Ketenagakerjaan
Dipublikasikan oleh Hansel pada 12 September 2025
Titik Nol: Mengapa Produktivitas di Industri Konstruksi Begitu Sulit Diukur?
Hilangnya produktivitas telah lama menjadi masalah kronis dalam industri konstruksi, terutama di negara-negara berkembang. Salah satu penyebab utamanya adalah ketiadaan data yang terdokumentasi dengan baik untuk estimasi proyek, perencanaan, dan manajemen. Masalah ini menjadi sangat krusial mengingat banyak proyek konstruksi, khususnya yang bersifat padat karya seperti pembangunan jalan, sangat bergantung pada kuantitas dan efisiensi tenaga kerja. Peningkatan produktivitas tidak hanya berujung pada profitabilitas yang lebih besar dan daya saing yang lebih tinggi, tetapi juga pada penyelesaian proyek yang tepat waktu sesuai kontrak.
Namun, mengukur dan meningkatkan produktivitas tenaga kerja bukanlah tugas sederhana. Keberhasilan suatu proyek sering kali melibatkan tim kerja dengan berbagai latar belakang, tingkat pendidikan, dan kondisi cuaca yang berbeda, yang semuanya dapat memengaruhi laju kerja. Selain itu, produktivitas tenaga kerja dinilai lebih tidak menentu dan tidak dapat diprediksi dibandingkan komponen biaya proyek lainnya, menjadikannya tantangan besar yang harus dihadapi para kontraktor selama beberapa dekade terakhir.
Merespons tantangan ini, sebuah tim peneliti di Ghana memulai sebuah ekspedisi ilmiah. Tujuannya adalah untuk mengembangkan kerangka kerja yang komprehensif untuk mengidentifikasi, mengukur, dan meningkatkan produktivitas pekerja konstruksi pada proyek-proyek padat karya di negara tersebut.1 Studi ini bertekad untuk mengisi kekosongan data yang selama ini menghambat industri dan menemukan pilar-pilar fundamental yang menjadi penentu kinerja optimal.
Menggali Angka: Mengapa Uang Bukan Segalanya bagi Pekerja?
Penelitian ini menggunakan pendekatan kuantitatif dengan menyebarkan kuesioner kepada 560 responden di 40 distrik yang terlibat dalam proyek pembangunan jalan di seluruh Ghana, dengan tingkat respons yang tinggi mencapai 543 responden yang profilnya terperinci.1 Mayoritas responden adalah laki-laki (87,2%), dengan rentang usia terbanyak antara 26–35 tahun (51,1%), dan tingkat pendidikan serta pengalaman yang beragam, yang menunjukkan bahwa temuan studi ini didasarkan pada data dari populasi yang representatif dan berpengalaman.1
Hasil awal yang paling mengejutkan muncul dari analisis statistik deskriptif terhadap faktor-faktor yang memengaruhi produktivitas pekerja. Berdasarkan peringkat rata-rata (Mean), para responden menempatkan "skema insentif perusahaan untuk kinerja yang baik" (rata-rata 4,12) pada peringkat pertama, diikuti oleh "kesempatan bagi karyawan untuk melatih keterampilan mereka" (rata-rata 4,11) di peringkat kedua.1
Fakta ini sangat kontras dengan anggapan umum bahwa faktor terpenting bagi pekerja adalah "kemungkinan dibayar tepat waktu," yang justru berada di peringkat ketiga dengan rata-rata 4,10.1
Temuan ini secara fundamental mengubah cara pandang terhadap motivasi pekerja di sektor padat karya. Ini menunjukkan bahwa produktivitas tidak hanya didorong oleh motivasi transaksional—yaitu, imbalan finansial semata—melainkan juga oleh motivasi psikologis dan profesional. Pekerja tidak hanya ingin dipekerjakan dan dibayar; mereka juga ingin merasa diakui atas kerja kerasnya (melalui insentif) dan diberi kesempatan untuk tumbuh dan mengembangkan diri (melalui pelatihan keterampilan).1
Manajemen yang responsif terhadap keluhan pekerja juga menempati peringkat keempat (rata-rata 4,03), menggarisbawahi pentingnya lingkungan kerja yang mendukung dan peduli.1 Untuk perusahaan yang hanya fokus pada efisiensi operasional dan pembayaran gaji tanpa memperhatikan kesejahteraan, pengakuan, dan pengembangan keterampilan pekerja, ini adalah sebuah peringatan penting. Mengabaikan faktor-faktor "lunak" ini berarti kehilangan potensi produktivitas yang jauh lebih besar dan berkelanjutan.
Hasil penelitian menunjukkan sejumlah faktor yang dinilai paling berpengaruh terhadap pekerja, berdasarkan rata-rata penilaian responden. Faktor dengan skor tertinggi adalah skema insentif perusahaan untuk kinerja yang baik, yang memperoleh nilai rata-rata 4,12 dengan standar deviasi 0,976. Hal ini menandakan bahwa sistem penghargaan atau bonus menjadi pendorong utama motivasi pekerja.
Di posisi kedua, dengan rata-rata 4,11 (SD 0,697), adalah kesempatan bagi karyawan untuk melatih keterampilan mereka. Temuan ini menekankan pentingnya pelatihan dan pengembangan kapasitas agar pekerja merasa terus bertumbuh. Selanjutnya, kemungkinan penerima manfaat dibayar tepat waktu menempati peringkat ketiga dengan rata-rata 4,10 (SD 0,986), yang menunjukkan bahwa kepastian gaji tepat waktu tetap menjadi faktor fundamental dalam kepuasan kerja.
Faktor berikutnya adalah respons manajemen untuk menyelesaikan keluhan karyawan dengan rata-rata 4,03 (SD 1,018), menandakan bahwa dukungan manajemen dalam menanggapi masalah pekerja juga sangat diapresiasi. Disusul dengan pengetahuan penerima manfaat tentang teknik ilmiah yang mendapat skor 3,95 (SD 0,839), memperlihatkan pentingnya literasi teknis dalam mendukung kinerja.
Sementara itu, sikap penerima manfaat terhadap pekerjaan yang harus mereka laksanakan memperoleh rata-rata 3,91 (SD 0,852) dan pengetahuan penerima manfaat tentang prospek karier berada sedikit di bawahnya dengan skor 3,88 (SD 0,921). Kedua faktor ini menggambarkan bahwa motivasi intrinsik dan wawasan tentang masa depan karier turut berperan dalam membentuk performa kerja.
