Ketenagakerjaan
Dipublikasikan oleh Guard Ganesia Wahyuwidayat pada 23 Oktober 2025
Pendahuluan
Industri jasa konstruksi merupakan sektor yang sangat mengandalkan sumber daya manusia (SDM) sebagai pelaksana utama kegiatan proyek. Dalam konteks ini, loyalitas dan retensi karyawan menjadi aspek strategis yang krusial untuk menjaga kesinambungan operasional dan efisiensi perusahaan. Fenomena turnover intention atau keinginan karyawan untuk keluar dari perusahaan telah menjadi perhatian serius, terutama dalam industri konstruksi yang bersifat padat karya dan penuh tekanan.
Paper berjudul "The Effect of Job Satisfaction and Job Environment on Turnover Intention Employees in Engineering and Services Construction Services" karya Christina Catur Widayati, Purnamawati Helen Widjaja, dan Lia D. menjadi salah satu rujukan penting dalam memahami keterkaitan antara kepuasan kerja, lingkungan kerja, dan niat untuk keluar dari perusahaan.
Metodologi Penelitian
Penelitian ini dilakukan pada salah satu perusahaan jasa konstruksi di Jakarta dengan jumlah responden sebanyak 66 orang. Metode yang digunakan adalah kuantitatif deskriptif dengan pendekatan Partial Least Square (PLS). Penulis juga melakukan pre-survei terhadap 24 karyawan yang menunjukkan bahwa faktor dominan penyebab turnover intention adalah kepuasan kerja (45,8%) dan lingkungan kerja (37,5%).
Hasil dan Temuan Kunci
Data Turnover
Selama periode April 2016 hingga April 2017, tingkat turnover di perusahaan mencapai 6,06%, dengan lonjakan signifikan pada November 2016 (11,86%). Angka-angka ini mengindikasikan masalah sistemik yang membutuhkan intervensi manajerial segera.
Pengaruh Kepuasan Kerja terhadap Turnover Intention
Hasil uji hipotesis menunjukkan bahwa kepuasan kerja memiliki pengaruh negatif dan signifikan terhadap turnover intention (nilai T-statistik: 1,966). Artinya, semakin tinggi kepuasan kerja, semakin rendah niat karyawan untuk keluar dari perusahaan. Faktor-faktor yang dinilai meliputi:
Pekerjaan itu sendiri
Gaji
Hubungan dengan rekan kerja
Kesempatan promosi
Supervisi
Analisis tambahan menunjukkan bahwa gaji dan kesempatan promosi menjadi indikator yang paling sering menimbulkan ketidakpuasan, terutama ketika dibandingkan dengan benefit yang ditawarkan perusahaan sejenis.
Pengaruh Lingkungan Kerja terhadap Turnover Intention
Hasil pengujian juga menunjukkan pengaruh negatif signifikan dari lingkungan kerja terhadap turnover intention (T-statistik: 7,080). Faktor lingkungan yang dinilai meliputi:
Sirkulasi udara dan suhu ruangan
Tata letak ruang kerja
Keamanan tempat kerja
Tingkat kebisingan
Pencahayaan
Hubungan antarpegawai
Lingkungan kerja yang tidak kondusif berkontribusi besar terhadap stres kerja dan keinginan karyawan untuk mencari tempat kerja lain yang lebih nyaman dan aman.
Studi Kasus dan Perbandingan
Dalam konteks global, data dari Society for Human Resource Management (SHRM) menunjukkan bahwa rata-rata tingkat turnover tahunan di industri konstruksi global berkisar antara 20-25%. Meski angka 6,06% pada studi ini relatif lebih rendah, tren fluktuatif dan ketimpangan data dari bulan ke bulan menunjukkan adanya ketidakstabilan organisasi.
Penelitian oleh Khikmawati (2015) di perusahaan ritel menunjukkan temuan serupa, di mana lingkungan kerja dan kepuasan berpengaruh signifikan terhadap turnover intention. Hal ini mengindikasikan bahwa fenomena ini bersifat lintas industri, namun memiliki sensitivitas lebih tinggi dalam sektor konstruksi yang menuntut kerja fisik dan koordinasi tim tinggi.
Nilai Tambah dan Implikasi Praktis
1. Integrasi Sistem Reward
Perusahaan perlu mengembangkan sistem kompensasi yang kompetitif serta transparan dalam peluang promosi. Salah satu model yang dapat diterapkan adalah merit-based reward system yang mempertimbangkan output kerja dan kontribusi nyata terhadap proyek.
2. Evaluasi Ergonomi dan Kebisingan
Tingkat kebisingan di area kerja yang tinggi terbukti menjadi penyebab stres kerja. Solusi yang dapat diterapkan adalah audit lingkungan kerja secara berkala dan pengadaan ruang kerja tenang untuk aktivitas administrasi dan pengambilan keputusan.
3. Program Keterlibatan Karyawan
Karyawan yang merasa dilibatkan dalam pengambilan keputusan operasional cenderung memiliki loyalitas lebih tinggi. Penguatan komunikasi dua arah dan forum diskusi internal dapat menjadi solusi konkret.
Kritik dan Saran untuk Penelitian Selanjutnya
Penelitian ini memiliki kekuatan pada penggunaan metode PLS yang komprehensif serta penyajian data yang rapi. Namun, keterbatasan utama terletak pada ukuran sampel yang hanya mencakup 66 karyawan dan konteks yang hanya terbatas di satu perusahaan.
Untuk penelitian mendatang, disarankan:
Menambah variabel seperti stres kerja, budaya organisasi, dan beban kerja.
Melibatkan lebih dari satu perusahaan atau menggunakan desain komparatif antar sektor.
Menggunakan metode kualitatif untuk menggali motivasi personal secara lebih dalam.
Kesimpulan
Penelitian ini menyimpulkan bahwa kepuasan kerja dan lingkungan kerja memiliki pengaruh signifikan dan negatif terhadap turnover intention. Artinya, peningkatan kedua aspek tersebut dapat menurunkan keinginan karyawan untuk keluar dari perusahaan. Temuan ini menjadi masukan berharga bagi manajemen perusahaan jasa konstruksi yang ingin meningkatkan retensi karyawan dan menciptakan lingkungan kerja yang produktif dan stabil.
