Krisis Air

Krisis Air Tawar dalam Pertanian – Ancaman Terbesar bagi Ketahanan Pangan Global

Dipublikasikan oleh Izura Ramadhani Fauziyah pada 24 Juni 2025


Air tawar adalah sumber daya abiotik yang tak tergantikan bagi kehidupan manusia, ekosistem, dan proses produksi pangan. Namun, dengan pertumbuhan penduduk, urbanisasi, perubahan pola konsumsi, dan ekspansi pertanian irigasi, tekanan terhadap ketersediaan air tawar meningkat drastis. Paper “Water Scarcity in Agriculture: The Greatest Threat to Global Food Security” karya Tom Tabler dan Joseph Chibanga (2024) membedah secara komprehensif keterkaitan antara kelangkaan air, produksi pangan, dan ancaman terhadap ketahanan pangan dunia. Artikel ini sangat relevan di tengah krisis iklim, inflasi pangan, dan meningkatnya persaingan antar sektor ekonomi dalam memperebutkan air.

Skala Krisis Air Global: Data dan Tren Utama

Pertumbuhan Permintaan dan Penurunan Ketersediaan

  • Penarikan air tahunan dunia telah melampaui 4 triliun m³, didorong oleh pertumbuhan penduduk, peningkatan standar hidup, dan ekspansi pertanian irigasi.
  • Pertanian menyerap sekitar 70% dari total penarikan air tawar global, jauh di atas sektor industri (22%) dan domestik (8%).
  • Permintaan air untuk produksi pangan, pakan ternak, dan kebutuhan industri terus meningkat, menyebabkan overdraft air tanah di seluruh dunia, terutama di wilayah yang kekurangan air permukaan.

Angka-angka Kunci Krisis Air

  • 2,4 miliar orang hidup di negara-negara dengan tekanan air tinggi.
  • Lebih dari 25% populasi dunia dan 40% produksi pertanian global sangat bergantung pada ekstraksi air tanah yang tidak berkelanjutan.
  • Persediaan air tawar per kapita turun 20% dalam dua dekade terakhir.
  • Hanya 0,5% air dunia yang benar-benar dapat dimanfaatkan manusia, sisanya terperangkap di es, atmosfer, atau terlalu dalam di bawah permukaan bumi.

Studi Kasus: Dampak Krisis Air di Berbagai Wilayah

Amerika Serikat

  • Pada 2015, sektor pertanian AS berkontribusi US$136,7 miliar ke ekonomi nasional dan menyediakan 2,6 miliar lapangan kerja.
  • Namun, kekeringan dan kelangkaan air menyebabkan penurunan produksi, kerusakan properti, hingga kematian ternak.
  • Drought menjadi bencana lingkungan ketiga termahal di AS sejak 1980, setelah topan dan badai hebat.

Deplesi Akuifer

  • Akuifer Ogallala di Great Plains dan Mississippi River Valley Alluvial Aquifer di AS mengalami penurunan muka air akibat ekstraksi berlebih yang melebihi tingkat pengisian alami.
  • Secara global, akuifer menyediakan sepertiga dari total air yang digunakan dan setengah dari kebutuhan irigasi, namun banyak yang mengalami eksploitasi berlebihan.

Sub-Sahara Afrika

  • Wilayah ini menghadapi kelangkaan air ekonomi, bukan hanya fisik. Kurangnya infrastruktur dan investasi dalam irigasi menyebabkan rendahnya produktivitas pertanian dan tingginya tingkat kemiskinan.
  • Pemerintah kerap gagal memelihara sistem irigasi, sehingga kinerja menurun dan perlu rehabilitasi besar-besaran.

Dampak Krisis Air terhadap Ketahanan Pangan

Ketergantungan Produksi Pangan pada Air

  • Tanpa air, tidak ada pangan; tanpa pangan, tidak ada manusia.
  • Food security didefinisikan sebagai ketersediaan, akses, pemanfaatan, dan stabilitas pangan yang cukup, aman, dan bergizi bagi semua orang setiap saat.
  • Kelangkaan air tidak hanya memengaruhi kuantitas, tapi juga kualitas, keragaman, dan ketersediaan musiman pangan.

Data Ketahanan Pangan Global

  • Pada 2022, 1,3 miliar orang diperkirakan mengalami kerawanan pangan, naik 118,7 juta dari tahun sebelumnya.
  • Sub-Sahara Afrika menjadi wilayah paling rentan, dengan 51% penduduknya mengalami kerawanan pangan akibat inflasi harga pangan dan kelangkaan air.

Dampak pada Produksi dan Konsumsi

  • Krisis air menyebabkan penurunan produksi, perubahan pola tanam, dan pergeseran konsumsi ke pangan yang lebih sedikit membutuhkan air, namun seringkali kurang bergizi.
  • Bencana kekeringan di negara produsen biji-bijian utama dapat memicu kekurangan pangan global dan lonjakan harga.

Jejak Air dalam Produksi Pangan: Studi Kasus Komoditas

Water Footprint Berbagai Produk

  • Daging sapi: 15.415 liter air/kg
  • Daging ayam: 4.325 liter air/kg
  • Telur: 3.265 liter air/kg
  • Padi-padian: 1.644 liter air/kg
  • Sayuran: 322 liter air/kg

Poultry (ayam) memiliki jejak air terendah di antara daging merah, menjadikannya sumber protein hewani yang relatif efisien dalam penggunaan air.

Poultry Industry: Efisiensi dan Tantangan

  • Industri unggas global menyumbang 35% dari produksi protein hewani dunia.
  • Produksi ayam broiler dan telur sangat efisien dalam penggunaan air, baik untuk pakan (jagung, kedelai), minum, pendinginan, maupun pemrosesan.
  • Sebuah pabrik pengolahan ayam berkapasitas 250.000 ekor/hari dapat mengonsumsi 3,8–7,6 juta liter air per hari.

Inovasi Penghematan Air di Industri Unggas

  • Sprinkler cooling system: Menghemat 60–70% air dibanding sistem pendingin konvensional, tanpa menurunkan performa ayam.
  • Penggunaan ulang air: Air dari proses scalding dan chilling dapat digunakan kembali untuk membersihkan limbah dan peralatan.
  • Teknologi stunning kering/gas: Mengurangi kebutuhan air pada proses pemingsanan dan pemrosesan.

Dampak Perubahan Iklim terhadap Produksi Pangan

Simulasi Produksi Tanaman di AS (2040–2080)

  • Proyeksi penurunan hasil panen akibat perubahan iklim:
    • Jagung: -8,7% (2040) hingga -16,2% (2080)
    • Kedelai: -8,8% hingga -14,3%
    • Padi: -2,5% hingga -6,8%
    • Gandum: justru naik 1,3% hingga 11,6% (karena toleransi terhadap suhu tinggi)
  • Variabilitas curah hujan, suhu ekstrem, dan kekeringan akan memperburuk ketidakpastian produksi pangan, terutama di wilayah irigasi.

Dampak pada Peternakan

  • Stres panas menurunkan produktivitas unggas dan ternak, meningkatkan kebutuhan air untuk pendinginan kandang.
  • Perubahan pola konsumsi air pada ayam broiler: 140,33 liter/1.000 ekor (1991) menjadi 190,48 liter/1.000 ekor (2010–2011) seiring peningkatan performa dan suhu lingkungan.

Food Waste dan Jejak Air

Skala dan Penyebab Food Waste

  • 30–50% pangan dunia hilang atau terbuang sia-sia.
  • Air yang digunakan untuk memproduksi pangan yang terbuang mencapai 24% dari total air yang digunakan untuk produksi pangan global.
  • Di negara berpenghasilan rendah, food waste terjadi di tingkat produksi dan distribusi; di negara maju, lebih banyak di tingkat konsumen (retail, rumah tangga).

Dampak Food Waste terhadap Krisis Air

  • Setiap kilogram daging atau sayuran yang terbuang berarti ribuan liter air juga terbuang sia-sia.
  • Mengurangi food waste adalah strategi penting untuk menghemat air dan memperbaiki ketahanan pangan global.

Persaingan Antar Sektor dan Solusi Tata Kelola

Kompetisi Air: Pertanian vs. Sektor Lain

  • Diperkirakan 25–40% air harus dialokasikan ulang dari pertanian ke sektor dengan produktivitas ekonomi lebih tinggi, terutama di wilayah kekurangan air.
  • Namun, pengurangan air untuk pertanian berisiko menurunkan produksi pangan dan memperburuk kerawanan pangan.

Water Markets dan Efisiensi

  • Pasar air (water markets) dapat meningkatkan efisiensi penggunaan air di pertanian, memungkinkan transfer air ke pengguna yang lebih produktif.
  • Namun, implementasi pasar air memerlukan regulasi yang adil agar tidak merugikan petani kecil dan kelompok rentan.

Pentingnya Tata Kelola dan Inovasi

  • Negara-negara yang berhasil mengelola air pertanian umumnya memiliki infrastruktur irigasi yang baik, sistem pengelolaan terpadu, dan investasi dalam teknologi hemat air.
  • Institusi yang lemah, regulasi yang buruk, dan kurangnya partisipasi masyarakat menyebabkan kegagalan pengelolaan air, terutama di negara berkembang.

