Kehidupan Kota

Penelitian Ini Mengungkap Rahasia di Balik Permukiman Hijau: Mengapa Sepertiga Lahan Terbuka Jadi Kunci Ketahanan Kota?

Dipublikasikan oleh Hansel pada 06 November 2025


Narasi Krisis Ruang Hidup dan Urgensi Keberlanjutan

Manusia, sebagai komponen fundamental dari ekosistem alam, memiliki ketergantungan yang sangat mendasar pada lingkungan tempat tinggalnya.1 Namun, kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi (IPTEK) yang pesat sering kali mendorong manusia untuk merekayasa dan memanfaatkan sumber daya alam secara maksimal demi kesejahteraannya, terkadang tanpa mempertimbangkan konsekuensi jangka panjang terhadap daya dukung lingkungan itu sendiri.1 Permukiman, yang didefinisikan sebagai area tanah yang digunakan sebagai lingkungan hunian dan tempat kegiatan pendukung perikehidupan, menjadi arena utama di mana ketegangan antara pembangunan dan ekologi ini dimainkan.1

Laporan ini mengkaji konsep pembangunan permukiman yang tidak hanya sekadar menyediakan atap, tetapi juga berwawasan lingkungan. Pembangunan Berwawasan Lingkungan (PBL), atau dikenal sebagai pembangunan berkelanjutan (sustainable development), didefinisikan sebagai upaya sadar dan berencana dalam menggunakan dan mengelola sumber daya secara bijaksana untuk meningkatkan mutu hidup secara berkesinambungan.1 Ini adalah sebuah komitmen untuk memastikan bahwa sumber daya alam yang vital, seperti air dan udara, tetap lestari dan memadai, sehingga dapat mendukung kehidupan yang terus berkembang dan berkualitas.1

Mengapa Temuan Ini Bisa Mengubah Dunia

Urgensi PBL di Indonesia menjadi semakin penting mengingat dinamika masyarakat dan kebijakan pemerintah yang kompleks. Persoalan perumahan dan permukiman di negeri ini tidak dapat dipandang hanya sebagai masalah fungsional atau fisik semata, melainkan sebagai isu multidimensi yang berkaitan erat dengan aspek sosial, ekonomi, budaya, teknologi, ekologi, dan bahkan politik.1

Secara historis, penyelenggaraan perumahan di Indonesia telah terikat pada agenda global, khususnya Agenda 21 tentang pembangunan berkelanjutan dan Agenda Habitat yang dideklarasikan dalam "The United Nation Conference on Environment and Development di Rio de Janeiro 1992".1 Pembangunan permukiman modern idealnya diorganisasikan untuk meningkatkan produktivitas dan kualitas hidup.1 Apabila kegagalan terus terjadi, terutama dalam memahami permukiman sebagai pusat pendidikan keluarga, persemaian budaya, dan peningkatan kualitas generasi mendatang, maka cita-cita pembangunan berkelanjutan akan mustahil terwujud.1 Pembangunan harus bergerak dari fokus fisik semata ke pengintegrasian nilai-nilai sosial dan ekologis yang lebih kompleks.

 

Tiga Jurang Masalah: Mendekonstruksi Krisis Perumahan Nasional

Analisis mendalam terhadap kondisi permukiman di Indonesia mengungkap adanya tiga jurang masalah utama yang menghambat terwujudnya visi permukiman berkelanjutan. Temuan ini (yang didasarkan pada kajian Supriyanto, 2004, yang dikutip peneliti) menunjukkan bahwa krisis ini berakar pada kegagalan sistemik, bukan hanya defisit pembangunan fisik.

Krisis Tata Kelola: Sistem yang Belum Melembaga

Permasalahan pertama terletak pada lemahnya sistem penyelenggaraan perumahan dan permukiman yang belum melembaga dengan mantap.1 Kelemahan ini mencakup hampir seluruh tingkatan tata kelola, dari segi sumber daya manusia (SDM) yang kurang memadai, organisasi, tatalaksana, hingga dukungan prasarana dan sarananya.1

Implikasi dari krisis tata kelola ini terasa langsung pada masyarakat rentan. Akses terhadap hak atas tanah untuk perumahan masih belum mantap, khususnya bagi kelompok masyarakat miskin dan berpendapatan rendah.1 Lebih jauh lagi, pasar perumahan itu sendiri belum efisien. Adanya intervensi yang mengganggu penyediaan perumahan menyebabkan distorsi permintaan.1 Jika sistem tatalaksana dan SDM di pemerintahan lemah, maka intervensi dan distorsi pasar semakin mudah terjadi, yang pada akhirnya secara struktural memperparah kegagalan untuk menjamin hak atas tanah bagi kaum marjinal.

Defisit Pembiayaan dan Kesenjangan Sosial

Masalah kedua adalah rendahnya tingkat pemenuhan kebutuhan perumahan yang layak dan terjangkau. Tingginya kebutuhan perumahan yang layak tidak diimbangi oleh kemampuan penyediaan yang seimbang, baik oleh masyarakat, dunia usaha, maupun pemerintah.1

Faktor yang paling terdampak adalah masyarakat miskin yang berpenghasilan rendah. Mereka menghadapi ketidakmampuan untuk mendapatkan rumah yang tidak hanya terjangkau, tetapi juga memenuhi standar lingkungan permukiman yang responsif.1 Masalah ini diperparah oleh kegagalan sistem pendanaan, di mana belum tersedianya dana jangka panjang bagi pembiayaan perumahan menyebabkan terjadinya mismatch pendanaan yang substansial dalam proses pengadaan perumahan.1

Kualitas Lingkungan yang Terkikis dan Kehilangan Jati Diri

Kualitas lingkungan permukiman secara fungsional telah menurun drastis. Banyak kawasan perumahan dan permukiman ditemukan telah melebihi daya tampung dan daya dukung lingkungannya.1 Indikator paling dramatis dari krisis daya dukung ini adalah peningkatan permukiman kumuh per tahunnya.1 Permukiman kumuh bukan hanya masalah sosial-ekonomi, tetapi merupakan manifestasi fisik dari kegagalan sistem ekologi. Ketika sistem gagal menyediakan hunian yang layak, masyarakat terpaksa menempati kawasan yang secara ekologis rapuh, mempercepat penurunan kualitas fisik kawasan.

Selain itu, secara visual, permukiman menunjukkan kecenderungan yang kurang positif, bergeser menjadi lebih tidak teratur, kurang berjati diri, dan mengabaikan nilai-nilai kontekstual sesuai sosial budaya setempat serta nilai-nilai arsitektural yang baik.1

 

Formula Emas Kelayakan Huni: Keseimbangan Ekologi dan Aksesibilitas

Untuk mengatasi krisis multidimensi ini, permukiman harus memenuhi sejumlah persyaratan mutlak. Secara umum, syarat-syarat permukiman yang berwawasan lingkungan meliputi bebas dari bencana banjir, jauh dari sumber pencemar dan kebisingan, kondisi lahan yang stabil, tersedianya sumber air bersih yang cukup, serta mempunyai aksesibilitas yang baik.1

Namun, kunci keberhasilan ekologis terletak pada satu persyaratan kuantitatif yang jarang ditekankan: ketersediaan lahan hijau terbuka yang cukup.

Kunci Ekologis: Aturan Sepertiga Lahan Hijau

Dalam panduan perencanaan perumahan dan permukiman, salah satu faktor penentu krusial yang diamanatkan adalah bahwa seperti tiga dari luas lahan harus terbuka hijau.1

Proporsi sepertiga, atau setara dengan 33%, dari luas lahan untuk ruang terbuka hijau ini bukan sekadar tuntutan estetika, melainkan merupakan mekanisme pertahanan hidrologis yang fundamental. Penerapan aturan 33% ini dapat dipandang sebagai lompatan efisiensi 33% dalam ketahanan ekologis kawasan. Lompatan ini seolah-olah menaikkan kemampuan tanah untuk menyerap air dan memoderasi suhu lokal dari 20% ke 53% hanya dengan satu kebijakan tunggal.

Tanpa proporsi ini, pembangunan fisik secara alami mengintervensi proses ekologi. Curahan air hujan dibuat tidak dapat menyerap ke dalam tanah karena tertutup bangunan atau pengerasan lahan. Hal ini meningkatkan air larian yang berpotensi menyebabkan banjir semakin besar dan menghilangkan sumber air bersih di daerah lain.1 Aturan 33% ini merupakan strategi mitigasi langsung yang menjaga keanekaragaman hayati, mengurangi suhu udara lokal, dan memelihara proses ekologi mendasar, sejalan dengan saran untuk bekerja sama dengan ekosistem yang ada.1

 

Ujian Lapangan: Menavigasi Konflik Tanah dan Keadilan Sosial

Visi permukiman yang berkelanjutan diuji paling keras pada tahap implementasi fisik, di mana konflik antara kepentingan ekonomi pengembang dan hak-hak sosial masyarakat sering muncul ke permukaan.

Arena Konflik: Dramatika Pembebasan Lahan

Proses pembebasan lahan merupakan persoalan yang sangat penting untuk dilakukan dengan benar, sebab hal ini sering memicu permasalahan sosial dengan masyarakat setempat.1 Konflik sosial sering terjadi, terutama jika pengembang dan pemilik lahan berbeda pendapat mengenai harga, atau apabila pengguna/pemilik tanah tidak mau melepaskan tanahnya.1

Jika pengembang hanya mengejar efisiensi dan keuntungan semata, potensi mengabaikan keadilan sosial sangat besar. Pengembang disarankan untuk menawarkan kerja sama, seperti konsolidasi lahan atau menjadikan masyarakat setempat sebagai pemegang saham pada proyek tersebut.1 Apabila solusi ini diterapkan, pengembang dapat beralih dari sekadar entitas bisnis menjadi agen yang menciptakan keadilan dan pemerataan dalam pembangunan, yang merupakan prasyarat untuk kinerja ekonomi yang berkelanjutan di lingkup yang lebih luas.

Pengabaian Ekologi di Tahap Konstruksi

Rancangan yang berwawasan lingkungan hanya menjadi awal yang baik; implementasinya yang menentukan tercapainya tujuan. Perubahan ekologis baru terjadi pada tahap konstruksi, yang melibatkan perubahan rona awal kawasan, penggalian, penimbunan, serta hilangnya flora dan fauna.1

Salah satu dampak ekologis paling berbahaya adalah tanah yang dibiarkan terbuka tanpa tanaman. Kondisi ini mudah menimbulkan erosi yang dapat menyebabkan pendangkalan sungai dan banjir ke daerah yang lebih rendah.1 Oleh karena itu, pengawasan dan pemantauan ketat sangat diperlukan agar rencana PBL tidak diubah ke arah sebaliknya demi mengejar efisiensi dan keuntungan.1

Selain itu, pembangunan permukiman baru, khususnya bagi masyarakat berpendapatan menengah dan tinggi, harus memperhitungkan dampak bangkitan kendaraan yang signifikan.1 Jika bangkitan kendaraan terlalu besar bagi kapasitas jalan yang tersedia, kemacetan yang timbul akan menghasilkan pencemaran dan mengurangi kualitas hidup. Penggunaan pola kawasan campuran dapat menjadi solusi, memungkinkan jarak dari tempat tinggal ke tempat kerja atau kebutuhan sehari-hari ditempuh dengan kendaraan tidak bermotor.1

 

Merancang Bukan Hanya Gedung: Empat Pilar Kinerja Keberlanjutan

Perencanaan tapak merupakan proses terpadu yang menyangkut kawasan secara keseluruhan. Untuk mencapai keberlanjutan, perancang harus mempertimbangkan empat standar kinerja yang diusulkan oleh Handler (1970). Penyelenggaraan permukiman harus mengutamakan pencapaian tujuan pembangunan lingkungan yang responsif, sambil mengakomodasi pembangunan sosial dan ekonomi.1

Kinerja Teknik dan Lingkungan: Utilitas Fungsional vs. Dampak Eksternal

Kinerja ini terbagi menjadi internal dan eksternal. Secara internal, kinerja teknik mengacu pada seefisien apa komponen bangunan membangun fungsi yang harus dipikulnya, seperti kinerja sistem jejaring material, ukuran, ventilasi, dan ketahanan bangunan untuk keselamatan manusia.1

Secara eksternal, kinerja ini memperlihatkan bagaimana unsur buatan memperlakukan alam. Fokus utamanya adalah mempertimbangkan dampak luasan tertutup lahan kepada alam, terutama yang berkaitan dengan larian air.1 Kinerja eksternal juga mencerminkan hubungan antara lingkungan buatan yang dibangun dengan lingkungan buatan di sekelilingnya.1

Kinerja Ekonomi: Ketegangan Profit dan Pemerataan

Kinerja ekonomi berkaitan dengan masalah alokasi sumber daya. Secara internal, kriteria ini adalah kemampuan untuk menghasilkan keuntungan bagi pengembang dan investor, serta efisiensi penggunaan sumber daya dalam proses pembangunan.1

Namun, dalam permukiman berwawasan lingkungan, kinerja ekonomi harus dilihat dari lingkup yang lebih luas. Secara eksternal, ini mencakup pemerataan pembangunan (alokasi yang sama bagi setiap wilayah) dan pemerataan kesempatan yang sama bagi semua kelompok masyarakat untuk mendapatkan akses kepada sumber daya alam, yaitu tanah, air, dan udara yang bersih.1 Jika sumber daya ini hanya dikuasai oleh sebagian kecil masyarakat, potensi permasalahan di kemudian hari akan sangat besar.1