Faktor peluang promosi bagi karyawan tercatat dengan rata-rata 3,86 (SD 1,160) dan menempati peringkat kedelapan, menandakan bahwa meskipun promosi penting, faktor tersebut tidak sepenting insentif langsung atau pengembangan keterampilan. Selanjutnya, perekrutan penerima manfaat muda pada proyek meraih skor 3,83 (SD 1,464), yang relatif lebih rendah dan menunjukkan bahwa regenerasi tenaga kerja belum dianggap krusial oleh mayoritas responden.
Terakhir, faktor dengan skor terendah adalah tingkat pengalaman penerima manfaat untuk melakukan pekerjaan mereka, dengan rata-rata 3,77 (SD 0,496). Meski berada di posisi paling bawah, angka ini tetap cukup tinggi, sehingga bisa dikatakan bahwa pengalaman kerja masih dianggap relevan, hanya saja kurang dominan dibanding faktor lainnya.
Secara keseluruhan, hasil ini menggambarkan bahwa pekerja lebih memprioritaskan insentif finansial, pengembangan keterampilan, dan kepastian pembayaran dibanding faktor lain seperti pengalaman atau peluang promosi.
Empat Pilar Penentu: Membongkar Kode Rahasia Produktivitas
Untuk mendapatkan pemahaman yang lebih dalam, peneliti menggunakan analisis komponen utama (Principal Component Analysis atau PCA) untuk mereduksi 20 faktor menjadi elemen-elemen yang paling esensial. Analisis ini mengungkapkan bahwa ada empat komponen laten yang secara kumulatif menjelaskan 83,32% dari total variasi produktivitas.1 Angka yang luar biasa ini menunjukkan bahwa para peneliti berhasil "membongkar kode" produktivitas dan menemukan pilar-pilar inti yang menjadi fondasi utamanya. Keempat pilar tersebut adalah:
Pilar 1: Usia Pekerja (Komponen 1)
Pilar pertama ini menjelaskan 36,43% dari total variasi dan sangat berkaitan dengan faktor-faktor seperti "perekrutan penerima manfaat yang lebih tua dari desa" dan "perekrutan penerima manfaat muda pada proyek".1 Temuan ini menunjukkan bahwa komposisi usia tenaga kerja memainkan peran penting dalam dinamika proyek dan dapat memengaruhi produktivitas secara signifikan. Kebijakan perekrutan yang seimbang dan strategis, yang mempertimbangkan pengalaman pekerja yang lebih tua dan vitalitas pekerja yang lebih muda, dapat menjadi kunci untuk mengoptimalkan kinerja tim secara keseluruhan.1
Pilar 2: Pengetahuan Pekerja (Komponen 2)
Pilar kedua ini, yang menyumbang 23,29% dari variasi, berpusat pada pengetahuan dan sikap pekerja. Faktor-faktor di bawahnya termasuk "sikap penerima manfaat terhadap pekerjaan mereka," "kesempatan bagi karyawan untuk melatih keterampilan mereka," dan "pengetahuan penerima manfaat tentang teknik ilmiah".1 Ini mengukuhkan argumen bahwa produktivitas di lokasi kerja bukan hanya tentang kekuatan fisik, tetapi juga tentang kecerdasan, pelatihan, dan sikap mental. Pekerja yang memiliki pengetahuan yang memadai dan sikap positif terhadap tugas yang diemban cenderung lebih efisien dan efektif.1
Pilar 3: Kepatuhan Keselamatan (Komponen 3)
Dengan kontribusi 16,81% dari variasi, pilar ketiga ini menekankan pentingnya keselamatan kerja. Faktor-faktor seperti "penggunaan alat keselamatan di lokasi" dan "tingkat keselamatan yang dicapai pada proyek" berkorelasi kuat dengan pilar ini.1 Lingkungan kerja yang aman adalah fondasi produktivitas yang tidak boleh diabaikan. Lingkungan yang aman dapat mengurangi risiko insiden, meminimalkan kelelahan, dan meningkatkan konsentrasi pekerja, yang pada akhirnya secara langsung meningkatkan output.1 Keselamatan bukan sekadar kewajiban etika, tetapi juga investasi strategis untuk meningkatkan kinerja.
Pilar 4: Motivasi Pekerja (Komponen 4)
Pilar terakhir, yang menyumbang 6,79% dari variasi, adalah motivasi pekerja. Faktor-faktor di bawah pilar ini mencakup "skema insentif perusahaan," "peluang promosi bagi karyawan," dan "respons manajemen terhadap keluhan karyawan".1 Ini memperkuat temuan awal dari analisis deskriptif, menegaskan kembali bahwa faktor-faktor non-finansial seperti pengakuan dan kesempatan untuk kemajuan karier sangat penting untuk menjaga semangat dan kinerja tim pada tingkat yang tinggi.
Hasil analisis Principal Component Analysis (PCA) mengelompokkan faktor-faktor produktivitas ke dalam empat pilar utama. Pilar pertama adalah usia pekerja, yang mencakup aspek perekrutan tenaga kerja tua maupun muda serta pemberian insentif khusus bagi pekerja muda. Pilar ini menjelaskan variasi terbesar, yaitu 36,43%, sehingga dapat dikatakan bahwa faktor usia menjadi dimensi paling dominan dalam memengaruhi produktivitas secara keseluruhan.
Pilar kedua adalah pengetahuan pekerja, yang menjelaskan 23,29% variasi. Komponen ini terdiri atas sikap terhadap pekerjaan, kesempatan pelatihan, penguasaan pengetahuan teknis, serta tingkat kesadaran pekerja terhadap kebijakan yang berlaku. Dengan bobot ini, jelas bahwa kapasitas intelektual dan keterampilan pekerja berkontribusi besar dalam menjaga serta meningkatkan produktivitas.
Selanjutnya, pilar ketiga adalah kepatuhan terhadap keselamatan kerja, yang mencakup penggunaan peralatan keselamatan serta kepatuhan pada standar legislatif. Pilar ini menyumbang 16,81% variasi. Artinya, selain faktor usia dan pengetahuan, kepatuhan pekerja terhadap regulasi keselamatan turut menjadi pondasi penting dalam menjaga kinerja dan mencegah kerugian akibat kecelakaan kerja.