Sumber
Widayati, C. C., Widjaja, P. H., & Lia, D. (2019). The Effect of Job Satisfaction and Job Environment on Turnover Intention Employees in Engineering and Services Construction Services. Dinasti International Journal of Education Management and Social Science, 1(1), 28–42. DOI: 10.31933/DIJEMSS
Ketenagakerjaan
Dipublikasikan oleh Guard Ganesia Wahyuwidayat pada 20 Oktober 2025
Pendahuluan
Industri konstruksi merupakan tulang punggung pembangunan fisik dan ekonomi di banyak negara, termasuk Swedia. Namun, masalah klasik seperti keterlambatan proyek, pembengkakan biaya, dan kualitas hasil yang tidak konsisten sering kali berakar pada satu isu utama: rendahnya produktivitas tenaga kerja. Penelitian oleh Pia Malin Bartoschek dan Filip Kamenov Kirchev (2021) menyajikan analisis komprehensif tentang bagaimana produktivitas tenaga kerja berkontribusi terhadap keberhasilan proyek konstruksi, khususnya dari sudut pandang manajer proyek di industri konstruksi Swedia.
Resensi ini bertujuan membedah temuan utama studi tersebut, menyajikan data dan wawasan praktis, serta memperkaya pembahasan dengan opini kritis dan perbandingan dengan praktik global.
Latar Belakang Penelitian
Swedia dan Tantangan Produktivitas di Sektor Konstruksi
Swedia mengalami peningkatan 35,4% lapangan kerja di industri konstruksi antara 2010 hingga 2020. Nilai industri ini pada 2019 mencapai 53,3 miliar euro. Namun, menurut Jonsson (2005), produktivitas tenaga kerja tetap rendah akibat perencanaan buruk, minimnya kepemimpinan, dan tingginya biaya konstruksi.
Definisi dan Pentingnya Produktivitas Tenaga Kerja
Produktivitas tenaga kerja diukur dari output per jam kerja. Ini mencerminkan efisiensi tenaga kerja dalam menghasilkan hasil proyek. Florez dan Cortissoz (2016) menyebutkan bahwa biaya tenaga kerja menyumbang 30–50% dari total biaya proyek, menjadikannya faktor utama dalam optimasi biaya.
Tujuan Penelitian dan Pertanyaan Kunci
Penelitian ini bertujuan menjawab: "Bagaimana kesuksesan proyek dapat dicapai melalui optimalisasi produktivitas tenaga kerja?" Fokusnya adalah pada persepsi manajer proyek mengenai faktor-faktor penentu produktivitas dan bagaimana mereka mengelola faktor tersebut sepanjang siklus proyek.
Metodologi
Pendekatan Kualitatif Deduktif
Penelitian ini menggunakan pendekatan wawancara mendalam dengan manajer proyek dari tiga perusahaan besar di Swedia: JM AB, Svevia, dan Atrium Ljungberg. Lima wawancara dilakukan, dianalisis dengan content analysis.
Framework Teoretis
Kerangka utama yang digunakan adalah 10-Factor Model dari Pinto dan Slevin (1988), yang mengidentifikasi faktor-faktor kunci keberhasilan proyek: komunikasi, dukungan manajemen puncak, perencanaan proyek, konsultasi klien, rekrutmen personel, tugas teknis, penerimaan klien, pemantauan, serta troubleshooting.
Temuan Lapangan
Faktor Pendorong Produktivitas Tenaga Kerja
Dari wawancara, faktor-faktor yang konsisten muncul sebagai pendorong utama produktivitas adalah:
Perencanaan awal yang matang
Dukungan manajemen puncak
Gaya kepemimpinan yang suportif
Komunikasi lintas fungsi yang efektif
Pelatihan dan pengalaman tim
Teknologi digital seperti BIM (Building Information Modeling)
Studi Kasus: Atrium Ljungberg
Sebagai perusahaan properti, Atrium bertindak sebagai kontraktor utama dan mengelola proyek secara menyeluruh. Mereka menekankan pentingnya desain awal, risk assessment berkala, serta komunikasi terpusat melalui BIM. Manajer proyek menyatakan bahwa investasi di awal siklus proyek, meskipun mahal, menghindari masalah besar di fase eksekusi.
Studi Kasus: JM AB dan Svevia
JM AB fokus pada pembangunan perumahan, sementara Svevia pada infrastruktur. Kedua perusahaan menyoroti pentingnya keterlibatan tim sejak awal, pelatihan berkala, serta gaya kepemimpinan kolaboratif. Salah satu manajer menyatakan bahwa proyek sukses bergantung pada "perencanaan mikro dan kemampuan merespons risiko secara dinamis".
Analisis Faktor Produktivitas
Faktor Organisasi
Top management support menentukan akses ke sumber daya dan validasi keputusan teknis. Struktur organisasi yang terlalu hierarkis cenderung menghambat respons cepat di lapangan.
Faktor Personal dan Kepemimpinan
Manajer proyek yang kompeten menunjukkan kombinasi kemampuan teknis, komunikasi, dan kepemimpinan partisipatif. Kelemahan pada salah satu aspek ini berdampak langsung pada moral dan output tim.
Faktor Eksternal
Cuaca ekstrem, perubahan regulasi, dan tekanan pasar merupakan faktor luar yang berpengaruh besar. Namun, banyak manajer proyek di Swedia telah mengembangkan sistem mitigasi risiko berbasis teknologi.
Perbandingan Global
Studi Nigeria, Turki, dan Indonesia
Di Nigeria (Paul & Adavi, 2013), komunikasi dua arah dianggap sebagai kunci meningkatkan produktivitas.
Di Turki (Kazaz et al., 2008), motivasi kerja adalah determinan utama.
Di Indonesia (Jarkas, 2010), buildability design berkontribusi besar terhadap efisiensi konstruksi.
Penelitian Bartoschek dan Kirchev mengonfirmasi bahwa faktor-faktor ini juga berlaku di Swedia, menunjukkan sifat universal dari produktivitas tenaga kerja konstruksi.
Kritik dan Opini
Kekuatan Penelitian:
Studi lapangan mendalam melalui wawancara langsung.
Penggunaan teori klasik (Pinto & Slevin, Belassi & Tukel) sebagai dasar analisis.
Kelemahan:
Jumlah responden terbatas (hanya lima orang).
Tidak mencakup aspek kuantitatif untuk mengukur dampak faktor secara statistik.
Fokus pada perusahaan besar, kurang mewakili UKM konstruksi.
Saran Tambahan:
Penelitian lanjutan sebaiknya:
Menggunakan mixed method (wawancara dan survei kuantitatif).
Menyoroti perbedaan produktivitas antara proyek publik dan swasta.