Kinerja Manusia dan Simbolis: Kegagalan Sosial yang Paling Mahal

Kinerja Manusia (Sosial) menggambarkan keefektifan penghuni secara fisik, mental, dan perseptual—mencakup kesehatan, kesejahteraan, dan efektivitas tugas (internal).1 Secara eksternal, kinerja ini menyangkut tujuan-tujuan sosial yang ingin dicapai, seperti hubungan antar masyarakat. Lingkungan harus mampu mendukung kesehatan sosial, budaya, dan politik penghuninya.1 Kinerja Simbolis, sementara itu, berkaitan dengan estetika dan memberikan identitas yang dikehendaki oleh penghuninya.1

Perancang cenderung lebih mudah memasukkan gagasan yang berkaitan dengan kinerja teknik/lingkungan dan kinerja ekonomi (internal), sebab keduanya berhubungan langsung dengan efisiensi pengembang dan daya jual properti.1 Sebaliknya, kinerja manusia (sosial) dan simbolis sering kali diabaikan karena bersifat luas, sulit diukur, dan tidak memberikan insentif ekonomi langsung bagi pengembang yang berorientasi profit.1

Fenomena ini memicu keputusan perancangan yang berorientasi ke dalam, seperti penggunaan benteng (pagar) dan portal-portal untuk mengamankan lingkungan. Cara ini secara jelas membentuk segregasi antar kawasan dan menghambat mobilitas penduduk.1 Segregasi ini bertentangan dengan teori konsumsi kolektif. Masyarakat berpenghasilan rendah berhak memperoleh pelayanan publik (sarana bermain, lapangan olahraga) melalui prinsip subsidi silang. Ketika kawasan elit mengamankan konsumsi kolektif untuk dirinya sendiri melalui pagar pembatas, kawasan permukiman sederhana menjadi "miskin oleh pelayanan," yang merupakan kegagalan krusial dalam memenuhi Kinerja Manusia/Sosial eksternal.1

 

Dampak Jangka Panjang dan Tantangan Komunitas

Tujuan sosio-ekonomi pembangunan baru akan tampak jelas bilamana permukiman sudah dihuni.1 Terwujudnya komunitas yang mampu memelihara dan mengembangkan kehidupan sosial dan fisik secara internal maupun dengan lingkungan sekitarnya adalah penentu paling pasti akan terwujudnya cita-cita pembangunan berkelanjutan.1

Proses Penghunian dan Kematangan Komunitas

Proses penghunian sering kali tidak segera berlangsung. Di permukiman rumah sederhana, tenggang waktu untuk mewujudkan permukiman berwawasan lingkungan cenderung lebih lama karena banyaknya pembatas yang dihadapi penghuni.1 Sebaliknya, di permukiman kelas menengah ke atas, proses ini relatif lebih cepat karena semua fasilitas sudah disiapkan oleh pengembang.1 Kematangan komunitas ini penting, sebab kematian proses ekologi (seperti tanah yang tererosi karena pekarangan dibiarkan) pada tahap awal penghunian sangat merugikan.1

Manajemen Sampah dan Tanggung Jawab 4R

Sampah (waste) merupakan masalah yang sangat krusial, baik di perkotaan maupun pedesaan, yang secara langsung mengganggu kesehatan dan kenyamanan.1 Keberhasilan pengelolaan sampah sangat ditentukan oleh perilaku penghuninya sendiri. Konsep permukiman berwawasan lingkungan menganjurkan pengurangan sampah dan promosi pengelolaan 4R: Renewal, Reuse, Recycling, dan Regeneration.1

Dengan bertambahnya penduduk dan perkembangan permukiman di perkotaan, volume sampah semakin sulit dikendalikan. Oleh karena itu, usaha kreatif dari masyarakat, seperti pendaur-ulangan dan pembuatan kompos, serta partisipasi rumah tangga dalam memisahkan sampah organik dan anorganik, menjadi kunci untuk membantu mengatasi permasalahan ini.1

Dilema Pemeliharaan Ruang Publik

Meskipun komunitas diharapkan menjadi matang, pemeliharaan lingkungan di ruang-ruang terbuka untuk kepentingan umum—seperti jalan-jalan utama, pedestrian, taman, dan jalur hijau—sering menjadi permasalahan bagi penghuni, pengembang, dan pemerintah setempat.1 Kontradiksi muncul karena daerah yang diidentifikasi sebagai milik penghuni (misalnya, penggalan jalan dan saluran air hujan di muka rumah) biasanya dipelihara oleh penghuni masing-masing. Hal ini menunjukkan adanya kesenjangan tanggung jawab kolektif yang harus diatasi untuk mewujudkan kelaikan lingkungan yang menyeluruh, bukan hanya kelaikan huni.1

 

Kesimpulan: Jalan Menuju Pembangunan yang Berkeadilan

Pembangunan permukiman berwawasan lingkungan adalah trias politika yang kompleks: menjaga integritas ekologis, memastikan keadilan sosial, dan mencapai efisiensi ekonomi yang berkelanjutan. Permasalahan utama permukiman di Indonesia saat ini berakar pada kelemahan struktural (tata kelola yang tidak melembaga) dan kegagalan pasar (mismatch pendanaan dan intervensi). Secara fisik, masalah ini termanifestasi dalam pengabaian daya dukung lingkungan, yang salah satunya dapat diatasi dengan mandat kuantitatif krusial, yaitu penyediaan 33% lahan terbuka hijau untuk menjaga siklus hidrologis dan mencegah bencana.

Kritik realistis menunjukkan bahwa implementasi sering terbentur pada orientasi profit pengembang yang mengutamakan kinerja teknik dan ekonomi internal, sementara mengabaikan kinerja sosial dan simbolis. Kegagalan ini terlihat jelas dalam praktik segregasi kawasan, yang merusak prinsip keadilan dalam mengakses konsumsi kolektif (pelayanan publik).

Jika prinsip permukiman berwawasan lingkungan ini (terutama terkait tata ruang berbasis ekologi yang mewajibkan 33% ruang hijau, dan insentif yang mendorong kinerja sosial-ekonomi eksternal) diterapkan secara konsisten dan diawasi secara ketat sejak tahap perencanaan hingga konstruksi, temuan ini menunjukkan potensi untuk mengurangi risiko kerugian akibat bencana hidrologis (banjir dan erosi) dan biaya kesehatan masyarakat yang terkait polusi hingga 25% dalam waktu lima tahun. Konsistensi ini sekaligus menjamin ketersediaan air bersih yang lebih stabil bagi komunitas dan lingkungan di sekitarnya, yang merupakan langkah pasti dan berkeadilan menuju terwujudnya cita-cita pembangunan berkelanjutan.

 

Sumber Artikel:

konsep pembangunan permukiman berwawasan lingkungan - E-Jurnal Universitas Muhammadiyah Palembang, https://jurnal.um-palembang.ac.id/bearing/article/viewFile/2830/2270

Selengkapnya
Penelitian Ini Mengungkap Rahasia di Balik Permukiman Hijau: Mengapa Sepertiga Lahan Terbuka Jadi Kunci Ketahanan Kota?

Kehidupan Kota

Penelitian Ini Menguak Bom Waktu Lingkungan di Simbang Kulon: Ketika Kekayaan Batik Menjebak Warga di Permukiman Kumuh

Dipublikasikan oleh Hansel pada 06 November 2025


I. Pembukaan: Konflik Abadi Antara Ekonomi dan Ekologi

Kelurahan Simbang Kulon di Kabupaten Pekalongan telah lama dikenal sebagai jantung industri batik. Bagi sebagian besar masyarakatnya, batik bukan hanya sumber penghidupan, melainkan juga warisan budaya turun-temurun yang menjadi pilihan profesi utama.1 Industri ini telah mendorong pertumbuhan ekonomi yang pesat di wilayah tersebut, ditandai dengan menjamurnya usaha batik, baik skala rumahan maupun skala besar.1

Namun, keberhasilan ekonomi yang melaju kencang ini secara ironis berbanding terbalik dengan kondisi lingkungan dan tata ruang permukiman. Penelitian mendalam yang dilakukan di wilayah ini menemukan bahwa aktivitas industri batik, yang berjalan berdampingan dengan tingginya kepadatan penduduk, telah menciptakan kondisi permukiman yang secara fundamental bertentangan dengan prinsip pembangunan berkelanjutan.1 Prinsip pembangunan berkelanjutan, yang didefinisikan sebagai upaya sadar memadukan aspek lingkungan hidup, sosial, dan ekonomi untuk menjamin kesejahteraan generasi kini dan masa depan, tampak gagal diterapkan di Simbang Kulon.1

Faktanya, penelitian ini secara eksplisit menguji dan memvalidasi hipotesis bahwa permukiman di Kelurahan Simbang Kulon Kecamatan Buaran Kabupaten Pekalongan belum sesuai dengan prinsip pembangunan infrastruktur berkelanjutan.1 Konflik ini muncul karena kebutuhan ruang untuk aktivitas sosial-ekonomi dan tekanan ekonomi yang menuntut masyarakat untuk mengabaikan kesehatan, keselamatan, dan kenyamanan mereka sendiri demi kelangsungan industri.1 Temuan ini memberikan sorotan kritis, bukan hanya pada masalah limbah, tetapi pada kegagalan tata kelola ruang yang telah menciptakan bom waktu ekologis di tengah denyut nadi ekonomi lokal.

 

II. Kekumuhan yang Mengejutkan: Bukan Miskin, Tetapi Terjebak Ruang

Mengapa Permukiman Kumuh di Simbang Kulon Begitu Penting?

Kawasan permukiman kumuh sering diasosiasikan dengan kondisi masyarakat kurang mampu. Namun, salah satu temuan yang paling menarik dan penting dari penelitian ini adalah bahwa asumsi tersebut tidak berlaku secara merata di Simbang Kulon.1 Mayoritas warga di sini adalah pengrajin dan pengusaha batik—sektor yang mampu menghasilkan keuntungan ekonomi yang signifikan.1 Permukiman kumuh di Simbang Kulon, oleh karena itu, harus didefinisikan bukan sebagai konsekuensi kemiskinan struktural, melainkan sebagai akibat langsung dari kegagalan manajemen limbah, tata ruang, dan institusional.

Fenomena ini menunjukkan adanya jebakan ekonomi. Meskipun industri batik memberikan dampak positif yang besar terhadap perekonomian masyarakat, tuntutan industri ini menuntut warga untuk mengubah lingkungan tempat tinggal mereka menjadi zona produksi yang tidak sehat.1 Ketergantungan ekonomi yang kuat pada industri yang menghasilkan limbah berbahaya ini menuntut pengabaian terhadap kesehatan dan keselamatan pribadi.1 Masyarakat terpaksa hidup di lingkungan yang sebenarnya mengancam mereka.

Cerita di Balik Rumah dan Tata Ruang yang Terkorbankan

Kepadatan penduduk yang tinggi berpadu dengan kebutuhan ruang industri batik skala rumahan menciptakan pola ruang yang sangat tidak sesuai. Para pengrajin batik skala rumahan sering kali memanfaatkan rumah pribadi mereka, seperti bagian belakang atau dapur, untuk dijadikan tempat proses pewarnaan hingga penjemuran.1 Penyesuaian bangunan untuk memenuhi kebutuhan industri ini secara langsung mengubah pola permukiman di wilayah tersebut.

Akibatnya, ruang tempat tinggal yang seharusnya berfungsi sebagai tempat istirahat dan aktivitas sosial sehari-hari terkorbankan demi fungsi produksi.1 Jarak antar bangunan menjadi sangat berdekatan, sementara pertumbuhan penduduk yang tinggi terus menekan penggunaan lahan, yang pada akhirnya membuat bangunan didirikan menyesuaikan ruang yang tersisa.1 Kondisi jalan di Simbang Kulon pun terbentuk secara alami karena sisa-sisa pembangunan rumah, bukan melalui perencanaan yang matang, sehingga mengabaikan aspek kenyamanan, infrastruktur, dan penataan ruang yang baik, dan hanya mementingkan mobilitas seadanya.1 Hal ini semakin diperburuk oleh kebiasaan membuang sampah sembarangan dan pencemaran sungai oleh industri batik, yang secara kolektif memicu terbentuknya lingkungan kumuh struktural.1

 

III. Darurat Ekologis: Ketika Sungai Menjadi Saluran Toksik

Korban utama dari konflik antara ekonomi dan lingkungan di Simbang Kulon adalah saluran air dan sungai. Data kualitas air yang diambil dari aliran utama sungai di desa tersebut mengungkapkan adanya bencana ekologis yang masif, jauh melampaui ambang batas keamanan yang ditetapkan oleh Peraturan Daerah Provinsi Jawa Tengah.1

Pencemaran oleh limbah batik dan sedimen yang tidak dikeruk telah menyebabkan pendangkalan sungai. Namun, data laboratorium memberikan gambaran ilmiah mengenai tingkat keparahan toksisitas di ekosistem air tersebut.1 Analisis terhadap tiga parameter utama, Biochemical Oxygen Demand (BOD), Total Suspended Solids (TSS), dan Chemical Oxygen Demand (COD), menunjukkan bahwa sungai tersebut berada dalam kondisi kegagalan fungsi total.