Pilar keempat adalah motivasi pekerja, yang menjelaskan 6,79% variasi. Faktor ini mencakup keberadaan skema insentif, respons manajemen dalam menangani masalah karyawan, serta peluang promosi yang tersedia. Walaupun kontribusinya paling kecil dibanding pilar lain, motivasi tetap menjadi elemen penting karena dapat memengaruhi semangat kerja dan loyalitas pekerja dalam jangka panjang.
Secara total, keempat pilar ini mampu menjelaskan 83,32% variasi dalam produktivitas pekerja. Angka kumulatif yang tinggi ini menunjukkan bahwa dimensi usia, pengetahuan, kepatuhan keselamatan, dan motivasi merupakan indikator kunci yang perlu diperhatikan bersama-sama. Dengan memahami kontribusi tiap pilar, manajemen dapat menyusun strategi peningkatan produktivitas yang lebih terarah, misalnya dengan mengombinasikan program pelatihan, kebijakan keselamatan, dan skema penghargaan bagi tenaga kerja lintas usia.
Potensi Transformasi: Kerangka Kerja Menuju Masa Depan yang Efisien
Berdasarkan temuan-temuan ini, para peneliti telah berhasil merancang sebuah kerangka kerja yang solid untuk mengukur produktivitas pekerja.1 Kerangka ini (Gambar 2 dalam dokumen asli) memposisikan empat pilar utama—usia, pengetahuan, kepatuhan keselamatan, dan motivasi—sebagai variabel eksogen yang secara signifikan memengaruhi produktivitas tenaga kerja.1
Kerangka kerja ini dapat menjadi alat perencanaan yang sangat berguna bagi para ahli industri konstruksi. Dengan mengukur dan mengelola empat pilar ini secara proaktif, kontraktor dapat memprediksi dan meningkatkan produktivitas, mengubah manajemen proyek dari reaktif menjadi proaktif.1 Hasilnya, biaya proyek dapat ditekan dan tenggat waktu penyelesaian bisa tercapai.1
Selain itu, temuan ini juga memiliki implikasi kebijakan yang lebih luas. Studi ini secara khusus menyoroti dilema yang dihadapi pemerintah dalam menggunakan proyek padat karya sebagai sarana pengentasan kemiskinan. Makalah tersebut mencatat bahwa "peningkatan basis penerima manfaat proyek dapat dikaitkan dengan penurunan produktivitas tenaga kerja secara keseluruhan (karena kepadatan pekerja)".1 Ini adalah paradoks penting: meskipun tujuannya mulia untuk menyediakan lapangan kerja bagi masyarakat miskin, jika manajemen tenaga kerja tidak dipertimbangkan, investasi sosial tersebut bisa menjadi kurang efektif. Oleh karena itu, kerangka ini dapat membantu pembuat kebijakan untuk merancang strategi yang lebih terpadu, di mana kebijakan rekrutmen massal dipadukan dengan manajemen proyek yang cermat untuk menyeimbangkan tujuan sosial dan ekonomi.
Kritik Realistis dan Jalan di Depan
Meskipun temuan studi ini sangat signifikan, penting untuk mencermati beberapa keterbatasannya. Penelitian ini hanya berfokus pada proyek pembangunan jalan padat karya di 40 distrik di Ghana, sehingga temuan ini mungkin tidak secara langsung berlaku untuk proyek konstruksi jenis lain, seperti pembangunan gedung atau bendungan, atau di wilayah geografis lain.
Selain itu, studi ini menggunakan analisis faktor eksplorasi (EFA) dan hanya mengandalkan satu instrumen kuesioner untuk mengumpulkan data. Meskipun uji reliabilitas internal (alpha Cronbach sebesar 0,876) menunjukkan konsistensi yang tinggi, beberapa konstruk menunjukkan nilai korelasi yang tinggi.1 Ini adalah pengakuan transparan yang menunjukkan bahwa masih ada ruang untuk penelitian lebih lanjut. Keterbatasan ini bukanlah kelemahan, melainkan garis batas studi yang spesifik, dan menjadi undangan terbuka untuk penelitian di masa depan yang dapat memperluas kerangka ini ke wilayah, negara, dan jenis konstruksi lain untuk memvalidasi dan memperkaya temuan yang ada.1
Kesimpulan: Jalan Menuju Masa Depan yang Lebih Produktif
Pada akhirnya, studi ini menegaskan bahwa produktivitas di industri konstruksi padat karya Ghana tidak hanya ditentukan oleh satu faktor tunggal, melainkan oleh interaksi dinamis dari empat pilar utama: usia pekerja, pengetahuan pekerja, kepatuhan keselamatan, dan motivasi pekerja.1 Temuan ini memberikan dasar empiris yang kuat bagi para pemangku kepentingan, dari kontraktor hingga pembuat kebijakan, untuk merancang strategi yang lebih efektif dan terarah.
Jika kerangka kerja ini diterapkan secara sistematis, temuan ini berpotensi meningkatkan efisiensi proyek secara signifikan. Peningkatan efisiensi yang didukung oleh manajemen proaktif pada keempat pilar ini dapat diibaratkan seperti menaikkan daya baterai smartphone dari 20% ke 70% hanya dalam satu kali pengisian—sebuah lompatan luar biasa yang akan mengurangi biaya operasional dan mempercepat penyelesaian proyek dalam kurun waktu lima tahun ke depan.1
Studi ini adalah langkah penting menuju pemahaman yang lebih baik tentang industri konstruksi di negara berkembang dan menyediakan peta jalan yang jelas untuk membangun masa depan yang lebih produktif dan berkelanjutan bagi semua pihak.
Sumber Artikel:
Bamfo-Agyei, E., Thwala, D. W., & Aigbavboa, C. (2022). Performance improvement of construction workers to achieve better productivity for labour-intensive works. Buildings, 12(10), 1593.
Ketenagakerjaan
Dipublikasikan oleh Marioe Tri Wardhana pada 09 September 2025
Mengapa Temuan Ini Penting untuk Kebijakan?
Laporan Professional Engineers Employment and Remuneration Report 2021/22 memberikan gambaran menyeluruh tentang kondisi ketenagakerjaan insinyur profesional di Australia, termasuk tingkat gaji, perbedaan sektor publik dan swasta, keterwakilan gender, dampak COVID-19, hingga tren jam kerja. Walaupun konteksnya berbasis Australia, data ini punya nilai strategis bagi Indonesia sebagai negara yang tengah mendorong industrialisasi, transformasi digital, dan pembangunan infrastruktur besar-besaran.
