Manajemen Bencana
Dipublikasikan oleh Raihan pada 03 November 2025
Melampaui Ketidakjelasan: Menata Ulang Indikator Risiko Banjir untuk Tindakan Mitigasi yang Tepat Sasaran
Oleh: Pınar Pamukçu Albers dan Mariele Evers Paper: Assessing Flood Risk: Identifying Indicators and Indices for Period-Specific Flood Measures
Studi ini secara eksplisit menguraikan kerangka kerja kritis bagi para akademisi, peneliti, dan lembaga pemberi hibah untuk menyelaraskan penilaian risiko banjir dengan kebutuhan tindakan spesifik yang diperlukan pada periode pra-banjir, saat-banjir, dan pasca-banjir. Melalui tinjauan sistematis terhadap 30 makalah penelitian yang menggunakan metodologi Analytic Hierarchy Process (AHP) dari tahun 2017 hingga 2022, penelitian ini berhasil mengidentifikasi dan mendefinisikan kembali ambiguitas yang melingkupi faktor-faktor risiko banjir—Bahaya, Paparan, dan Kerentanan—serta mengkorelasikannya dengan indikator dan indeks yang paling sering digunakan. Tujuan sentralnya adalah untuk menjembatani kesenjangan di mana kriteria seleksi indikator yang tepat, khususnya mengenai peran dan penerapannya selama periode banjir yang berbeda, tetap tidak jelas dalam literatur.
Jalur logis temuan dimulai dari pengakuan adanya ketidakjelasan konseptual yang meluas dalam literatur tentang penilaian risiko banjir. Para peneliti mencatat bahwa perumusan risiko banjir sangat bervariasi, dari model perkalian dasar (Risiko = Bahaya x Kerentanan) hingga formula yang lebih kompleks (Risiko = Bahaya x [Paparan x (Kapasitas Adaptif + Sensitivitas)]), yang mencerminkan kurangnya pendekatan konsisten untuk memastikan komparabilitas antar lokasi dan keadaan yang berbeda. Kerangka konseptual yang kabur ini menghambat efektivitas tindakan manajemen risiko, karena indikator yang digunakan seringkali tidak didefinisikan secara presisi dalam kaitannya dengan peran spesifiknya selama fase bencana. Secara khusus, Kerentanan di bawah kerangka IPCC AR6 kini mencakup elemen Sensitivitas dan Kapasitas Adaptif, memperumit pemodelan risiko secara keseluruhan.
Untuk mengatasi hal ini, tinjauan ini mengklasifikasikan indikator-indikator yang paling sering dianalisis dalam tujuh indeks utama: Socio-ekonomi, Lingkungan Terbangun (Built-environment), Hidrologi, Meteorologi, Topografi, Vegetasi, dan Geologi. Analisis mendalam menunjukkan adanya keterkaitan yang rumit. Misalnya, Indeks Hidrologi terbukti memegang peranan penting dalam penilaian Bahaya dan Kerentanan, meliputi indikator-indikator seperti drainase, sungai, aliran, dan karakteristik tanah, menjadikannya faktor penting dalam perencanaan intervensi. Kontras dengan itu, Indeks Socio-ekonomi menjadi perhatian utama untuk Kerentanan, dengan fokus pada kapasitas masyarakat untuk mengatasi dan pulih dari bencana, yang sangat penting bagi identifikasi populasi yang rentan dan pengembangan intervensi yang ditargetkan. Sementara itu, Indeks Lingkungan Terbangun—meliputi jaringan transportasi, tata guna lahan, dan kedekatan dengan sungai—secara signifikan memengaruhi Kerentanan, Bahaya, Paparan, dan Kerentanan.
Indikator Kuantitatif dan Potensi Riset Jangka Panjang
Meskipun tinjauan ini bersifat kualitatif-sistematis, analisis frekuensi penggunaan indikator memberikan sinyal yang jelas tentang fokus penelitian saat ini dan potensi untuk objek penelitian baru.
Penemuan ini menunjukkan hubungan kuat antara faktor Kerentanan dan indikator Kepadatan Populasi (jumlah individu per unit area), yang dipertimbangkan oleh lima dari total 30 paper yang diulas—menunjukkan potensi kuat untuk objek penelitian baru dalam studi kasus spesifik dan perbandingan antar-wilayah. Demikian pula, tingkat pendidikan/literasi muncul sebagai faktor Kerentanan yang signifikan dalam empat makalah yang ditinjau. Pola penggunaan ini menyoroti bahwa komunitas riset global, terutama yang berada di Asia Selatan dan Afrika (lokasi dominan studi kasus), secara kolektif mengakui Kepadatan Populasi dan tingkat pengetahuan sebagai variabel kunci dalam menentukan kerentanan dan kapasitas adaptif.
Penggunaan berulang dari indikator ini menegaskan bahwa faktor-faktor manusia tidak hanya menjadi variabel kontekstual, melainkan variabel kausal yang kritis yang memengaruhi tingkat risiko keseluruhan. Dalam jangka panjang, peneliti dapat menggunakan frekuensi penggunaan ini sebagai koefisien implisit dalam merancang model risiko baru. Dengan asumsi frekuensi lima dari 30 studi mencerminkan bobot signifikan yang diberikan pada indikator yang paling sering digunakan, fokus yang lebih tajam pada dinamika sosial-ekonomi dapat mengubah model risiko dari yang didominasi oleh Bahaya fisik menjadi model yang seimbang dengan Kerentanan sosial-ekonomi. Pemahaman ini membuka jalan bagi penilaian risiko yang lebih holistik dan pengembangan strategi yang tidak hanya berfokus pada infrastruktur keras tetapi juga pada penguatan modal sosial.
