Keamanan dan Kesehatan Kerja (K3) dalam Konstruksi
Dipublikasikan oleh Melchior Celtic pada 28 Oktober 2025
Saya masih ingat dengan jelas sore itu. Ayah saya, seorang amatir pertukangan yang percaya diri, sedang memperbaiki talang air di atap rumah kami. Tiba-tiba, saya mendengar suara genting berderak diikuti teriakan kecil. Jantung saya serasa berhenti berdetak. Saya lari keluar dan melihatnya tergelincir, untungnya ia berhasil berpegangan pada lisplang di detik-detik terakhir. Tidak ada yang terluka, hanya sedikit lecet dan ego yang memar. Tapi perasaan panik itu—bayangan "bagaimana jika"—masih membekas sampai sekarang.
Kecelakaan kecil di rumah saja bisa membuat dunia kita seakan runtuh. Sekarang, bayangkan risiko itu dalam skala proyek konstruksi bernilai miliaran, di mana puluhan, bahkan ratusan nyawa bergantung pada setiap keputusan, setiap prosedur, dan setiap keterampilan yang dimiliki. Bahaya bukan lagi sekadar tangga yang licin, melainkan perancah setinggi puluhan meter, kabel listrik bertegangan tinggi, dan ruang bawah tanah yang pengap.
Baru-baru ini, saya menemukan sebuah paper akademis berjudul “Approaches for Bridging Health and Safety Skills Gap of Nigerian Construction Professionals”. Judulnya terdengar kering dan teknis, tipikal bacaan yang mungkin hanya menarik bagi kalangan akademisi. Namun, saat saya mulai membacanya, saya sadar bahwa di balik data statistik dan analisis kuantitatif, Oni Oluwole Joseph dan William Samuel Opeyemi sedang menceritakan sebuah kisah yang sangat manusiawi. Sebuah kisah tentang bahaya yang tersembunyi di depan mata kita, dan bagaimana sebuah "kesenjangan" kecil dalam keterampilan bisa berakibat fatal. Paper ini bukan sekadar kumpulan angka; ini adalah panggilan mendesak untuk kita semua.
Sebuah Kesenjangan yang Tak Terlihat: Apa yang Sebenarnya Ditemukan Para Peneliti?
Istilah "kesenjangan keterampilan" atau skills gap terdengar seperti jargon korporat. Tapi dalam paper ini, definisinya sangat lugas dan mengerikan: "ketidakcukupan dalam kemampuan yang diperlukan untuk menjalankan fungsi pekerjaan tertentu". Dengan kata lain, ini adalah jurang berbahaya antara apa yang seharusnya diketahui oleh seorang profesional di lapangan dan apa yang sebenarnya mereka ketahui. Ini adalah ruang kosong di mana kecelakaan menunggu untuk terjadi.
Untuk memetakan jurang ini, para peneliti tidak berspekulasi. Mereka melakukan hal yang paling mendasar: bertanya langsung kepada para ahlinya. Mereka menyebarkan kuesioner kepada 70 profesional konstruksi di Nigeria—arsitek, quantity surveyor, insinyur sipil, dan manajer bangunan. Mereka adalah orang-orang yang setiap hari berhadapan dengan risiko. Jawaban mereka memberikan gambaran yang mengejutkan tentang di mana titik-titik paling rawan itu berada.
Bukan Sekadar "Kurang Terampil", Tapi di Mana Tepatnya Titik Rawannya?
Saat memikirkan bahaya di proyek konstruksi, apa yang terlintas di benak Anda? Mungkin bekerja di ketinggian atau mengoperasikan alat berat. Itu tidak salah, tapi temuan studi ini menunjukkan bahwa bahaya terbesar justru datang dari area yang sering kita abaikan.
Data dari para profesional di lapangan mengungkap prioritas yang tak terduga:
🚀 Paling Kritis: Keterampilan bekerja di ruang terbatas (confined spaces) dan penyediaan peralatan tanggap darurat (emergency response equipment). Keduanya menduduki peringkat pertama dengan skor Relative Importance Index (RII) 0.91, yang menandakan urgensi tertinggi.