Beberapa temuan utama yang patut diperhatikan adalah:
Kesenjangan upah: Median gaji insinyur di sektor publik sedikit lebih tinggi dibandingkan swasta.
Kesenjangan gender: Insinyur perempuan masih menerima gaji lebih rendah dibandingkan laki-laki, dengan gap sekitar AUD 12.000 per tahun.
Jam kerja panjang: Rata-rata jam kerja mingguan lebih dari 44 jam, memunculkan risiko kelelahan.
Dampak COVID-19: Pemutusan kontrak, penurunan jam kerja, hingga ketidakpastian kontrak banyak dialami.
Faktor non-upah: Profesional lebih mengutamakan work-life balance, kesempatan pengembangan karir, dan budaya kerja sehat ketimbang sekadar kenaikan gaji.
Temuan ini menyiratkan bahwa kebijakan publik di Indonesia harus memikirkan kesejahteraan jangka panjang tenaga insinyur, bukan hanya menyiapkan lapangan kerja.
Implementasi di Lapangan: Dampak, Hambatan, dan Peluang
Dampak Sosial
Kesejahteraan insinyur berdampak langsung pada kualitas infrastruktur publik, keamanan transportasi, serta efektivitas pembangunan nasional. Jika insinyur bekerja di bawah tekanan, risiko kesalahan teknis meningkat.
Dampak Ekonomi
Remunerasi yang kompetitif mencegah brain drain ke luar negeri. Sebaliknya, ketidakadilan gaji atau minimnya pengembangan karir bisa memperburuk krisis talenta teknik di Indonesia.
Dampak Administratif
Laporan menegaskan pentingnya akreditasi profesional. Engineer yang terakreditasi cenderung memperoleh gaji lebih tinggi. Pemerintah Indonesia bisa menjadikan hal ini dasar untuk memperkuat sertifikasi dan standar profesi.
Hambatan
Minimnya regulasi khusus perlindungan tenaga insinyur.
Budaya kerja di sektor konstruksi dan industri manufaktur yang masih cenderung menormalisasi jam kerja panjang.
Rendahnya jumlah perempuan di bidang teknik di Indonesia, serupa dengan tren global.
Peluang
Bonus demografi: banyak lulusan teknik yang siap masuk dunia kerja.
Dukungan digitalisasi dan green economy membuka lahan kerja baru bagi insinyur di bidang energi terbarukan, AI, dan data engineering.
5 Rekomendasi Kebijakan Praktis
1. Standarisasi Sistem Remunerasi Nasional
Pemerintah dapat menginisiasi skala gaji nasional untuk profesi insinyur yang transparan, mengacu pada level tanggung jawab, pengalaman, dan sertifikasi. Hal ini bisa mengurangi kesenjangan antara sektor publik dan swasta.
2. Program Kesetaraan Gender dalam Profesi Teknik
Kesenjangan upah gender harus ditangani dengan kebijakan equal pay audit di perusahaan, serta insentif fiskal bagi perusahaan yang berhasil meningkatkan keterwakilan perempuan dalam posisi insinyur senior.
3. Perlindungan Jam Kerja dan Kesehatan Mental
Berdasarkan laporan, jam kerja rata-rata melebihi 44 jam per minggu. Pemerintah perlu menegakkan regulasi jam kerja maksimal untuk profesi teknik, sekaligus mendorong program kesehatan mental di lingkungan kerja.
4. Insentif Akreditasi Profesional
Engineer dengan sertifikasi akreditasi terbukti memiliki pendapatan lebih tinggi. Pemerintah bisa memberikan subsidi biaya akreditasi atau menjadikannya syarat dalam proyek infrastruktur nasional.
5. Diversifikasi Karir dan Pengembangan Kapasitas
Kebijakan pelatihan berkelanjutan (continuing professional development/CPD) harus diprioritaskan. Misalnya, insinyur di sektor konstruksi didorong mengambil kursus tentang digital engineering dan manajemen rantai pasok. Untuk itu Pemodelan Rantai Pasok dapat dijadikan sarana penguatan kapasitas.
Kritik terhadap Potensi Kegagalan Kebijakan
Jika kebijakan publik hanya fokus pada kenaikan gaji tanpa memperhatikan faktor non-finansial seperti budaya kerja, pengembangan karir, dan kesetaraan gender, maka perbaikan yang diharapkan bisa gagal. Laporan ini jelas menegaskan bahwa engineer tidak hanya mengejar upah, melainkan juga stabilitas, work-life balance, dan pengakuan profesional.
Penutup: Peta Jalan Kebijakan untuk Indonesia
Laporan 2021/22 Professional Engineers Employment and Remuneration Report memberi cermin berharga bagi Indonesia. Kesejahteraan insinyur bukan hanya soal upah, melainkan juga soal kualitas hidup, pengembangan kompetensi, serta kesetaraan kesempatan. Dengan menerapkan kebijakan berbasis data seperti yang direkomendasikan, Indonesia dapat memastikan keberlanjutan pembangunan infrastruktur, mencegah brain drain, dan meningkatkan daya saing global.
Sumber:
Professional Engineers Employment and Remuneration Report 2021/22 – Professionals Australia
Ketenagakerjaan
Dipublikasikan oleh Marioe Tri Wardhana pada 08 September 2025
Mengapa Temuan Ini Penting untuk Kebijakan?
Artificial Intelligence (AI) kini menempati posisi strategis dalam ekonomi global. Tidak hanya menjadi alat efisiensi produksi, tetapi juga pendorong transformasi sosial dan industri. Artikel AI in the Workforce: Preparing for Tomorrow’s Jobs menunjukkan bahwa adopsi AI di Filipina bukan lagi pilihan, melainkan keniscayaan.
Pemerintah harus menyadari bahwa isu ini melampaui ranah teknologi; ia menyentuh dimensi sosial (perlindungan pekerja), ekonomi (daya saing industri), pendidikan (kurikulum baru), dan etika (perlindungan privasi serta keadilan algoritmik). Tanpa regulasi, AI berpotensi memperdalam ketimpangan sosial: segelintir orang dengan akses teknologi mendapat manfaat besar, sementara mayoritas berisiko kehilangan pekerjaan.
Implementasi di Lapangan: Dampak, Hambatan, dan Peluang
Dampak Positif
Efisiensi dan Produktivitas: Proses manufaktur dan layanan publik dapat berjalan lebih cepat dengan biaya rendah.