Opini, Kritik, dan Perbandingan dengan Studi Lain

Nilai Tambah Artikel

  • Artikel ini menyoroti secara tajam hubungan antara krisis air, produksi pangan, dan ketahanan pangan global, dengan dukungan data dan studi kasus nyata.
  • Penekanan pada efisiensi industri unggas sebagai solusi pragmatis untuk penyediaan protein di tengah krisis air sangat relevan dengan tren konsumsi global.

Kritik dan Keterbatasan

  • Paper ini kurang membahas solusi berbasis ekosistem (nature-based solutions) seperti konservasi lahan basah, agroforestry, dan pengelolaan DAS.
  • Isu keadilan akses air dan dampak sosial dari alokasi ulang air belum dieksplorasi secara mendalam.
  • Peran teknologi digital (IoT, big data) dalam manajemen air pertanian masih minim dibahas, padahal potensial untuk meningkatkan efisiensi.

Perbandingan dengan Penelitian Lain

  • Mekonnen dan Hoekstra (2012) juga menyoroti besarnya jejak air produk hewani, namun artikel ini menambahkan perspektif industri unggas sebagai solusi efisien.
  • Laporan FAO (2020) dan World Bank (2022) menegaskan urgensi investasi infrastruktur air dan inovasi teknologi untuk mengatasi krisis air dan pangan.

Relevansi Industri dan Tren Masa Depan

Tren Industri

  • Dekarbonisasi dan Efisiensi Air: Industri pangan dan peternakan semakin terdorong untuk mengadopsi teknologi hemat air dan mengurangi jejak karbon.
  • Diversifikasi Sumber Protein: Konsumsi protein hewani beralih ke unggas dan telur yang lebih efisien dalam penggunaan air.
  • Blended Finance dan Investasi Infrastruktur: Kolaborasi pemerintah, swasta, dan donor internasional untuk membiayai infrastruktur air dan irigasi.

Peluang dan Tantangan

  • Peluang: Inovasi teknologi, pengelolaan air terpadu, dan pengurangan food waste dapat memperkuat ketahanan pangan.
  • Tantangan: Kesenjangan kapasitas, pendanaan, dan tata kelola di negara berkembang menjadi hambatan utama.

Kesimpulan dan Rekomendasi

Air tawar adalah fondasi ketahanan pangan global. Krisis air yang semakin parah akibat pertumbuhan penduduk, perubahan iklim, dan tata kelola yang lemah mengancam produksi pangan dunia, terutama di sektor pertanian yang paling boros air. Industri unggas, dengan efisiensi penggunaan airnya, dapat menjadi bagian solusi, namun hanya jika didukung inovasi, investasi, dan tata kelola yang adil.

Rekomendasi utama:

  • Investasi besar dalam infrastruktur irigasi, teknologi hemat air, dan inovasi pengelolaan air.
  • Pengurangan food waste di seluruh rantai pasok pangan.
  • Penguatan tata kelola dan regulasi air berbasis keadilan dan keberlanjutan.
  • Diversifikasi sumber protein ke produk yang lebih efisien dalam penggunaan air.
  • Kolaborasi lintas sektor dan negara untuk mengatasi krisis air dan pangan secara terpadu.

Tanpa aksi nyata, krisis air akan menjadi penghambat utama tercapainya ketahanan pangan global di masa depan.

Sumber Artikel 

Tom Tabler, Joseph Chibanga. “Water Scarcity in Agriculture: The Greatest Threat to Global Food Security.” University of Tennessee, W 1252, 2024.

Selengkapnya
Krisis Air Tawar dalam Pertanian – Ancaman Terbesar bagi Ketahanan Pangan Global

Krisis Air

Laporan Pembangunan Air Dunia PBB 2023 – Kemitraan dan Kerja Sama untuk Air

Dipublikasikan oleh Izura Ramadhani Fauziyah pada 24 Juni 2025


Air, SDG 6, dan Krisis Global

Air adalah sumber kehidupan yang menopang kesehatan, ketahanan, dan kemakmuran manusia serta planet. Namun, dunia saat ini menghadapi krisis air yang semakin mendalam akibat konsumsi berlebihan, polusi, perubahan iklim, dan tata kelola yang lemah. Laporan “The United Nations World Water Development Report 2023: Partnerships and Cooperation for Water” yang diterbitkan UNESCO atas nama UN-Water, menjadi dokumen kunci dalam memahami tantangan dan peluang mempercepat pencapaian Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (SDG) 6: air bersih dan sanitasi untuk semua.

Laporan ini menyoroti bahwa kemitraan dan kerja sama lintas sektor, wilayah, dan aktor adalah kunci untuk mengatasi tantangan air dunia. Dengan pendekatan yang inklusif, laporan ini menampilkan studi kasus, data global, dan strategi inovatif yang relevan dengan tren industri, kebijakan, dan kebutuhan masyarakat saat ini.

Gambaran Global: Permintaan, Ketersediaan, dan Kualitas Air

Pertumbuhan Permintaan dan Ketimpangan Regional

Selama 40 tahun terakhir, penggunaan air global meningkat sekitar 1% per tahun dan diprediksi akan terus tumbuh hingga 2050, didorong pertumbuhan penduduk, perkembangan ekonomi, dan perubahan pola konsumsi. Mayoritas peningkatan terjadi di negara berpendapatan menengah dan rendah, khususnya di ekonomi berkembang. Sektor pertanian masih menjadi pengguna terbesar (72% dari total penarikan air), diikuti oleh industri dan domestik. Namun, tren regional sangat bervariasi: di Eropa, industri menyerap 45% air, sementara di Asia Selatan, pertanian mencapai 91%1.

Ketersediaan Air dan Stres Air

Ketersediaan air per kapita menurun di semua wilayah dunia akibat pertumbuhan penduduk. Antara tahun 2000–2018, penurunan terbesar terjadi di Afrika Sub-Sahara (41%), Asia Tengah (30%), dan Asia Barat (29%). Stres air fisik—rasio penggunaan terhadap ketersediaan—menjadi endemik di banyak wilayah. Pada 2018, 18,4% sumber air tawar global telah diambil, namun angka ini menutupi masalah lokal: Asia Tengah dan Selatan serta Afrika Utara mengalami tingkat stres air di atas 25%, bahkan mencapai kategori kritis di beberapa negara1.

Kualitas Air dan Tantangan Polusi

Kualitas air menurun akibat limbah domestik yang tidak terolah, limpasan pertanian, dan limbah industri. Pada 2020, sekitar 44% limbah domestik dunia tidak diolah dengan aman sebelum dibuang ke lingkungan. Hanya sekitar 60% badan air yang dilaporkan memiliki kualitas baik, dengan data global sangat bias ke negara berpendapatan tinggi. Negara-negara miskin sangat kurang terwakili dalam pelaporan kualitas air, sehingga risiko polusi dan penyakit tetap tinggi1.

Ekosistem Air dan Bencana

Sekitar 80% lahan rawa alami hilang sejak era pra-industri, dan 85% permukaan lahan telah berubah akibat aktivitas manusia. Banjir dan kekeringan menjadi bencana paling mematikan dan merugikan secara ekonomi: antara 2000–2019, banjir menyebabkan kerugian US$650 miliar dan menewaskan lebih dari 100.000 orang, sementara kekeringan memengaruhi 1,43 miliar orang dengan kerugian US$130 miliar1.

Kemajuan Menuju SDG 6: Realitas dan Tantangan

Capaian dan Kesenjangan

  • Akses Air Minum Aman: Pada 2020, 2 miliar orang (26% populasi dunia) belum memiliki akses air minum yang dikelola dengan aman.
  • Sanitasi: 3,6 miliar orang (46%) belum memiliki akses sanitasi yang layak, dan 494 juta masih melakukan buang air besar sembarangan.
  • Higiene: 2,3 miliar orang (29%) kekurangan fasilitas cuci tangan dasar.
  • Pengelolaan Limbah: 44% limbah domestik tidak diolah dengan aman.
  • Efisiensi Penggunaan Air: Efisiensi meningkat 9% antara 2015–2018, terutama di sektor industri (15%), namun pertanian masih rendah (0,60 US$/m³).
  • Stres Air: 10% populasi dunia hidup di negara dengan stres air tinggi atau kritis.
  • Kerja Sama Transboundary: Hanya 58% wilayah cekungan lintas batas yang memiliki pengaturan kerja sama operasional1.

Stagnasi dan Perluasan Gap

Laju pencapaian SDG 6 sangat lambat. Untuk mencapai target 2030, laju peningkatan akses air dan sanitasi harus dikalikan empat. Negara-negara termiskin dan wilayah konflik menghadapi tantangan paling berat, terutama dalam memperluas layanan ke daerah pedesaan dan populasi rentan1.

Kemitraan dan Kerja Sama: Kunci Percepatan SDG 6

Jenis Kemitraan

  1. Kemitraan Tujuan Bersama: Misal, penyediaan air dan sanitasi untuk komunitas lokal melalui asosiasi pengguna air atau pengelolaan sistem irigasi bersama.
  2. Kemitraan Tujuan Berbeda: Misal, negosiasi antara pemerintah kota dan petani dalam alokasi air, atau skema pembayaran jasa lingkungan.
  3. Kemitraan Lintas Sektor: Kolaborasi dengan sektor kesehatan, pendidikan, atau perubahan iklim di mana air menjadi faktor penentu, meski bukan tujuan utama1.