🧠 Inovasinya: Bukan bahaya yang paling jelas seperti bekerja di ketinggian (peringkat 3) atau menangani peralatan listrik (peringkat 6) yang menjadi masalah utama. Kelemahan terbesar justru terletak pada penanganan situasi tak terduga dan bahaya yang tak terlihat.
💡 Pelajaran: Kita sering kali terlalu fokus pada bahaya yang kasatmata dalam rutinitas harian, padahal kesiapan kita saat terjadi kondisi darurat adalah mata rantai terlemah.
Mari kita bedah lebih dalam. "Bekerja di ruang terbatas" bukan sekadar tentang lorong yang sempit. Ini tentang bekerja di tangki, gorong-gorong, atau ruang bawah tanah dengan sirkulasi udara yang buruk, jalur evakuasi yang terbatas, dan risiko terperangkap oleh gas beracun atau kekurangan oksigen. Ini adalah skenario berisiko tinggi yang jarang terjadi, tetapi sekali terjadi, akibatnya bisa sangat fatal.
Begitu pula dengan "peralatan tanggap darurat". Ini bukan hanya tentang menyediakan kotak P3K. Ini tentang memastikan alat pemadam api berfungsi, alarm kebakaran terpasang, dan yang terpenting, ada personel yang benar-benar terlatih untuk menggunakannya saat kepanikan melanda. Temuan ini menyiratkan sebuah masalah sistemik: pelatihan kita mungkin sudah cukup baik dalam mengajarkan "cara bekerja", tetapi sangat kurang dalam mengajarkan "cara bertahan hidup" ketika terjadi hal yang tidak beres.
Efek Domino Mengerikan: Ketika Satu Keterampilan Hilang, Seluruh Proyek Bisa Runtuh
Salah satu hal yang paling membuat saya tercengang dari paper ini adalah bagaimana ia secara gamblang menunjukkan bahwa keselamatan kerja bukanlah sekadar isu moral atau kemanusiaan. Ini adalah isu bisnis yang sangat krusial. Kesenjangan keterampilan dalam K3 tidak berhenti pada satu insiden kecil. Ia memicu efek domino yang bisa meruntuhkan seluruh proyek.
Para peneliti meminta para profesional untuk menilai dampak dari kesenjangan K3 ini. Hasilnya adalah sebuah argumen bisnis yang tak terbantahkan untuk memprioritaskan keselamatan. Dampak nomor satu yang paling dirasakan bukanlah "peningkatan angka kematian" (peringkat 9), melainkan "pembengkakan biaya proyek" (cost overrun of projects) yang menduduki peringkat pertama dengan RII 0.91.
Ini adalah sebuah tamparan keras bagi siapa pun yang masih menganggap K3 sebagai "biaya tambahan". Data ini membuktikan sebaliknya: mengabaikan K3 justru merupakan strategi finansial yang paling buruk.
Lebih dari Sekadar Angka: Kisah di Balik Pembengkakan Biaya dan Reputasi yang Hancur
Bagaimana sebuah kekurangan skill bisa membengkakkan biaya? Paper ini, melalui datanya, menceritakan sebuah alur cerita yang logis dan menakutkan:
Sebuah kecelakaan terjadi di lokasi proyek karena ada profesional yang tidak memiliki keterampilan yang memadai. Ini adalah dampak langsung kedua yang paling dirasakan: "peningkatan kecelakaan di lokasi" (peringkat 2).
Insiden ini segera menyebabkan "gangguan aktivitas di lokasi" (peringkat 4), yang secara otomatis membuat "proyek menjadi tertunda" (peringkat 4). Waktu adalah uang, dan setiap hari penundaan berarti biaya operasional yang terus berjalan.
Kemudian, muncul biaya-biaya tak terduga: "biaya hukum untuk pembelaan klaim" (peringkat 4) dan "kompensasi untuk cedera atau kematian" (peringkat 10).