Menganalisis peran teknologi AI dan otomasi di masa depan.
Rekomendasi Praktis untuk Industri
Digitalisasi Proses Proyek: Gunakan BIM, dashboard KPI real-time, dan sistem ERP untuk efisiensi informasi.
Pelatihan Berkelanjutan: Fokus pada soft skill (komunikasi, manajemen konflik) dan hard skill teknis.
Pemetaan Risiko Awal: Lakukan assessment menyeluruh pada tahap perencanaan.
Desentralisasi Keputusan: Beri keleluasaan manajer proyek untuk mengambil keputusan strategis.
Kultur Organisasi Kolaboratif: Dorong komunikasi terbuka antar-departemen dan pengakuan atas kontribusi individu.
Kesimpulan
Produktivitas tenaga kerja konstruksi adalah kombinasi antara manusia, proses, dan sistem. Studi ini memperlihatkan bahwa dengan pengelolaan yang tepat terutama oleh manajer proyek yang kompeten dan sistem pendukung yang efektif, produktivitas dapat dioptimalkan, dan kesuksesan proyek dapat tercapai. Meski berfokus pada Swedia, temuan ini relevan secara global, termasuk di Indonesia, mengingat kemiripan tantangan di sektor konstruksi.
Sumber Referensi
Bartoschek, P. M., & Kirchev, F. K. (2021). Labor Productivity Influence in the Construction Industry. Jönköping University. https://www.diva-portal.org/smash/record.jsf?pid=diva2%3A1550289
Ketenagakerjaan
Dipublikasikan oleh Guard Ganesia Wahyuwidayat pada 03 Oktober 2025
Pendahuluan: Mengapa Keterampilan Tenaga Kerja Adalah Kunci Kinerja Proyek
Dalam industri konstruksi yang padat karya, keberhasilan proyek sangat ditentukan oleh kualitas tenaga kerja yang terlibat. Artikel ilmiah "Impact of Skilled and Unskilled Labor on Project Performance Using Structural Equation Modeling Approach" oleh Shahid Hussain et al. (2020), memberikan kontribusi penting terhadap pemahaman hubungan antara keterampilan tenaga kerja dan kinerja proyek, khususnya di negara berkembang seperti Pakistan.
Dengan menggunakan pendekatan Partial Least Square Structural Equation Modeling (PLS-SEM), studi ini menyelidiki dampak tenaga kerja terampil dan tidak terampil terhadap keberhasilan proyek konstruksi publik. Artikel ini bukan sekadar menyajikan data kuantitatif, tetapi juga membangun model konseptual yang dapat menjadi rujukan praktis bagi pengambil kebijakan dan pelaku industri.
Metodologi: Model Konseptual dan Pendekatan Kuantitatif
Penelitian ini mengadopsi pendekatan deduktif dengan rancangan survei kuantitatif. Kuesioner dibagikan kepada 750 profesional di industri konstruksi publik Pakistan, dan 400 responden terlibat aktif dalam pengisian. Responden berasal dari instansi besar seperti Public Works Development (PWD), Defense Housing Authority (DHA), dan National Logistic Cell (NLC).
Data dianalisis menggunakan SmartPLS v3.2.8 untuk membangun model hubungan antara dua variabel independen (tenaga kerja terampil dan tidak terampil) terhadap satu variabel dependen (kinerja proyek). Validitas model diperiksa melalui uji Cronbach’s Alpha, Composite Reliability (CR), Average Variance Extracted (AVE), serta analisis validitas diskriminan melalui HTMT dan cross-loading.
Hasil Temuan: Kekuatan dan Kelemahan Dua Kategori Tenaga Kerja
Tenaga Kerja Tidak Terampil: Ancaman terhadap Keberhasilan Proyek
Hasil analisis menunjukkan bahwa tenaga kerja tidak terampil memiliki pengaruh negatif signifikan terhadap kinerja proyek (path coefficient β = -0.561; p = 0.000). Faktor-faktor seperti kurangnya pelatihan, pengetahuan, keterampilan kerja, serta pengalaman diidentifikasi sebagai penyebab utama penurunan produktivitas dan kualitas.
Temuan ini mendukung literatur sebelumnya seperti Hossein et al. (2018) dan Karimi et al. (2016) yang menyatakan bahwa kekurangan tenaga kerja berpengalaman berdampak langsung pada peningkatan biaya, keterlambatan, serta insiden keselamatan kerja. Bahkan, studi Glazner et al. (2005) menunjukkan bahwa 54,5% insiden di proyek konstruksi berasal dari kurangnya pemahaman prosedur keselamatan oleh tenaga kerja yang tidak berpengalaman.
Tenaga Kerja Terampil: Penggerak Utama Keberhasilan Proyek
Sebaliknya, tenaga kerja terampil terbukti memiliki pengaruh positif signifikan terhadap kinerja proyek (path coefficient β = 0.574; p = 0.000). Kriteria seperti pelatihan khusus, pengalaman luas, kualifikasi teknis, dan pengetahuan praktis berkontribusi dalam pencapaian tujuan proyek.
Penelitian ini sejalan dengan temuan Jarkas (2017) dan Abdul-Rahman et al. (2006) yang menegaskan pentingnya keterampilan tenaga kerja dalam menjamin ketepatan waktu, efisiensi biaya, dan mutu pekerjaan. Keterampilan teknis juga berkaitan dengan pengurangan pengerjaan ulang (rework) dan peningkatan keselamatan kerja, sebagaimana disorot oleh Choudhry & Fang (2008).
Nilai Tambah: Implikasi Praktis dan Kebijakan
Manfaat Bagi Praktisi Proyek
Model konseptual yang dikembangkan dalam studi ini menjadi alat penting bagi manajer proyek untuk merancang strategi perekrutan dan pelatihan tenaga kerja. Kebijakan pengadaan tenaga kerja seharusnya tidak semata-mata mempertimbangkan biaya upah, melainkan juga potensi dampaknya terhadap mutu dan ketepatan waktu penyelesaian proyek.
Rekomendasi untuk Pemerintah dan Lembaga Pendidikan
Pemerintah dan lembaga pendidikan vokasi perlu memperluas akses terhadap pelatihan teknis, sertifikasi profesi, dan pelatihan keselamatan. Studi ini menggarisbawahi perlunya intervensi sistemik untuk menciptakan angkatan kerja yang kompeten, guna mendukung keberhasilan proyek konstruksi nasional.