Studi Kasus dan Praktik Terbaik

  • Water User Associations (WUAs): Di banyak negara, WUA efektif jika berskala kecil, demokratis, dan didukung LSM lokal. Namun, kegagalan terjadi jika peran tidak jelas, partisipasi perempuan rendah, atau terlalu banyak campur tangan pemerintah pusat.
  • Realokasi Air dari Pertanian ke Kota: Di kota-kota besar, realokasi air dari pertanian menjadi strategi umum. Namun, petani sering mengalami penurunan pendapatan dan ketahanan pangan, kecuali ada kompensasi atau skema benefit-sharing.
  • Water Funds: Di Amerika Latin, water funds mengumpulkan dana dari kota, bisnis, dan utilitas untuk investasi perlindungan hulu sungai, meningkatkan kualitas dan kuantitas air bagi pengguna hilir.
  • Water Operators’ Partnerships (WOPs): Kolaborasi antara utilitas air mapan dan yang kurang berkembang terbukti meningkatkan kapasitas dan akses pembiayaan untuk infrastruktur, misalnya di Ghana dan Guatemala.
  • Kolaborasi Industri: Perusahaan besar membentuk koalisi seperti Water Resilience Coalition untuk menurunkan jejak air dan polusi, termasuk inisiatif Google dalam prediksi banjir.
  • WASH dan Kesehatan: Kemitraan antara sektor kesehatan dan air, seperti dalam program eradikasi polio, memanfaatkan data limbah untuk pemantauan penyakit1.

Tantangan Regional: Perspektif Global

Afrika Sub-Sahara

Kekurangan infrastruktur, data, dan kapasitas memperberat tantangan air. Kemitraan komunitas-publik (CPPs) antara utilitas dan komunitas berhasil meningkatkan layanan dan berbagi pengetahuan. Namun, kerja sama lintas negara di cekungan sungai dan akuifer tetap lemah dan perlu diperkuat1.

Asia dan Pasifik

Pertumbuhan ekonomi dan urbanisasi meningkatkan permintaan air, namun ketimpangan akses sangat nyata, terutama bagi perempuan yang sering terpinggirkan dalam pengambilan keputusan. Kerja sama lintas batas dan pengelolaan polusi menjadi tantangan utama1.

Eropa dan Amerika Utara

Kerja sama lintas batas sudah mapan, seperti Komisi Bersama Internasional (IJC) antara Kanada-AS. Partisipasi pemangku kepentingan dan transparansi menjadi prioritas, meski tantangan tetap ada dalam harmonisasi kebijakan dan pelibatan masyarakat1.

Amerika Latin dan Karibia

Kemitraan lokal fokus pada penyediaan air minum dan sanitasi di pedesaan serta kelompok produsen pertanian. Organisasi pengelola DAS sudah lama berdiri, namun sering terkendala kapasitas teknis dan pendanaan1.

Kawasan Arab

Keterbatasan air permukaan, ketergantungan pada sumber lintas batas, dan tekanan pertanian menuntut kerja sama regional. Meskipun ada hambatan politik dan finansial, beberapa inisiatif kolaboratif telah berhasil membangun kepercayaan dan berbagi data1.

Akselerator SDG 6: Pendidikan, Data, Inovasi, Pendanaan, dan Tata Kelola

Pendidikan dan Pengembangan Kapasitas

Kemitraan dalam pendidikan dan pelatihan—termasuk komunitas praktik, citizen science, dan pembelajaran seumur hidup—menjadi kunci adopsi praktik pengelolaan air yang lebih berkelanjutan dan inklusif. Proyek citizen science meningkatkan kesadaran publik dan transparansi, misal dalam pemantauan polusi lokal1.

Data dan Informasi

Kekurangan data menjadi penghambat utama. Kemitraan antara pemerintah, akademisi, dan sektor swasta diperlukan untuk menghasilkan, membagi, dan mengelola data air yang relevan. Monitoring bersama sumber air lintas batas memperkuat pemahaman sistem dan membangun kepercayaan1.

Inovasi

Kolaborasi antara universitas, inkubator bisnis, dan perusahaan teknologi mempercepat adopsi teknologi baru dalam pengolahan, distribusi, dan pemantauan air. Namun, inovasi harus inklusif agar tidak memperlebar kesenjangan digital dan sosial1.

Pendanaan

Diperlukan peningkatan investasi tiga kali lipat untuk mencapai akses air minum aman pada 2030. Skema blended finance dan water funds mendorong kolaborasi multi-pihak, memperluas sumber pendanaan, dan membagi risiko investasi1.

Tata Kelola: Pendekatan Whole-of-Society

Tata kelola air yang baik menuntut partisipasi inklusif, transparansi, dan integrasi lintas sektor. Kemitraan publik-swasta (PPP) sukses jika didukung kerangka hukum yang jelas dan stabil. Mengatasi korupsi dan membangun kepercayaan menjadi fondasi utama keberhasilan tata kelola air1.

Kritik, Opini, dan Perbandingan dengan Studi Lain

Nilai Tambah Laporan

Laporan ini sangat komprehensif, menampilkan data lintas sektor, studi kasus nyata, dan solusi inovatif. Penekanannya pada kemitraan lintas sektor dan wilayah sangat relevan dengan kompleksitas tantangan air saat ini. Laporan ini juga menyoroti pentingnya pelibatan masyarakat, gender, dan kelompok rentan dalam tata kelola air.

Kritik dan Keterbatasan

  • Keterbatasan Data: Banyak negara miskin kurang terwakili dalam data global, sehingga tantangan mereka kurang terekspos.
  • Implementasi di Lapangan: Meski banyak contoh kemitraan sukses, adopsi praktik terbaik masih terbatas oleh kapasitas, pendanaan, dan hambatan politik.
  • Keterlibatan Sektor Swasta: Peran sektor swasta dalam tata kelola air masih kontroversial, terutama terkait hak atas air dan keadilan akses.

Perbandingan dengan Studi Lain

Temuan laporan ini sejalan dengan riset Bank Dunia dan WHO yang menyoroti perlunya investasi besar, inovasi tata kelola, dan kemitraan lintas sektor untuk mengatasi krisis air global. Namun, laporan ini lebih menekankan pada peran kemitraan sebagai katalis perubahan, bukan sekadar pelengkap kebijakan1.

Relevansi Industri dan Tren Masa Depan

Tren Industri

  • Water Stewardship: Perusahaan global semakin sadar akan risiko air dan membangun kemitraan untuk mengurangi jejak air dan polusi.
  • Smart Water Management: Adopsi teknologi digital untuk pemantauan air, prediksi banjir, dan efisiensi distribusi semakin meluas.
  • Blended Finance: Model pendanaan baru yang melibatkan pemerintah, swasta, dan donor internasional menjadi tren utama.

Peluang dan Tantangan

  • Peluang: Kemitraan lintas sektor membuka jalan bagi inovasi, efisiensi, dan pembiayaan baru.
  • Tantangan: Kesenjangan kapasitas, data, dan pendanaan tetap menjadi hambatan utama, terutama di negara berkembang.

Kesimpulan dan Rekomendasi

Laporan ini menegaskan bahwa tanpa kemitraan dan kerja sama yang kuat, dunia tidak akan mampu mencapai SDG 6 dan tujuan pembangunan lainnya. Setiap pihak—pemerintah, swasta, masyarakat sipil, akademisi, dan komunitas lokal—memiliki peran penting dalam membangun tata kelola air yang adil, inklusif, dan berkelanjutan.

Rekomendasi utama:

  • Perkuat kemitraan lintas sektor dan wilayah, khususnya di daerah rawan air.
  • Tingkatkan investasi di pendidikan, data, inovasi, dan infrastruktur air.
  • Dorong tata kelola yang inklusif, transparan, dan berbasis hak asasi manusia.
  • Libatkan komunitas lokal dan kelompok rentan dalam pengambilan keputusan.
  • Kembangkan model pendanaan inovatif untuk mempercepat pencapaian SDG 6.

Dengan kolaborasi nyata, inovasi, dan komitmen politik, air dapat menjadi sumber perdamaian, kesejahteraan, dan keberlanjutan bagi generasi mendatang.

Sumber Artikel 

United Nations, The United Nations World Water Development Report 2023: Partnerships and Cooperation for Water. UNESCO, Paris.

Selengkapnya
Laporan Pembangunan Air Dunia PBB 2023 – Kemitraan dan Kerja Sama untuk Air

Krisis Air

Pariwisata dan Penggunaan Air: Tantangan, Risiko, dan Solusi Menuju Keberlanjutan

Dipublikasikan oleh Izura Ramadhani Fauziyah pada 24 Juni 2025


Krisis Air dan Peran Pariwisata di Era Perubahan Iklim

Dalam beberapa dekade terakhir, dunia menghadapi lonjakan konsumsi air bersih yang sangat signifikan, didorong oleh pertumbuhan penduduk, ekspansi ekonomi, perubahan gaya hidup, dan pesatnya perkembangan sektor pariwisata. Artikel “Tourism and Water Use: Supply, Demand and Security – An International Review” karya Stefan Gössling dkk. (2012) menjadi salah satu referensi utama yang mengupas secara mendalam hubungan antara pariwisata dan penggunaan air, baik dari sisi kuantitatif maupun kualitatif, serta menyoroti tantangan pengelolaan air di destinasi wisata, terutama di kawasan rawan kekeringan dan pulau-pulau kecil1.