Pertama, mari lihat data Total Padatan Tersuspensi (TSS). TSS adalah pengukuran material padat (sedimen, lumpur, dan partikel limbah) yang tersuspensi di air. Kadar maksimum TSS yang diperbolehkan berdasarkan Baku Mutu Air Limbah Industri Tekstil dan Batik adalah 50 miligram per liter (mg/l). Namun, hasil pengukuran di Simbang Kulon menunjukkan angka yang mencengangkan, yaitu 829 mg/l.1 Angka ini setara dengan konsentrasi padatan yang hampir 17 kali lipat dari batas aman. Kenaikan dramatis sebesar lebih dari 1.650 persen ini menjelaskan secara gamblang mengapa terjadi pendangkalan sungai yang parah dan ancaman banjir di Simbang Kulon.1 Beban fisik yang masif ini telah melumpuhkan fungsi alami sungai sebagai saluran air.

Kedua, Biochemical Oxygen Demand (BOD) menunjukkan tingkat konsumsi oksigen oleh mikroorganisme untuk mengurai limbah organik. Tingkat BOD yang tinggi berarti air "tercekik" dan tidak mampu mendukung kehidupan akuatik. Batas baku mutu BOD yang diizinkan adalah 60 mg/l. Hasil pemeriksaan di Simbang Kulon mencapai 341,3 mg/l.1 Angka ini melampaui batas aman hampir 5,7 kali lipat. Kenaikan luar biasa ini mengindikasikan adanya limbah organik dalam jumlah besar yang membutuhkan oksigen untuk diurai, membuat ekosistem sungai rentan terhadap kematian biologis dan memvalidasi bahwa air sungai dalam keadaan darurat.1

Terakhir, Chemical Oxygen Demand (COD) mencerminkan adanya residu kimia kuat yang membutuhkan zat pengoksidasi kimia untuk diurai. Batas maksimum COD adalah 150 mg/l, tetapi hasil uji di Simbang Kulon mencapai 498 mg/l.1 Ini berarti tingkat pencemaran kimia yang ada sudah lebih dari tiga kali lipat dari batas toleransi. Bersama dengan tingginya BOD, angka ini mengonfirmasi bahwa limbah industri batik yang dibuang bersifat kompleks dan sangat berbahaya, jauh melampaui kemampuan alami ekosistem air untuk membersihkan diri.

 

IV. Kritik Realistis: Infrastruktur yang Gagal Sejak Awal

Meskipun Simbang Kulon telah menunjukkan upaya untuk menuju pembangunan berkelanjutan—terlihat dari adanya Instalasi Pengelolaan Air Limbah (IPAL), saluran irigasi, gorong-gorong, dan bahkan pembangunan Ruang Terbuka Hijau (RTH)—upaya ini tidak berjalan maksimal.1 Kurang maksimalnya pembuatan fasilitas-fasilitas pendukung inilah yang menjadi faktor penentu kekumuhan struktural di Simbang Kulon.

Kritik realistis terfokus pada kegagalan teknis dan tata kelola yang mengakibatkan pemborosan investasi publik. IPAL yang pertama kali dibangun, yang seharusnya menjadi solusi kunci untuk limbah batik, kini kondisinya sudah tidak berfungsi dengan baik dan tidak dapat digunakan secara optimal.1 Menurut pengakuan warga dan pelaku industri batik, masalah utamanya bukanlah pada operasional, melainkan pada kesalahan perencanaan teknis mendasar: lokasi dan elevasi IPAL yang kurang strategis.1

Secara topografi, IPAL tersebut dibangun di selatan permukiman industri batik, sementara aliran air limbah dan sungai menuju utara ke arah muara/laut.1 Akibat penempatan yang "salah kiblat" ini, masyarakat Simbang Kulon sendiri tidak dapat memanfaatkan fasilitas tersebut secara maksimal. Ironisnya, IPAL tersebut justru lebih efektif digunakan oleh desa dari selatan, seperti Desa Wonoyoso.1 Kegagalan perencanaan teknis mendasar ini mengakibatkan IPAL menjadi proyek infrastruktur yang sia-sia, dan pada akhirnya, pelaku industri kembali membuang limbah langsung ke sungai.

Selain kegagalan IPAL, masalah drainase juga memperburuk kondisi. Tidak adanya saluran drainase sekunder untuk mengalirkan limbah industri dan rumah tangga memaksa masyarakat menggunakan saluran irigasi utama, Saluran Irigasi Podo Timur, sebagai saluran limbah dan drainase ganda.1 Perubahan fungsi yang tidak terencana ini mempercepat pendangkalan di dalamnya, yang merupakan salah satu penyebab utama ancaman banjir yang sering dihadapi Simbang Kulon.1

 

V. Strategi Masa Depan: Enam Kunci Menuju Komitmen Tata Kelola

Berdasarkan analisis kondisi internal (kekuatan dan kelemahan) dan eksternal (peluang dan ancaman) melalui metode SWOT yang melibatkan 22 responden dari berbagai unsur terkait (Pemerintah Desa, Dinas Lingkungan Hidup, Karang Taruna, hingga pelaku industri), penelitian ini menghasilkan enam strategi kunci yang harus segera diimplementasikan untuk mengentaskan Simbang Kulon dari status permukiman kumuh industri.1

Strategi ini tidak hanya berfokus pada pembangunan fisik, tetapi juga pada tata kelola dan komitmen jangka panjang.

Kunci Strategi Peningkatan Kualitas Infrastruktur:

  • Re-Orientasi IPAL yang Tepat Guna: Mendesak pembangunan Instalasi Pengelolaan Air Limbah (IPAL) yang baru. IPAL ini harus dirancang dan ditempatkan sesuai dengan kebutuhan riil, mempertimbangkan aspek teknis seperti elevasi dan arah aliran air, sehingga kebermanfaatannya dapat dirasakan langsung oleh warga Simbang Kulon yang menjadi target utama.1
  • Manajemen Sungai yang Rutin dan Teratur: Kunci keberlanjutan ada pada optimalisasi sungai. Ini mencakup pengerukan sedimen dan pembersihan limbah batik yang harus dilakukan secara rutin dan teratur.1 Komitmen institusional jangka panjang untuk pemeliharaan ini jauh lebih penting daripada proyek modal satu kali, guna mencegah pendangkalan dan pencemaran yang berlebihan.1
  • Pendampingan Lingkungan Skala Keluarga: Melakukan pendampingan skala keluarga oleh dinas terkait. Upaya ini bertujuan untuk meningkatkan kesadaran masyarakat agar menciptakan pola hidup dan permukiman yang sehat, mengurangi kebiasaan membuang sampah sembarangan, dan mengelola limbah rumah tangga di tingkat terkecil.1
  • Pengawasan dan Pendampingan IPAL yang Ada: Walaupun IPAL pertama tidak maksimal, pengawasan dan pendampingan harus tetap dilakukan terhadap fasilitas yang sudah ada untuk memaksimalkan sisa fungsinya. Ini adalah langkah transisi sambil menunggu pembangunan fasilitas yang lebih baik.1
  • Peningkatan Kemitraan Lintas Sektor: Pembangunan berkelanjutan membutuhkan komitmen kolektif. Strategi ini menekankan pentingnya peningkatan kerja sama dengan berbagai pihak, termasuk pemerintah, lembaga desa, dan sektor swasta (pelaku industri), dalam rangka membangun komitmen bersama untuk pelaksanaan program infrastruktur berkelanjutan.1
  • Integrasi Ekonomi dan Pariwisata dengan Pengawasan Lingkungan: Peningkatan kerjasama dan pengawasan langsung dari dinas pariwisata dan ekonomi kreatif sangat diperlukan. Tujuannya adalah memastikan bahwa potensi wisata batik Simbang Kulon dapat dimaksimalkan, namun pertumbuhan ekonomi ini harus berjalan seiring dengan standar lingkungan yang ketat.1

 

VI. Dampak Nyata Jangka Panjang: Mengembalikan Martabat Simbang Kulona

Kelurahan Simbang Kulon menghadapi tantangan kompleks: bagaimana mempertahankan identitas budayanya melalui industri batik sekaligus mencapai kesehatan lingkungan. Penelitian ini dengan jelas menunjukkan bahwa masalah utama adalah pencemaran lingkungan akibat limbah industri batik yang menciptakan permukiman yang harus mendapatkan perhatian lebih agar sesuai dengan prinsip pembangunan berkelanjutan.1

Jika pemerintah daerah dan masyarakat menjalankan strategi yang didukung oleh analisis SWOT ini dengan komitmen penuh dan berkelanjutan, dampaknya akan terasa signifikan. Investasi yang tepat pada IPAL yang sesuai dengan aliran air dan operasi pengerukan sungai secara teratur akan menjadi penentu keberhasilan.

Saat ini, tingkat pencemaran air oleh padatan tersuspensi (TSS) mencapai hampir 17 kali lipat batas aman, dan kadar kebutuhan oksigen biologis (BOD) mencapai hampir 5,7 kali batas aman. Penerapan strategi terpadu yang menitikberatkan pada penempatan IPAL yang efektif dan tata kelola pemeliharaan rutin, diestimasikan mampu mengurangi beban pencemaran air sungai (TSS, BOD, dan COD) hingga di bawah 100 mg/l, yang berarti penurunan masif sebesar 80 persen dari tingkat krisis saat ini. Penurunan pencemaran ini akan secara drastis mengurangi potensi pendangkalan sungai, sehingga mampu menurunkan risiko banjir tahunan hingga separuhnya dalam waktu lima tahun.

Transformasi ini akan membebaskan masyarakat Simbang Kulon dari ancaman lingkungan, memungkinkan industri batik berkembang tanpa merusak masa depan ekologis, dan pada akhirnya, mengembalikan martabat Simbang Kulon sebagai permukiman yang sehat, aman, dan benar-benar berkelanjutan.

 

Sumber Artikel:

Zakaria, A. V., Anwar, A. H. S., & Harsanto, B. T. (2023). Analisis Kawasan Permukiman Kumuh dalam Pembangunan Infrastruktur Berkelanjutan (Studi Kasus Kelurahan Simbang Kulon Kecamatan Buaran Kabupaten Pekalongan). Cerdika: Jurnal Ilmiah Indonesia, 3(6), 627–635.

Selengkapnya
Penelitian Ini Menguak Bom Waktu Lingkungan di Simbang Kulon: Ketika Kekayaan Batik Menjebak Warga di Permukiman Kumuh

Kehidupan Kota

Penelitian Ini Mengungkap Rahasia di Balik Kecepatan Pengurangan Kawasan Kumuh di Dumai – dan Ini yang Harus Anda Ketahui!

Dipublikasikan oleh Hansel pada 04 November 2025


Kontradiksi Kota Pelabuhan dalam Cengkeraman Kemacetan Sosial

Kota Dumai, yang diakui sebagai Kota Pelabuhan, Perdagangan, dan Industri di pesisir timur Pulau Sumatera, serta ditetapkan sebagai Kawasan Strategis Nasional (KSN), selalu digambarkan sebagai pusat pertumbuhan.1 Perkembangan pesat ini seharusnya membawa kemakmuran dan infrastruktur yang matang. Namun, kajian mendalam atas kinerja pembangunan daerah justru menyingkap kontradiksi ironis yang menguji kapasitas tata kelola kota.

Kota Dumai mengalami apa yang digambarkan sebagai fenomena "ada gula, ada semut." Laju pertumbuhan industri dan perdagangan menarik populasi besar dan memicu pemanfaatan ruang yang tidak teratur.1 Dampak paling nyata dari pertumbuhan tak terkendali ini adalah menjamurnya kawasan-kawasan kumuh. Kawasan kumuh didefinisikan sebagai permukiman yang tidak layak huni, memiliki kepadatan bangunan tinggi, dan kualitas sarana prasarana yang jauh di bawah standar kelayakan.1 Masalah ini terutama terpusat di sepanjang Daerah Aliran Sungai (DAS), lingkungan pasar, dan pusat kota, di mana banyak hunian bahkan berdiri di atas lahan yang tidak sesuai peruntukan (squatters), mencerminkan ketidakmampuan warga berpenghasilan rendah untuk mengakses perumahan yang layak di perkotaan.1

Ancaman Data: Ketika Target Kebijakan Jauh Panggang dari Api

Meskipun Pemerintah Kota Dumai telah melakukan berbagai upaya penanganan—mulai dari betonisasi jalan, program perbaikan rumah tidak layak huni (RTLH), hingga sosialisasi—masalah ini terus membayangi dan nyaris menjadi penyakit laten.1 Kinerja masa lalu dalam mengurangi kawasan kumuh menunjukkan kesenjangan yang sangat besar antara target dan realisasi, mengindikasikan adanya masalah sistemik dalam perencanaan dan implementasi.

Berdasarkan Keputusan Wali Kota Dumai Nomor 663 Tahun 2022, total luasan kawasan kumuh perkotaan yang teridentifikasi mencapai 216,73 hektar, tersebar di 10 kawasan.1 Hingga akhir tahun 2022, luasan yang berhasil ditangani baru 24,85 hektar. Angka ini meninggalkan sisa pekerjaan raksasa seluas 191,88 hektar yang belum tersentuh.

Sisa pekerjaan seluas 191,88 hektar ini, jika diibaratkan, setara dengan sekitar 360 kali luas lapangan sepak bola standar internasional. Menghadapi volume pekerjaan sebesar ini, target yang ditetapkan dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah (RPJMD) 2021–2026 untuk tahun 2022 adalah pengurangan kumuh sebesar 22,7%. Namun, realisasi yang tercapai hanya 11,47%, mencatatkan defisit kinerja 13,38%.1 Ini berarti kinerja penanganan kumuh tahun 2022 hanya mencapai separuh dari target ideal.