Lapangan Kerja Baru: Profesi baru di bidang analisis data, keamanan siber, dan manajemen sistem AI mulai bermunculan.
Peningkatan Kualitas Layanan: Layanan kesehatan berbasis AI mampu mempercepat diagnosis, sementara sektor finansial bisa memprediksi risiko kredit lebih akurat.
Dampak Negatif
Penggantian Pekerjaan Rutin: Profesi administratif, customer service, hingga operator manual sangat rentan otomatisasi.
Ketimpangan Digital: Masyarakat yang tidak memiliki literasi digital akan semakin tertinggal.
Risiko Sosial-Etika: AI tanpa regulasi bisa melanggengkan bias gender, etnis, atau status sosial.
Hambatan Nyata di Filipina
Akses Pendidikan Terbatas: Kurangnya kurikulum berbasis AI di sekolah dan perguruan tinggi.
Infrastruktur Digital: Jaringan internet di daerah pedesaan belum merata, menghambat pemanfaatan AI.
Regulasi Minim: Belum ada standar etis dan hukum yang kuat mengenai penggunaan data dan algoritma.
Peluang Strategis
Membangun Knowledge Economy: Filipina bisa menggeser ekonominya dari berbasis tenaga kerja murah menuju ekonomi digital bernilai tinggi.
Kolaborasi Publik-Swasta: Universitas, pemerintah, dan sektor swasta dapat bersinergi dalam membangun center of excellence di bidang AI.
Pelatihan Massal: Program upskilling dan reskilling bisa menjadikan pekerja lebih adaptif.
5 Rekomendasi Kebijakan Publik Praktis
Desain Kurikulum Pendidikan Nasional yang Visioner
Pemerintah harus menanamkan literasi digital, coding, dan pemahaman etika teknologi sejak sekolah dasar. Di level perguruan tinggi, perlu ada program khusus AI dan data science. Hal ini relevan dengan Dasar-Dasar Artificial Intelligence sebagai fondasi pengetahuan.
Program Nasional Upskilling dan Reskilling Tenaga Kerja
Gelombang otomatisasi akan berdampak langsung pada pekerja menengah dan bawah. Pemerintah harus mengalokasikan anggaran khusus untuk pelatihan ulang berskala besar, misalnya dalam bentuk voucher training. Skema ini bisa diperkaya melalui pelatihan daring, seperti kursus AI di Diklatkerja.
Kerangka Regulasi Etika dan Keamanan Data AI
Perlu regulasi yang mencegah diskriminasi algoritmik, melindungi privasi pekerja, dan mengatur akuntabilitas sistem otomatis. Badan pengawas independen untuk teknologi AI bisa dibentuk agar regulasi bersifat adaptif.
Mendorong Industri AI Lokal dan Inovasi Startup
Filipina harus mengembangkan ekosistem startup AI lokal dengan memberikan insentif fiskal, grant research, serta tech hub. Langkah ini bukan hanya memperkuat industri, tapi juga menciptakan lapangan kerja baru. Penelitian bisa diarahkan ke bidang strategis seperti big data analytics, healthcare AI, atau computer vision, relevan dengan Computer Vision in Big Data Applications.
Kolaborasi Regional dan Internasional
Filipina perlu menjalin kerja sama dengan ASEAN maupun mitra global dalam bidang regulasi, penelitian, dan inovasi. Hal ini akan mempercepat transfer pengetahuan sekaligus menyiapkan pekerja lokal untuk pasar tenaga kerja global.
Kritik: Risiko Jika Tanpa Kebijakan Serius
Jika pemerintah hanya mengandalkan mekanisme pasar, adopsi AI bisa memperparah dual economy: pekerja terampil makin kaya, sementara pekerja tidak terampil kehilangan pekerjaan. Tanpa regulasi etis, AI dapat memperburuk ketidakadilan sosial. Negara lain yang lebih cepat mengadopsi AI juga bisa menarik investasi yang seharusnya masuk ke Filipina.
Penutup: Relevansi Strategis untuk Filipina
Artikel ini menegaskan bahwa AI adalah fondasi ekonomi masa depan. Dengan strategi kebijakan publik yang tepat, Filipina bisa memanfaatkan AI untuk mendorong produktivitas, menciptakan lapangan kerja baru, serta memperkuat daya saing global.
Namun keberhasilan ini hanya mungkin jika ada komitmen politik, koordinasi lintas sektor, dan investasi serius pada manusia, bukan sekadar teknologi.
Sumber
Institute of Integrated Electrical Engineers of the Philippines, The Electrical Engineer, April/August 2024 Issue.
Ketenagakerjaan
Dipublikasikan oleh Sirattul Istid'raj pada 22 Mei 2025
Pendahuluan: Tantangan Produktivitas di Proyek Konstruksi
Industri konstruksi Indonesia, meski berkontribusi besar terhadap PDB nasional, terus dibayangi isu klasik: rendahnya produktivitas tenaga kerja. Dalam proyek pembangunan dan renovasi Gedung Rumah Sakit Universitas Hasanuddin (Unhas) Makassar, peneliti Muhammad Rendy dan Andi Febra Ashari mencoba menyibak persoalan ini dengan pendekatan yang sistematis. Mereka menilai kinerja pekerja pada pekerjaan plafon dan instalasi listrik, dua elemen vital yang memengaruhi kecepatan dan kualitas proyek secara keseluruhan.
Dengan menggunakan pendekatan deskriptif-kuantitatif dan tools statistik SPSS versi 25, studi ini tidak hanya mengukur Labour Utilization Rate (LUR) dan produktivitas berdasarkan SNI, tapi juga mengevaluasi variabel-variabel yang memengaruhinya secara signifikan. Hasilnya? Temuan yang patut jadi acuan dalam pengelolaan proyek konstruksi, khususnya di masa pascapandemi.
Metodologi: Menggali Data dari Lapangan
Penelitian ini menggunakan pendekatan deskriptif kuantitatif, dengan teknik pengumpulan data melalui:
Observasi langsung pekerja lapangan
Penyebaran kuesioner kepada 16 responden
Analisis statistik dengan SPSS v25
Subjek yang diamati mencakup berbagai peran, dari mandor hingga tukang dan pekerja harian. Fokus utama adalah aktivitas pekerjaan plafon dan instalasi listrik di proyek RS Unhas yang sempat tertunda akibat pandemi COVID-19.