Artikel ini sangat relevan dengan tren global: jumlah wisatawan internasional terus meningkat sekitar 4% per tahun, sementara tekanan terhadap sumber daya air semakin berat akibat perubahan iklim dan pertumbuhan populasi. Resensi ini akan membedah temuan utama paper tersebut, menghadirkan studi kasus nyata, serta memberikan analisis kritis dan relevansi terhadap tantangan industri pariwisata masa kini.

Pariwisata dan Konsumsi Air: Skala Global dan Lokal

Proporsi Penggunaan Air oleh Pariwisata

Secara global, konsumsi air langsung oleh sektor pariwisata masih di bawah 1% dari total konsumsi air dunia. Namun, di beberapa negara dan wilayah tertentu, pariwisata menjadi pengguna air utama, bahkan melebihi kapasitas sumber daya air terbarukan yang tersedia. Contoh paling nyata terlihat di negara-negara pulau kecil dan destinasi kering yang sangat bergantung pada kunjungan wisatawan.

  • Malta: Menggunakan 107,8% dari sumber daya air terbarukan, dengan pariwisata menyumbang 7,3% dari total konsumsi air nasional.
  • Barbados: 105% dari sumber daya air terbarukan digunakan, dengan pariwisata berkontribusi 2,6%.
  • Mauritius: 27,7% dari sumber daya air terbarukan digunakan, dengan 20% di antaranya untuk pariwisata.
  • Cyprus: 31,3% dari sumber daya air terbarukan digunakan, dengan pariwisata menyumbang 4,8%1.

Di negara-negara seperti Spanyol, meski secara nasional pariwisata hanya menggunakan sekitar 0,8% dari total air, pada tingkat lokal (misal, kawasan Mediterania) tekanan bisa sangat besar, terutama saat musim puncak wisata bertepatan dengan musim kering1.

Studi Kasus: Ketimpangan Konsumsi Air antara Wisatawan dan Penduduk Lokal

Salah satu studi menarik dilakukan di Zanzibar, Tanzania. Rata-rata wisatawan yang menginap di hotel mengonsumsi 685 liter air per hari, sedangkan penduduk lokal hanya 48 liter per hari. Di hotel, 50% air digunakan untuk irigasi taman, 15% untuk kolam renang, dan 20% untuk kebutuhan kamar mandi. Ketimpangan ini memicu potensi konflik, terutama ketika musim kering tiba bersamaan dengan lonjakan wisatawan1.

Di Spanyol, wisatawan di hotel bintang empat rata-rata menggunakan 361 liter air per hari, sedangkan di Tunisia rata-rata konsumsi di hotel mencapai 466 liter per hari. Di Lanzarote, konsumsi air wisatawan empat kali lipat lebih tinggi dibanding penduduk lokal1.

Dimensi Konsumsi Air: Langsung dan Tidak Langsung

Konsumsi Air Langsung

Konsumsi air langsung di sektor pariwisata sangat dipengaruhi oleh jenis akomodasi, standar hotel, fasilitas (kolam renang, spa), dan aktivitas wisata (golf, ski, dll). Rata-rata konsumsi air di hotel berkisar antara 84 hingga 2.000 liter per wisatawan per hari. Hotel berbintang tinggi dan resort mewah cenderung lebih boros air, terutama untuk fasilitas rekreasi dan taman yang luas1.

Contoh nyata:

  • Hotel di Hong Kong: 336–3.198 liter per kamar per hari.
  • Resort di Sharm El Sheikh, Mesir: 1.410–2.190 liter per kamar per hari.
  • Hotel di Australia: 300–750 liter per kamar per hari.
  • Hotel di Zanzibar: 931 liter per wisatawan per hari untuk hotel, 248 liter untuk guesthouse1.

Konsumsi Air Tidak Langsung (Virtual Water)

Selain konsumsi langsung, pariwisata juga memicu konsumsi air tidak langsung yang sangat besar, misalnya:

  • Produksi makanan: 1 kg daging membutuhkan 1.000–20.000 liter air.
  • Transportasi: Satu perjalanan udara internasional (7.600 km pulang-pergi) setara dengan konsumsi “virtual water” sebesar 5.600 liter per penumpang.
  • Infrastruktur: Pembangunan hotel dan fasilitas wisata juga menyerap air dalam jumlah besar selama proses konstruksi dan operasionalnya1.

Dampak Perubahan Iklim dan Proyeksi Masa Depan

Perubahan iklim memperburuk krisis air di banyak destinasi wisata utama. Dari 19 negara yang sektor pariwisatanya menggunakan lebih dari 5% air domestik, 12 di antaranya diproyeksikan mengalami penurunan curah hujan tahunan dan debit sungai pada tahun 2080. Ketika musim wisata puncak bertepatan dengan musim kering, risiko kekurangan air dan konflik penggunaan air akan semakin tinggi1.

Contoh nyata:

  • Di Mediterania, kekeringan 1 dalam 100 tahun diproyeksikan menjadi lebih sering (sekali dalam satu dekade) pada akhir abad ke-21.
  • Negara-negara seperti Tunisia, Malta, Maroko, Afrika Selatan, Cyprus, dan Maladewa diprediksi akan mengalami kekurangan air kronis pada 20501.

Konflik dan Risiko Sosial-Ekonomi

Konflik antara Sektor Pariwisata dan Pengguna Lokal

Tekanan pariwisata terhadap sumber daya air sering memicu konflik dengan kebutuhan masyarakat lokal dan sektor lain seperti pertanian. Di Spanyol, misalnya, nilai tambah air di sektor pariwisata bisa 60 kali lipat lebih tinggi dibanding pertanian, sehingga pariwisata sering “mengalahkan” sektor lain dalam perebutan air, terutama saat musim puncak wisata1.

Di beberapa pulau kecil, penduduk lokal merasa terpinggirkan karena prioritas air diberikan pada hotel dan fasilitas wisata. Studi di Mayne Island, Kanada, menunjukkan bahwa warga tetap menganggap wisatawan musiman mengurangi ketersediaan dan keberlanjutan air di pulau mereka1.

Dampak Terhadap Kualitas Air

Selain kuantitas, pariwisata juga berdampak pada kualitas air. Banyak destinasi wisata, terutama di Mediterania dan pulau kecil, belum memiliki sistem pengolahan limbah yang memadai. Akibatnya, limbah hotel dan fasilitas wisata sering dibuang langsung ke laut atau sungai, menurunkan kualitas lingkungan dan merusak daya tarik wisata itu sendiri1.

Strategi Pengelolaan: Menuju Pariwisata Berkelanjutan

Manajemen Permintaan (Demand Side Management)

  • Efisiensi Teknologi: Instalasi shower, toilet, dan keran hemat air dapat mengurangi konsumsi hingga 30%. Penggunaan tanaman lokal dan sistem irigasi tetes di taman hotel juga dapat menghemat air hingga 50%.
  • Edukasi dan Benchmarking: Edukasi staf dan tamu, pelabelan konsumsi air per kamar, serta audit air secara berkala menjadi langkah penting.
  • Pengelolaan Aktivitas: Penggunaan air daur ulang untuk irigasi lapangan golf dan pembuatan salju buatan di area ski1.

Manajemen Pasokan (Supply Side Management)

  • Desalinasi dan Daur Ulang: Solusi ini banyak diterapkan di pulau-pulau kecil, namun membutuhkan energi dan biaya tinggi serta meningkatkan emisi karbon jika menggunakan energi fosil.
  • Penyimpanan Air Hujan: Cocok untuk hotel kecil atau kawasan dengan curah hujan musiman.
  • Kebijakan Harga Air: Peningkatan harga air dapat menjadi insentif bagi pelaku industri untuk berinvestasi dalam teknologi hemat air1.

Contoh Implementasi Nyata

  • Las Vegas, Amerika Serikat: Kota ini berhasil menurunkan konsumsi air hotel hingga 30% melalui teknologi efisiensi dan penggunaan air daur ulang untuk taman dan lapangan golf.
  • Bali, Indonesia: Krisis air di Bali melahirkan inisiatif “Bali Water Protection” yang melibatkan hotel, pemerintah, dan masyarakat lokal dalam konservasi air1.

Analisis Kritis dan Perbandingan dengan Penelitian Lain

Kekuatan dan Kelemahan Artikel

Paper ini sangat kuat dalam menyajikan data lintas negara dan menyoroti pentingnya analisis spasial dan temporal dalam menilai dampak pariwisata terhadap air. Namun, beberapa kelemahan yang perlu dicatat:

  • Kurangnya Data Mikro: Banyak data masih bersifat nasional, padahal krisis air sering terjadi pada skala lokal (desa, pulau, atau kota wisata).
  • Aspek Sosial-Budaya: Pembahasan tentang persepsi dan dampak sosial terhadap masyarakat lokal masih terbatas.
  • Keterkaitan dengan Energi: Penggunaan air untuk energi dan sebaliknya (water-energy nexus) belum dieksplorasi secara mendalam, padahal sangat relevan khususnya untuk desalinasi dan biofuel1.

Perbandingan dengan Penelitian Lain

Temuan Gössling dkk. sejalan dengan penelitian Chapagain & Hoekstra (2008) yang menekankan pentingnya memperhitungkan “virtual water” dalam rantai pasok pariwisata. Studi Eurostat (2009) juga menegaskan bahwa konsumsi air hotel jauh lebih tinggi dibanding rumah tangga biasa, terutama karena perilaku wisatawan yang lebih “hedonis” dalam menggunakan air1.

