Kegagalan Bangunan
Dipublikasikan oleh Wafa Nailul Izza pada 31 Mei 2025
Mengapa Sengketa Akibat Kegagalan Bangunan Jadi Isu Mendesak?
Industri konstruksi adalah tulang punggung pembangunan infrastruktur di Indonesia, namun di balik kemegahan gedung dan jembatan, ada potensi kerentanan hukum yang sering luput diperhatikan: kegagalan bangunan. Tesis Mochamad Yusuf dari Universitas Islam Indonesia menyajikan analisis komprehensif mengenai bagaimana kegagalan bangunan, sebagai bentuk wanprestasi atau kelalaian teknis, dapat memicu konflik hukum antara pengguna dan penyedia jasa.
Dalam konteks hukum, kegagalan bangunan tidak sekadar berarti kerusakan fisik, tetapi mengacu pada situasi ketika bangunan yang telah diserahterimakan tidak berfungsi sebagaimana mestinya, baik sebagian maupun keseluruhan. Ketentuan ini tercantum secara eksplisit dalam Pasal 1 Undang-Undang Nomor 18 Tahun 1999 tentang Jasa Konstruksi.
Latar Belakang dan Tujuan Penelitian
Penelitian ini bertujuan mengkaji dua aspek utama: mengapa kegagalan bangunan terjadi dalam pelaksanaan kontrak kerja konstruksi, dan bagaimana mekanisme penyelesaian sengketa dapat ditempuh secara hukum. Yusuf menggunakan pendekatan normatif-doktrinal dengan menganalisis peraturan perundang-undangan, putusan pengadilan, serta studi lapangan dari kasus-kasus nyata.
Studi Kasus: Robohnya Turap Parit Indah, Pekanbaru
Salah satu contoh nyata kegagalan bangunan yang dibahas dalam tesis ini adalah kasus robohnya turap sepanjang 120 meter di Parit Indah, Pekanbaru. Bangunan tersebut bahkan mengalami kegagalan dua kali. Penyelidikan menunjukkan bahwa penyebab utamanya adalah kecerobohan kontraktor dan lemahnya pengawasan dari instansi teknis pemerintah. Analisis teknis juga menemukan ketidaksesuaian dimensi dinding turap terhadap tekanan lateral tanah dan beban kendaraan.
Kasus ini memperlihatkan ketidaktegasan dalam manajemen risiko, mulai dari tahap perencanaan hingga pengawasan, dan menjadi potret buruk profesionalisme dalam konstruksi daerah.
Apa Itu Kegagalan Bangunan Secara Yuridis?
Undang-Undang Jasa Konstruksi menyatakan bahwa kegagalan bangunan terjadi bila bangunan yang telah diserahterimakan:
Sementara itu, KUH Perdata menempatkan kegagalan ini sebagai bagian dari wanprestasi, yaitu tidak terpenuhinya kewajiban kontraktual oleh salah satu pihak.
Faktor Penyebab Kegagalan Bangunan
Yusuf membagi penyebab utama kegagalan bangunan ke dalam aspek hukum dan teknis, antara lain:
Tanggung Jawab Hukum Pihak Terkait
Dalam kontrak konstruksi, terdapat prinsip timbal balik yang menempatkan penyedia dan pengguna jasa pada posisi setara namun berbeda tanggung jawab. Yusuf menegaskan pentingnya prinsip kehati-hatian dan uji tuntas (due diligence) dalam pelaksanaan konstruksi. Setiap pihak yang lalai dapat dimintai pertanggungjawaban berdasarkan hukum perdata, bahkan hingga pidana bila terbukti menimbulkan kerugian besar atau korban jiwa.
Dalam hal terjadi kegagalan bangunan, pihak yang paling memungkinkan digugat adalah kontraktor pelaksana dan konsultan perencana atau pengawas, tergantung posisi dan bobot kesalahannya.
Jaminan Hukum dalam Kontrak Konstruksi
Untuk meminimalkan risiko, kontrak konstruksi umumnya memuat beberapa bentuk jaminan hukum seperti:
Namun, dalam praktiknya, penegakan atas jaminan-jaminan ini sering menemui kendala administratif, kurangnya pemahaman hukum, atau celah dalam kontrak standar.