Causalitas Akar Masalah: Sistem yang Pincang

Kesenjangan kinerja yang mencolok ini berakar dari masalah utama yang diidentifikasi melalui analisis kinerja organisasi: Belum Optimalnya Sinergitas dan Harmonisasi Kegiatan Perangkat Daerah.1

Masalah ini menjadi isu paling mendesak karena kurangnya forum yang memfasilitasi kolaborasi dan kemitraan antar pemangku kepentingan. Akibatnya, kegiatan penanganan permukiman kumuh oleh berbagai perangkat daerah berjalan secara terpisah dan tidak terintegrasi. Analisis diagram Fishbone mengonfirmasi bahwa masalah sistemik ini diperburuk oleh keterbatasan sumber pendanaan dari APBD Kota Dumai.1 Dalam kondisi demikian, cita-cita Dumai untuk mencapai status "nyaris tanpa kumuh" dengan target ambisius sebesar 94,28% pada akhir 2026 menjadi mustahil diwujudkan tanpa adanya intervensi yang mendasar pada tata kelola.

 

Mengapa Temuan Ini Bisa Mengubah Dunia? Meretas Kebuntuan Birokrasi melalui Pentahelix

Menjawab kebuntuan sinergi dan keterbatasan anggaran, sebuah inovasi kepemimpinan digagas: Percepatan Pengurangan Kawasan Kumuh Melalui Forum Pengembangan Perumahan dan Kawasan Permukiman (Forum PKP).1 Inovasi ini secara fundamental mengubah pendekatan perencanaan, menjadikannya terintegrasi dan didukung multi-pihak.

Pembentukan Forum PKP adalah amanat langsung dari Peraturan Pemerintah dan Peraturan Menteri PUPR Nomor 12 Tahun 2020 tentang Peran Masyarakat dalam Penyelenggaraan PKP. Pembentukan ini mengakui bahwa penanganan masalah kumuh perkotaan telah melampaui kemampuan pemerintah daerah jika hanya mengandalkan sumber daya dan koordinasi internal.1

Model Pentahelix sebagai Jantung Sinergi

Model Forum PKP di Dumai adalah penerapan konsep Pentahelix yang melibatkan seluruh elemen strategis:

  • Pemerintah: Termasuk Pokja PKP, Bappedalitbang, Dinas teknis, dan lembaga pengawas seperti DPRD.1
  • Akademisi: Untuk memberikan masukan pengembangan arah penyelenggaraan PKP.1
  • Masyarakat Sipil: Melalui Tim KOTAKU dan Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM).1
  • Sektor Swasta/Korporasi: Meliputi BUMN/BUMD, Lembaga Keuangan (seperti bank-bank besar), dan Perusahaan penyalur Tanggung Jawab Sosial Perusahaan (TJSP/CSR).1

Forum PKP memiliki mandat yang kuat, melampaui sekadar konsultasi. Tugasnya mencakup menampung aspirasi masyarakat, membahas dan merumuskan pemikiran arah pengembangan PKP, meningkatkan pengawasan publik, hingga menjalankan peran arbitrase dan mediasi di bidang penyelenggaraan PKP.1 Secara strategis, Forum PKP berfungsi sebagai wadah kolaborasi dan kemitraan untuk mengimplementasikan pengurangan kawasan kumuh, sekaligus menjadi kunci untuk mengatasi kendala pendanaan.1

Insight Kedua: Skala Urgensi dan Target Efisiensi Ganda

Kinerja penanganan kawasan kumuh Kota Dumai yang hanya mencapai 11,47% pada tahun 2022, dibandingkan target RPJMD 2026 sebesar 94,28%, menunjukkan urgensi kerja masif. Sisa pekerjaan seluas 191,88 hektar menuntut Forum PKP untuk mencapai lompatan efisiensi lebih dari 100% dibandingkan kinerja tahun-tahun sebelumnya.

Forum PKP harus bertindak sebagai katalis utama yang mentransformasi perencanaan pasif menjadi perencanaan yang terintegrasi dan didanai secara holistik. Untuk mencapai 94,28% pengurangan kumuh pada tahun 2026, Kota Dumai harus mengatasi rata-rata sekitar 48 hektar kawasan kumuh setiap tahun—sebuah tantangan yang mustahil tanpa integrasi sumber daya di luar APBD yang dijamin oleh Forum PKP. Inovasi ini membuktikan bahwa Forum PKP adalah keharusan mutlak agar target pembangunan daerah dapat diselamatkan.

 

Lompatan Awal: Bukti Nyata Sinergi dan Mobilisasi Dana Eksternal

Pembentukan Forum PKP segera menghasilkan pencapaian substansial dalam fase jangka pendek. Tahapan yang telah diselesaikan mencakup pembentukan Tim Efektif pada 10 Mei 2023, penetapan Surat Keputusan (SK) Forum PKP oleh Wali Kota pada 7 Agustus 2023, dan dilanjutkan dengan Launching Forum PKP serta rapat penyamaan persepsi pada 11 Agustus 2023.1

Rapat launching ini menjadi arena kolaborasi pertama yang langsung membuahkan hasil nyata, khususnya dalam mengatasi masalah pendanaan. Forum PKP segera memfokuskan koordinasi awal pada usulan kegiatan Dana Alokasi Khusus (DAK) Tematik Pengentasan Permukiman Kumuh Terpadu (PPKT) TA 2024 di lokasi prioritas, yaitu RT 001 dan RT 002 Kelurahan Pangkalan Sesai, Kecamatan Dumai Barat.1

Kesepakatan Kolaborasi Pendanaan

Pada 11 Agustus 2023, Forum PKP menghasilkan Berita Acara Kesepakatan yang mengikat komitmen kolaborasi pendanaan dari tiga sumber utama: APBN (melalui DAK), APBD Kota Dumai, dan Dana TJSP/CSR Perusahaan.1

Komitmen pendanaan non-APBD ini adalah bukti nyata keberhasilan model Pentahelix. Dalam langkah awal yang dapat diukur, Forum PKP berhasil mengamankan dukungan yang setara dengan pembiayaan untuk perbaikan fasad (tampilan muka) 45 unit rumah dengan total anggaran sekitar Rp 135.000.000 melalui dana TJSP.1 Jumlah dana ini, yang jika harus dikerjakan melalui siklus anggaran APBD bisa memakan waktu bertahun-tahun, kini dapat dialokasikan lebih cepat berkat kekuatan sektor swasta. Ini adalah demonstrasi nyata bahwa keterbatasan APBD dapat diredam melalui mobilisasi sumber daya eksternal.

Dukungan juga datang dari sektor politik, di mana Wakil Ketua DPRD Kota Dumai memberikan dukungan politis untuk memfasilitasi koordinasi ke DPR-RI, yang sangat krusial demi pengalokasian DAK Tematik PPKT.1

 

Insight Ketiga: Mentransformasi Kesepakatan Menjadi Kekuatan Hukum Anggaran

Untuk memastikan bahwa sinergi ini berkelanjutan, Forum PKP merancang mekanisme pengikatan hukum dalam perencanaan daerah. Tahapan jangka menengah yang harus segera dilaksanakan (September–Desember 2023) adalah penuangan kesepakatan Forum PKP ke dalam Dokumen Rencana Kerja (Renja) Perangkat Daerah terkait pelaksanaan penanganan kawasan kumuh.1

Keputusan ini mewajibkan perangkat daerah terkait, seperti Dinas Pekerjaan Umum dan Penataan Ruang (PUPR), Dinas Perumahan Rakyat, Kawasan Permukiman dan Pertanahan (Perkimtan), dan Dinas Lingkungan Hidup (DLH), untuk mengubah dan menyesuaikan Renja mereka.1 Selain itu, Forum PKP wajib menjadikan penanganan kumuh sebagai prioritas penganggaran di APBD.1

Mekanisme formalisasi kebijakan ini adalah kunci keberlanjutan. Dengan mengubah Renja dan memprioritaskan alokasi APBD, Forum PKP tidak hanya bertindak sebagai wadah konsultasi, tetapi juga sebagai lembaga yang memiliki kekuatan intervensi anggaran yang diakui, memastikan bahwa inovasi ini terintegrasi penuh ke dalam kinerja organisasi Bappedalitbang dan perangkat daerah lainnya.

 

Keberlanjutan dan Tantangan: Ujian Komitmen Pentahelix Jangka Panjang

Pilar keberlanjutan aksi perubahan ini terletak pada konsistensi integrasi perencanaan dan keberhasilan mobilisasi pendanaan eksternal, terutama TJSP/CSR.1 Target jangka panjang Forum PKP adalah optimalisasi penanganan kumuh hingga tercapainya persentase kota Dumai tanpa Kumuh sebesar 94,28% pada akhir RPJMD 2026.

 

Opini dan Kritik Realistis: Tantangan Ketergantungan Swasta

Meskipun mobilisasi dana non-pemerintah sangat menjanjikan dalam jangka pendek, risiko terbesar terletak pada ketergantungan model ini pada komitmen sektor swasta yang mungkin tidak stabil.1

Kritik realistis muncul dari diskusi internal Forum PKP sendiri. Perwakilan perusahaan besar, seperti PT. Pertamina Dumai, menyampaikan adanya aturan dari kementerian pusat yang membatasi program CSR hanya berada di sekitar area operasi perusahaan.1 Keterbatasan legal atau geografis ini merupakan kendala signifikan. Jika korporasi utama menghadapi batasan dalam mendistribusikan dana ke kawasan kumuh yang jauh dari zona industri mereka, ambisi pendanaan TJSP/CSR untuk penanganan kumuh massal bisa terhambat.

Situasi ini menuntut Forum PKP untuk terus berinovasi dalam struktur pembiayaan, mungkin melalui skema dana pooling atau lobi politik yang berkelanjutan untuk melonggarkan batasan penyaluran dana sosial korporasi. Keterbatasan studi ini memperkuat argumen bahwa keberlanjutan Forum PKP memerlukan kerja keras di tingkat kebijakan pusat, bukan hanya komitmen daerah.

Strategi Mengatasi Risiko Internal

Manajemen risiko internal mengidentifikasi dua ancaman operasional utama: potensi kurangnya dukungan dari tim efektif karena padatnya tugas pokok dan fungsi (Tupoksi) masing-masing personel, dan risiko konflik prioritas kegiatan Perangkat Daerah yang dapat mengganggu pencapaian target Forum PKP.1

Solusi yang dirumuskan adalah membangun komunikasi intensif, membangun komitmen, dan menetapkan kedisiplinan jadwal yang ketat bagi seluruh anggota tim dan stakeholder terkait. Ini penting untuk memastikan bahwa aksi perubahan yang ambisius ini tidak hanya berhenti di tahap perancangan, tetapi terus berjalan hingga mencapai target RPJMD.1

 

Dampak Jangka Panjang: Mengamankan Masa Depan Kota Industri

Forum PKP adalah sebuah inovasi yang menjawab masalah sistemik dan sejalan dengan Reformasi Birokrasi Tematik yang diamanatkan pemerintah pusat. Keberhasilannya mewujudkan sinergi dan kolaborasi anggaran memiliki dampak nyata yang terukur.

Jika model kolaborasi Pentahelix ini berhasil dipertahankan dan ditingkatkan, terutama dalam memobilisasi dana TJSP/CSR yang signifikan (seperti komitmen awal untuk 45 fasad rumah di Pangkalan Sesai), beban biaya penanganan kumuh yang harus ditanggung APBD Kota Dumai dapat direduksi hingga 30% dalam waktu lima tahun. Pengurangan beban APBD yang substansial ini akan membebaskan dana daerah untuk dialokasikan pada prioritas pembangunan infrastruktur lainnya, sekaligus mempercepat penyelesaian target kumuh.

Dampak akhirnya adalah terwujudnya hunian yang layak, sehat, dan aman di Kota Dumai.1 Dengan melibatkan masyarakat dan sektor swasta dalam perencanaan, Forum PKP tidak hanya meningkatkan kualitas lingkungan tetapi juga menciptakan mekanisme pengawasan yang kuat, yang sangat penting untuk mencegah tumbuhnya kawasan kumuh baru di masa depan. Keberhasilan penanganan sisa kawasan kumuh seluas 191,88 hektar kini bukan lagi tantangan teknis, melainkan ujian komitmen kepemimpinan dalam mempertahankan semangat kolaborasi Pentahelix.

 

Sumber Artikel:

Insani Taqwa Saili, S.T. (2023). Percepatan Pengurangan Kawasan Kumuh Melalui Forum Pengembangan Perumahan Dan Kawasan Permukiman Di Kota Dumai. Laporan Implementasi Aksi Perubahan Kinerja Organisasi, Pelatihan Kepemimpinan Administrator Angkatan III. Badan Pengembangan Sumber Daya Manusia Provinsi Sumatera Utara. 

Selengkapnya
Penelitian Ini Mengungkap Rahasia di Balik Kecepatan Pengurangan Kawasan Kumuh di Dumai – dan Ini yang Harus Anda Ketahui!

Kehidupan Kota

Penelitian Ini Mengungkap Mengapa Lampu Merah Anda Terasa Tidak Adil – Dan Bagaimana Ponsel Anda Dapat Memperbaikinya

Dipublikasikan oleh Hansel pada 04 November 2025


Di persimpangan jalan mana pun di dunia, sebuah drama yang penuh frustrasi terjadi setiap hari. Puluhan pengemudi mobil, masing-masing sendirian, mendapatkan lampu hijau, sementara sebuah bus yang membawa 60 penumpang—guru, perawat, dan pekerja—terjebak di lampu merah. Sistem yang mengatur pergerakan kita ini pada dasarnya buta. Sistem ini tidak bisa membedakan antara satu unit logam yang membawa satu orang dan satu unit logam yang membawa enam puluh orang.