Relevansi dengan Tren Industri dan Implikasi Praktis

Tren Industri

  • Green Tourism: Permintaan wisata berkelanjutan dan hotel ramah lingkungan semakin meningkat, mendorong inovasi dalam pengelolaan air.
  • Tekanan Regulasi: Uni Eropa dan negara-negara lain mulai memperketat regulasi penggunaan air di destinasi wisata, misalnya melalui Water Framework Directive.
  • Adaptasi Iklim: Destinasi wisata utama di Mediterania dan Asia Tenggara harus mengintegrasikan adaptasi iklim dalam perencanaan pariwisata mereka1.

Implikasi Praktis

  • Audit air secara berkala di destinasi wisata, terutama di kawasan kering dan pulau kecil.
  • Investasi dalam teknologi efisiensi air dan sistem daur ulang.
  • Edukasi wisatawan dan pelaku industri tentang pentingnya konservasi air.
  • Integrasi kebijakan harga air untuk mendorong perubahan perilaku.
  • Kolaborasi lintas sektor (pariwisata, pertanian, energi) dan lintas negara dalam pengelolaan sumber daya air1.

Tantangan dan Rekomendasi untuk Masa Depan

Pariwisata bukanlah sektor utama pengguna air secara global, namun dampaknya sangat signifikan di kawasan-kawasan tertentu yang rentan. Dengan pertumbuhan wisatawan, perubahan gaya hidup, dan tekanan perubahan iklim, tantangan pengelolaan air di destinasi wisata akan semakin kompleks.

Rekomendasi utama:

  • Pengelolaan air harus berbasis data lokal dan audit berkala.
  • Investasi pada teknologi efisiensi dan sistem daur ulang air.
  • Edukasi dan perubahan perilaku wisatawan serta pelaku industri.
  • Kebijakan harga air yang adil untuk mendorong konservasi.
  • Kolaborasi lintas sektor dan negara sangat penting untuk keberlanjutan.

Keberlanjutan pariwisata sangat bergantung pada kemampuan industri dan pemerintah dalam mengelola air secara adil, efisien, dan adaptif terhadap perubahan lingkungan dan sosial. Investasi dalam teknologi dan manajemen air yang berkelanjutan bukan hanya kebutuhan, tetapi juga peluang untuk menjaga daya tarik dan kelangsungan destinasi wisata dunia.

Sumber Artikel Asli

Gössling, S., Peeters, P., Hall, C. M., Ceron, J. P., Dubois, G., Lehmann, L. V., & Scott, D. (2012). Tourism and Water Use: Supply, Demand and Security – An International Review. Tourism Management, 33(1), 1–15. DOI: 10.1016/j.tourman.2011.03.015

Selengkapnya
Pariwisata dan Penggunaan Air: Tantangan, Risiko, dan Solusi Menuju Keberlanjutan

Krisis Air

Intervensi Kebijakan untuk Mengatasi Keamanan Air yang Terdampak Perubahan Iklim: Strategi Adaptasi dari Tiga Studi Kasus di Berbagai Wilayah Geografis

Dipublikasikan oleh Izura Ramadhani Fauziyah pada 19 Juni 2025


Krisis Air dan Urgensi Kebijakan Adaptasi

Krisis air kini menjadi persoalan global yang mendesak. Tidak hanya negara berkembang, bahkan negara maju seperti Amerika Serikat pun menghadapi tantangan ketersediaan air bersih akibat perubahan iklim, pertumbuhan penduduk, dan degradasi lingkungan. Artikel karya Quandt dkk. ini mengupas secara mendalam bagaimana kebijakan publik di tiga wilayah berbeda—California (AS), Cape Town (Afrika Selatan), dan Bangladesh—merespons krisis air melalui adaptasi kebijakan yang inovatif dan kontekstual.

Artikel ini sangat relevan dengan tren global: perubahan iklim memicu cuaca ekstrem, kekeringan, banjir, dan kontaminasi air. Dengan menyoroti studi kasus nyata, artikel ini tidak hanya memberikan gambaran empiris, tetapi juga menawarkan pelajaran penting bagi pembuat kebijakan, pelaku industri, dan masyarakat luas.

Ikhtisar Isi Artikel

Tiga Dimensi Kelangkaan Air

Penulis membedakan tiga dimensi utama kelangkaan air:

  • Kelangkaan Fisik: Terjadi ketika permintaan air melebihi pasokan, sering ditemukan di wilayah kering seperti California dan Cape Town.
  • Kelangkaan Ekonomi: Air tersedia, namun akses terbatas akibat infrastruktur dan manajemen yang buruk, seperti di Bangladesh.
  • Kualitas Air: Polusi, baik alami maupun buatan manusia, memperburuk akses air bersih, contoh nyata adalah krisis arsenik di Bangladesh.

Ketiga aspek ini saling terkait dan diperparah oleh perubahan iklim.

Studi Kasus 1: California, Amerika Serikat

Latar Belakang

California adalah salah satu kawasan pertanian terbesar di dunia, menghasilkan 1/3 sayuran dan 2/3 buah-buahan untuk AS. Namun, 80% konsumsi air di negara bagian ini digunakan untuk pertanian. Di tahun-tahun kering, hingga 60% irigasi mengandalkan air tanah.

Kebijakan Kunci

Quantification Settlement Agreement (QSA) – Imperial County

  • Tujuan: Mengalihkan sebagian air dari pertanian ke kebutuhan urban melalui perjanjian antara Imperial Irrigation District dan San Diego County Water Authority.
  • Dampak: Dana hasil penjualan air digunakan untuk konservasi dan efisiensi irigasi, seperti mengganti sistem irigasi banjir dengan mikro-sprinkler dan drip irrigation.
  • Angka Penting: Kanal All-American mengairi 456.089 acre lahan pertanian. Imperial County menerima 77% alokasi air permukaan California dari Sungai Colorado.

Sustainable Groundwater Management Act (SGMA) – Kern County

  • Tujuan: Menyeimbangkan penggunaan air tanah melalui pembentukan 21 Groundwater Sustainability Agencies dan 11 Groundwater Sustainability Plans.
  • Dampak: Prediksi hingga 800.000 acre lahan harus dikeluarkan dari produksi akibat kelangkaan air. Jika tidak diatasi, lebih dari 100.000 rumah tangga berisiko kehilangan akses air tanah pada 2040.

Keberhasilan dan Tantangan

  • Keberhasilan: Efisiensi air meningkat, produktivitas ekonomi naik 38% (2015 dibanding 1980), meski penggunaan air di pertanian turun 14%.
  • Tantangan: Efisiensi irigasi menyebabkan berkurangnya limpasan ke Salton Sea, memicu masalah kesehatan akibat debu beracun. Fokus kebijakan pada kuantitas, bukan kualitas air, menyebabkan sumur dangkal rumah tangga tetap terancam.

Studi Kasus 2: Cape Town, Afrika Selatan

Latar Belakang

Cape Town, kota pesisir dengan 4,8 juta penduduk, mengalami krisis air akut pada 2015–2018 akibat kekeringan beruntun. Level air di bendungan turun drastis, dan pada puncaknya, konsumsi air harian berhasil ditekan hingga 500 juta liter per hari.

Strategi Kebijakan

Water Conservation and Demand Management

  • Fokus: Mengurangi pemborosan, melindungi sumber air, dan mendorong efisiensi di semua sektor.
  • Langkah Nyata: Edukasi publik, rehabilitasi lahan basah, penghapusan vegetasi invasif, dan pengurangan polusi sungai.

Water Sensitive Urban Design (WSUD)

  • Fokus: Integrasi manajemen siklus air perkotaan (pasokan, limbah, air hujan) dengan desain kota yang ramah air.
  • Manfaat: Perlindungan ekosistem, peningkatan kualitas air, pemanfaatan air hujan, dan pengurangan biaya infrastruktur drainase.

Intervensi Kritis Saat Krisis

  • Realokasi Hak Air: Penyesuaian distribusi air antara petani besar, kecil, dan sektor lain demi keadilan akses.
  • Kebijakan Restriksi: Skala 1–6, dari ringan hingga sangat ketat, termasuk deklarasi darurat air, pembentukan tim ketahanan air, dan dashboard manajemen air daring.
  • Inovasi Gagal: Desalinasi dan eksploitasi air tanah terbatas oleh biaya tinggi dan kualitas air yang buruk.

Pelajaran Penting

  • Keterlibatan Stakeholder: Keputusan berbasis keadilan dan partisipasi masyarakat terbukti paling efektif, baik untuk solusi jangka pendek maupun jangka panjang.
  • Kebijakan Berkelanjutan: Setelah krisis, Cape Town mengadopsi kebijakan menuju kota “water-sensitive” yang lebih tahan iklim dan berbasis ekonomi sirkular.

Studi Kasus 3: Bangladesh

Latar Belakang

Bangladesh menghadapi tantangan unik: air melimpah, tetapi kualitasnya buruk akibat kontaminasi arsenik alami (geogenik). Diperkirakan 220 juta orang (94% di Asia) terpapar arsenik di atas ambang WHO (10 ug/L).

Sejarah Krisis Arsenik

  • 1970-an: UNICEF dan pemerintah memasang jutaan sumur bor untuk menghindari kontaminasi mikroba di air permukaan.
  • 1987: Kasus keracunan arsenik mulai terdeteksi.
  • Akhir 1990-an: 55 juta orang diperkirakan terpapar air minum dengan arsenik tinggi.