Logika penelitian kemudian berlanjut ke pengujian hubungan antara indikator risiko spesifik dan tiga periode banjir: pra-banjir (kesiapsiagaan), saat-banjir (tindakan darurat), dan pasca-banjir (pemulihan). Studi ini menemukan tiga jenis efek dominan:
Temuan ini secara implisit menunjukkan perlunya pendekatan risiko yang koheren dan kontekstual untuk mengaitkan indikator spesifik dengan tindakan yang sesuai—seperti mengaitkan indikator jaringan transportasi dengan rute evakuasi (saat-banjir) atau menghubungkan kepadatan populasi dengan kesiapsiagaan publik (pra-banjir). Dengan menjembatani kesenjangan ini, penelitian ini berkontribusi pada pengembangan metodologi yang lebih efektif dan informasi yang lebih baik untuk strategi mitigasi.
Kontribusi Utama terhadap Bidang
Kontribusi utama penelitian ini terletak pada upayanya untuk menstandardisasi kerangka kerja konseptual yang terpecah-pecah dalam penilaian risiko banjir. Dengan menggunakan AHP sebagai lensa untuk meninjau literatur, studi ini secara efektif memetakan bobot implisit yang diberikan oleh komunitas akademik pada berbagai indikator (geospasial, sosial, meteorologis) dan menghubungkannya dengan faktor risiko.
Keterbatasan dan Pertanyaan Terbuka
Meskipun tinjauan ini memberikan sintesis yang jelas, keterbatasan metodologi tinjauan literatur sistematis membuka beberapa pertanyaan terbuka yang krusial untuk agenda riset ke depan.
Keterbatasan utama terletak pada ketergantungan eksklusif pada studi AHP. Meskipun AHP adalah metode yang kuat untuk penentuan bobot multi-kriteria, ia memperkenalkan subjektivitas dalam penilaian ahli yang digunakan untuk menentukan bobot indikator. Oleh karena itu, bobot indikator yang disimpulkan dalam tinjauan ini sebagian didasarkan pada konsensus subjektif daripada hubungan statistik obyektif.
Pertanyaan Terbuka yang muncul meliputi:
5 Rekomendasi Riset Berkelanjutan
Untuk memajukan penilaian risiko banjir dari kerangka konseptual menjadi alat prediktif operasional, lima rekomendasi riset berikut harus menjadi prioritas bagi komunitas akademik dan lembaga pemberi dana:
1. Standardisasi Terminologi Risiko Global melalui Meta-Analisis Kuantitatif Lintas Metode
Justifikasi Ilmiah: Tinjauan ini secara tegas mendemonstrasikan variabilitas dalam perumusan risiko (Risiko = Hazard x Vulnerability vs. Risiko = Hazard + Vulnerability) dan definisi faktor. Variabilitas ini menghambat transferabilitas model. Arah Riset: Perlu dilakukan meta-analisis kuantitatif (bukan hanya kualitatif seperti studi ini) yang melibatkan model regresi atau pemodelan persamaan struktural (SEM). Studi ini harus menguji validitas dan stabilitas statistik dari berbagai formulasi risiko (perkalian vs. penjumlahan) menggunakan dataset global yang terstandarisasi. Variabel baru harus mencakup koefisien goodness-of-fit dari setiap formulasi dalam memprediksi kerugian nyata. Perlunya Penelitian Lanjutan: Standardisasi akan menghasilkan 'bobot emas' global untuk setiap indikator, menghilangkan subjektivitas penentuan bobot AHP dan memastikan konsistensi metodologis.
2. Pengembangan Indikator Positif yang Berbasis Kinerja Lintas Sektor
Justifikasi Ilmiah: Studi ini menggarisbawahi pentingnya indikator positif (misalnya, ruang hijau, sistem peringatan dini) yang sering diabaikan, namun memiliki efek positif yang signifikan dalam mengurangi risiko. Arah Riset: Penelitian harus berfokus pada pengembangan Indeks Kapasitas Adaptif Fungsional (ICAF). ICAF akan menggunakan metode baru seperti life-cycle assessment (LCA) untuk mengkuantifikasi manfaat ekonomi dan perlindungan dari aset adaptif (misalnya, berapa pengurangan debit puncak yang dihasilkan oleh X km² infrastruktur hijau). Konseks baru adalah validasi ICAF ini di lokasi dengan dan tanpa sistem peringatan dini yang efektif. Perlunya Penelitian Lanjutan: Ini akan memungkinkan lembaga pemberi hibah untuk memprioritaskan investasi nature-based solutions (solusi berbasis alam) berdasarkan dampak yang terukur, bukan hanya pada asumsi teoritis.