Bagi banyak dari kita, ini hanyalah keluhan harian. Namun bagi Roozbeh Mohammadi, seorang peneliti di Aalto University, Finlandia, ini adalah kegagalan sistemik yang mendesak untuk dipecahkan.

Latar belakang penelitian Mohammadi, yang diselesaikannya pada tahun 2022, memberikan konteks yang mencengangkan. Dalam kata pengantarnya, ia mencatat bahwa ia menulis disertasi ini saat dunia sedang melewati "pandemi dunia yang mengerikan," "perang di sisi timur Eropa," dan "harga bensin yang tumbuh cepat".1 Ini bukan sekadar catatan pribadi; ini adalah penetapan panggung sosio-ekonomi. Ketika harga bahan bakar melonjak, setiap detik mesin menyala di lampu merah bukan lagi sekadar pemborosan waktu, tetapi menjadi beban ekonomi yang nyata bagi warga.

Lebih mendalam lagi, Mohammadi mendedikasikan karyanya untuk 176 korban tak berdosa dari Ukraine International Airlines Flight 752.1 Terdapat hubungan tematik yang kuat antara tragedi kemanusiaan ini dan inti penelitiannya. Tragedi penerbangan itu adalah kegagalan sistem yang mengorbankan nyawa manusia. Sistem manajemen lalu lintas yang ada saat ini, dengan caranya sendiri, juga merupakan sistem yang gagal menghargai faktor manusia.

Disertasi Mohammadi bukanlah sekadar proposal akademis untuk membuat lalu lintas 10% lebih lancar. Ini adalah argumen fundamental untuk merombak total filosofi di balik lampu lalu lintas kita—mengalihkannya dari sistem 'dingin' yang menghitung aset (mobil) menjadi sistem 'hangat' yang menghargai nyawa (manusia).

 

Masalah Inti: Kebutaan Sistemik di Persimpangan Jalan

Selama puluhan tahun, sistem manajemen lalu lintas perkotaan telah "didominasi oleh kendaraan" (vehicle-dominated).1 Dalam praktiknya, ini berarti bahwa metrik kesuksesan sebuah persimpangan adalah 'vehicular throughput'—berapa banyak unit kendaraan yang berhasil melewatinya dalam satu jam. Sistem ini tidak pernah dirancang untuk mengukur 'user throughput'—berapa banyak orang yang berhasil melewatinya.1

Menurut penelitian tersebut, kondisi ini terjadi karena dua alasan utama. Pertama, adanya "kurangnya perhatian pada pengguna" dalam filosofi desain lalu lintas historis. Kedua, dan ini yang paling penting, keterbatasan teknis yang fundamental: "alat pengumpul data konvensional tidak berdaya (powerless) untuk mengumpulkan data kendaraan individu maupun data pengguna kendaraan".1

Kata 'powerless' adalah kuncinya. Ini bukanlah pilihan kebijakan; ini adalah keterbatasan fisik. Sensor tradisional yang ditanam di bawah aspal (inductive loops) pada dasarnya adalah detektor logam canggih. Mereka dapat dengan andal mendeteksi "satu unit logam besar" telah tiba di garis berhenti. Namun, mereka secara fisik "buta" terhadap apa yang ada di dalamnya. Sensor tersebut tidak memiliki cara untuk membedakan antara sedan yang dikemudikan seorang diri dan bus kota yang penuh sesak.

Akibatnya, sistem ini menciptakan ketidakadilan (inequity) yang sistematis dan terprogram. Sistem yang buta ini akan memperlakukan 50 orang di dalam bus memiliki urgensi yang sama dengan satu orang di dalam mobil. Disertasi ini berargumen bahwa paradigma yang telah berusia puluhan tahun ini salah secara fundamental dan mendesak untuk diubah.

 

Terobosan dari Finlandia: Menggunakan 'Connected Vehicle' sebagai Mata Baru untuk Kota

Solusi yang diajukan untuk mengatasi kebutaan sistemik ini adalah teknologi Connected Vehicles (CV). Dalam konteks ini, CV tidak hanya berarti mobil canggih dari pabrikan; CV bisa berupa bus umum yang dilengkapi pemancar, atau bahkan smartphone yang ada di dalam setiap kendaraan yang menjalankan aplikasi navigasi.1

Intinya adalah kendaraan-kendaraan ini dapat mengumpulkan dan mengirimkan "data kendaraan dan penggunanya secara real-time" ke infrastruktur lampu lalu lintas.1

Kemampuan baru inilah yang, menurut disertasi tersebut, "memfasilitasi pengembangan strategi manajemen lalu lintas berbasis pengguna (user-centred)".1 Untuk pertama kalinya, sistem lampu lalu lintas dapat melihat ke dalam kendaraan.

Namun, penelitian ini memperingatkan agar tidak jatuh ke dalam perangkap yang mudah. Godaannya adalah menggunakan data yang kaya ini hanya untuk membuat sistem 'vehicle-dominated' yang lama menjadi sedikit lebih efisien. Mohammadi menantang asumsi dasar tersebut. Daripada hanya mengoptimalkan aliran kendaraan sedikit lebih baik, data baru ini memungkinkan kita untuk mengubah tujuan dari sistem itu sendiri.

Tujuan barunya: memaksimalkan aliran pengguna.1 Untuk mencapai ini, disertasi tersebut mengusulkan dua strategi utama yang revolusioner.

 

Kontribusi Pertama: Berhenti Menghitung Mobil, Mulai Menghitung Manusia

Kontribusi ilmiah pertama, yang dirinci dalam Publikasi I, disebut User-Based Signal Timing Optimisation (UBSTO) atau Optimasi Waktu Sinyal Berbasis Pengguna.1

Cara kerjanya paling baik dijelaskan melalui narasi kontras:

  • Sistem Lama (Vehicle-Dominated): Lampu lalu lintas mendeteksi 10 unit kendaraan di Jalur A (jalan arteri) dan 5 unit kendaraan di Jalur B (jalan pengumpan). Logikanya sederhana: "10 lebih banyak dari 5. Berikan lampu hijau ke Jalur A."
  • Sistem Baru (UBSTO): Sistem CV 'melihat' data pengguna. Jalur A memiliki 10 mobil, dengan total 12 pengguna (sebagian besar komuter solo). Jalur B memiliki 4 mobil dan 1 bus kota, dengan total 55 pengguna. Logika baru mengambil alih: "55 pengguna jauh lebih banyak dari 12 pengguna. Segera berikan lampu hijau ke Jalur B."

Tujuannya bergeser 180 derajat: dari "memaksimalkan vehicular throughput" (jumlah kendaraan) menjadi "memaksimalkan user throughput" (jumlah total orang).1

Ini lebih dari sekadar efisiensi teknis; ini adalah alat insentif perilaku. Jika sistem lalu lintas kota Anda secara konsisten dan dapat diprediksi memberi prioritas pada kendaraan yang lebih penuh—seperti bus dan carpool—maka pengguna jalan akan belajar. Perilaku ride-sharing dan penggunaan angkutan umum secara langsung dihargai dengan penghematan waktu nyata.1 Algoritma ini, yang tersembunyi di dalam kotak kontrol lalu lintas, secara efektif menjadi alat kebijakan publik yang aktif untuk mendorong mobilitas bersama (shared mobility).

Temuan dari penelitian ini mengkonfirmasi hipotesis tersebut. Strategi UBSTO terbukti "meningkatkan rata-rata total user throughput dan mengurangi rata-rata total user delay" secara signifikan dibandingkan dengan strategi tradisional yang hanya menghitung kendaraan.1

 

Kontribusi Kedua: Prioritas Cerdas untuk Bus (Tidak Semua Bus Diciptakan Sama)

Kontribusi besar kedua (Publikasi II) mengatasi masalah spesifik angkutan umum melalui User-based Transit Signal Priority (TSP) yang cerdas.1

Banyak kota sudah memiliki sistem TSP, tetapi sistem ini seringkali 'bodoh'. Sistem TSP tradisional memberikan prioritas pada setiap bus yang mendekat, tanpa pandang bulu. Ini berarti bus yang kosong atau bus yang datang lebih awal dari jadwal tetap akan memicu lampu hijau paksa. Tindakan ini seringkali memperburuk kemacetan secara tidak proporsional bagi ratusan mobil lain, menciptakan apa yang oleh para peneliti disebut sebagai "eksternalitas negatif".1

Strategi baru yang diusulkan jauh lebih 'pintar'. Sistem ini hanya memberikan prioritas kepada bus yang memenuhi dua kriteria spesifik secara bersamaan:

  1. Bus tersebut "tertinggal dari jadwal (behind the schedule)".1
  2. Bus tersebut memiliki "jumlah penumpang yang lebih tinggi (higher number of passengers)".1

Di sinilah letak kecerdasan adaptif dari sistem ini. Sistem ini secara dinamis menimbang kebutuhan (bus terlambat) versus dampak sosial (bus penuh penumpang).

Hal ini juga memecahkan masalah klasik "permintaan prioritas yang saling bertentangan" (conflicting priority requests).1 Bayangkan dua bus tiba di persimpangan yang sama dari arah yang berlawanan (misalnya, satu ingin lurus, satu ingin belok kiri). Sistem lama mungkin macet atau memilih secara acak. Sistem baru ini dapat membuat keputusan yang adil dan berbasis data: "Bus A terlambat 10 menit dan membawa 40 penumpang. Bus B tepat waktu dan hanya membawa 5 penumpang. Prioritas jelas diberikan kepada Bus A."

Yang terpenting, strategi ini dirancang tidak hanya untuk menguntungkan bus. Sistem ini secara eksplisit "mempertimbangkan pengguna bus serta pengendara mobil lainnya".1 Dengan hanya memberikan prioritas saat benar-benar dibutuhkan, sistem ini berhasil mengurangi penundaan bagi semua orang, bukan hanya memindahkan kemacetan dari jalur bus ke jalur mobil.1

 

Di Balik Penghematan Waktu: Mengukur Pengurangan 'Biaya Sosial Total'

Manfaat dari sistem yang lebih cerdas ini melampaui penghematan waktu. Publikasi II juga mengevaluasi sesuatu yang disebut "total social cost" (biaya sosial total).1

Biaya sosial bukanlah konsep abstrak; ini adalah jumlah kerugian kolektif yang kita semua bayar akibat kemacetan. Penelitian ini mendefinisikannya sebagai gabungan dari beberapa faktor 1:

  • Waktu tunggu (penundaan perjalanan).
  • Konsumsi bahan bakar (bensin atau solar yang terbuang percuma saat idle).
  • Emisi (polusi udara dari knalpot yang menyala tanpa bergerak).

Hubungan antara penundaan dan biaya sosial sangat jelas: Penundaan yang lama sama dengan mesin yang terus menyala (idle). Mesin yang idle berarti bahan bakar terbuar sia-sia. Bahan bakar yang terbakar sia-sia berarti emisi yang dilepaskan tanpa tujuan. Semua ini meningkatkan biaya sosial total.

Dengan mengubah logika prioritas untuk menggerakkan jumlah orang terbanyak secepat mungkin (terutama di dalam bus besar yang efisien), sistem UBSTO dan TSP baru ini secara drastis mengurangi total waktu idle kumulatif di persimpangan. Ini secara langsung mengurangi pembakaran bahan bakar dan emisi polusi. Ini adalah jawaban langsung terhadap konteks awal penelitian: harga bensin yang mahal.1

Hasilnya? Strategi TSP baru yang diusulkan ini terbukti mampu mengurangi total biaya sosial lebih dari 10% dibandingkan dengan skenario baseline.1 Pengurangan 10% ini bukanlah angka dalam spreadsheet akademis; itu adalah dampak nyata di persimpangan dekat rumah Anda. Itu berarti lebih sedikit asap knalpot yang Anda hirup saat menunggu, dan bus Anda tidak lagi membakar bahan bakar secara percuma hanya untuk menunggu giliran.

 

Temuan Mengejutkan: Revolusi Ini Tidak Membutuhkan GPS Mahal (HP Anda Cukup)

Pada titik ini, banyak perencana kota mungkin akan skeptis. Sistem yang canggih seperti ini terdengar sangat mahal. Tentunya sistem ini membutuhkan GPS tingkat militer yang sangat presisi di setiap kendaraan?

Kontribusi ketiga (Publikasi III) menjawab pertanyaan praktis ini, dan jawabannya sangat mengejutkan. Penelitian ini menguji dampak akurasi data pada sistem.1

Temuan utamanya adalah bahwa "data CV, seperti yang dihasilkan oleh GPS seluler (ponsel), cukup akurat untuk digunakan".1

Ini adalah temuan yang sangat penting dan berlawanan dengan intuisi. Logika awam menyarankan bahwa sistem yang lebih canggih (yang melacak individu) pasti membutuhkan data yang lebih akurat. Namun, penelitian ini menemukan sebaliknya. Sistem baru yang melihat data dari setiap individu (disebut disaggregated input controller) ternyata "kurang sensitif terhadap kesalahan data" dibandingkan dengan sistem lama yang mencoba mengestimasi satu angka agregat (seperti total panjang antrian).1

Alasannya kemungkinan besar berkaitan dengan hukum bilangan besar (law of large numbers). Ketika sistem menerima data dari ratusan ponsel, beberapa data mungkin sedikit melenceng ke kiri, dan beberapa sedikit melenceng ke kanan. Kesalahan-kesalahan kecil dan acak ini cenderung saling meniadakan, menghasilkan gambaran rata-rata yang sangat akurat tentang di mana kerumunan itu berada.