Penyelesaian Sengketa: Litigasi atau Non-Litigasi?
Yusuf memetakan jalur penyelesaian sengketa ke dalam dua jalur utama:
Non-Litigasi, melalui mediasi, arbitrase, atau negosiasi bilateral. Jalur ini lebih cepat dan efisien secara biaya, serta sesuai dengan semangat Pasal 88 UU Jasa Konstruksi.
Litigasi, yaitu melalui pengadilan umum. Biasanya dipilih jika tidak tercapai kesepakatan damai atau bila terjadi kegagalan besar yang melibatkan unsur pidana atau pengadaan publik.
Kritik dan Evaluasi: Dimana Letak Titik Lemahnya?
Yusuf menyentil bahwa banyak pihak di sektor konstruksi, baik pemerintah maupun swasta, belum memiliki kesadaran penuh akan pentingnya dokumentasi kontrak dan sistem pengawasan yang profesional. Beberapa poin penting:
Lemahnya implementasi hukum kontrak: Perjanjian konstruksi sering kali disusun tanpa mencantumkan sanksi rinci atas kegagalan bangunan.
Tidak optimalnya fungsi LPJK (Lembaga Pengembangan Jasa Konstruksi) sebagai pengawas dan sertifikasi tenaga ahli.
Korupsi struktural dalam pengadaan proyek, seperti indikasi “jual beli pengawasan” atau penerimaan uang pelicin dari kontraktor kepada pengawas lapangan.
Tren Global: Pembelajaran dari Negara Lain
Negara-negara dengan sistem konstruksi maju seperti Jepang dan Australia telah menerapkan sistem professional indemnity insurance sebagai bagian dari kontrak konstruksi. Di Indonesia, wacana ini masih terbatas pada diskusi akademik. Yusuf mengusulkan agar skema asuransi profesi menjadi bagian wajib dalam setiap proyek berskala menengah ke atas.
Saran Solutif dari Penulis
Tesis ini menutup dengan beberapa usulan konkret:
1. Penerapan sistem sertifikasi dan audit kontraktor secara periodik oleh asosiasi profesi.
2. Penguatan legal drafting kontrak kerja konstruksi agar memuat mekanisme penyelesaian sengketa secara eksplisit.
3. Peningkatan kompetensi pengawas proyek dan konsultan pengawas melalui pelatihan dan sistem lisensi.
4. Reformasi dalam sistem tender pemerintah agar tidak hanya mempertimbangkan harga terendah, tetapi juga rekam jejak dan kapasitas teknis penyedia jasa.
Kesimpulan: Menuju Konstruksi yang Bertanggung Jawab
Kegagalan bangunan bukanlah semata-mata kesalahan teknis, tetapi juga refleksi dari lemahnya penegakan hukum kontraktual, buruknya sistem pengawasan, dan budaya kerja yang jauh dari prinsip profesionalisme. Penyelesaian sengketa akibat kegagalan bangunan harus dipandang bukan sebagai jalan buntu, melainkan sebagai upaya korektif dalam meningkatkan kualitas dan akuntabilitas sektor konstruksi nasional.
Tesis Mochamad Yusuf mempertegas bahwa dalam dunia konstruksi, kontrak bukan hanya sekadar formalitas administratif, tetapi dokumen hidup yang menentukan batas tanggung jawab, jaminan kualitas, dan hak-hak pengguna maupun penyedia jasa.
Sumber:
Yusuf, M. (2008). Penyelesaian Sengketa Akibat Kegagalan Bangunan dalam Perjanjian Kerja Konstruksi. Tesis, Program Pascasarjana Fakultas Hukum, Universitas Islam Indonesia, Yogyakarta.
Kegagalan Bangunan
Dipublikasikan oleh Wafa Nailul Izza pada 31 Mei 2025
Mengapa Perlindungan Hukum dalam Konstruksi Masih Dipertanyakan?
Industri jasa konstruksi di Indonesia memainkan peran strategis dalam mendorong pertumbuhan ekonomi nasional. Namun, di balik pesatnya pembangunan fisik, tersimpan satu persoalan krusial yang terus menghantui: siapa yang bertanggung jawab jika terjadi kegagalan konstruksi atau bangunan?