Studi Kasus: Tren Global dan Pembelajaran Lokal
Tren kekurangan tenaga kerja terampil bukan hanya terjadi di Pakistan. Studi Paul (2016) di Hong Kong juga menunjukkan fenomena serupa. Di Amerika Utara, Karimi et al. (2017) membuktikan bahwa ketersediaan tenaga kerja terampil secara signifikan meningkatkan produktivitas dan ketepatan jadwal proyek.
Indonesia pun menghadapi tantangan serupa, terutama dalam proyek infrastruktur berskala besar. Inisiatif seperti program sertifikasi dari Lembaga Pengembangan Jasa Konstruksi (LPJK) menjadi langkah positif dalam meningkatkan kualitas SDM konstruksi.
Kritik dan Keterbatasan: Membaca Di Antara Angka
Meski memiliki kontribusi kuat, studi ini terbatas pada konteks proyek konstruksi publik di Pakistan. Penggunaan metode snowball sampling dapat menimbulkan bias representasi. Studi lanjutan disarankan untuk mencakup proyek sektor swasta dan membandingkan lintas negara guna generalisasi lebih luas.
Selain itu, model PLS-SEM hanya menjelaskan 36% varians kinerja proyek, yang berarti terdapat faktor lain seperti perencanaan, manajemen risiko, dan teknologi yang juga mempengaruhi keberhasilan proyek.
Kesimpulan: Keterampilan sebagai Investasi, Bukan Biaya
Penelitian oleh Hussain et al. (2020) memberikan bukti empiris bahwa keterampilan tenaga kerja merupakan faktor krusial dalam menentukan kinerja proyek konstruksi. Penggunaan tenaga kerja terampil bukan sekadar keputusan teknis, melainkan strategi manajerial yang berdampak pada keseluruhan performa proyek.
Investasi dalam pelatihan, sertifikasi, dan pengembangan tenaga kerja harus dipandang sebagai kebutuhan mendesak, bukan beban anggaran. Dengan pendekatan berbasis data dan model konseptual yang valid, studi ini memberikan peta jalan bagi masa depan industri konstruksi yang lebih produktif, aman, dan berkelanjutan.
Sumber Artikel:
Hussain, S., Xuetong, W., & Hussain, T. (2020). Impact of Skilled and Unskilled Labor on Project Performance Using Structural Equation Modeling Approach. SAGE Open. https://doi.org/10.1177/2158244020914590
Ketenagakerjaan
Dipublikasikan oleh Guard Ganesia Wahyuwidayat pada 26 September 2025
Pendahuluan: Mengapa Produktivitas Tenaga Kerja Menjadi Sorotan Penting
Di tengah tekanan efisiensi dan target waktu dalam industri konstruksi, produktivitas tenaga kerja menjadi faktor krusial dalam penentuan keberhasilan proyek. Apalagi pada pekerjaan mekanikal dan elektrikal (M&E), yang meskipun volumenya relatif kecil dibandingkan pekerjaan struktur, namun memiliki peran vital sebagai syarat fungsional sebuah bangunan.
Artikel ini mencoba membedah secara ilmiah dan praktis bagaimana efektivitas tenaga kerja dapat diukur melalui metode Labour Utilization Rate (LUR) dalam proyek revitalisasi Kantor Cabang BNI Kelapa Gading. Dengan studi kasus yang spesifik, artikel ini berhasil menyuguhkan temuan empiris yang dapat dijadikan acuan oleh praktisi dan akademisi konstruksi.
Metodologi: Mengukur Efisiensi Tenaga Kerja Menggunakan LUR
Penelitian ini menggunakan pendekatan kuantitatif dengan data sekunder dari laporan harian kontraktor. Dua hal utama yang dihitung:
Labour Utilization Rate (LUR): Mengukur tingkat efektivitas pekerja dalam waktu kerja.
Produktivitas Tenaga Kerja: Menghitung rasio output (progres bobot pekerjaan) terhadap input (jumlah jam kerja dan tenaga kerja).
Rumus LUR:
LUR=(wbe+14wbkwbt)×100%LUR = \left( \frac{wbe + \frac{1}{4}wbk}{wbt} \right) \times 100\%
wbe: waktu bekerja efektif
wbk: waktu kontribusi (tidak langsung produktif tapi tetap menunjang)
wbt: total jam kerja (termasuk waktu tidak efektif)
Kategori Skor LUR:
85% = Sangat Tinggi
68–84% = Tinggi
51–67% = Sedang
34–50% = Rendah
<33% = Sangat Rendah
Metode ini cukup praktis diterapkan karena hanya membutuhkan data waktu dan progres harian—sesuatu yang pasti tersedia di proyek konstruksi aktif.
Hasil Utama: Data Produktivitas Real di Proyek BNI Rata-rata LUR: 78,6%
Pada pekerjaan plumbing, tenaga kerja seperti Ade, Herman, dan Rahmat memiliki LUR berkisar 75%–81%, dengan rerata 78,6%. Ini masuk dalam kategori “tinggi” berdasarkan klasifikasi LUR. Artinya, meski tidak sempurna, efisiensi kerja mereka tetap terjaga secara konsisten.
Output Produktivitas Pekerja Plumbing:
Setelah dihitung berdasarkan data jam kerja (8 jam/hari = 480 menit), didapat produktivitas individual:
Output = 0,000035% per menit × total menit kerja
Misal, dengan 7 jam reguler + 4 jam lembur = 660 menit
→ Output = 0,024%
Artinya, kontribusi per pekerja per hari dalam pekerjaan plumbing berada di kisaran 0,09–0,13% progres per minggu.
Studi Kasus Spesifik: Deviasi dan Dampaknya
Dari Tabel 5, terlihat bahwa pekerjaan plumbing mengalami deviasi negatif yang semakin meningkat tiap minggu:
Minggu ke-27: deviasi mencapai -0,251%
Proyeksi penyelesaian molor ke minggu ke-28 dari rencana awal minggu ke-27
Meskipun terlihat kecil, pada skala proyek yang memiliki banyak pekerjaan paralel, keterlambatan ini bisa menimbulkan efek domino. Hal ini relevan dengan hasil penelitian Oglesby (1989) yang menyatakan bahwa deviasi kecil dalam produktivitas dapat menyebabkan penundaan jadwal yang signifikan jika tidak segera dikoreksi.
Analisis Tambahan: Tantangan Produktivitas pada Pekerjaan M&E
Pekerjaan mekanikal dan elektrikal memiliki karakteristik yang berbeda dengan pekerjaan struktur:
Pekerjaan lebih presisi dan teknikal, membutuhkan skill khusus.