3. Pemetaan Skala Efek Indikator Lintas Wilayah Geografis
Justifikasi Ilmiah: Temuan menunjukkan dominasi studi kasus pada skala DAS (watershed) atau catchment dan kurangnya studi perbandingan di wilayah perkotaan padat penduduk atau pantai. Arah Riset: Diperlukan studi skala-silang (cross-scale) yang membandingkan efek dan bobot indikator. Misalnya, Indeks Hidrologi mungkin mendominasi risiko di DAS, tetapi Indeks Lingkungan Terbangun (misalnya, jalan, imperviousness) mungkin menjadi faktor penentu utama di tingkat kota. Penelitian ini harus menggunakan teknik regresi Geographically Weighted Regression (GWR) untuk menentukan bagaimana bobot indikator (variabel) berubah secara spasial dari skala watershed (konteks lama) ke skala city block (konteks baru). Perlunya Penelitian Lanjutan: Ini akan memberikan pemahaman yang lebih halus tentang Indikator Netral/Berbeda-Tingkat, memungkinkannya untuk ditafsirkan secara presisi berdasarkan skala analisis, sangat penting untuk perencanaan tata ruang perkotaan.
4. Menghubungkan Indikator Socio-Ekonomi dengan Tindakan Pasca-Banjir dan Pemulihan
Justifikasi Ilmiah: Indikator Socio-ekonomi (kepadatan populasi, tingkat pendidikan) saat ini terutama dinilai untuk Kerentanan (kapasitas untuk mengatasi). Namun, peran mereka dalam manajemen pasca-banjir (pemulihan, pelajaran yang dipetik) perlu diperluas. Arah Riset: Penelitian di masa depan harus menggunakan metode kualitatif dan kuantitatif campuran (mixed-methods) untuk menghubungkan Kerentanan Socio-ekonomi dengan metrik Pemulihan (misalnya, kecepatan asuransi disetujui, waktu yang diperlukan untuk rekonstruksi rumah). Variabel baru yang perlu dipertimbangkan adalah 'koefisien pemulihan' yang membandingkan kelompok dengan tingkat literasi rendah (kerentanan tinggi) dengan kelompok dengan tingkat literasi tinggi (kerentanan rendah) dalam konteks penyerapan dana hibah dan asuransi. Perlunya Penelitian Lanjutan: Ini akan memberikan panduan yang kuat bagi lembaga sosial dan asuransi untuk merancang intervensi yang mempercepat pemulihan di antara kelompok yang paling rentan, mengubah Kerentanan menjadi strategi Ketahanan.
5. Membangun Model Penilaian Risiko Real-Time Berbasis Indikator Meteorologis
Justifikasi Ilmiah: Indikator Meteorologi (curah hujan harian, maksimum) diakui krusial dalam penilaian Bahaya dan Kerentanan. Namun, sebagian besar studi AHP berfokus pada penilaian risiko statis. Arah Riset: Perlu dialihkan fokus ke penilaian risiko dinamis. Model harus mengintegrasikan indikator meteorologis ** near-real-time (hujan harian dan intensitas)** ke dalam model risiko AHP statis untuk menghasilkan peta risiko real-time. Ini akan menggunakan metode machine learning (ML) atau deep learning (DL) untuk memproses data sensor dan memprediksi Kerentanan atau Paparan secara langsung selama fase saat-banjir. Perlunya Penelitian Lanjutan: Hal ini akan merevolusi sistem peringatan dini, mengubahnya dari peringatan Bahaya sederhana menjadi peringatan Risiko fungsional yang secara otomatis mengaktifkan rute evakuasi yang diprioritaskan berdasarkan pergerakan populasi (Paparan).
Penelitian ini telah meletakkan dasar yang kokoh untuk menilai risiko banjir secara lebih terstruktur, tetapi tantangan standardisasi dan dinamika temporal masih harus diatasi. Penelitian lebih lanjut harus melibatkan institusi IPCC (untuk standardisasi definisi), UNESCO IHP (untuk pemetaan skala lintas batas DAS), dan Global Facility for Disaster Reduction and Recovery (GFDRR) dari Bank Dunia (untuk validasi metrik ICAF dan pemulihan socio-ekonomi) untuk memastikan keberlanjutan dan validitas hasil di berbagai konteks global.
Manajemen Bencana
Dipublikasikan oleh Raihan pada 27 Oktober 2025
Resensi Riset: Sistem Peringatan Dini Multi-Bahaya ASEAN (EWS) dan Arah Riset ke Depan
Laporan berjudul "Strengthening ASEAN Multi-Hazard End to End Early Warning System for Natural Disasters: An Assessment of Current Capacity" yang diterbitkan pada Februari 2024 merupakan tonggak penting bagi komunitas akademik dan praktisi dalam bidang Pengurangan Risiko Bencana (DRR). Sebagai upaya kolektif yang dipandu oleh ASEAN Committee on Disaster Management Working Group on Prevention and Mitigation (ACDM WG P&M), laporan ini menyajikan penilaian mendalam dan sistematis terhadap status terkini dan tantangan yang dihadapi oleh Sistem Peringatan Dini End-to-End (E2E-EWS) di sepuluh Negara Anggota ASEAN.
Jalur Logis Temuan dan Potensi Jangka Panjang
Penilaian ini didasarkan pada kerangka EWS yang terdiri dari empat elemen krusial: Pengetahuan Risiko Bencana; Kapasitas Deteksi, Pemantauan, Analisis, dan Peramalan Bahaya; Penyebaran dan Komunikasi Peringatan; serta Kesiapsiagaan dan Kapabilitas Respons. Logika penelitian ini bergerak dari pengakuan akan kemajuan regional yang substansial, terutama yang didorong oleh ASEAN Agreement on Disaster Management and Emergency Response (AADMER), menuju identifikasi titik-titik lemah spesifik yang menghambat realisasi ketahanan kolektif.