Kebijakan dan Praktik

  • Kampanye Pengujian Sumur: Hampir 5 juta sumur diuji, sumur dengan arsenik tinggi dicat merah, yang aman dicat hijau.
  • Strategi Efektif: “Well switching”—mengalihkan penggunaan ke sumur aman dalam radius 100 meter, terbukti menurunkan paparan arsenik secara signifikan.
  • Tantangan: Hanya 21% populasi yang sadar akan bahaya arsenik, meski 64% bersedia membayar solusi teknologi. Infrastruktur air perpipaan masih minim dan mahal.

Dampak Kesehatan dan Ekonomi

  • Kesehatan: Paparan arsenik kronis menyebabkan diabetes, kanker, hipertensi, dan gangguan kulit.
  • Ekonomi: Kerugian akibat kematian terkait arsenik diperkirakan mencapai $12,5 miliar dalam dua dekade.

Kelebihan dan Kekurangan Artikel

Kelebihan

  • Komparatif dan Kontekstual: Artikel ini membandingkan kebijakan di tiga skala berbeda (county, kota, negara) dan menyoroti pentingnya solusi berbasis konteks, bukan pendekatan satu ukuran untuk semua.
  • Studi Kasus Nyata: Data empiris dan angka-angka konkret memperkuat analisis, menjadikan artikel sangat informatif dan aplikatif.
  • Relevan dengan Tren Industri: Isu water security sangat relevan dengan agenda global SDGs dan kebijakan adaptasi perubahan iklim.

Kekurangan

  • Keterbatasan Evaluasi Dampak Jangka Panjang: Beberapa kebijakan, seperti di California dan Cape Town, belum dievaluasi secara menyeluruh dampak jangka panjangnya terhadap kelompok rentan.
  • Kurang Menyoroti Inovasi Teknologi Baru: Artikel lebih fokus pada kebijakan dan manajemen, kurang membahas potensi teknologi mutakhir seperti AI untuk monitoring air atau desalinasi hemat energi.
  • Bahasa Akademik: Artikel ini masih menggunakan bahasa yang cukup akademik, sehingga pembaca awam mungkin perlu waktu lebih untuk memahami istilah-istilah teknis.

Analisis dan Opini: Pelajaran Global dari Tiga Benua

Artikel ini memberikan pelajaran penting bahwa kebijakan air yang efektif harus:

  • Kontekstual dan berbasis data lokal.
  • Mengutamakan kolaborasi dan partisipasi masyarakat.
  • Menggabungkan solusi teknis, sosial, dan kelembagaan.
  • Fleksibel menghadapi dinamika perubahan iklim dan pertumbuhan penduduk.

Keterlibatan masyarakat dan stakeholder menjadi kunci keberhasilan di semua studi kasus. Di Cape Town, kolaborasi lintas sektor dan transparansi kebijakan mempercepat respons krisis. Di Bangladesh, edukasi dan partisipasi masyarakat dalam pengujian sumur menjadi kunci penurunan paparan arsenik.

Solusi mahal seperti desalinasi tidak selalu efektif, sementara inovasi sederhana seperti pengujian sumur murah di Bangladesh terbukti lebih berdampak luas. Hal ini sejalan dengan rekomendasi global, misalnya dari UN-Water, bahwa manajemen air yang adaptif dan berbasis risiko lebih penting daripada sekadar investasi infrastruktur besar.

Kesimpulan dan Rekomendasi

Artikel ini sangat direkomendasikan untuk pembuat kebijakan, akademisi, dan praktisi yang ingin memahami dinamika water security di era perubahan iklim. Dengan menonjolkan studi kasus nyata, artikel ini membuktikan bahwa tidak ada solusi tunggal untuk krisis air. Setiap wilayah harus mengembangkan strategi adaptasi yang sesuai dengan kondisi sosial, ekonomi, dan lingkungan setempat.

Rekomendasi:

  • Kolaborasi dan Tata Kelola Inklusif: Libatkan semua pemangku kepentingan, dari petani hingga masyarakat urban dan kelompok rentan.
  • Penyesuaian Alokasi Air: Lakukan penilaian ulang alokasi air secara berkala, didukung sistem monitoring berbasis teknologi.
  • Kombinasi Solusi: Terapkan respons cepat untuk krisis dan strategi jangka panjang untuk ketahanan air.
  • Fokus pada Efektivitas: Prioritaskan inovasi sederhana yang berdampak luas dan berkelanjutan.

Sumber Artikel 

Quandt A, O’Shea B, Oke S, Ololade OO. Policy interventions to address water security impacted by climate change: Adaptation strategies of three case studies across different geographic regions. Frontiers in Water. 2022;4:935422.

Selengkapnya
Intervensi Kebijakan untuk Mengatasi Keamanan Air yang Terdampak Perubahan Iklim: Strategi Adaptasi dari Tiga Studi Kasus di Berbagai Wilayah Geografis

Krisis Air

Kompleks Keamanan Hidro-Politik dan Peran Organisasi Internasional dalam Membawa Kerjasama atau Konflik ke Sungai Lintas Batas Bersama

Dipublikasikan oleh Izura Ramadhani Fauziyah pada 19 Juni 2025


Krisis Air Lintas Batas dan Tantangan Global

Isu air lintas negara kini menjadi salah satu tantangan terbesar abad ke-21, terutama di tengah perubahan iklim, pertumbuhan penduduk, dan kebutuhan energi yang terus meningkat. Paper karya Noha Yasser ini membedah secara mendalam bagaimana organisasi internasional—seperti World Bank—berperan dalam mendorong kerja sama atau justru gagal mencegah konflik di sungai-sungai lintas negara, dengan fokus pada dua studi kasus utama: Indus River Basin (India–Pakistan) dan Nile River Basin (Ethiopia–Mesir)1.

Artikel ini sangat relevan dengan tren global, di mana air bukan hanya sumber daya vital, tetapi juga sumber potensi konflik geopolitik. Dengan pendekatan komparatif dan teori hydro-political security complexes, paper ini menawarkan wawasan baru tentang faktor-faktor yang menentukan keberhasilan atau kegagalan mediasi internasional dalam sengketa air lintas negara.

Teori Kunci: Hydro-political Security Complexes

Apa Itu Hydro-political Security Complexes?

Teori ini menyoroti bahwa konflik dan kerja sama air lintas negara sangat dipengaruhi oleh:

  • Karakter negara: Kekuatan ekonomi, politik, dan militer yang stabil cenderung memudahkan kerja sama.
  • Shared benefits: Semakin besar manfaat bersama yang dirasakan, semakin besar peluang tercapainya kesepakatan.
  • Asimetri kekuasaan: Ketimpangan kekuatan antara negara hulu dan hilir seringkali menjadi sumber ketegangan.

Teori ini menegaskan bahwa organisasi internasional lebih mudah mencapai kerja sama jika negara-negara yang terlibat memiliki karakter kuat dan manfaat bersama yang jelas. Sebaliknya, jika kekuatan negara berubah-ubah dan manfaat tidak seimbang, potensi konflik meningkat1.

Studi Kasus 1: Indus River Basin (India–Pakistan)

Latar Belakang

Indus River Basin (IRB) melintasi China, Afghanistan, India, dan Pakistan, menjadi sumber kehidupan bagi lebih dari 200 juta orang—61% di antaranya tinggal di Pakistan. Sungai ini sangat vital untuk pertanian, energi, dan ketahanan pangan kedua negara1.

Konflik dan Sejarah

  • Konflik air sudah terjadi sejak sebelum kemerdekaan India dan Pakistan (1947).
  • Setelah perjanjian “Standstill Agreement” berakhir pada 1948, India sempat memutus aliran air ke Pakistan, memicu ketegangan serius.
  • Konflik ini berlanjut hingga 1960, ketika World Bank memediasi lahirnya Indus Water Treaty (IWT)1.

Indus Water Treaty (IWT): Studi Keberhasilan

  • Ditandatangani tahun 1960 setelah 9 tahun negosiasi.
  • Mengatur pembagian 6 sungai: India mengelola sungai timur (Ravi, Sutlej, Beas), Pakistan mengelola sungai barat (Jhelum, Indus, Chenab).
  • Dibentuk Permanent Indus Commission (PIC) untuk monitoring dan penyelesaian sengketa teknis1.

Angka-angka Penting

  • 100 juta acre-feet per tahun: Volume air yang dialokasikan dalam perjanjian.
  • Lebih dari 80% lahan pertanian Pakistan bergantung pada irigasi dari Indus.
  • India dan Pakistan sama-sama membangun infrastruktur besar (bendungan, PLTA) untuk memaksimalkan manfaat sungai1.

Peran World Bank

  • World Bank berperan sebagai mediator netral, menahan pendanaan proyek air hingga kedua negara sepakat.
  • Menyusun kerangka teknis dan ekonomi, serta menekan kedua pihak untuk fokus pada manfaat bersama, bukan konflik historis1.

Faktor Keberhasilan

  • Karakter negara stabil: Meski baru merdeka, India dan Pakistan memiliki kepentingan vital yang seimbang.
  • Manfaat bersama jelas: Keduanya sangat bergantung pada air Indus untuk pertanian dan energi.
  • Asimetri kekuasaan relatif kecil: India sebagai negara hulu memang lebih kuat, tapi Pakistan punya leverage politik dan dukungan internasional1.