Hasil Utama: Seberapa Produktif Tenaga Kerja di Proyek Ini?
1. Labour Utilization Rate (LUR)
LUR merupakan rasio waktu kerja efektif terhadap total waktu yang tersedia. Angka LUR digunakan sebagai indikator efisiensi tenaga kerja dalam memanfaatkan waktunya.
Rata-rata LUR yang dicapai adalah sebesar 92,98%. Artinya, hampir seluruh waktu kerja digunakan secara produktif. Bahkan, beberapa pekerja seperti Latif dan Komaruddin mencapai efisiensi lebih dari 95%.
Catatan: Menurut Oglesby (1989), LUR > 50% sudah termasuk kategori memuaskan. Maka capaian ini bisa dikatakan sangat tinggi.
2. Produktivitas Berdasarkan SNI
Menggunakan rumus produktivitas = volume pekerjaan ÷ waktu efektif (SNI 3436:2002), diperoleh:
Hari ke-1: 0,641 m²/menit
Hari ke-2: 0,6365 m²/menit
Hari ke-3: 0,6405 m²/menit
Rata-rata produktivitas: 0,6393 m²/menit
Sebagai perbandingan, standar efisiensi nasional dalam pekerjaan plafon berada di kisaran 0,5–0,7 m²/menit. Maka, hasil ini tergolong tinggi.
Studi Kasus: Pekerjaan Plafon di RS Unhas
Proyek yang dianalisis merupakan pekerjaan renovasi gedung Rumah Sakit Unhas. Pandemi COVID-19 sempat menghentikan proyek, menciptakan tantangan baru terkait produktivitas dan jadwal pengerjaan.
Jumlah pekerja: 16 orang + 1 mandor
Volume pekerjaan: 247,7475 m²
Total OH (orang-hari): 1,605 per hari
Dengan kondisi tersebut, tingkat efisiensi yang tinggi menunjukkan manajemen tenaga kerja yang cukup berhasil mengendalikan produktivitas bahkan dalam kondisi yang menantang.
Perbandingan dengan Penelitian Sebelumnya
Penelitian ini selaras dengan studi oleh Aprillian (2010) dan Febriyanto (2013) yang menunjukkan bahwa pengalaman kerja memiliki korelasi kuat dengan produktivitas tenaga kerja konstruksi. Namun, uniknya, penelitian ini juga mengonfirmasi bahwa tingkat pendidikan formal tidak selalu menjadi penentu utama dalam konteks lapangan.
Implikasi Praktis bagi Industri Konstruksi
Rekrutmen berbasis pengalaman: Pemilihan tenaga kerja sebaiknya mempertimbangkan jam terbang daripada sekadar latar belakang akademis.
Pelatihan berkelanjutan: Untuk pekerja muda, penting dilakukan on-the-job training untuk mempercepat kurva belajar.
Monitoring produktivitas harian: Metode LUR terbukti efisien sebagai alat pemantau lapangan.
Penggunaan SPSS dalam proyek: Pengolahan data statistik sebaiknya menjadi standar manajemen proyek profesional.
Kesimpulan: Pengalaman adalah Kunci
Penelitian ini memperkuat fakta bahwa pengalaman kerja merupakan faktor dominan dalam produktivitas tenaga kerja konstruksi. Meskipun beberapa variabel seperti upah, pendidikan, dan hubungan kerja tak menunjukkan signifikansi, efisiensi tetap dapat tercapai melalui pengelolaan waktu dan pemanfaatan SDM yang tepat.
Dengan LUR rata-rata 92,98% dan produktivitas 0,6393 m²/menit, proyek RS Unhas menunjukkan bahwa pengelolaan sumber daya manusia yang baik, bahkan di tengah krisis pandemi, mampu menghasilkan produktivitas optimal.
Rekomendasi Tambahan
Industri konstruksi di Indonesia perlu menjadikan LUR sebagai standar audit produktivitas di proyek.
Kebijakan insentif berbasis produktivitas harian akan mendorong perilaku kerja yang lebih efisien.
Investasi pada manajemen proyek berbasis data (seperti SPSS) akan mempercepat identifikasi faktor penghambat produktivitas.
Sumber:
Rendy, M., & Ashari, A. F. Y. (2022). Analisis Produktivitas Tenaga Kerja Pada Pekerjaan Plafond dan Instalasi Listrik (Studi Kasus Proyek Gedung Rumah Sakit Universitas Hasanuddin Kota Makassar). Journal of Applied Civil and Environmental Engineering, Vol. 2, No. 2. Link Jurnal Resmi (eISSN: 2775-0213)
Ketenagakerjaan
Dipublikasikan oleh Sirattul Istid'raj pada 21 Mei 2025
Pendahuluan: Infrastruktur Hebat Butuh Tenaga Kerja Efisien
Pembangunan infrastruktur menjadi tulang punggung transformasi ekonomi Indonesia. Jalan tol sebagai penghubung logistik antarwilayah tak hanya menciptakan konektivitas, tetapi juga menarik investasi. Namun, satu tantangan utama yang sering terlupakan adalah bagaimana produktifitas tenaga kerja di lapangan bisa menjadi pembeda antara proyek yang berhasil dan yang mangkrak.
Penelitian ini meneliti proyek besar: Pembangunan Jalan Tol Binjai–Langsa Seksi Binjai–Pangkalan Brandan, bagian dari jaringan Tol Trans-Sumatera, yang dinilai krusial untuk mendorong pertumbuhan ekonomi regional.
Tujuan dan Pentingnya Studi Ini
Penelitian ini bertujuan untuk:
Mengidentifikasi dan menganalisis faktor-faktor yang paling berpengaruh terhadap produktivitas pekerja.
Menggunakan pendekatan statistik modern untuk memastikan temuan dapat diuji dan direplikasi.
Dengan pendekatan Productivity Rating, regresi linear berganda, serta pengujian validitas dan reliabilitas menggunakan SPSS v26, studi ini berusaha menyaring variabel yang paling dominan dari total 32 variabel teknis, manajerial, dan personal pekerja.