Secara inheren, kawasan ASEAN adalah wilayah yang sangat rentan. Data kuantitatif dari temuan ini menunjukkan hubungan kuat antara kerentanan geografis dan ancaman hidrometeorologi. Secara deskriptif, temuan ini menunjukkan bahwa Banjir menjadi ancaman bencana yang paling dominan di kawasan ini, menyumbang 2.068 (77,6%) dari total bencana yang tercatat antara tahun 2021 hingga 2022. Angka ini—sekitar tiga perempat dari seluruh kejadian bencana—menunjukkan potensi kuat untuk penelitian baru yang berfokus pada dinamika air dan prediksi bencana turunan. Lebih lanjut, penilaian kapasitas nasional mengungkapkan ketidakseimbangan yang signifikan: misalnya, dalam elemen Pengetahuan Risiko Bencana di beberapa negara, kapasitas untuk mengidentifikasi bahaya utama dinilai tinggi (skor studi awal 5.0 dari 5.0), namun skor untuk sub-elemen yang lebih kompleks—seperti penilaian dan kuantifikasi penuh terhadap eksposur, kerentanan, dan kapasitas—turun drastis (skor akhir 2.0), menunjukkan kesenjangan antara pengenalan bahaya dan kematangan analisis risiko terintegrasi. Kesenjangan ini mengindikasikan bahwa kerangka legislatif yang mapan belum sepenuhnya terinstitusionalisasi dalam praktik operasional dan pengambilan keputusan sehari-hari.
Jalur logis temuan berlanjut pada identifikasi benang merah masalah utama: keterbatasan interkoneksi antara empat elemen EWS di antara Negara Anggota ASEAN. Keterputusan ini menghasilkan peluang pembangunan kapasitas yang hilang, perencanaan yang tidak didukung data yang optimal, dan duplikasi upaya. Berangkat dari analisis kesenjangan ini, laporan tersebut secara eksplisit menyusun empat area programatik (Peningkatan Kebijakan, Penguatan Institusional, Pengembangan Kapasitas, dan Bantuan Teknis) untuk memajukan sistem peringatan dini di kawasan ini.
Dengan demikian, laporan ini tidak hanya berfungsi sebagai inventarisasi kapasitas saat ini tetapi juga sebagai peta jalan yang menghubungkan kelemahan sistem saat ini (misalnya, data siloed dan kesenjangan peringatan last-mile) dengan potensi jangka panjang berupa sistem EWS regional yang harmonis dan tangguh.
Kontribusi Utama terhadap Bidang
Laporan ini memberikan kontribusi yang tak ternilai bagi bidang Manajemen Bencana Regional, terutama di ASEAN, dengan empat poin utama:
Keterbatasan dan Pertanyaan Terbuka
Meskipun laporan ini komprehensif, ia secara jujur mengakui adanya keterbatasan, terutama yang disebabkan oleh ketersediaan informasi yang terbatas dan keterlibatan pemangku kepentingan dalam beberapa kasus. Keterbatasan ini memunculkan serangkaian pertanyaan terbuka krusial untuk riset akademik lanjutan.
Keterbatasan sistemik utama yang teridentifikasi adalah kesenjangan dalam Penyebaran dan Komunikasi Peringatan. Penilaian menyoroti kelemahan dalam saluran komunikasi yang dapat menjangkau komunitas terpencil, terutama dalam hal ketiadaan panduan yang jelas dan dapat ditindaklanjuti dalam pesan peringatan. Pertanyaan terbuka untuk peneliti adalah: Bagaimana mekanisme umpan balik yang tangguh dapat diterapkan di tingkat lokal untuk memverifikasi penerimaan dan pemahaman peringatan di komunitas terpencil? Selain itu, kurang optimalnya pemanfaatan Penilaian Risiko dan Kerentanan (RVA) di banyak proses EWS nasional memunculkan pertanyaan riset mendasar: Model institusional dan teknis apa yang paling efektif dalam mengubah data RVA (yang seringkali berbentuk laporan statis) menjadi input dinamis dan terintegrasi yang secara langsung memengaruhi pesan peringatan dan rencana respons?
Keterbatasan yang paling luas dampaknya adalah harmonisasi yang terbatas antar komponen sistem peringatan dini dan data yang siloed (terisolasi) di tingkat regional. Hal ini langsung mengarah pada pertanyaan riset yang berfokus pada interoperabilitas teknologi: Bagaimana ASEAN dapat mencapai implementasi penuh Common Alerting Protocol (CAP) yang konsisten di seluruh lembaga penerbit peringatan nasional (NMS/NDMO) untuk mengatasi kesenjangan kapasitas dalam berbagi pesan peringatan regional? Penelitian masa depan harus mengatasi keterbatasan ini dengan mengembangkan model yang tidak hanya mengidentifikasi kesenjangan, tetapi juga mengusulkan solusi teknis dan kelembagaan yang terukur.
5 Rekomendasi Riset Berkelanjutan (dengan Justifikasi Ilmiah)
Berdasarkan temuan utama mengenai kurangnya interkoneksi, pemanfaatan RVA yang tidak optimal, dan kesenjangan komunikasi last-mile, lima arah riset ke depan berikut ini direkomendasikan secara eksplisit untuk komunitas akademik dan penerima hibah:
Penelitian lebih lanjut harus melibatkan institusi ASEAN Secretariat/ACDM, AHA Centre, dan Pacific Disaster Center (PDC) untuk memastikan keberlanjutan dan validitas hasil, menerjemahkan rekomendasi akademik menjadi kebijakan operasional regional yang dapat diukur.