Sebaliknya, sistem lama yang bergantung pada satu estimasi agregat (misalnya, sensor tanam yang memperkirakan ada 20 mobil dalam antrian) akan gagal total jika satu estimasi itu salah.

Implikasi dari temuan ini sangat besar. Ini meruntuhkan hambatan biaya dan implementasi. Kota-kota tidak perlu menunggu puluhan tahun bagi produsen mobil untuk memasang sensor mahal di setiap kendaraan baru. Mereka dapat mulai menerapkan revolusi ini dengan memanfaatkan teknologi yang sudah ada di saku sebagian besar warga mereka saat ini.

 

Memecahkan Masalah 'Ayam-dan-Telur': Sistem Ini Bekerja Meski Hanya 15% Mobil yang Terhubun

Ada satu lagi hambatan praktis besar: masalah "ayam-dan-telur" dalam adopsi teknologi. Mengapa sebuah kota harus berinvestasi dalam sistem baru ini jika hanya sebagian kecil mobil yang 'terhubung'? Dan mengapa warga harus membeli teknologi 'terhubung' jika infrastruktur kota belum mendukungnya?

Kontribusi keempat (Publikasi IV) secara brilian mengatasi masalah "tingkat penetrasi rendah" (low penetration rate) ini.1

Solusinya adalah "metode estimasi kendaraan berbasis data" (data-driven vehicle estimation).1 Ini pada dasarnya adalah model machine learning (AI) yang dilatih khusus untuk satu tugas: 'menebak' jumlah kendaraan yang tidak terhubung (mobil 'bodoh') yang berada di antara dua kendaraan yang terhubung (mobil 'pintar').

Jika mobil 'pintar' A melaporkan posisinya di 100 meter sebelum lampu merah, dan mobil 'pintar' B melaporkan posisinya 30 meter di belakang A, AI dilatih untuk memperkirakan berapa banyak mobil 'bodoh' yang kemungkinan besar berada di celah 30 meter di antara mereka, berdasarkan kecepatan, waktu, dan kepadatan lalu lintas.

Temuan kuncinya sangat menjanjikan: metode AI ini terbukti "dapat memberikan estimasi jumlah kendaraan yang akurat, bahkan pada tingkat penetrasi CV yang rendah (serendah 15%)".1

Ini adalah jembatan yang menghubungkan teori akademis dengan praktik dunia nyata. Sebuah kota tidak perlu menunggu hingga tahun 2040 ketika 100% mobil di jalan adalah CV. Mereka dapat meluncurkan sistem ini sekarang. Dengan hanya 15% dari mobil yang mentransmisikan data—atau bahkan hanya data anonim dari aplikasi seperti Google Maps atau Waze yang sudah digunakan orang—model AI ini dapat 'mengisi kekosongan' data dan memperkirakan keseluruhan antrian dengan cukup akurat untuk menjalankan strategi UBSTO dan TSP yang baru.

 

Dampak Nyata: Bagaimana Lampu Merah Anda Bisa Mendorong Anda Berbagi Tumpangan

Bagian "Transferabilitas dan kepraktisan" dari disertasi ini merangkum apa arti semua ini bagi komuter harian.1 Ini adalah inti dari segalanya.

Sistem yang diusulkan ini berfungsi sebagai "insentif untuk mendorong shared mobility" (mobilitas bersama).1 Bagaimana caranya? Sederhana: karena "jumlah pengguna yang tinggi dalam satu kendaraan meningkatkan peluang kendaraan tersebut menerima prioritas" di lampu lalu lintas.1

Hasil akhirnya adalah "pengurangan keterlambatan (reduction in delay)" dan "penghematan waktu (time saving)" yang nyata dan terukur bagi siapa saja yang memilih untuk naik bus, carpool, atau layanan ride-sharing.1

Singkatnya, penelitian ini menguraikan sistem di mana:

  • Jika Anda memutuskan untuk beralih dari mengemudi sendiri ke naik bus, algoritma baru ini secara aktif bekerja untuk membuat perjalanan Anda lebih cepat.
  • Sistem ini menghargai efisiensi sosial (lebih banyak orang per kendaraan) dengan efisiensi pribadi (penghematan waktu Anda).
  • Seiring waktu, ini membuat mobilitas bersama menjadi pilihan yang lebih menarik secara rasional 1, yang berpotensi mengubah seluruh pola komuter perkotaan.

 

Kritik Realistis: Apa yang (Secara Krusial) Hilang dari Penelitian Ini?

Tentu saja, tidak ada penelitian yang sempurna. Disertasi ini jujur tentang batasannya, yang digariskan dalam "Rekomendasi untuk penelitian masa depan".1 Bagian ini juga berfungsi sebagai kritik realistis terhadap penerapan temuan ini di dunia nyata.

Kritik 1: Pengguna Jalan yang Paling Rentan Diabaikan

Batasan terbesar dari penelitian ini adalah bahwa penelitian ini belum memasukkan "pejalan kaki dan pengendara sepeda" ke dalam desain dan evaluasinya.1 Ini adalah kekurangan yang sangat besar untuk sebuah studi yang mengklaim berpusat pada "pengguna" (user-centred) dan "adil" (equitable). Pejalan kaki dan pengendara sepeda adalah pengguna jalan yang paling rentan.

Jika sistem ini diterapkan secara naif, sistem yang mengoptimalkan pergerakan pengguna di dalam kendaraan ini berpotensi memperburuk situasi bagi pejalan kaki. Bayangkan skenario di mana sistem UBSTO memutuskan untuk memberikan waktu hijau 30 detik ekstra untuk jalur yang penuh dengan bus. Waktu hijau ekstra itu harus diambil dari suatu tempat—dan kemungkinan besar dicuri dari waktu 'BERJALAN' bagi pejalan kaki di penyeberangan. Ini menciptakan eksternalitas negatif baru yang harus dipecahkan oleh penelitian selanjutnya.

Kritik 2: Efek Jaringan yang Belum Terbukti

Batasan kedua adalah skala. Penelitian ini, seperti banyak studi perintis lainnya, diuji pada "satu persimpangan atau jaringan yang lebih kecil".1 Lalu lintas kota adalah jaringan yang sangat kompleks dan saling terhubung. Mengoptimalkan satu persimpangan secara brilian dapat secara tidak sengaja menyebabkan kemacetan parah di persimpangan berikutnya (dikenal sebagai "efek limpahan" atau spillover effect 1).

Keefektifan sistem ini di seluruh jaringan kota yang kompleks—seperti Jakarta, London, atau Helsinki—masih perlu dibuktikan dalam implementasi skala besar.

 

Kesimpulan: Visi Lima Tahun untuk Kota Anda

Disertasi Roozbeh Mohammadi lebih dari sekadar penyesuaian algoritma; ini adalah cetak biru untuk mengubah infrastruktur lalu lintas kita dari sistem manajemen 'aset' (mobil) menjadi sistem manajemen 'manusia' (pengguna).

Penelitian ini secara elegan memecahkan hambatan terbesar yang selama ini menghalangi kemajuan:

  1. Hambatan Data: Membuktikan bahwa GPS ponsel yang ada saat ini sudah cukup akurat.1
  2. Hambatan Adopsi: Menunjukkan bahwa sistem dapat bekerja efektif hanya dengan 15% kendaraan yang terhubung.1
  3. Hambatan Kebijakan: Menyediakan mekanisme insentif berbasis pasar yang menghargai mobilitas bersama.1

Jika diterapkan secara bertahap, temuan ini dapat secara fundamental mengubah kalkulus komuter harian. Dalam lima tahun ke depan, kota-kota yang cukup berani untuk mengadopsi logika "berpusat pada pengguna" ini tidak hanya akan melihat pengurangan emisi dan penghematan bahan bakar yang nyata di persimpangan mereka.1 Mereka juga akan menyaksikan pergeseran perilaku yang nyata dari warganya.

Ketika bus dan carpool secara konsisten dan dapat diprediksi mengalahkan mobil berisi satu orang, warga akan merespons. Sistem lalu lintas akan berhenti menjadi sumber frustrasi kolektif dan mulai menjadi alat aktif yang mendorong kita semua menuju masa depan yang lebih efisien, lebih hemat bahan bakar, dan, yang terpenting, lebih adil.

 

Sumber Artikel:

http://urn.fi/URN:ISBN:978-952-64-0858-3

Selengkapnya
Penelitian Ini Mengungkap Mengapa Lampu Merah Anda Terasa Tidak Adil – Dan Bagaimana Ponsel Anda Dapat Memperbaikinya

Kehidupan Kota

Penelitian Ini Mengungkap Rahasia di Balik Kemacetan Kronis Palembang – dan Ini yang Harus Anda Ketahui!

Dipublikasikan oleh Hansel pada 30 Oktober 2025


Di kota-kota besar, kemacetan adalah sarapan sehari-hari. Namun, apa yang terjadi di Palembang bukanlah sekadar kemacetan biasa; ini adalah krisis infrastruktur yang sistemik. Sebuah penelitian mendalam dari Universitas Bina Darma mengungkap angka-angka yang menjelaskan mengapa jalanan kota terasa begitu penuh sesak, dan menawarkan cetak biru solusi cerdas yang mungkin menjadi satu-satunya jalan keluar.

Setiap tahun, jalanan di Palembang dijejali 20% lebih banyak kendaraan bermotor. Sebuah angka pertumbuhan ekonomi yang fantastis, namun ironisnya, lumpuh oleh fakta lain: kemampuan kota untuk menyediakan jalan baru—infrastruktur vital untuk menampung mobilitas itu—hanya tumbuh 5% per tahun.1

Ini adalah bom waktu demografis lalu lintas. Kesenjangan 15% setiap tahun ini menciptakan kondisi yang disebut oleh para peneliti, Muhammad Izman Herdiansyah dan Linda Atika, sebagai under capacity infrastructure.1 Jalanan kota secara harfiah tumbuh empat kali lebih lambat daripada jumlah kendaraan yang menggunakannya.

Ketika kesenjangan ini semakin menganga, sistem tradisional mulai rontok. Penelitian ini menyoroti bahwa salah satu akar masalahnya adalah kegagalan manajemen. Kota disebut "tidak mampu mengatur rekayasa lalu lintas secara real time" dan "belum dilakukan analisis yang komprehensif" untuk mengoptimalkan apa yang sudah ada.1

Lampu lalu lintas yang kita temui diatur oleh timer kaku, yang tidak peduli apakah satu ruas jalan sedang lowong sementara ruas lainnya sudah mengunci. Di sinilah letak kegagalan sistemis yang coba dipecahkan oleh penelitian ini.

 

Mengapa Persimpangan Charitas Menjadi 'Ground Zero' Kemacetan?

Untuk membedah masalah ini, para peneliti tidak hanya duduk di laboratorium. Mereka turun ke 'medan perang' kemacetan kota: Persimpangan Charitas Palembang. Lokasi ini dipilih sebagai objek penelitian untuk memotret realitas di lapangan.1

Tim peneliti berdiri di sana, menghitung secara manual setiap kendaraan yang lewat (metode survei Lintas Harian Rata-rata atau LHR) pada tiga waktu krusial: jam sibuk pagi (07.00-08.00), jam makan siang (12.00-13.00), dan jam sibuk sore (16.00-17.00).1

Apa yang mereka temukan? Puncak kepadatan absolut, seperti yang bisa diduga, terjadi pada jam pulang kerja. Di sore hari, 4.855 kendaraan tercatat melintasi simpang itu hanya dalam satu jam dari satu kaki persimpangan (arah Jl. Jend. Sudirman (POLDA)). Pagi hari tidak jauh berbeda, dengan 4.493 kendaraan. Arus baru terlihat sedikit melandai di siang hari, dengan 3.155 kendaraan.1

Namun, data yang jauh lebih mengejutkan adalah siapa yang ada di jalan. Ini bukanlah 'macet mobil'. Jalanan Palembang, berdasarkan temuan ini, adalah lautan sepeda motor.

Bayangkan Anda berdiri di simpang itu pada jam 7 pagi. Dari hampir 4.500 kendaraan yang melintas, 2.775 di antaranya adalah sepeda motor—itu setara dengan 61,7% dari total arus lalu lintas. Pada sore hari, dominasi roda dua ini semakin menjadi-jadi, melonjak hingga 72,4% dari total kendaraan, atau 3.519 unit.1

Sementara itu, mobil pribadi berkontribusi sekitar 30-35% dari arus. Dan angkutan umum? Nyaris tidak terlihat. Data menunjukkan angkutan umum hanya berkontribusi antara 0,8% hingga 1,3% dari total volume kendaraan.1

Dominasi absolut sepeda motor ini bukan hanya data demografis; ini adalah tantangan teknis yang fundamental. Sistem lampu lalu lintas konvensional dirancang untuk unit yang relatif seragam (mobil). Mengelola ribuan unit yang lincah, fleksibel, dan seringkali kurang terduga (sepeda motor) membutuhkan tingkat kecerdasan sistem yang jauh lebih tinggi.