Tantangan dan Dinamika Baru

  • Perubahan iklim: Meningkatkan risiko banjir dan kekeringan, menuntut adaptasi perjanjian.
  • Pertumbuhan penduduk: Meningkatkan tekanan pada sumber daya air.
  • Ketegangan politik: Konflik di Kashmir dan isu keamanan regional tetap menjadi ancaman laten1.

Studi Kasus 2: Nile River Basin (Ethiopia–Mesir)

Latar Belakang

Nile River Basin (NRB) melintasi 11 negara Afrika, dengan fokus utama pada konflik antara Ethiopia (hulu) dan Mesir (hilir). Sungai Nil adalah sumber air utama bagi lebih dari 450 juta penduduk, dan lebih dari 90% kebutuhan air Mesir berasal dari Nil1.

Sejarah Konflik

  • Perjanjian 1929 dan 1959: Memberikan hak veto kepada Mesir atas proyek air di hulu, mengabaikan kepentingan Ethiopia.
  • Nile Basin Initiative (NBI) 1999: Upaya kerja sama multilateral, namun tetap didominasi Mesir dan Sudan.
  • Grand Ethiopian Renaissance Dam (GERD): Bendungan raksasa yang dibangun Ethiopia sejak 2011, memicu kekhawatiran Mesir akan berkurangnya pasokan air1.

GERD: Sumber Konflik Baru

  • Kapasitas bendungan: 6.600 MW, terbesar di Afrika.
  • Luas area: 1.867 km².
  • Target Ethiopia: Meningkatkan kapasitas listrik nasional hingga 13,7 GW pada 2040.
  • Dampak pada Mesir: Potensi pengurangan air hingga 12–19 miliar m³/tahun, risiko gagal panen, dan penurunan produksi listrik di Aswan Dam hingga 23–39%1.

Upaya Mediasi dan Peran Organisasi Internasional

  • World Bank, African Union, dan PBB: Terlibat dalam negosiasi trilateral sejak 2018.
  • National Independent Scientific Research Group (NISRG): Dibentuk untuk mencari solusi teknis, namun gagal mencapai konsensus.
  • Ethiopia menolak mediasi World Bank: Menganggap isu ini sebagai kedaulatan nasional, bukan sekadar teknis1.

Faktor Kegagalan

  • Karakter negara berubah-ubah: Mesir mengalami instabilitas politik dan ekonomi pasca-2011, Ethiopia justru menguat secara ekonomi dan militer.
  • Manfaat bersama tidak seimbang: Ethiopia fokus pada listrik dan pembangunan, Mesir pada ketahanan pangan dan air.
  • Asimetri kekuasaan berubah: Ethiopia mulai menantang dominasi historis Mesir, menciptakan ketegangan baru1.

Analisis Perbandingan: Mengapa Satu Kasus Sukses, Lainnya Gagal?

Faktor Penentu Keberhasilan Mediasi

  1. Stabilitas Karakter Negara
    • India–Pakistan: Keduanya relatif stabil saat perjanjian dibuat, meski ada rivalitas.
    • Ethiopia–Mesir: Dinamika kekuasaan berubah cepat, membuat negosiasi sulit1.
  2. Shared Benefits
    • Indus: Manfaat bersama sangat jelas dan saling tergantung.
    • Nil: Manfaat lebih asimetris, Ethiopia ingin listrik, Mesir ingin air untuk pertanian1.
  3. Asimetri Kekuasaan
    • Indus: Power balance relatif terjaga, World Bank bisa menjadi penengah efektif.
    • Nil: Ethiopia mulai menantang status quo, Mesir kehilangan leverage historis1.
  4. Peran Organisasi Internasional
    • World Bank sukses di Indus karena kedua pihak terbuka pada mediasi dan tekanan ekonomi.
    • Di Nil, World Bank gagal karena Ethiopia menolak intervensi eksternal dan lebih percaya pada kekuatan nasional1.

Angka-angka Kunci

  • Indus: 200 juta penduduk terdampak, 100 juta acre-feet air/tahun, 80% lahan pertanian Pakistan bergantung pada Indus.
  • Nil: 450 juta penduduk di basin, 90% kebutuhan air Mesir dari Nil, potensi kehilangan air 12–19 miliar m³/tahun akibat GERD1.

Opini, Kritik, dan Perbandingan dengan Penelitian Lain

Nilai Tambah dan Originalitas

Paper ini menonjol karena:

  • Menggunakan teori hydro-political security complexes untuk membedah dua kasus nyata secara komparatif.
  • Menyoroti pentingnya variabel “karakter negara” dan “shared benefits” dalam menentukan hasil mediasi internasional.
  • Menunjukkan bahwa intervensi organisasi internasional tidak selalu efektif—tergantung pada konteks politik, ekonomi, dan sosial negara yang terlibat1.

Kritik

  • Kurang membahas solusi inovatif: Paper lebih fokus pada dinamika politik dan institusional, kurang mengeksplorasi teknologi baru (misal, monitoring berbasis AI, desalinasi hemat energi).
  • Minim analisis dampak jangka panjang: Terutama pada kelompok rentan dan lingkungan.
  • Kurang menyoroti peran masyarakat sipil: Padahal, partisipasi publik seringkali menjadi kunci keberhasilan pengelolaan air lintas negara1.

Perbandingan dengan Studi Lain

  • Studi UN-Water dan World Resources Institute juga menekankan pentingnya “shared benefits” dan tata kelola inklusif dalam mengelola air lintas negara.
  • Penelitian lain menunjukkan bahwa keberhasilan perjanjian air seringkali dipengaruhi oleh tekanan eksternal (krisis, donor internasional) dan adanya mekanisme monitoring yang transparan.
  • Kasus Mekong River Basin di Asia Tenggara juga menunjukkan bahwa asimetri kekuasaan dan perubahan karakter negara dapat menghambat kerja sama, meski ada dukungan organisasi internasional1.

Implikasi Kebijakan dan Rekomendasi

1. Tata Kelola Air Inklusif dan Kolaboratif

  • Libatkan semua pemangku kepentingan, termasuk masyarakat lokal, dalam negosiasi dan implementasi perjanjian air.
  • Transparansi dan monitoring berbasis data sangat penting untuk membangun kepercayaan1.

2. Penyesuaian Alokasi dan Re-alokasi Air

  • Lakukan evaluasi berkala terhadap alokasi air, terutama di tengah perubahan iklim dan pertumbuhan penduduk.
  • Gunakan teknologi (misal, sensor IoT, data satelit) untuk memantau debit dan kualitas air secara real-time1.

3. Kombinasi Solusi Jangka Pendek dan Panjang

  • Respons cepat saat krisis (misal, pembatasan konsumsi, distribusi air darurat) harus diimbangi dengan strategi jangka panjang (efisiensi irigasi, diversifikasi sumber air, edukasi masyarakat)1.

4. Fokus pada Efektivitas, Bukan Sekadar Biaya

  • Solusi mahal seperti bendungan raksasa atau desalinasi belum tentu efektif jika tidak didukung tata kelola yang baik dan partisipasi masyarakat.
  • Inovasi sederhana (misal, pengelolaan air berbasis komunitas, pertanian hemat air) seringkali lebih berkelanjutan1.

Pelajaran Global dari Dua Sungai Besar

Paper ini membuktikan bahwa keberhasilan atau kegagalan organisasi internasional dalam memediasi konflik air lintas negara sangat ditentukan oleh:

  • Stabilitas karakter negara yang terlibat.
  • Besarnya manfaat bersama yang dirasakan.
  • Keseimbangan atau ketimpangan kekuasaan antara negara hulu dan hilir.
  • Keterbukaan terhadap mediasi dan tekanan eksternal.

Tidak ada solusi tunggal untuk setiap kasus. Setiap sungai, negara, dan masyarakat memiliki dinamika unik yang harus dipahami secara kontekstual. Namun, prinsip kolaborasi, transparansi, dan inovasi tetap menjadi kunci untuk menghindari “water wars” di masa depan.

Sumber Artikel 

Noha Yasser. Hydro-political Security Complexes and the Role of International Organizations in Bringing Cooperation or Conflict to Shared Transboundary Rivers. Master thesis in Peace and Conflict Studies, Uppsala University, 2023.

Selengkapnya
Kompleks Keamanan Hidro-Politik dan Peran Organisasi Internasional dalam Membawa Kerjasama atau Konflik ke Sungai Lintas Batas Bersama

Krisis Air

Ko-Produksi Pengetahuan untuk Aksi Kolektif: Pelajaran dari Tata Kelola Air di Pulau Öland, Swedia

Dipublikasikan oleh Izura Ramadhani Fauziyah pada 16 Juni 2025


Mengapa Tata Kelola Air Perlu Berbasis Dialog dan Kolaborasi

Tantangan lingkungan seperti kelangkaan air, degradasi lahan, dan perubahan iklim menuntut lebih dari sekadar kebijakan teknokratis. Diperlukan pendekatan yang memberdayakan masyarakat untuk berpikir dan bertindak bersama. Dalam konteks ini, artikel karya Carolin Seiferth, Maria Tengö, dan Erik Andersson menawarkan perspektif menarik melalui studi kasus di Pulau Öland, Swedia, yang menunjukkan bagaimana proses ko-produksi pengetahuan dapat mendorong aksi kolektif untuk mengatasi persoalan tata kelola air.