Metodologi: Gabungan Survei Lapangan & Analisis Statistik
Lokasi dan Responden
Lokasi: Jalan Tol Binjai–Langsa Seksi Binjai–Pangkalan Brandan
Responden: 25 personel proyek (site engineer, quantity surveyor, drafter, QHSSE, logistik, dan lainnya)
Durasi pengamatan: 3 hari kerja (sampel produktivitas diukur dari 420 menit per hari)
Tools & Teknik:
Productivity Rating: Mengukur efektivitas aktivitas kerja (Effective, Contributory, Ineffective)
SPSS v26: Untuk regresi linear, uji t, uji F (ANOVA), dan koefisien determinasi
Validitas dan Reliabilitas: Memastikan instrumen kuesioner tepat dan akurat
Temuan Utama: Rata-Rata Produktivitas Cukup Memuaskan
Labor Utilization Rate (LUR)
Hasil pengukuran LUR menunjukkan:
Rata-rata LUR: 76,70%
Nilai tertinggi: 83,93% (oleh pekerja bernama Kiki pada hari ke-2)
Angka ini jauh melampaui standar ideal LUR yang hanya 40%–60% (Oglesby, 1989), menunjukkan kinerja pekerja berada di level cukup memuaskan.
Insight Tambahan: Angka ini mengindikasikan koordinasi manajemen proyek yang cukup baik. Namun, angka ini tetap butuh konfirmasi melalui faktor-faktor penyerta yang memengaruhinya.
Identifikasi Faktor: Apa Saja yang Mempengaruhi Produktivitas?
Total Faktor Diuji: 32 Variabel
Terdiri dari 3 kategori:
Setelah tiga tahap uji validitas, hanya 21 faktor yang valid. Dari sana, melalui regresi linear, ditemukan 12 variabel signifikan yang mempengaruhi produktivitas secara statistik.
Catatan Kritis:
Tingkat upah berpengaruh positif dan signifikan, mendukung teori bahwa kompensasi layak meningkatkan semangat kerja.
Insentif justru berdampak negatif, hal yang bertentangan dengan banyak studi sebelumnya (Halida, 2016; Mayasari, 2016). Ini bisa jadi disebabkan insentif yang tidak jelas skemanya atau malah menjadi beban target kerja tambahan.
Cuaca tidak menentu berdampak positif, kemungkinan karena pekerja menjadi lebih disiplin dalam mengatur waktu kerja, atau proyek memiliki sistem mitigasi cuaca yang baik.
Analisis Tambahan: Fenomena cuaca sebagai faktor positif perlu studi lanjutan, mengingat sebagian besar studi sebelumnya menyatakan hujan dan iklim ekstrem justru memperlambat pekerjaan (Ofusaputra, 2018).
Faktor Lain yang Teruji Signifikan:
Pengalaman kerja (+)
Usia pekerja (-)
Pembagian pekerjaan tidak seimbang (-)
Kualitas pengawasan (+)
Kurangnya briefing (-)
Masalah pembebasan lahan (+)
Penafsiran:
Pengalaman selalu menjadi aset: makin lama bekerja, makin cepat menyelesaikan tugas.
Usia terlalu tua bisa mengurangi stamina, fleksibilitas, dan kecepatan kerja.
Briefing yang minim berujung pada miskomunikasi dan potensi kesalahan.
Pembebasan lahan sebagai variabel positif mungkin merefleksikan kelancaran logistik begitu masalah diselesaikan.
Koefisien Determinasi: Model Sangat Kuat
R² = 0,989
Artinya: 98,9% variasi produktivitas tenaga kerja dapat dijelaskan oleh 21 variabel tersebut.
Ini adalah angka yang sangat tinggi untuk riset sosial, menandakan bahwa faktor-faktor yang dikaji memiliki keterkaitan sangat kuat dengan output produktivitas.
Uji F (ANOVA): Model Statistik Valid
Fhitung = 12,296 > Ftabel = 5,790
Kesimpulan: Model regresi berpengaruh secara simultan terhadap produktivitas.
Kritik dan Opini: Apa yang Perlu Diperbaiki?
Kejanggalan Temuan Insentif
Studi ini menemukan bahwa insentif berdampak negatif terhadap produktivitas. Ini bisa disebabkan:
Skema insentif tidak transparan
Insentif bersifat target-based tanpa memperhitungkan kapasitas
Pengaruh psikologis: insentif dinilai beban, bukan motivasi
Rekomendasi: Perlu evaluasi sistem reward yang lebih adil, berbasis progres bukan hasil akhir semata.
Belum Menyentuh Digitalisasi
Studi belum memasukkan faktor penggunaan teknologi digital seperti aplikasi pelaporan harian, sistem manajemen proyek, atau software monitoring kerja. Ini bisa menjadi peluang penelitian lanjutan.
Rekomendasi Praktis dari Penelitian Ini
Kaji ulang sistem insentif proyek agar benar-benar meningkatkan produktivitas, bukan sebaliknya.
Optimalkan ruang kerja fisik untuk menghindari keterbatasan mobilitas pekerja.
Rekrut pekerja dengan pengalaman lebih tinggi dan berikan pelatihan berkala.
Perbaiki sistem briefing harian, bahkan menggunakan tools digital agar informasi tersampaikan utuh.
Perhatikan jarak tempat tinggal pekerja, idealnya berikan fasilitas mess.
Penutup: Jalan Tol Hebat Butuh Tenaga Kerja Hebat
Penelitian ini menjadi pengingat bahwa pembangunan infrastruktur besar tidak bisa dilepaskan dari hal kecil bernama "tenaga kerja". Bahkan, upah, cuaca, hingga briefing bisa menjadi pembeda antara proyek yang selesai tepat waktu dan yang terlambat.
Dengan pendekatan statistik yang cermat dan lokasi proyek nyata, studi ini layak dijadikan rujukan dalam penyusunan kebijakan SDM konstruksi, baik oleh kontraktor swasta maupun pemerintah.
Sumber
Penelitian ini dapat diakses melalui:
Yolanda Ayu Damayanti & Mizanuddin Sitompul (2021).
Analisis Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Produktivitas Tenaga Kerja pada Proyek Pembangunan Jalan Tol Ruas Binjai–Langsa Seksi Binjai–Pangkalan Brandan
Jurnal Rekayasa Konstruksi Mekanika Sipil (JRKMS), Vol. 4 No. 2
Universitas Katolik Santo Thomas
Tautan: http://ejournal.ust.ac.id/index.php/JRKMS
Ketenagakerjaan
Dipublikasikan oleh Sirattul Istid'raj pada 21 Mei 2025
Pendahuluan: Di Balik Efisiensi Proyek Konstruksi
Dalam dunia konstruksi modern, produktivitas tenaga kerja bukan hanya indikator efisiensi, melainkan juga penentu kelangsungan proyek dalam hal biaya, mutu, dan waktu. Ketika semua perhatian tertuju pada material atau teknologi, tenaga kerja acap kali menjadi elemen yang dilupakan—padahal kontribusinya bisa sangat menentukan.