Ketergantungan tinggi pada urutan pekerjaan (misalnya instalasi kabel tidak bisa dilakukan jika dinding belum diplester).
Lingkungan kerja yang sempit dan penuh gangguan seperti AC duct atau pipa plumbing membuat mobilitas pekerja terbatas.
Hal ini menyebabkan produktivitas di pekerjaan M&E umumnya lebih rendah secara angka, tetapi lebih padat secara kompetensi.
Kritik dan Komparasi Penelitian
Kelebihan:
Penelitian ini sederhana, praktis, dan berbasis data nyata.
Menggunakan LUR, yang masih jarang digunakan secara sistematis dalam proyek di Indonesia.
Fokus pada pekerjaan M&E yang selama ini kurang diperhatikan.
Keterbatasan:
Tidak membandingkan produktivitas antar jenis pekerjaan (misal plumbing vs elektrikal).
Tidak menganalisis faktor-faktor eksternal seperti motivasi pekerja, cuaca, atau pengaruh supervisi, padahal ini bisa berdampak besar.
Metodologi tidak mempertimbangkan learning curve, padahal produktivitas biasanya meningkat seiring waktu.
Sebagai pembanding, penelitian oleh Maharani (2019) yang menggunakan metode observasi langsung juga menunjukkan bahwa faktor motivasi memiliki dampak signifikan terhadap produktivitas pada pekerjaan struktur bangunan.
Implikasi Praktis: Rekomendasi untuk Proyek Serupa
Untuk Manajer Proyek
Terapkan monitoring produktivitas mingguan berbasis LUR.
Identifikasi deviasi sedini mungkin untuk mencegah keterlambatan kumulatif.
Untuk Perencana Proyek
Libatkan data LUR sebagai parameter dalam estimasi durasi proyek.
Desain sistem kerja yang meminimalisir waktu tidak efektif (idle time).
Untuk Akademisi
Lanjutkan riset dengan pendekatan multivariat untuk mengeksplorasi pengaruh motivasi, iklim kerja, hingga sistem insentif terhadap LUR.
Penutup: Produktivitas sebagai Cermin Kinerja Lapangan
Penelitian ini menunjukkan bahwa pengukuran produktivitas pekerja bukan hanya soal output, tapi juga soal bagaimana waktu digunakan. Dengan rerata LUR 78%, proyek BNI Kelapa Gading termasuk efisien. Namun tetap saja, deviasi kecil dalam pekerjaan plumbing menunjukkan bahwa manajemen waktu dan efisiensi mikro harus diperhatikan agar proyek tetap berjalan sesuai rencana.
Penggunaan metode LUR ini sangat layak untuk direplikasi di proyek lain karena mudah diterapkan, tidak memerlukan alat khusus, dan berbasis data harian yang sudah tersedia. Dengan demikian, produktivitas bukan lagi sekadar angka, tapi alat kontrol manajemen yang konkret dan aplikatif.
Sumber
Wibowo, Y. G., Purnomo, A., & Lenggogeni. (2021). Analisa Produktivitas Tenaga Kerja pada Pekerjaan Mekanikal dan Elektrikal (Studi Kasus: Revitalisasi Gedung Kantor Cabang BNI Kelapa Gading, Jakarta). Menara: Jurnal Teknik Sipil, 16(2), 62–66.
[Tautan ke jurnal atau DOI jika tersedia secara daring]
Ketenagakerjaan
Dipublikasikan oleh Guard Ganesia Wahyuwidayat pada 24 September 2025
Pendahuluan: Urgensi Sertifikasi di Tengah Tantangan Kompetensi SDM Konstruksi
Industri konstruksi merupakan salah satu sektor strategis dalam pembangunan nasional, namun masih menghadapi tantangan serius dalam hal mutu sumber daya manusia. Salah satu solusi yang telah ditempuh adalah mekanisme sertifikasi tenaga kerja, yang diatur melalui berbagai regulasi seperti PP No. 4 Tahun 2010 dan Peraturan LPJK No. 09 Tahun 2012. Irika Widiasanti, dalam makalahnya pada Seminar Nasional III Teknik Sipil 2013, membahas secara kritis efektivitas mekanisme sertifikasi melalui Unit Sertifikasi Tenaga Kerja (USTK).
Studi ini penting karena menelaah transisi dari sistem sertifikasi yang sebelumnya dikelola secara asosiatif ke arah sistem yang lebih sentralistik dan terstruktur di bawah kendali LPJK.
Latar Belakang: Permasalahan Sertifikasi yang Berulang
Sebelum reformasi, proses sertifikasi seringkali:
Tidak seragam antar asosiasi profesi
Rentan praktik manipulatif seperti "jual beli" sertifikat (SKA)
Tidak menjamin kompetensi riil tenaga ahli
Mahal dan tidak efisien secara waktu
Data menunjukkan hanya 2,03% dari 6,34 juta tenaga kerja konstruksi yang tersertifikasi (BPS, 2011). Di sisi lain, banyak asosiasi profesi belum siap menyelenggarakan sertifikasi secara valid dan objektif.
Metodologi: Evaluasi Regulatif terhadap USTK
Widiasanti menggunakan pendekatan deskriptif-analitis dengan:
Evaluasi terhadap regulasi dan struktur USTK
Identifikasi pasal-pasal kunci dalam Peraturan LPJK No. 09/2012
Komparasi antara praktik lama dan sistem baru
Tujuannya adalah mengetahui sejauh mana struktur dan fungsi USTK mampu menjawab masalah ketidakteraturan dan lemahnya validitas sertifikasi sebelumnya.
Struktur Sistem USTK: Hirarki, Fungsi, dan Tugas
Regulasi menetapkan tiga tingkatan USTK:
USTK Nasional (sertifikasi ahli utama, tenaga asing)
USTK Provinsi (sertifikasi ahli madya dan muda)
USTK Masyarakat (maksimal satu klasifikasi layanan)
Fungsi Kunci USTK:
Uji kompetensi mengacu SKKNI dan standar internasional
Penilaian klasifikasi dan kualifikasi melalui sistem CPD (Continuing Professional Development)
Penerbitan berita acara hasil sertifikasi
Komponen Penting dalam USTK:
Unsur Pengarah: menetapkan visi, program, dan mengangkat asesor
Unsur Pelaksana: penanggung jawab bidang teknis (sipil, arsitektur, MEP, dll)
Asesor Kompetensi (AKTK): melaksanakan uji dan verifikasi kompetensi
Setiap bidang (sipil, elektrikal, arsitektur, dll.) minimal memiliki 3 asesor yang telah teregistrasi secara nasional.