Baca paper aslinya di sini: Baca paper aslinya di sini
Manajemen Bencana
Dipublikasikan oleh Raihan pada 27 Oktober 2025
Resensi Riset: Tinjauan Struktural Model Manajemen Bencana dan Kontribusinya
Penelitian kualitatif yang dilakukan oleh Alrehaili et al. ini bertujuan untuk melakukan pemeriksaan kritis terhadap model-model manajemen bencana melalui analisis tematik guna menentukan kontribusi mereka, serta mengidentifikasi kendala atau tantangan signifikan yang dapat membatasi kemampuan model-model tersebut dalam melaksanakan tindakan pengurangan risiko bencana (DRR) yang tepat. Dengan mengadopsi pendekatan kualitatif, studi ini menginvestigasi literatur yang ada untuk mengevaluasi peran model dalam manajemen bencana. Kesimpulan utama yang muncul adalah bahwa model-model ini sangat diperlukan karena mereka menyederhanakan dan meningkatkan manajemen bencana , bertindak sebagai alat pendukung pengambilan keputusan yang berharga bagi perencana, manajer, dan praktisi.
Model dalam konteks ini didefinisikan sebagai "sistem fungsi dan kondisi yang menghasilkan hasil formal". Penelitian ini berargumen bahwa, meskipun ada banyak model yang tersedia, bencana masih sering dikelola secara tidak efisien, menunjukkan adanya kebutuhan untuk terus memperbaiki model agar manajemen bencana tetap menjadi disiplin profesional dan ilmiah. Studi ini menggarisbawahi pentingnya model untuk menyederhanakan situasi yang rumit (terutama dengan batasan waktu yang ketat), membantu pemahaman melalui perbandingan kondisi nyata dengan model teoretis, menyediakan alat yang efektif untuk mengukur aktivitas bencana, dan mendukung pembentukan pemahaman bersama di antara semua pihak yang berkepentingan.
Jalur Logis Perjalanan Temuan
Metodologi penelitian ini melibatkan kajian literatur diikuti oleh analisis konten, dengan menggunakan basis data ilmiah utama seperti Google Scholar dan Scopus. Proses pengumpulan dan klasifikasi model dilakukan melalui metodologi tiga tahap: pengumpulan model, analisis dan klasifikasi, dan diskusi model.
Temuan utama dari tinjauan ini mengarah pada klasifikasi model manajemen bencana ke dalam lima kategori utama, yang memperluas kategorisasi empat jenis model sebelumnya (logis, kausal, terintegrasi, dan tidak terkategorikan) dengan menambahkan kelompok kelima, yaitu model kombinatorial. Model kombinatorial ini diusulkan karena beberapa model tidak cocok untuk dimasukkan ke dalam kelompok yang sudah ada, dan model baru ini terdiri dari campuran model logis, kausal, dan terintegrasi.
Temuan penting lainnya adalah bahwa mayoritas model didasarkan pada empat fase utama manajemen bencana: mitigasi, kesiapsiagaan, respons, dan pemulihan , meskipun setiap model memiliki keunggulan yang membedakannya. Meskipun demikian, model-model tersebut tidak secara umum diterapkan dan tidak dapat digunakan dalam semua jenis bencana. Model Tradisional (1998) adalah yang paling disukai dan paling umum di antara para praktisi, bersama dengan model expand and contract (1998), Crunch cause (2000), dan Kimberly (2003).
Kontribusi Utama terhadap Bidang
Kontribusi utama studi ini bagi bidang manajemen bencana adalah penyediaan kerangka klasifikasi model yang diperbarui (lima kelompok) dan konfirmasi empiris mengenai nilai model sebagai alat pendukung keputusan yang penting. Secara deskriptif, temuan ini menunjukkan hubungan kuat antara penggunaan model yang tepat dan peningkatan tanggapan pemerintah dan komunitas terhadap bahaya dan risiko bencana—menunjukkan potensi kuat bagi objek penelitian baru untuk mengukur dampak kombinasi model. Selain itu, studi ini membenarkan bahwa model berfungsi untuk menyederhanakan dan mengklarifikasi manajemen bencana dan sangat berharga dalam menghadapi bencana besar seperti badai, gempa bumi, dan serangan teroris.
Keterbatasan dan Pertanyaan Terbuka
Meskipun model bermanfaat, penelitian ini menyoroti keterbatasan dan kekhawatiran yang terkait dengannya. Kekhawatiran tersebut meliputi ketidakpastian bencana di masa depan, sifat preskriptif model (langkah demi langkah) yang mengabaikan sifat bencana yang kompleks dan seringkali kacau, dan dampaknya terhadap bisnis. Kritik lain yang ditawarkan oleh Alexander (1997, 2002) adalah bahwa model tidak mengalami kemajuan signifikan karena korban tewas akibat bencana belum cukup berkurang, dan ada masalah seperti kurangnya transfer teknologi skala besar dan bantuan bencana yang tidak memadai.