Studi ini menyoroti ketimpangan dalam sistem hukum Indonesia yang masih cenderung meletakkan beban tanggung jawab sepenuhnya di pundak penyedia jasa konstruksi, bahkan ketika belum jelas siapa pihak yang sebenarnya bersalah. Di sinilah letak pentingnya penelitian ini: membedah ketidakjelasan regulasi dan mencari titik temu antara tanggung jawab, keadilan, dan perlindungan hukum yang adil.
Perbedaan Antara Kegagalan Konstruksi dan Kegagalan Bangunan: Sebuah Titik Buta Regulasi
Hingga saat ini, terdapat kebingungan mendasar dalam hukum Indonesia mengenai dua istilah penting: building failure dan construction failure. Undang-Undang No. 2 Tahun 2017 tentang Jasa Konstruksi (UUJK) hanya secara eksplisit mengatur kegagalan bangunan, yaitu kondisi di mana bangunan runtuh atau gagal berfungsi akibat kelalaian penyedia jasa, terutama setelah proses serah terima akhir.
Sementara itu, kegagalan konstruksi—yakni hasil pekerjaan yang tidak sesuai dengan spesifikasi kontrak (baik sebagian atau keseluruhan)—justru tidak diatur secara eksplisit dalam UUJK maupun dalam Peraturan Pemerintah (PP) No. 22 Tahun 2020 yang merupakan turunan dari UUJK. Hal ini menciptakan celah hukum yang membingungkan, terutama ketika tanggung jawab hukum langsung dibebankan pada penyedia jasa, tanpa mempertimbangkan apakah pengguna jasa atau faktor eksternal turut berperan.
Data dan Fakta: Konstruksi yang Gagal Tak Sekadar Kesalahan Teknis
Menurut laporan BPK, dari total dana APBN sebesar Rp88,58 triliun untuk lima program prioritas nasional dari 2015 hingga 2018, sebanyak Rp79,64 triliun telah direalisasikan. Namun, terjadi berbagai ketidaksesuaian yang menyebabkan kegagalan pembangunan fisik, termasuk pada proyek infrastruktur yang dikerjakan oleh BUMN. Dari sisi teknis, sekitar 20–40% kegagalan konstruksi terjadi pada tahap pelaksanaan proyek. Bahkan 54% di antaranya disebabkan oleh tenaga kerja yang tidak terampil dan 12% karena mutu material yang buruk.
Secara umum, kualitas pengawasan selama proyek berjalan dinilai lemah. Dalam beberapa kasus, kegagalan baru terdeteksi saat masa pemeliharaan atau bahkan setelah bangunan digunakan. Akibatnya, biaya tambahan untuk perbaikan dapat mencapai 6–12% dari nilai kontrak, belum termasuk biaya pemeliharaan sebesar 5% lagi.
Asuransi dan Jaminan Hukum: Apa Saja yang Sudah Diatur?
Dalam kontrak kerja konstruksi, terdapat sejumlah bentuk jaminan hukum dan proteksi yang diatur, di antaranya:
Asuransi atas Kegagalan Konstruksi dan Bangunan: termasuk klaim pihak ketiga dan kecelakaan kerja.
Namun, dalam praktiknya, efektivitas jaminan ini sangat bergantung pada ketepatan penyusunan kontrak dan pelaksanaannya. UUJK juga mengatur bahwa jika penyedia jasa gagal memenuhi kewajibannya, maka pengguna jasa berhak mencairkan jaminan tersebut. Tapi sekali lagi, beban pembuktian nyaris selalu diletakkan pada penyedia jasa, tanpa adanya mekanisme objektif untuk menilai terlebih dahulu siapa yang salah.
Peran Penting Ahli Penilai Bangunan (Expert Appraiser)
Artikel ini menekankan pentingnya keterlibatan ahli penilai bersertifikat dalam menentukan apakah suatu bangunan mengalami kegagalan dan siapa yang harus bertanggung jawab. Berdasarkan Pasal 60 UUJK, sebelum masuk ke ranah pidana atau perdata, harus ada penilaian dari ahli yang ditunjuk oleh Menteri. Penilaian ini menjadi dasar kuat untuk proses hukum lanjutan.