Analisis Hasil: Kekuatan dan Kelemahan Sistem Baru
Aspek Positif:
Penghapusan sertifikasi ganda dan standar ganda
Kendali mutu lebih kuat di tangan negara (LPJK)
Prinsip akuntabilitas dan transparansi dijamin dalam pasal asas USTK
Survailen tahunan menjamin pembaruan dan evaluasi kinerja tenaga ahli
Tantangan yang Belum Terpecahkan:
Biaya sertifikasi tetap mahal
Masih belum ada jaminan peningkatan penghasilan pasca-sertifikasi
Belum tersedia sistem penegakan hukum yang efektif untuk pelanggaran etik
Widiasanti juga mengkritik kurangnya kesiapan beberapa asosiasi profesi, lemahnya sosialisasi SKKNI, dan tidak semua bidang keahlian memiliki standar pengujian yang memadai.
Studi Kasus: Jual Beli Sertifikat dan Ketimpangan Kualitas
Penelitian menyebutkan praktik "jual beli SKA" di masa lalu sangat merugikan integritas sistem. Misalnya, dengan hanya membayar sejumlah uang dan menyerahkan portofolio tanpa validasi, seorang tenaga ahli bisa memperoleh sertifikat. Kondisi ini mengakibatkan lulusan dengan kompetensi teknis terbatas tetap terlibat dalam proyek berskala besar, sehingga memunculkan risiko serius terhadap mutu hasil kerja maupun keselamatan..
Dengan USTK, sertifikasi mengharuskan uji kompetensi dan validasi dokumen oleh asesor yang teregistrasi. Ini menjadi pembeda krusial.
Perbandingan dengan Negara Lain
Dalam sistem internasional seperti di Kanada atau Jerman, sertifikasi dilakukan oleh organisasi profesi, sementara lisensi kerja dikeluarkan negara. Di Indonesia, sertifikat langsung berfungsi sebagai lisensi kerja, sehingga tanggung jawab dan risiko berada pada proses sertifikasi. Inilah mengapa restrukturisasi penting.
Rekomendasi: Menuju Sistem Sertifikasi Berbasis Kompetensi Nyata
Berdasarkan analisis Widiasanti dan tinjauan kritis terhadap praktik di lapangan, berikut rekomendasi:
Standarisasi Prosedur Sertifikasi Nasional: seluruh USTK dan asosiasi wajib menggunakan format dan rubrik uji kompetensi yang sama.
Subsidi Sertifikasi untuk Tenaga Ahli Muda: agar akses lebih merata.
Integrasi Sertifikasi dengan Sistem Renumerasi Proyek: agar sertifikasi berpengaruh terhadap peningkatan pendapatan.
Evaluasi Tahunan dan Penegakan Hukum: untuk mencegah praktik manipulatif dan mempertahankan standar etika profesi.
Kesimpulan: Langkah Maju dengan PR Serius
Peraturan LPJK No. 09/2012 tentang pembentukan USTK adalah langkah maju menuju sistem sertifikasi tenaga kerja konstruksi yang transparan dan berbasis kompetensi. Namun, implementasi di lapangan masih menghadapi tantangan besar, mulai dari biaya, rendahnya motivasi, hingga lemahnya sosialisasi.
Dengan penguatan USTK, pengawasan aktif, dan integrasi dengan skema insentif industri, sistem ini berpotensi meningkatkan kualitas tenaga ahli konstruksi secara nasional dan memperkuat daya saing sektor konstruksi Indonesia.
Sumber:
Widiasanti, I. (2013). Kajian Efektivitas Mekanisme Sertifikasi Tenaga Ahli Melalui Unit Sertifikasi Tenaga Kerja Lembaga Pengembangan Jasa Konstruksi. Seminar Nasional III Teknik Sipil 2013, Universitas Muhammadiyah Surakarta.
Tersedia di: https://lpjk.net/lembaga-13-unit-sertifikasi-tenaga-kerja.htm
Ketenagakerjaan
Dipublikasikan oleh Hansel pada 19 September 2025
xBukan Soal Jumlah, Melainkan Soal Kualitas dan Kualifikasi
Afrika Selatan, sebuah negara dengan kekayaan sumber daya dan ambisi besar, menghadapi paradoks yang membingungkan dalam sektor konstruksi. Di satu sisi, pemerintah telah mengucurkan investasi besar untuk proyek-proyek infrastruktur, dengan total mencapai R372 miliar sebagai bagian dari program Accelerated and Shared Growth Initiative.1 Pembangunan ini semakin diintensifkan dengan proyek-proyek skala besar yang menyertai ajang global seperti
Piala Dunia 2010 1, menciptakan lonjakan permintaan terhadap tenaga kerja. Namun, di sisi lain, industri konstruksi terus-menerus mengeluhkan kelangkaan tenaga kerja terampil yang parah. Fenomena ini terasa lebih aneh mengingat tingginya tingkat pengangguran pemuda di seluruh negeri, sebuah fakta yang seolah bertolak belakang dengan kebutuhan industri yang sangat besar.1
Melihat ketidaksesuaian yang mencolok ini, sebuah penelitian mendalam dilakukan untuk membongkar akar masalahnya. Hasilnya tidak hanya mengejutkan, tetapi juga mengubah total pemahaman kita tentang krisis tenaga kerja di sektor ini. Laporan ini menunjukkan bahwa masalahnya bukanlah kelangkaan tenaga kerja secara harfiah—karena sebenarnya ada banyak orang yang mencari pekerjaan 1—melainkan kelangkaan tenaga kerja yang memiliki kualifikasi, yaitu "tukang ahli yang berkualitas dan bersertifikat".1 Penelitian ini secara spesifik menyoroti bahwa kekurangan paling akut terjadi pada profesi-profesi yang sifatnya lebih teknis, seperti tukang listrik, tukang pipa, tukang las, dan tukang kayu, yang sangat bergantung pada pelatihan formal dan sertifikasi.1
Apa yang sebenarnya terjadi di balik data ini? Mengapa sertifikasi menjadi "gerbang" yang begitu krusial? Dan yang paling penting, mengapa temuan ini memiliki dampak yang jauh lebih besar dari sekadar masalah tenaga kerja di satu sektor? Untuk menjawabnya, kita perlu menelusuri kisah di balik angka-angka yang disajikan dalam penelitian, menggali hubungan sebab-akibat yang tersembunyi, dan memahami mengapa solusi yang ada saat ini tidak cukup untuk mengatasi masalah yang begitu kompleks ini.