Keterbatasan kunci yang diidentifikasi meliputi:
Pertanyaan terbuka yang diajukan oleh temuan ini adalah: Bagaimana mekanisme kombinasi model yang efektif dapat distandarisasi untuk bencana yang sangat kompleks, sehingga memaksimalkan kekuatan satu model (misalnya, Logis-Tradisional) untuk mengimbangi kelemahan model lain (misalnya, Kimberly yang memerlukan pendanaan besar)?. Studi ini secara eksplisit menemukan bahwa model tidak dapat diaplikasikan secara umum untuk semua jenis bencana karena sifat bencana yang unik dan tidak terduga.
5 Rekomendasi Riset Berkelanjutan untuk Komunitas Akademik
Berdasarkan temuan studi ini mengenai keterbatasan model, sifat preskriptif, dan kurangnya pemahaman tentang implementasi, lima rekomendasi berikut diusulkan untuk riset ke depan, yang berfokus pada jalur logis dari temuan saat ini dan potensi jangka panjang:
Penelitian lebih lanjut harus melibatkan institusi seperti Program Pembangunan Perserikatan Bangsa-Bangsa (UNDP) (sebagai koordinator global dan penerima hibah), Bank Dunia (sebagai sumber pendanaan dan data pembangunan), dan Pusat Kesiapsiagaan Bencana Asia (ADPC) (sebagai pengembang Model Tradisional dan Crunch Cause yang populer) untuk memastikan keberlanjutan dan validitas hasil, terutama dalam konteks global yang kompleks.
Manajemen Bencana
Dipublikasikan oleh Raihan pada 22 Oktober 2025
Menjembatani Kesenjangan Kesiapsiagaan: Arah Riset Masa Depan untuk Manajemen Bencana Lintas Batas di Balkan
Wilayah Balkan menghadapi kerentanan ganda. Secara geografis, kawasan ini sangat rentan terhadap dampak perubahan iklim, dengan peningkatan frekuensi dan tingkat keparahan bencana alam seperti banjir dan cuaca ekstrem. Secara historis dan politik, respons terhadap bencana ini terfragmentasi, terhambat oleh tantangan koordinasi antara berbagai negara dan yurisdiksi. Meskipun bencana tidak mengenal batas negara , kerangka kerja untuk manajemen bencana bersama—terutama dalam fase kesiapsiagaan yang kritis—dianggap sangat langka, bahkan "hampir tidak ada" dalam literatur ilmiah untuk kawasan ini.
Menanggapi kesenjangan kritis ini, sebuah studi baru oleh Kanteler dan Bakouros (2024) yang diterbitkan dalam International Journal of Disaster Risk Reduction menyajikan upaya perintis untuk merancang kerangka kerja manajemen bencana kesiapsiagaan lintas batas (cross-border) yang holistik dan terintegrasi untuk wilayah Balkan. Penelitian ini tidak hanya memetakan tantangan yang ada tetapi juga membangun konsensus di antara para ahli tentang elemen-elemen fundamental yang diperlukan untuk kolaborasi yang efektif.
Perjalanan penelitian ini dimulai dengan analisis kuantitatif yang mengkhawatirkan menggunakan data INFORM Index. Analisis ini memvalidasi urgensi penelitian: proyeksi menunjukkan peningkatan paparan bahaya di tahun-tahun mendatang, dengan negara-negara seperti Albania, Yunani, dan Kroasia menjadi yang paling rentan. Lebih penting lagi, data menunjukkan "kekurangan serius" dalam kapasitas penanggulangan (coping capacity) di sebagian besar wilayah, dengan Bosnia dan Herzegovina diidentifikasi sebagai yang paling tidak beruntung. Temuan ini menggarisbawahi fakta bahwa kolaborasi lintas batas bukanlah sebuah kemewahan, melainkan kebutuhan mendesak untuk kelangsungan hidup regional, karena negara-negara harus bergantung pada tetangga terdekat mereka untuk mendapatkan bantuan segera.
Untuk membangun kerangka kerja, penelitian ini menggunakan metodologi studi Delphi yang kuat, sebuah proses terstruktur untuk mencapai konsensus ahli. Pertama, tinjauan literatur yang sistematis mengidentifikasi sepuluh pilar inti manajemen darurat, yang mencakup: Tata Kelola & Kepemimpinan, Komando & Kontrol, Teknologi & Keamanan Informasi, Pembangunan Kapasitas, Analisis Risiko, Kapasitas Tenaga Kerja, Jaringan Lintas Batas, Keterlibatan Masyarakat, Sumber Daya, dan Layanan Kesehatan .
Panel ahli kemudian dibentuk, mengumpulkan 102 responden di Putaran 1 dan 70 responden di Putaran 2 dari 11 negara Balkan (termasuk Yunani, Albania, Serbia, Kroasia, dan lainnya) ditambah Siprus. Panel ini beragam, mencakup perwakilan dari Otoritas Perlindungan Sipil, Kementerian Dalam Negeri, Brigade Pemadam Kebakaran, Organisasi Kemanusiaan, Kepolisian, dan Lembaga Penelitian.
Temuan inti dari studi Delphi ini sangat mencerahkan. Terungkap sebuah konsensus universal: "Tata Kelola dan Kepemimpinan" diidentifikasi sebagai prioritas utama nomor satu oleh semua kelompok pemangku kepentingan yang berpartisipasi, tanpa kecuali. Prioritas bersama ini menunjukkan bahwa terlepas dari perbedaan operasional, para ahli di seluruh Balkan setuju bahwa fondasi untuk kolaborasi yang sukses bersifat strategis, melibatkan kebijakan yang jelas, kerangka hukum, dan peran serta tanggung jawab yang terdefinisi dengan baik.