Studi ini, dengan objek proyek Tunjungan Plaza 6 Surabaya, menggunakan metode work sampling untuk menyelidiki produktivitas tenaga kerja khusus pada pekerjaan pembesian (rebar work). Data dikumpulkan selama 6 minggu dan menghasilkan dua temuan utama: nilai produktivitas aktual sebesar 40,35 kg/orang-jam dan Labor Utilization Rate (LUR) sebesar 77,61%.
Temuan ini ternyata sangat berbeda dari standar produktivitas menurut SNI 2008, yang hanya mencatat 28,57 kg/orang-jam. Kenapa bisa berbeda? Mari kita bahas lebih lanjut.
Metode Work Sampling: Efisien, Akurat, dan Humanis
Apa Itu Work Sampling?
Work sampling adalah metode kuantitatif untuk mengamati aktivitas pekerja secara acak (random), lalu mengkategorikannya menjadi:
Produktif (Effective Work): Aktivitas langsung menghasilkan output proyek.
Kontributif (Essential Contributory): Aktivitas pendukung namun wajib dilakukan.
Tidak Produktif (Unproductive): Aktivitas seperti merokok, mengobrol, atau menunggu.
Kenapa Metode Ini Unggul?
Berbeda dengan time study yang lebih invasif dan memakan waktu, work sampling memungkinkan observasi banyak pekerja dalam waktu singkat dengan akurasi statistik tinggi. Minimal 384 observasi dibutuhkan untuk hasil yang valid; studi ini mengumpulkan tepat sejumlah itu, dilakukan di dua titik pekerjaan: tower Office dan Podium.
Temuan Utama: Produktivitas yang Tak Terduga
1. Produktivitas Pekerjaan Pembesian
Berdasarkan observasi di lapangan, rata-rata produktivitas pekerjaan pembesian tercatat sebesar 40,35 kg/orang-jam, dengan kisaran antara 35,06 hingga 47,34 kg/orang-jam. Angka ini menunjukkan performa yang cukup konsisten, dengan puncaknya terjadi pada 7 November 2016 (41,75 kg/orang-jam) dan titik terendah pada 25 Oktober 2016 (39,41 kg/orang-jam).
Bandingkan dengan SNI 2008 yang hanya mencatat 28,57 kg/orang-jam, jelas terlihat bahwa kondisi riil proyek bisa jauh lebih efisien tergantung metode kerja dan manajemen yang diterapkan.
Insight Tambahan: Peningkatan produktivitas sebesar hampir 41% ini menunjukkan bahwa standar SNI mungkin perlu diperbarui atau dibuat lebih kontekstual.
2. Labor Utilization Rate (LUR)
Nilai LUR sebesar 77,61% menunjukkan bahwa mayoritas waktu kerja digunakan secara efektif. Rinciannya:
Effective Work: 72,9%
Essential Contributory: 18,83%
Unproductive: 8,26%
Artinya, kurang dari 10% waktu pekerja terbuang sia-sia, yang merupakan angka sangat ideal untuk proyek konstruksi berskala besar.
Studi Kasus: Tunjungan Plaza 6 Surabaya
Tunjungan Plaza adalah salah satu proyek mixed-use ikonik di Surabaya. Penelitian dilakukan di tower Office dan Podium karena bagian Condotel sudah selesai.
Praktik Lapangan yang Membuat Perbedaan:
Komposisi tenaga kerja yang disesuaikan dengan kemampuan tiap pekerja
Penggunaan alat kerja yang lebih modern
Supervisi dan pengawasan rutin oleh mandor dan kontraktor
Inilah yang membuat produktivitas aktual bisa melampaui ekspektasi berdasarkan standar nasional.
Analisis Kritis: Mengapa Standar SNI Tidak Selalu Relevan?
Studi ini menantang validitas Handbook SNI Analisis Biaya Konstruksi (2008) yang masih digunakan sebagai acuan nasional. Banyak proyek menggunakan data SNI sebagai patokan penyusunan jadwal dan biaya, padahal kondisi lapangan sering kali berbeda:
SNI belum tentu memperhitungkan pengaruh teknologi baru
Komposisi tenaga kerja lebih fleksibel di lapangan
Budaya kerja dan motivasi pekerja juga berperan besar
Implikasi Praktis: Apa yang Bisa Dipetik Industri Konstruksi?
Bagi Kontraktor dan Manajer Proyek:
Gunakan metode work sampling untuk pemantauan produktivitas berkala.
Jangan hanya mengandalkan acuan SNI; buatlah basis data produktivitas internal.
Bagi Pemerintah & Regulator:
Evaluasi ulang standar produktivitas kerja nasional.
Dorong kolaborasi antara kampus, kontraktor, dan asosiasi konstruksi untuk penyusunan indeks baru.
Bagi Akademisi:
Lakukan penelitian lanjutan untuk pekerjaan lain seperti pengecoran, finishing, dan arsitektural.
Terapkan metode statistik lanjutan seperti regresi atau simulasi Monte Carlo untuk proyeksi produktivitas.
Penutup: Mengukur yang Tak Terlihat
Produktivitas seringkali dianggap angka belaka. Namun lewat pendekatan kuantitatif yang manusiawi seperti work sampling, kita bisa melihat kinerja sesungguhnya dari tenaga kerja konstruksi. Studi ini bukan hanya memberikan data, tapi juga menunjukkan bagaimana manajemen proyek yang adaptif bisa melampaui standar dan menciptakan efisiensi nyata.
Produktivitas bukan sekadar target, tapi cermin dari manajemen dan budaya kerja.
Sumber
Penelitian ini dapat diakses di Journal Universitas Kristen Petra.
Judul: Analisis Produktivitas Tenaga Kerja dengan Metode Work Sampling: Studi Kasus Proyek Tunjungan Plaza 6
Penulis: Derian Asher Prasetyo, Anthony, Herry Pintardi Chandra, dan Soehendro Ratnawidjaja.
Link: https://petra.ac.id (gunakan DOI atau link langsung bila tersedia)