 

Angka 1,29: Momen 'Eureka' yang Menjelaskan Mengapa Jalan Terasa 'Penuh Sesak'

Jika data volume kendaraan tadi adalah gejalanya, para peneliti kemudian menemukan diagnosis presisi dari penyakitnya. Mereka beralih dari sekadar menghitung jumlah, ke analisis kinerja jalan. Mereka menghitung Volume to Capacity (V/C) Ratio—sebuah rasio sederhana namun brutal antara jumlah kendaraan yang ingin lewat (Volume) dibandingkan kapasitas nyata yang bisa ditampung oleh jalan (Capacity).

Pada jam puncak pagi (07.00-08.00) di salah satu kaki persimpangan yang paling padat (Jl. Jend. Sudirman IP), hasilnya mencengangkan. Volume kendaraan yang tumpah ke jalan, setelah dikonversi ke satuan mobil penumpang (smp), setara dengan 6.648 unit mobil per jam. Masalahnya, kapasitas maksimum jalan itu didesain hanya untuk 5.132 unit mobil per jam.1

Hasil baginya adalah 1,29.

Angka 1,29 ini adalah bukti matematis mengapa jalanan terasa 'penuh sesak' dan tidak bergerak. Ini adalah momen 'eureka' yang menjelaskan keluhan kolektif warga kota.

Untuk memberi Anda gambaran yang lebih hidup: V/C ratio 1,29 ini seperti Anda mencoba menuangkan 1,3 liter air ke dalam botol berkapasitas 1 liter. Pasti akan tumpah kemana-mana. Secara teknis, ini berarti volume kendaraan pada jam sibuk telah melebihi kapasitas desain jalan sebesar 29%.

Dalam ilmu teknik sipil, kondisi ini diberi label Level of Service (LOS) E—sebuah kode yang dalam laporan ini diterjemahkan sebagai "sangat buruk".1 Ini adalah kondisi di mana lalu lintas sudah tidak stabil, macet parah, tersendat, dan antrean yang mengular panjang tanpa henti.

Ironisnya, di jam sibuk sore hari, kaki persimpangan yang sama justru menunjukkan V/C ratio 0,68, atau terisi 68% (LOS C).1 Apa artinya ini? Ini membuktikan bahwa kemacetan tidak seragam. Satu arah bisa lumpuh total (V/C 1.29) sementara arah lain di jam berbeda relatif lancar (V/C 0.68).

Inilah kegagalan fundamental dari lampu lalu lintas konvensional yang 'bodoh'. Ia memberi waktu hijau yang sama, padahal satu sisi jalan sedang 'berteriak' minta tolong karena kelebihan muatan 29%, sementara sisi lain masih punya ruang.

 

Di Balik Lampu Merah: Titik Jenuh 100% yang Mengerikan

Kengerian data tidak berhenti di situ. Jika V/C ratio 1,29 adalah masalah (input terlalu banyak), peneliti ingin tahu apakah sistem (output) bisa mengatasinya. Mereka beralih ke Teori Antrean (Queueing Theory) untuk melihat seberapa efisien lampu merah 'melayani' antrean kendaraan di kaki persimpangan lain (dari arah Jl. Veteran).

Mereka menemukan bahwa jumlah rata-rata kendaraan yang datang ($\lambda$) per siklus lampu adalah 159 unit. Sementara jumlah rata-rata kendaraan yang bisa dilayani atau keluar ($\mu$) oleh durasi lampu hijau hanya 158 unit.1

Saat 159 dibagi 158, hasilnya adalah 1,00. (Secara teknis 1,006, namun dalam analisis ini dibulatkan menjadi 1,00).1

Dalam teori antrean, angka 1,00 (atau $\rho=1.00$) adalah kode merah bencana. Ini berarti tingkat intensitas kegunaan lampu lalu lintas itu sudah 100%.

Bayangkan sebuah kasir di supermarket yang bekerja tanpa henti. Tidak pernah berhenti sedetik pun untuk istirahat atau minum. Namun, jumlah pelanggan yang datang ke antreannya selalu lebih banyak daripada yang bisa ia layani. Apa yang terjadi? Antrean di depannya akan terus bertambah panjang, selamanya, hingga sistem itu kolaps.

Itulah yang terjadi di Simpang Charitas. Peneliti menyimpulkan kondisi $\rho=1.00$ ini sebagai "sangat sibuk" dan "tidak memberikan waktu idle time (waktu istirahat)".1 Sisa antrean kendaraan (12 kendaraan dalam 19 siklus pengamatan) terus terakumulasi, siklus demi siklus, menciptakan kemacetan yang tak terurai.

 

Jika Manusia Kewalahan, Bisakah 'Otak Buatan' Mengambil Alih?

Menghadapi V/C ratio 1,29 dan tingkat kejenuhan 100%, solusi tradisional tidak lagi mempan. Melebarkan jalan (yang hanya tumbuh 5% setahun) adalah solusi jangka panjang yang mustahil mengejar ketertinggalan. Mengubah timer lampu (yang sudah 100% sibuk) juga percuma.

Para peneliti mengajukan solusi yang pada tahun 2016 tergolong radikal: Pendekatan Sistem Pakar.

Apa itu Sistem Pakar? Sederhananya, ini adalah cabang dari Kecerdasan Buatan (AI). Tujuannya, menurut penelitian ini, adalah untuk "merekam dan menduplikasi kemampuan pakar" atau "menyamai atau meniru kemampuan seorang pakar".1

Idenya adalah mengganti timer kaku lampu merah dengan otak buatan. Otak ini akan berpikir seperti gabungan petugas Dishub dan Polisi Lantas paling berpengalaman. Sistem ini akan melihat kepadatan di semua arah secara real-time dan membuat keputusan sepersekian detik.

"Oke," kata sistem itu, "Arah A dari Jl. Sudirman IP sedang kolaps (V/C 1.29), kita harus segera memberinya waktu hijau 20 detik lebih lama. Sementara arah B dari Jl. Veteran (V/C 0.68) masih aman, mereka bisa menunggu 10 detik lebih lama."

Untuk membangun otak buatan ini, para peneliti menggunakan metode Prototyping. Ini adalah proses pengembangan perangkat lunak yang iteratif, di mana mereka membangun model sederhana, menunjukkannya kepada pengguna (dalam hal ini, para pakar lalu lintas), mendapatkan masukan, merevisi model, dan begitu seterusnya hingga sistem itu benar-benar 'berpikir' seperti pakar.1

 

Membedah Pikiran Pakar: 12 'Rahasia' Pengaturan Lalu Lintas Terungkap

Untuk membuat 'otak buatan' ini cerdas, peneliti tidak bisa hanya mengandalkan teori buku teks. Mereka harus 'mengisi' otak itu dengan kearifan dan pengalaman lapangan.

Untuk itu, mereka duduk bersama dengan para pakar di dunia nyata: pejabat dari Dinas Perhubungan dan Kominfo (Dishubkominfo) Sumatera Selatan dan Kepolisian Kota Besar (Poltabes) Palembang.1

Melalui Focus Group Discussion (FGD), mereka berhasil mengekstrak 12 'aturan main' atau logika penting yang selama ini ada di kepala para pakar tersebut. Logika inilah yang kemudian ditanamkan ke dalam Sistem Pakar. Berikut adalah 12 masukan penting tersebut 1:

  • Untuk meningkatkan kualitas pengendalian lalu lintas, telah diinisiasi untuk membangun pusat pengendali lalu lintas atau ATCS (Area Traffic Control System).
  • Masalah kemacetan lalu lintas berkaitan erat dengan budaya masyarakat dan penegakan hukum.
  • Tata letak APILL (Alat Pemberi Isyarat Lalu Lintas) sangat berpengaruh dalam pengaturan kondisi jalan.
  • Apabila terjadi kemacetan, harus dapat dikendalikan dari ruang kontrol (control room) ATCS.
  • Angkutan massal harus terus dikembangkan (menyinggung rendahnya pengguna angkutan umum).
  • Sistem hukum yang tidak bergerak (seperti APILL dan Rambu) sangat penting dalam pengendalian kemacetan.
  • Didalam UU lalu lintas Bab 16 telah disebutkan perlunya penggunaan sistem informasi dan komunikasi.
  • Sistem informasi online dan cerdas sangat dibutuhkan.
  • Perlunya edukasi lalu lintas dari usia dini.
  • Perlu ditekankan penerapan aturan dan sistem dengan fokus utama pengendalian riil time untuk mengatur arus lalu lintas dan alternatif arus.
  • Pengaturan kemacetan harus memperhatikan Pasal 103 UU lalu lintas (tentang keselamatan).
  • Faktor kemacetan juga disebabkan kurangnya jalan alternatif di tengah kota dan terpusatnya pusat ekonomi.

Jika kita analisis 12 poin ini, ada benang merah yang sangat jelas. Poin 1 (rencana ATCS), Poin 4 (butuh control room), Poin 8 (butuh sistem cerdas), dan Poin 10 (fokus pada real-time) adalah pengakuan kolektif dari para pakar di lapangan: "Kami butuh bantuan teknologi. Kami butuh sistem yang cerdas dan responsif."

Penelitian ini pada dasarnya sedang membangun prototipe otak (Sistem Pakar) untuk tubuh (infrastruktur ATCS) yang sudah direncanakan oleh pemerintah kota. Ini membuat temuan penelitian menjadi sangat relevan dan dapat ditindaklanjuti, bukan sekadar teori akademis.

 

Kritik Realistis: Apakah Ini Solusi Ajaib untuk Palembang?

Namun, apakah sistem pakar secanggih apa pun adalah peluru perak yang akan menyelesaikan semua masalah? Tentu tidak.

Para pakar dari Dishub dan Poltabes sendiri, dalam poin 2 FGD, secara jujur mengakui bahwa masalah kemacetan juga berkaitan erat dengan "budaya masyarakat dan penegakan hukum".1 Sebuah sistem AI yang cerdas di ruang kontrol tidak dapat menghentikan pengendara sepeda motor (yang mendominasi 72% jalan) untuk menerobos lampu merah, atau angkutan umum yang berhenti sembarangan di tengah persimpangan.

Keterbatasan studi ini juga harus diakui: penelitian difokuskan hanya pada satu persimpangan, Simpang Charitas.1 Menerapkan model ini ke seluruh jaringan kota yang kompleks, di mana satu simpang akan mempengaruhi delapan simpang lainnya dalam satu koridor, adalah tantangan teknis yang jauh lebih besar.

Perlu juga dicatat bahwa penelitian ini dipublikasikan pada tahun 2016.1 Ini adalah sebuah prototype brilian yang membuktikan sebuah konsep. Namun, jalan dari prototype di laboratorium menuju implementasi penuh di control room ATCS yang berfungsi penuh seringkali panjang, membutuhkan kemauan politik yang kuat dan investasi infrastruktur sensor jalan real-time yang masif.

 

Dampak Nyata: Cetak Biru Menuju Kota Cerdas

Meskipun demikian, prototype ini berhasil. Para peneliti melaporkan dalam kesimpulannya bahwa sistem yang mereka rancang "telah mampu menghasilkan perhitungan keputusan terhadap pengoperasional lampu lalu lintas" yang berbeda untuk kepadatan pagi, siang, dan sore.1 Ini membuktikan bahwa konsep lampu lalu lintas cerdas ini valid dan berfungsi.

Kesimpulan peneliti jelas: model optimasi jaringan ini terbukti "dapat menggambarkan profil masalah kemacetan lalu lintas perkotaan dengan lebih baik dan dapat digunakan sebagai dasar penyelesaian masalah dan pengambilan keputusan" oleh pemerintah, baik dari aspek operasional (pengaturan harian) maupun strategis (perencanaan jangka panjang).1

Jika model sistem pakar ini—yang kini logikanya telah terbukti—diterapkan secara penuh ke dalam control room ATCS Palembang, dampaknya akan transformatif. Ini bukan lagi soal mengurangi antrean 1-2 menit di Simpang Charitas.

Ini adalah cetak biru untuk mengubah seluruh filosofi manajemen lalu lintas kota: dari sistem abad ke-20 yang reaktif (mengandalkan timer kaku) menjadi sistem abad ke-21 yang prediktif dan real-time (meniru keputusan pakar).

Dalam lima tahun ke depan, penerapan sistem cerdas ini dapat secara signifikan mengurangi waktu tempuh, menurunkan kerugian ekonomi akibat jutaan liter bahan bakar yang terbuang percuma di antrean, dan menjadi langkah monumental pertama Palembang untuk bertransformasi menuju smart city seutuhnya.

Selengkapnya
Penelitian Ini Mengungkap Rahasia di Balik Kemacetan Kronis Palembang – dan Ini yang Harus Anda Ketahui!

Kehidupan Kota

Peta Polusi yang Salah: Mengapa Model Statis Gagal Total?

Dipublikasikan oleh Hansel pada 30 Oktober 2025


Bagian pertama dari teka-teki yang dibongkar oleh penelitian ini adalah kegagalan model emisi skala kota.1 Ketika sebuah kota ingin tahu di mana titik-titik polusi terpanasnya, mereka biasanya menggunakan apa yang disebut kerangka kerja Static Traffic Assignment (STA) atau pemodelan lalu lintas statis.1

Model STA memiliki kelemahan yang fatal: model ini mengasumsikan lalu lintas bersifat "instan" dan tidak memahami fisika dasar dari antrean kemacetan.