Mengapa Tukang Listrik Lebih Langka daripada Tukang Bata?
Data dari penelitian ini memaparkan gambaran yang sangat jelas tentang jenis tenaga kerja terampil yang paling sulit ditemukan di industri konstruksi. Dalam survei yang dilakukan terhadap para kontraktor, para responden mengungkapkan bahwa mereka mengalami kesulitan terbesar dalam mencari tukang kayu, yang menduduki peringkat pertama dalam daftar kelangkaan.1 Kelangkaan yang parah juga dialami untuk tukang pasang (fitters), tukang listrik, dan tukang pipa, yang menempati posisi teratas berikutnya.1 Angka-angka ini menjadi cerita yang hidup ketika dibandingkan dengan betapa mudahnya mencari tenaga kerja untuk pekerjaan yang kurang teknis, seperti tukang batu, tukang plester, atau tukang cat, yang berada di peringkat terbawah dalam daftar kelangkaan.1
Hubungan yang mencolok muncul ketika kita meninjau temuan kelangkaan ini dengan persyaratan sertifikasi. Hampir 9 dari 10 perusahaan, atau tepatnya 88% dari responden, menyatakan bahwa mereka mensyaratkan sertifikasi bagi tukang listrik sebelum mempekerjakan mereka.1 Persyaratan serupa juga berlaku untuk profesi teknis lainnya, dengan 67% perusahaan mensyaratkan sertifikasi untuk tukang pipa dan 65% untuk tukang las.1 Kontrasnya, hanya sekitar seperlima perusahaan, atau 19%, yang mensyaratkan sertifikasi untuk tukang batu, dan angka ini semakin menurun untuk tukang cat, di mana hanya 8% perusahaan yang memintanya.1
Analisis statistik yang lebih mendalam semakin mengukuhkan hubungan ini. Dengan menggunakan koefisien korelasi Spearman's rho 1, penelitian ini menemukan bahwa nilai rho yang diamati adalah 0.75.1 Angka ini membuktikan adanya hubungan yang sangat signifikan antara kebutuhan akan sertifikasi dan tingkat kelangkaan tenaga kerja yang dirasakan.1 Hubungan ini begitu kuat, seolah-olah kebutuhan akan sertifikasi dan kelangkaan tenaga ahli berjalan beriringan seperti bayangan yang tak terpisahkan.
Dari sini, terlihat jelas bahwa masalahnya bukanlah ketersediaan individu yang bersedia bekerja, melainkan ketersediaan individu yang dapat membuktikan keahliannya melalui sertifikasi formal. Permintaan akan pekerja teknis seperti tukang listrik dan tukang pipa meningkat seiring dengan proyek-proyek infrastruktur modern, yang secara inheren membutuhkan keahlian yang terverifikasi demi alasan keselamatan dan presisi. Verifikasi ini, dalam bentuk sertifikasi formal, menjadi sebuah "gerbang" yang sempit. Semakin tinggi persyaratan sertifikasi, semakin sedikit orang yang dapat memenuhi syarat, yang secara langsung menciptakan kelangkaan, meskipun mungkin ada banyak individu yang telah memiliki pengalaman praktis. Ini menunjukkan bahwa masalahnya bukan pada ketersediaan tenaga kerja, tetapi pada kemampuan untuk memverifikasi dan mengakui keahlian tersebut.
Cerita di Balik Data: Kualitas yang Tak Terbantahkan
Penelitian ini tidak hanya berhenti pada masalah kelangkaan dan sertifikasi, tetapi juga mengkaji dampak nyata dari ketiadaan sertifikasi terhadap kualitas hasil kerja. Hasil survei menunjukkan bahwa ada "perbedaan yang sangat tinggi" dalam kualitas pekerjaan yang dihasilkan oleh tukang listrik, tukang pipa, dan tukang las yang bersertifikasi dibandingkan dengan yang tidak.1 Data ini seolah menjadi justifikasi bagi para kontraktor untuk sangat mengutamakan sertifikasi. Mereka berinvestasi pada pekerja bersertifikasi karena mereka yakin akan mendapatkan hasil yang konsisten dan berkualitas tinggi, yang pada akhirnya akan mengurangi biaya pengerjaan ulang dan memastikan keselamatan di lokasi kerja.1
Untuk memahami lebih dalam, hasil wawancara dengan para kontraktor menambahkan lapisan wawasan yang penting. Seorang responden dari perusahaan besar mengungkapkan bahwa perusahaan seperti miliknya idealnya memiliki "kolam" pekerja terampil yang dipekerjakan secara permanen. Namun, ia juga mengakui bahwa perusahaan sering menggunakan broker tenaga kerja untuk memenuhi kebutuhan tenaga kerja jangka pendek dan untuk proyek-proyek spesifik.1 Walaupun demikian, perusahaan tetap membutuhkan pekerja inti yang bersertifikasi untuk memastikan kualitas dan konsistensi pekerjaan mereka, karena hal ini secara langsung memengaruhi profitabilitas perusahaan.1 Ini menunjukkan bahwa sertifikasi tidak hanya dilihat sebagai formalitas, tetapi sebagai sebuah "mekanisme kualitas dan kepercayaan" yang vital di industri yang menuntut presisi dan memegang risiko tinggi.
Dengan demikian, studi ini menyiratkan bahwa sertifikasi berfungsi sebagai jaminan kualitas dan mengurangi risiko bagi perusahaan. Tanpa sertifikasi, perusahaan menghadapi ketidakpastian tinggi terkait kualitas pekerjaan, yang dapat menyebabkan kerugian finansial. Ini menjelaskan mengapa para kontraktor bersedia menghadapi kesulitan dalam mencari pekerja bersertifikasi, karena bagi mereka, risiko yang lebih besar adalah mempekerjakan pekerja yang tidak terverifikasi keahliannya. Kurangnya sertifikasi menyebabkan ketidakmampuan untuk memverifikasi keahlian secara objektif, yang pada gilirannya mendorong perusahaan untuk hanya mengandalkan pekerja inti bersertifikasi. Hal ini memperburuk kelangkaan yang sudah ada, menciptakan sebuah siklus yang sulit diputus.
Menggali Akar Masalah: Mengapa Jalan Menuju Sertifikasi Begitu Sulit?
