal dan bagaimana program PRB (seperti yang didukung Sendai Framework ) dapat diintegrasikan secara formal dengan program peningkatan permukiman (slum upgrading).
    • Perlunya Penelitian Lanjutan: Untuk merancang intervensi kebijakan yang holistik yang mengatasi SWM dan risiko longsor secara bersamaan, bukan sebagai silo yang terpisah.
  5. Pengembangan Klasifikasi Risiko Hibrid (LK + Teknis)
    • Justifikasi: Paper ini mengkritik klasifikasi teknis yang ada (seperti Varnes) karena mengabaikan masukan LK dan faktor SWM dan secara eksplisit menyerukan pembaruan.
    • Metode/Variabel Baru: Menggunakan metodologi Participatory Action Research (PAR) atau pengembangan hybrid knowledge. Penelitian ini harus mengumpulkan pakar geologi, insinyur sipil, perencana kota, dan anggota komunitas lokal dalam lokakarya bersama untuk bersama-sama membuat matriks penilaian risiko baru. Matriks ini harus mengintegrasikan variabel teknis (misalnya, sudut lereng, jenis tanah) dengan variabel LK yang divalidasi (misalnya, "akumulasi sampah terlihat", "drainase tersumbat", "tanah rapuh").
    • Perlunya Penelitian Lanjutan: Untuk menciptakan alat penilaian risiko (risk assessment tools) yang lebih akurat, relevan secara kontekstual, dan diterima secara sosial, yang dapat digunakan oleh pemerintah daerah dan komunitas.

Ajakan Kolaboratif

Penelitian oleh MacAfee et al. (2024) ini bukan hanya sebuah studi kasus, tetapi sebuah seruan untuk merevolusi cara kita menilai risiko longsor di lingkungan perkotaan yang paling rentan. Temuan ini menegaskan bahwa solusi tidak dapat ditemukan hanya di dalam laboratorium geoteknik atau di kantor perencana kota.

Penelitian lebih lanjut harus melibatkan kolaborasi erat antara institusi penelitian geoteknik dan hidrologi, lembaga pemerintah yang fokus pada tata kelola perkotaan dan manajemen limbah (seperti Kementerian PUPR atau KLHK di konteks Indonesia), dan organisasi berbasis komunitas yang bekerja langsung di permukiman informal. Kolaborasi multi-sektor ini krusial untuk memastikan bahwa temuan di masa depan tidak hanya valid secara ilmiah tetapi juga relevan secara kontekstual, adil secara sosial, dan dapat diimplementasikan secara berkelanjutan.

Baca paper aslinya di sini

 

Selengkapnya
Menggali Pengetahuan Lokal: Bagaimana Tumpukan Sampah Memicu Bencana Longsor di Manado.
page 1 of 1