Ahli yang dimaksud harus independen, kompeten, dan memiliki sertifikasi resmi. Dalam praktiknya, ahli diberi waktu maksimal 90 hari untuk memberikan laporan penilaian setelah menerima laporan kejadian. Namun, sayangnya, belum semua wilayah memiliki akses ke ahli bersertifikat, sehingga banyak kasus mandek atau dinilai secara sepihak oleh pengguna jasa.
Perlindungan Hukum: Antara Preventif dan Represif
Perlindungan hukum terhadap pelaku usaha seharusnya terdiri dari dua aspek:
Sayangnya, artikel ini menunjukkan bahwa mekanisme preventif dalam praktik belum berjalan optimal. Banyak kontrak konstruksi hanya mencantumkan penyelesaian melalui litigasi tanpa tahapan alternatif seperti mediasi atau arbitrase. Padahal UUJK telah mewajibkan klausul sengketa dalam kontrak mencakup semua kemungkinan jalur penyelesaian.
Kasus Nyata: Putusan PN Malang dan Mahkamah Agung
Penulis artikel juga menyoroti kasus dalam putusan PN Malang No. 92/Pdt.G/2015/PN.MLG yang diperkuat dengan putusan MA No. 2667K/Pdt/2017. Dalam perkara ini, Majelis Hakim menggunakan dasar PP No. 29 Tahun 2000 yang sebenarnya telah dicabut dan digantikan dengan PP No. 22 Tahun 2020. Ini menunjukkan lemahnya pemahaman atau pembaruan hukum dalam praktik peradilan, yang dapat berdampak serius pada hasil putusan dan rasa keadilan.
Kritik Terhadap UUJK: Mengapa Belum Adil bagi Pelaku Usaha?
Penelitian ini menyimpulkan bahwa UU No. 2 Tahun 2017 cenderung timpang. Berikut catatan kritisnya:
Rekomendasi: Mewujudkan Keadilan Substantif dalam Industri Konstruksi
1. Revisi UUJK dan PP No. 22 Tahun 2020
Diperlukan penambahan pasal yang mengatur kegagalan konstruksi secara eksplisit, termasuk mekanisme pembuktian dan sanksi bagi pengguna jasa.
2. Wajibkan Sertifikasi Ahli Penilai pada Proyek Publik
Dalam setiap proyek pemerintah, harus ada ahli yang ditunjuk sejak awal untuk mendampingi proses pelaksanaan dan menilai bila ada kegagalan.
3. Tingkatkan Edukasi Hukum bagi Pihak Kontraktor
Banyak penyedia jasa yang belum memahami hak-haknya dalam kontrak. Edukasi tentang legal drafting dan klausul sengketa sangat dibutuhkan.
4. Gunakan Model Kontrak FIDIC atau NEC
Kontrak internasional seperti FIDIC dan NEC memiliki struktur sengketa yang lebih adil, dan bisa diadaptasi secara lokal untuk menciptakan keseimbangan tanggung jawab.
5. Bangun Lembaga Mediasi Independen Khusus Konstruksi
Seperti BANI tetapi berspesialisasi dalam konstruksi, agar tidak semua sengketa langsung masuk ke pengadilan umum.
Kesimpulan: Keadilan Butuh Aturan yang Jelas dan Pelaksana yang Tegas
Studi ini menggambarkan bahwa perlindungan hukum terhadap pelaku usaha konstruksi di Indonesia belum berpijak pada asas keadilan sejati. Ketimpangan regulasi, ketiadaan norma eksplisit soal kegagalan konstruksi, dan kecenderungan menyalahkan penyedia jasa membuat dunia konstruksi menjadi medan berisiko tinggi.
Untuk memperbaikinya, perlu ada keberanian untuk merevisi UUJK secara fundamental, serta memperkuat kapasitas SDM hukum dan teknis di lapangan. Di era pembangunan masif seperti sekarang, keadilan hukum di bidang konstruksi bukan hanya penting, tapi mendesak.
Sumber:
Bhakti, M. P., Mashdurohatun, A., & Soponyono, E. (2024). Legal Protection for Business Actors in Cases of Construction and Building Failure. South East Asia Journal of Contemporary Business, Economics and Law, 32(1). [ISSN 2289-1560]