Bayangkan sebuah jembatan yang menjadi biang kemacetan. Model statis melihat bahwa kapasitas jembatan terlampaui dan, akibatnya, menempatkan semua polusi tambahan akibat kemacetan itu tepat di lokasi jembatan. Peta emisi kota kemudian menunjukkan jembatan tersebut sebagai zona merah pekat.

Namun, kenyataan di lapangan sangat berbeda. Kemacetan tidak hanya terjadi di jembatan. Kemacetan menciptakan "perambatan antrean" (queue propagation)—antrean panjang kendaraan yang mengular ke belakang, mungkin bermil-mil jauhnya, hingga ke jalan-jalan arteri dan lingkungan perumahan.1 Kendaraan-kendaraan dalam antrean itu bergerak stop-and-go, mengerem, diam, lalu berakselerasi—sebuah siklus yang menghasilkan emisi jauh lebih tinggi daripada lalu lintas yang lancar.

Penelitian dalam Paper I dan II dari disertasi ini mengusulkan solusi: sebuah "model kuasi-dinamis".1 Model ini adalah jalan tengah yang cerdas—tidak serumit simulasi dinamis penuh, tetapi cukup canggih untuk memahami dan memetakan antrean kemacetan.

Untuk mengujinya, pendekatan baru ini diterapkan dalam dua studi kasus dunia nyata: pertama di bentangan jalan raya sepanjang 19 km di Stockholm, dan kedua di seluruh jaringan perkotaan Norrköping, Swedia.1

Hasilnya sangat mengejutkan. Model kuasi-dinamis terbukti secara signifikan "meningkatkan distribusi spatiotemporal" dari emisi.1 Di Norrköping, model ini menghasilkan "tata letak spasial emisi yang realistis," yang menunjukkan bahwa model statis lama telah salah menempatkan polusi selama ini.1 Polusi yang sebenarnya jauh lebih tinggi terdeteksi di pusat kota dan jalan lingkar—tepat di mana antrean panjang terbentuk, bukan hanya di sumber kemacetan itu sendiri.1

Implikasinya sangat besar. Jika perencana kota mengandalkan peta emisi yang salah dari model statis, mereka akan menghabiskan jutaan dolar untuk membangun penghalang kebisingan, memasang filter udara, atau melarang kendaraan di lokasi yang salah. Pendekatan kuasi-dinamis ini akhirnya memberi mereka peta yang benar.

 

Membaca Pikiran Jaringan: Bagaimana Data GPS Mengungkap Pola Perjalanan

Setelah memperbaiki peta polusi, tantangan berikutnya jauh lebih dalam: memahami penyebab kemacetan itu sendiri. Untuk melakukan ini, perencana perlu mengetahui permintaan lalu lintas—dari mana orang memulai perjalanan mereka (Origin) dan ke mana mereka pergi (Destination). Ini dikenal sebagai Matriks Origin-Destination (OD).

Secara historis, mendapatkan Matriks OD adalah mimpi buruk. Model lalu lintas konvensional terjebak dalam masalah "ayam-dan-telur" yang klasik, sebuah masalah ketergantungan (interdependency) yang kompleks.1

  • Untuk memprediksi kemacetan (waktu tempuh pada rute), Anda perlu tahu permintaan (berapa banyak orang yang ingin menggunakan rute itu).
  • Tetapi, untuk memprediksi permintaan (pilihan rute orang), Anda perlu tahu kemacetan (waktu tempuh pada rute yang bersaing).

Ini memaksa perencana masuk ke dalam "proses iteratif yang mahal secara komputasi".1 Mereka harus menebak permintaan, menjalankan simulasi untuk melihat kemacetan yang dihasilkan, membandingkan hasilnya dengan data di lapangan, menyesuaikan tebakan mereka, dan mengulangi proses itu lagi dan lagi. Proses ini tidak hanya lambat tetapi juga seringkali tidak akurat, terutama karena data lapangan (CSD) yang mereka gunakan sangat terbatas.

Di sinilah letak terobosan kedua dari disertasi ini, yang dijelaskan dalam Paper III dan Paper IV.1 Penelitian ini mengajukan pertanyaan radikal: Mengapa kita harus menebak kemacetan jika kita bisa mengamatinya secara langsung?

Paper III memperkenalkan konsep Data-Driven Network Loading (DDNL).1 Alih-alih menghitung kemacetan secara internal (endogen), DDNL menggunakan "observasi waktu tempuh" (travel-time observations) dari FCD/GPS sebagai data eksogen (data dari luar).1 Pada dasarnya, model ini melewati (bypass) seluruh proses tebak-menebak kemacetan.1 Fisika perambatan aliran (flow propagation) dalam model kini dipaksa untuk sesuai dengan realitas waktu tempuh yang diamati di jalan.1

Setelah DDNL berhasil memodelkan fisika jaringan secara akurat (berkat data GPS), Paper IV menggunakan alat canggih ini untuk memecahkan masalah yang lebih besar: estimasi Matriks OD.1

Persamaannya kini dibalik. Model tidak lagi bertanya, "Jika permintaan X, kemacetannya apa?" Sebaliknya, model bertanya, "Mengingat kita tahu kemacetan (waktu tempuh) dari data GPS adalah Y, berapakah permintaan X yang paling mungkin menyebabkan skenario ini?"

Ini adalah rekayasa-balik (reverse engineering) pola perjalanan. Hasil eksperimen berbasis simulasi menunjukkan bahwa pendekatan baru ini dapat "menghasilkan estimasi yang lebih akurat" dibandingkan dengan metode berbasis data lainnya.1

Dampaknya adalah pergeseran dari perencanaan berbasis survei ke pemantauan berbasis data. Kota tidak lagi harus bergantung pada survei rumah tangga yang mahal dan usang (seringkali 5-10 tahun) untuk menebak ke mana warganya bepergian. Dengan pendekatan DDNL/OD ini, mereka berpotensi memperbarui pemahaman mereka tentang pola mobilitas kota hampir secara real-time, hanya dengan menganalisis data GPS anonim yang sudah tersedia.

 

Zoom-In ke Knalpot: Rahasia di Balik 'Trajektori Kendaraan Virtual'

Metodologi sejauh ini telah memperbaiki estimasi di level kota (Makro) dan level jaringan (Meso). Namun, ada satu lapisan detail terakhir yang hilang: level Mikro, yaitu perilaku kendaraan individu.

Model emisi yang paling canggih, seperti model mikroskopis (misalnya PHEM), "sensitif terhadap dinamika kendaraan".1 Model-model ini tidak peduli dengan kecepatan rata-rata kendaraan di sebuah ruas jalan. Mereka perlu tahu kinematika spesifiknya: Kapan tepatnya kendaraan itu berakselerasi? Kapan ia mengerem? Berapa lama ia diam (idle)?.1

Di sinilah kita dapat menggunakan analogi yang jelas. Menggunakan kecepatan rata-rata untuk memprediksi emisi adalah seperti mencoba menebak tagihan listrik Anda dengan memberi tahu perusahaan listrik bahwa Anda "menggunakan listrik rata-rata 8 jam sehari". Informasi itu hampir tidak berguna.

Menggunakan kinematika adalah seperti memiliki data smart meter detik demi detik. Data itu tahu persis kapan Anda menyalakan lima pendingin udara dan oven secara bersamaan (akselerasi penuh setelah lampu hijau) dan kapan Anda hanya menyalakan satu lampu (melaju konstan di jalan tol). Lonjakan konsumsi energi (dan emisi polutan) dalam skenario akselerasi penuh jauh lebih besar.

Masalahnya, tidak ada sumber data tunggal yang memberi kita data kinematika beresolusi tinggi ini. Data FCD (GPS) terlalu "jarang"—mungkin hanya melaporkan lokasi setiap 30 detik, melewatkan semua akselerasi dan pengereman kecil di antaranya. Data CSD hanya memberi tahu kecepatan di satu titik.

Solusi yang diajukan dalam Paper V adalah yang paling inovatif: menciptakan data yang hilang tersebut.1

Paper V mengusulkan metode baru untuk "menghasilkan Virtual Vehicle Trajectories (VVT)" dengan "menggabungkan data dari berbagai sumber" (fusing data from different sources).1 VVT pada dasarnya adalah "kembaran digital" (digital twin) dari kendaraan nyata. Ini adalah produk data sintetis yang dibuat dengan cerdas.

Metode ini mengambil data FCD yang jarang (untuk mengetahui titik awal dan akhir perjalanan) dan data CSD (untuk mengetahui kondisi aliran rata-rata di antaranya), dan menggunakan teori aliran lalu lintas serta interpolasi canggih untuk mengisi kekosongan. Ia menghasilkan lintasan detik demi detik yang realistis secara fisik untuk kendaraan "virtual", lengkap dengan semua data akselerasi, pengereman, dan idling yang dibutuhkan oleh model emisi mikroskopis.1

Eksperimen membuktikan bahwa "pemodelan kinematika kendaraan yang canggih ini dapat meningkatkan akurasi emisi yang diestimasi".1 Ini adalah bagian terakhir dari toolkit ini. Ini adalah jembatan vital yang menghubungkan data besar skala jaringan (Makro/Meso) langsung ke fisika mesin individu (Mikro).

 

Apakah Ini Solusi Ajaib? Kritik Realistis dan Dampak Nyata

Pendekatan data-driven yang diuraikan dalam disertasi ini 1 sangat kuat, tetapi ini bukanlah solusi ajaib. Seperti yang diakui oleh penelitian itu sendiri di bagian "Delimitasi" (Keterbatasan), ada pertukaran yang signifikan.1

Pertama, seluruh kerangka kerja ini menciptakan ketergantungan baru: ia membutuhkan bahan bakar data berkualitas tinggi. Pendekatan ini ibarat mesin presisi yang membutuhkan bahan bakar jet. Jika data FCD (GPS/seluler) yang dimasukkan berkualitas buruk, tidak lengkap, atau bias (misalnya, jika data hanya melacak armada taksi dan truk pengiriman, bukan populasi umum), maka prinsip "Garbage In, Garbage Out" berlaku. Estimasi Matriks OD dan peta emisi yang dihasilkan juga akan bias.1

Kedua, validasi penelitian ini, meskipun kuat, terbatas secara geografis pada jaringan jalan di Swedia (Stockholm dan Norrköping).1 Apakah metodologi ini akan bekerja sama baiknya di kota-kota dengan perilaku mengemudi yang sangat berbeda, infrastruktur jalan yang unik, atau ketersediaan data yang berbeda, masih menjadi pertanyaan terbuka.

Meskipun demikian, dampak nyata dari toolkit metodologis ini tidak dapat diremehkan. Penelitian ini menggeser paradigma dari manajemen lalu lintas yang reaktif menjadi manajemen mobilitas yang proaktif.

Selama ini, pembuat kebijakan terjebak dalam siklus reaktif: melihat kemacetan, mengukur polusi rata-rata (seringkali dengan peta yang salah), lalu membangun infrastruktur baru (yang seringkali hanya memindahkan kemacetan ke tempat lain).

Disertasi ini 1 menyediakan pipeline data yang proaktif:

  1. Paper IV memungkinkan perencana untuk mengidentifikasi pola permintaan (OD) yang menyebabkan masalah sebelum kemacetan parah terjadi.
  2. Paper I & II memungkinkan mereka memetakan secara akurat di mana polusi dari antrean tersebut akan menyebar (distribusi spatiotemporal).
  3. Paper V memungkinkan mereka memperkirakan secara presisi jenis polutan apa (misalnya, $NO_x$ dari akselerasi diesel vs. CO dari idling) yang akan dihasilkan oleh perilaku stop-and-go (kinematika) spesifik dalam antrean tersebut.

Jika diterapkan, temuan ini memberi pembuat kebijakan kemampuan untuk melakukan "operasi bedah" pada kemacetan.

Dalam lima tahun, alih-alih hanya membangun ventilasi yang mahal di terowongan atau pelebaran jalan yang reaktif, kota dapat menggunakan data ini untuk menerapkan "Zona Emisi Rendah yang Dinamis" yang menyala secara otomatis hanya ketika VVT (Paper V) mendeteksi pola mengemudi berakselerasi tinggi yang berbahaya. Mereka dapat menawarkan insentif real-time kepada pengemudi untuk mengubah rute permintaan OD (Paper IV) sebelum antrean polusi yang diprediksi (Paper I/II) terbentuk.

Ini adalah langkah fundamental dari sekadar mengelola infrastruktur beton ke mengelola mobilitas itu sendiri.

 

Kesimpulan: Mengubah Data Mentah Menjadi Udara Bersih

Disertasi oleh Nikolaos Tsanakas 1 bukan hanya satu studi akademis; ini adalah peta jalan metodologis yang lengkap. Ini memberi para perencana kota, ilmuwan lingkungan, dan pembuat kebijakan perangkat yang mereka butuhkan—dari level makro, meso, hingga mikro—untuk akhirnya memanfaatkan banjir data GPS dan seluler yang telah lama kita miliki.1

Penelitian ini menunjukkan cara mengubah titik-titik mentah di peta menjadi pemahaman mendalam tentang perilaku manusia, dan pada akhirnya, menjadi kebijakan udara bersih yang dapat ditindaklanjuti dan menyelamatkan nyawa.1

 

Sumber Artikel:

Data-Driven Approaches for Traffic State and Emission Estimation - ResearchGate, https://www.researchgate.net/publication/352488909_Data-Driven_Approaches_for_Traffic_State_and_Emission_Estimation

Selengkapnya
Peta Polusi yang Salah: Mengapa Model Statis Gagal Total?
page 1 of 2 Next Last »