Krisis ini tidak terjadi dalam ruang hampa. Di balik masalah sertifikasi, terdapat faktor-faktor yang lebih dalam dan saling terkait yang menjadi penyebab utama kelangkaan tenaga kerja terampil. Berdasarkan survei terhadap para kontraktor, faktor-faktor yang paling dominan dalam menciptakan kelangkaan tenaga kerja adalah kurangnya pendidikan dasar yang berkualitas, kondisi ekonomi, dan persyaratan sertifikasi wajib.1
Mari kita bedah keterkaitan di antara faktor-faktor ini. Kurangnya pendidikan dasar yang baik dapat menghambat individu untuk masuk ke lembaga pendidikan dan pelatihan formal seperti perguruan tinggi kejuruan 1, yang merupakan jalan utama untuk mendapatkan sertifikasi. Kondisi ini ironis, karena sistem pendidikan yang seharusnya menjadi solusi, justru menjadi bagian dari masalah itu sendiri. Lebih jauh lagi, salah satu responden wawancara mengungkapkan bahwa "hanya sedikit orang yang bersertifikat" karena kurangnya "pusat pelatihan yang diakui dan memiliki standar tinggi".1 Ini adalah kritik realistis terhadap infrastruktur pelatihan yang ada, yang gagal menyediakan jalan yang jelas dan efektif bagi para calon pekerja untuk mendapatkan keahlian yang dibutuhkan.
Masalah ini adalah sebuah lingkaran setan. Sistem pendidikan dasar yang lemah menghasilkan lulusan yang tidak siap untuk pelatihan teknis formal. Tanpa pelatihan ini, mereka tidak bisa mendapatkan sertifikasi yang diakui. Tanpa sertifikasi, mereka dianggap tidak terampil oleh industri, meskipun mungkin telah bertahun-tahun bekerja secara informal di lapangan. Ini menciptakan jurang yang lebar antara "ketersediaan" tenaga kerja dan "kualifikasi" yang dibutuhkan industri. Di saat yang sama, kondisi ekonomi yang tidak stabil menciptakan "siklus" di mana industri mengalami pasang surut. Saat resesi, perusahaan terpaksa melakukan perampingan atau bahkan bangkrut, menyebabkan pekerja terampil beralih ke sektor lain.1 Ketika ekonomi pulih, para pekerja ini enggan kembali ke industri konstruksi, memperburuk kelangkaan yang sudah ada.1 Kombinasi dari faktor-faktor ini menciptakan lingkungan yang tidak kondusif bagi pertumbuhan tenaga kerja terampil yang stabil dan berkelanjutan.
Jalan Keluar Menuju Masa Depan Konstruksi yang Lebih Kokoh
Menghadapi masalah yang sistemik ini, penelitian menawarkan sebuah jalan keluar yang pragmatis dan inovatif. Daripada hanya berfokus pada pelatihan pekerja baru (yang membutuhkan waktu bertahun-tahun), studi ini merekomendasikan perlunya pemerintah Afrika Selatan untuk membuat sebuah "kerangka kerja" yang proaktif.1 Kerangka ini bertujuan untuk mengevaluasi, mensertifikasi, dan menilai keahlian yang telah diperoleh pekerja secara informal melalui pengalaman bertahun-tahun di lokasi kerja.1
Mengapa solusi ini begitu penting? Kerangka ini akan menjembatani kesenjangan antara pengalaman praktis dan pengakuan formal. Ini membuka jalan bagi ribuan pekerja yang saat ini dianggap "tidak terampil" oleh industri, untuk diakui secara resmi dan mengisi kekosongan tenaga ahli. Ini adalah sebuah perubahan paradigma dari "melatih pekerja baru" menjadi "mengakui dan memverifikasi keahlian yang sudah ada di lapangan." Pendekatan ini adalah solusi yang jauh lebih cepat dan efisien untuk mengatasi kelangkaan dalam jangka pendek hingga menengah.
Jika diterapkan, pasokan tenaga ahli bersertifikasi akan meningkat secara signifikan. Hal ini akan memungkinkan perusahaan untuk mempekerjakan lebih banyak pekerja yang terverifikasi, yang pada akhirnya akan meningkatkan produktivitas, mengurangi biaya pengerjaan ulang, dan secara signifikan meningkatkan kualitas infrastruktur yang dibangun. Di sisi lain, para pekerja akan mendapatkan pengakuan formal yang dapat meningkatkan pendapatan dan prospek karier mereka. Ini adalah sebuah solusi yang akan menciptakan situasi saling menguntungkan bagi pekerja maupun industri, serta memberikan stabilitas jangka panjang bagi sektor konstruksi. Selain itu, penelitian juga merekomendasikan strategi lain, seperti memberikan subsidi untuk sekolah kejuruan dan memperkuat pendidikan menengah untuk meningkatkan kemungkinan individu yang mumpuni memasuki bidang teknis.1
Penutup: Dampak Nyata dan Masa Depan yang Menjanjikan
Pada akhirnya, penelitian ini bukan hanya tentang kekurangan tukang bangunan. Ini adalah cerminan dari tantangan struktural yang dihadapi oleh banyak negara berkembang: bagaimana menjembatani kesenjangan antara ketersediaan tenaga kerja dan kebutuhan industri yang semakin teknis. Jika rekomendasi utama dari studi ini, yaitu kerangka kerja untuk mengakui keahlian informal, diterapkan secara nasional, temuan ini bisa mengubah wajah industri konstruksi Afrika Selatan. Pengakuan atas keahlian yang sudah ada dapat meningkatkan produktivitas, mengurangi biaya pengerjaan ulang, dan secara signifikan meningkatkan kualitas infrastruktur publik dalam waktu lima tahun.
Studi ini adalah sebuah panggilan untuk bertindak, tidak hanya bagi industri konstruksi, tetapi juga bagi pemerintah dan sistem pendidikan. Ini menekankan pentingnya sistem pendidikan dasar yang kuat, peran sertifikasi sebagai jaminan kualitas, dan perlunya pemerintah untuk beradaptasi dengan realitas pasar tenaga kerja yang terus berubah. Mengatasi masalah ini berarti membuka jalan bagi pertumbuhan ekonomi yang berkelanjutan dan menciptakan peluang yang adil bagi seluruh lapisan masyarakat.
Sumber Artikel:
Windapo, A. O. (2016). Skilled labour supply in the South African construction industry: The nexus between certification, quality of work output and shortages. SA Journal of Human Resource Management, 14(1), 1-8.