Namun, di bawah kesepakatan tingkat atas ini, analisis klaster mengungkapkan perbedaan prioritas yang penting untuk penelitian di masa depan:
Secara signifikan, penelitian ini juga menemukan "kesenjangan konsensus". Klaster 1—kelompok yang mencakup badan-badan pemerintah inti—menunjukkan konsensus 0% pada pilar "Keterlibatan Masyarakat". Ini adalah temuan kuantitatif yang mencolok, menunjukkan bahwa meskipun literatur akademis memuji keterlibatan komunitas dari bawah ke atas, para pembuat kebijakan di Balkan saat ini tidak memprioritaskannya dalam konteks lintas batas.
Kontribusi Utama terhadap Bidang
Kontribusi penelitian ini bersifat fundamental. Ini adalah studi perintis yang menyediakan kerangka kerja berbasis bukti empiris pertama untuk kesiapsiagaan bencana lintas batas di Balkan. Dengan mencapai konsensus di antara 11 negara dan berbagai lembaga, kerangka kerja ini menciptakan bahasa yang sama dan landasan bersama di wilayah yang secara historis terfragmentasi. Hasilnya adalah satu set elemen dan rekomendasi yang disepakati secara bulat (dirinci dalam Tabel 1-10 dalam paper ) yang dapat diadopsi oleh para pembuat kebijakan untuk menyelaraskan strategi nasional mereka. Selain itu, ini mengisi kesenjangan literatur yang signifikan dan memberikan justifikasi kuantitatif (melalui analisis INFORM dan Delphi) untuk kolaborasi yang lebih erat.
Keterbatasan dan Pertanyaan Terbuka
Para penulis bersikap transparan tentang keterbatasan metodologis. Sampel ahli, meskipun kuat, dibatasi oleh ketersediaan kontak dan sumber daya, dan dengan demikian tidak mewakili seluruh pemangku kepentingan di semua negara Balkan. Selain itu, studi Delphi mengalami pengurangan peserta sebesar 30% antara putaran, sebuah tantangan umum untuk metode ini, meskipun penulis berpendapat bahwa 70 tanggapan akhir tetap berkualitas tinggi.
Keterbatasan ini mengarah pada pertanyaan terbuka yang krusial bagi komunitas riset: Kerangka kerja teoretis kini ada, tetapi bagaimana kerangka kerja ini dapat dioperasionalkan? Apa hambatan politik, keuangan, dan hukum yang nyata untuk implementasinya?
Lebih mendesak lagi, mengapa ada pemutusan hubungan yang begitu tajam antara kebutuhan yang diakui akan keterlibatan masyarakat dan prioritas 0% yang diberikan oleh para pembuat kebijakan? Apakah ini cerminan dari budaya manajemen krisis top-down yang mengakar, kurangnya sumber daya, atau anggapan bahwa logistik lintas batas terlalu rumit untuk melibatkan warga sipil? Pertanyaan ini menuntut penyelidikan segera.
5 Rekomendasi Riset Berkelanjutan (dengan justifikasi ilmiah)
Berdasarkan temuan kuat dan pertanyaan terbuka dari paper ini, kami mengusulkan lima jalur penelitian konkret untuk memajukan bidang ini, yang dirancang khusus untuk peneliti, akademisi, dan badan pemberi hibah.
1. Pengembangan dan Validasi Indikator Kinerja Utama (KPI) dari Kerangka Kerja
2. Analisis Kesenjangan Implementasi Komparatif di Tingkat Nasional
3. Investigasi Kualitatif Mendalam tentang Anomali "Keterlibatan Masyarakat"
4. Riset Aksi: Merancang dan Menguji Modul Pelatihan Bersama
5. Pemodelan Efektivitas Kerangka Kerja Melalui Latihan Simulasi (Tabletop Exercise - TTX)
Panggilan untuk Kolaborasi
Penelitian oleh Kanteler dan Bakouros telah memberikan alat yang tak ternilai harganya bagi komunitas manajemen bencana. Mereka telah membangun fondasi bersama. Sekarang, tanggung jawab beralih ke komunitas riset untuk membangun di atas fondasi itu. Tantangannya adalah beralih dari konsensus teoretis ke implementasi praktis dan ketahanan operasional.
Penelitian lebih lanjut harus melibatkan kolaborasi erat antara lembaga akademik, Otoritas Perlindungan Sipil nasional di setiap negara Balkan, organisasi kemanusiaan yang beroperasi di lapangan, dan badan-badan Uni Eropa seperti DG ECHO. Hanya melalui upaya bersama seperti inilah kita dapat memastikan bahwa kerangka kerja yang menjanjikan ini menjadi kenyataan yang menyelamatkan jiwa.
Manajemen Bencana
Dipublikasikan oleh Raihan pada 22 Oktober 2025
Mengidentifikasi Faktor Risiko yang Terlupakan: Resensi Riset tentang Kearifan Lokal, Sampah, dan Longsor Perkotaan
Dalam lanskap riset kebencanaan, penggabungan kearifan lokal (LK) dengan pengetahuan ilmiah teknis telah lama diakui sebagai komponen penting untuk Pengurangan Risiko Bencana (PRB) yang efektif, sebagaimana diamanatkan oleh kerangka kerja internasional seperti Sendai Framework. Namun, dalam praktiknya, literatur teknis mengenai risiko longsor perkotaan sebagian besar masih didominasi oleh analisis dinamika geologi dan alam. Kearifan lokal sering kali tidak dijadikan titik awal untuk mengidentifikasi faktor risiko yang spesifik secara kontekstual.