Artikel ini menekankan bahwa aksi kolektif yang inklusif dan efektif memerlukan desain proses yang disengaja dan partisipatif, khususnya ketika berhadapan dengan masalah yang kompleks dan saling terkait dalam sistem sosial-ekologis.

Latar Belakang: Krisis Air di Öland dan Warisan Tata Kelola

Pulau Öland, pulau terbesar kedua di Swedia, menghadapi masalah kekeringan serius sejak 2016. Ciri geografisnya yang datar dan tanah tipis membuat air cepat mengalir dan tidak tertahan. Perubahan iklim memperburuk kondisi ini dengan frekuensi kekeringan yang meningkat, mempengaruhi pertanian, biodiversitas, dan pariwisata. Sejak akhir abad ke-19 hingga pertengahan abad ke-20, Öland mengalami transformasi besar berupa pengeringan lahan basah untuk pertanian, yang menyebabkan penurunan 90% luas lahan basah dan melemahkan daya tampung air tanah.

Sistem legal yang usang—termasuk kewajiban drainase oleh kelompok pemilik lahan (drainage enterprises)—menjadi hambatan utama dalam upaya restorasi lahan basah dan konservasi air.

Tujuan dan Pendekatan Studi: Ko-Produksi Pengetahuan Tiga Arah

Penelitian ini mengembangkan rangkaian lokakarya berbasis dialog yang dirancang untuk menyatukan beragam pemangku kepentingan dan memfasilitasi aksi kolektif. Proses ini berlandaskan pada integrasi tiga jenis pengetahuan:

  1. Pengetahuan sistemik (systems knowledge): Pemahaman tentang kondisi dan penyebab masalah.
  2. Pengetahuan sasaran (target knowledge): Visi kolektif tentang masa depan yang diinginkan.
  3. Pengetahuan operasional (operational knowledge): Cara-cara dan strategi untuk mencapai perubahan.

Dengan menggunakan kerangka ini, peneliti membangun proses iteratif yang memperkuat keterlibatan aktor dalam memahami dan mengatasi masalah kekeringan di Öland.

Metodologi: Lokakarya Tiga Tahap dan Pendekatan Berbasis Tempat

Sebanyak 17 peserta dari berbagai latar belakang—petani, nelayan rekreasi, organisasi lingkungan, otoritas lokal, dan akademisi—ikut serta dalam tiga rangkaian lokakarya antara November 2022 dan Maret 2023. Proses ini terdiri dari:

  • Lokakarya 1: Pemetaan sistem sosial-ekologis dan diskusi visual lewat “mood board” tentang asosiasi pribadi dengan air.
  • Lokakarya 2: Kunjungan lapangan ke tiga lokasi penting di lanskap Öland untuk menggali pengalaman dan narasi berbasis tempat.
  • Lokakarya 3: Pemikiran skenario (Three Horizons) dan pengembangan strategi perubahan kolektif.

Hasil Utama: Empat Strategi Kolektif untuk Tata Kelola Air

1. Restorasi Fungsi Alami Lanskap Air

Strategi ini bertujuan untuk meningkatkan kembali level air tanah ke kondisi pra-1880 dengan menghidupkan kembali lahan basah. Restorasi ini akan mendukung pertanian berkelanjutan, pelestarian keanekaragaman hayati, dan ketersediaan air minum.

Hambatan utama:

  • Sistem birokrasi dan regulasi lama yang sulit diubah.
  • Tidak ada kompensasi finansial bagi pemilik lahan yang menyisihkan lahannya untuk manfaat ekosistem.

Solusi yang diusulkan:

  • Pilot project restorasi di lahan non-produktif,
  • Pendanaan jangka panjang,
  • Kolaborasi antara pemilik lahan, LRF, dan otoritas lokal,
  • Inovasi teknis seperti biochar, sistem irigasi cerdas, dan pengelolaan drainase fleksibel.

2. Edukasi dan Kesadaran Publik tentang Air

Melalui pameran permanen di Museum Öland, kunjungan sekolah, eksperimen interaktif, dan narasi budaya, strategi ini bertujuan menumbuhkan literasi air di masyarakat.

Beberapa ide kreatif:

  • Teater bertema “makhluk air”,
  • Serial artikel di surat kabar lokal,
  • Pelibatan universitas dan sekolah tinggi rakyat.

Tantangan:

  • Logistik dan biaya untuk mobilisasi siswa,
  • Kebutuhan koordinasi lintas sektor (pendidikan, media, pariwisata).

3. Reformasi Drainase: Menuju Sistem yang Fleksibel

Pendekatan ini menantang sistem drainase warisan abad ke-19, yang saat ini mempersulit adaptasi terhadap perubahan iklim dan kebutuhan retensi air.

Usulan perubahan:

  • Membuka ruang bagi adaptasi lokal,
  • Evaluasi internal oleh kelompok kerja lintas aktor (pemilik lahan, pemerintah lokal),
  • Digitalisasi peta drainase untuk efisiensi,
  • Pelibatan Water Council dan lembaga pendamping pertanian.

Jika berhasil, Öland bisa menjadi model nasional untuk adaptasi iklim.

4. Petani Sebagai Inovator dan Inspirator

Strategi ini menjadikan petani sebagai sumber inspirasi dan pusat eksperimen. Melalui “open farms”, petani akan berbagi praktik pengelolaan air dan diuji coba sistem baru seperti:

  • Varietas tanaman tahan kekeringan,
  • Rotasi tanaman adaptif,
  • Penggunaan air limbah terolah untuk irigasi.

Inisiatif ini juga mempertimbangkan tren diet generasi masa depan, mendukung pertanian kecil, dan mendorong kolaborasi antara petani, universitas, dan lembaga negara.

Perubahan Persepsi Aktor: Dari Umum ke Strategis

Perbandingan antara awal dan akhir lokakarya menunjukkan pergeseran signifikan dalam cara peserta memandang masalah dan solusi:

  • Awalnya, isu difokuskan pada teknis seperti penyimpanan air, irigasi, atau lahan kering.
  • Seiring waktu, muncul pemahaman tentang politik air, pentingnya nilai budaya, dan syarat perubahan kelembagaan.

Persepsi solusi juga makin matang. Jika di awal solusi masih “teknis”, pada akhirnya aktor mengusulkan strategi sistemik yang melibatkan berbagai aktor dan nilai sosial.

Kekuatan Desain Proses: Dari Pengetahuan Terisolasi ke Aksi Kolektif

Penelitian ini menunjukkan bahwa desain lokakarya yang bertahap dan interaktif:

  • Memampukan aktor menyuarakan pengetahuan yang sebelumnya diam (tacit knowledge),
  • Menyatukan persepsi yang berbeda ke dalam narasi kolektif,
  • Mendorong keterlibatan emosional dan afektif yang mengarah pada agensi kolektif.

Strategi seperti ‘place-based encounter’ dan ‘Three Horizons thinking’ menciptakan ruang aman bagi dialog, refleksi, dan penyusunan visi bersama.

Kritik dan Refleksi

Meskipun pendekatan ini sangat kuat, artikel ini juga mencatat beberapa keterbatasan:

  • Tidak ada dokumentasi audio-visual untuk mendalami dinamika diskusi.
  • Sektor pariwisata tidak terwakili langsung, padahal memiliki tekanan besar pada sistem air.
  • Proses sangat tergantung pada fasilitator dan aktor kunci; keberlanjutan strategi membutuhkan penguatan kelembagaan.

Relevansi Global: Pelajaran bagi Dunia yang Kekurangan Air

Meskipun studi ini berlokasi di Swedia, pelajarannya relevan bagi banyak wilayah—terutama di Global South—yang menghadapi tantangan air serupa. Indonesia, misalnya, memiliki konteks serupa di pulau-pulau kecil, pesisir yang rentan kekeringan, dan masyarakat adat dengan nilai lokal yang belum banyak terintegrasi ke kebijakan air.

Ko-produksi pengetahuan berbasis dialog dapat menjadi pendekatan kunci untuk:

  • Menyusun tata kelola air lintas sektor dan komunitas,
  • Menjembatani antara ilmu pengetahuan, kebijakan, dan praktik,
  • Membangun solusi berbasis nilai dan pengetahuan lokal.

Dari Dialog Menuju Transformasi Sosial-Ekologis

Artikel ini bukan hanya kontribusi akademik, tetapi juga panduan praktis untuk mengatasi kompleksitas tata kelola sumber daya alam. Dalam dunia yang terfragmentasi, proses berbasis dialog dan kolaborasi bukanlah tambahan opsional, tetapi kebutuhan mutlak untuk mencapai keberlanjutan.

Dengan mengedepankan pengetahuan sistemik, sasaran, dan operasional, serta merancang proses yang mendalam dan inklusif, tata kelola air bisa menjadi gerakan sosial yang memberdayakan masyarakat, bukan sekadar urusan teknis pemerintahan.

Sumber Artikel :

Seiferth, C., Tengö, M., & Andersson, E. (2024). Designing for collective action: a knowledge co‑production process to address water governance challenges on the island of Öland, Sweden. Sustainability Science, 19, 1623–1640. 

Selengkapnya
Ko-Produksi Pengetahuan untuk Aksi Kolektif: Pelajaran dari Tata Kelola Air di Pulau Öland, Swedia
page 1 of 6 Next Last »