Paper "Leveraging local knowledge for landslide disaster risk reduction in an urban informal settlement in Manado, Indonesia" oleh MacAfee et al. (2024) secara langsung menantang kesenjangan ini. Penelitian ini bergeser dari fokus tradisional pada faktor geofisik murni dan menggunakan pendekatan kualitatif untuk menggali pemahaman mendalam penduduk di permukiman informal yang rawan longsor di Manado, Indonesia.
Melalui 19 wawancara kualitatif mendalam, transect walks, dan observasi etnografi, para peneliti membangun jalur logis temuan yang kuat. Berawal dari faktor risiko yang sudah diketahui seperti hujan lebat , lereng curam, dan tanah vulkanik yang porous, analisis bergerak lebih dalam ke faktor-faktor yang diidentifikasi secara unik oleh penduduk. Temuan utama yang paling menonjol—dan menjadi inti kontribusi paper ini—adalah identifikasi manajemen sampah padat (SWM) yang tidak memadai sebagai faktor antropogenik utama yang sering terabaikan dalam risiko longsor perkotaan.
Meskipun studi ini bersifat kualitatif dan tidak menghasilkan koefisien korelasi, data deskriptifnya sangat kuat. Temuan ini secara konsisten muncul dalam wawancara. 5 dari 19 peserta secara eksplisit menyalahkan SWM yang tidak memadai sebagai penyebab longsor , dan 9 peserta mengidentifikasi sistem drainase yang buruk (yang seringkali diperparah oleh sampah) sebagai faktor utama. Penduduk setempat memaparkan mekanisme kausal yang jelas: tumpukan sampah mengubah pola aliran air dengan menghalangi saluran drainase , berkontribusi pada ketidakstabilan tanah (disebutkan oleh seorang peserta sebagai membuat tanah "tenuous" atau rapuh) , dan menambah beban muatan di puncak lereng.
Lebih lanjut, penelitian ini menghubungkan kegagalan SWM ini tidak hanya dengan faktor fisik (akses jalan yang sempit dan curam) tetapi juga dengan faktor sosio-politik yang mengakar, termasuk kemiskinan, stigmatisasi penduduk "kumuh", dan pengecualian permukiman mereka dari layanan pemerintah.
Paper ini secara tajam mengkontraskan temuan LK ini dengan literatur teknis yang ada. Klasifikasi longsor yang dominan (seperti klasifikasi Varnes yang diperbarui oleh Hungr et al. [27]) memang menyebutkan "timbunan antropogenik", tetapi gagal untuk secara eksplisit membedakan atau menganalisis peran sampah rumah tangga yang tidak terkelola sebagai faktor risiko spesifik. Penelitian ini berargumen bahwa di permukiman informal, akumulasi sampah yang tersebar luas ini mungkin memiliki karakteristik yang sama dengan TPA ilegal atau "longsor sampah" (garbage landslides) skala besar yang telah didokumentasikan, namun terjadi pada skala mikro yang kumulatif dan terdesentralisasi.
Kontribusi Utama terhadap Bidang
Studi oleh MacAfee et al. ini memberikan tiga kontribusi fundamental bagi komunitas riset kebencanaan dan perkotaan:
Keterbatasan dan Pertanyaan Terbuka
Sebagai studi kualitatif dengan ukuran sampel yang terfokus, para penulis secara jujur mengakui keterbatasan mereka. Studi ini tidak dapat mengkonfirmasi secara konklusif atau mengukur secara kuantitatif mekanisme fisik di balik interaksi SWM-longsor. Ini, bagaimanapun, bukanlah kelemahan, melainkan sebuah undangan eksplisit untuk penelitian lebih lanjut.
Temuan ini meninggalkan beberapa pertanyaan terbuka yang mendesak bagi komunitas akademik:
5 Rekomendasi Riset Berkelanjutan (dengan Justifikasi Ilmiah)
Berdasarkan kesenjangan yang diidentifikasi secara eksplisit oleh MacAfee et al., kami mengusulkan lima arah penelitian lanjutan yang ditargetkan untuk para peneliti dan lembaga pendanaan.
Ajakan Kolaboratif
Penelitian oleh MacAfee et al. (2024) ini bukan hanya sebuah studi kasus, tetapi sebuah seruan untuk merevolusi cara kita menilai risiko longsor di lingkungan perkotaan yang paling rentan. Temuan ini menegaskan bahwa solusi tidak dapat ditemukan hanya di dalam laboratorium geoteknik atau di kantor perencana kota.
Penelitian lebih lanjut harus melibatkan kolaborasi erat antara institusi penelitian geoteknik dan hidrologi, lembaga pemerintah yang fokus pada tata kelola perkotaan dan manajemen limbah (seperti Kementerian PUPR atau KLHK di konteks Indonesia), dan organisasi berbasis komunitas yang bekerja langsung di permukiman informal. Kolaborasi multi-sektor ini krusial untuk memastikan bahwa temuan di masa depan tidak hanya valid secara ilmiah tetapi juga relevan secara kontekstual, adil secara sosial, dan dapat diimplementasikan secara berkelanjutan.