Semua faktor ini—penundaan, gangguan, dan biaya hukum—bermuara pada satu hal: "pembengkakan biaya proyek" yang menjadi dampak paling utama.
Namun, efek domino tidak berhenti di situ. Ada dampak jangka panjang yang lebih merusak. Peringkat ketiga adalah "dampak negatif pada reputasi perusahaan". Sebuah perusahaan konstruksi yang dikenal tidak aman akan kesulitan memenangkan tender di masa depan. Lebih jauh lagi, ada dampak tersembunyi yang menciptakan lingkaran setan: "kemungkinan kehilangan pekerja lapangan berpengalaman" (peringkat 7).
Para talenta terbaik tidak akan mau mempertaruhkan nyawa mereka di perusahaan yang abai. Mereka akan pindah ke tempat kerja yang lebih aman. Akibatnya, perusahaan tersebut akan semakin kekurangan tenaga kerja terampil, yang pada gilirannya memperburuk kesenjangan keterampilan yang menjadi akar masalah. Ini adalah spiral negatif yang menghancurkan perusahaan dari dalam: kehilangan uang, kehilangan reputasi, dan kehilangan talenta terbaiknya.
Menjembatani Jurang: Solusi Praktis yang Bisa Kita Terapkan Hari Ini
Setelah memaparkan masalah yang begitu gamblang, untungnya paper ini tidak berhenti di situ. Ia beralih ke solusi, memberikan peta jalan yang jelas dan berbasis data untuk menjembatani jurang keterampilan yang berbahaya ini. Dan sekali lagi, solusinya berpusat pada sebuah tema yang konsisten: membangun kompetensi secara proaktif dan sistematis.
Solusi dengan peringkat tertinggi adalah "Pelatihan penggunaan peralatan tanggap darurat" (RII 0.93), yang secara langsung menjawab kesenjangan keterampilan nomor satu yang teridentifikasi. Ini menunjukkan betapa pentingnya melatih orang untuk menghadapi skenario terburuk.
Namun, pelatihan saja tidak cukup. Solusi peringkat kedua dan ketiga menyoroti pentingnya sebuah sistem: "Memantau kepatuhan terhadap kebijakan keselamatan di lokasi" (RII 0.92) dan "Pelatihan keselamatan rutin bagi para profesional di lokasi" (RII 0.91). Ini menggarisbawahi sebuah kebenaran fundamental: keselamatan bukanlah sebuah acara seminar satu kali, melainkan sebuah budaya yang harus dibangun melalui pendidikan berkelanjutan (pelatihan) dan penegakan aturan yang konsisten (pemantauan). Anda bisa melatih seseorang sebaik mungkin, tetapi tanpa pengawasan, kebiasaan lama akan kembali. Sebaliknya, Anda bisa mengawasi seketat mungkin, tetapi jika mereka tidak pernah dilatih dengan benar, tidak ada perilaku baik untuk ditegakkan. Keduanya harus berjalan beriringan.
Opini Pribadi Saya: Temuan Brilian dengan Sedikit Catatan Kritis
Secara pribadi, saya merasa studi ini brilian karena kepraktisannya. Ia tidak hanya menunjuk masalah, tapi langsung memberikan peta jalan solusinya yang berbasis data. Bagi manajer proyek, pimpinan perusahaan, atau bahkan profesional individu, temuan ini adalah cetak biru yang bisa langsung diterapkan untuk membuat perubahan nyata.
Meski temuannya hebat, saya merasa pendekatan survei kuantitatifnya terasa sedikit "dingin". Angka-angka ini menunjukkan apa yang menjadi masalah, tetapi tidak sepenuhnya menjelaskan mengapa. Saya penasaran, apa cerita di balik para profesional yang merasa kurang terampil ini? Apakah karena kurikulum pendidikan formal yang kurang relevan? Atau tekanan proyek yang membuat pelatihan K3 dikesampingkan? Wawancara kualitatif bisa menambah lapisan pemahaman yang lebih dalam. Namun, sebagai fondasi untuk tindakan, paper ini sudah lebih dari cukup.
Data ini mengkonfirmasi apa yang sebenarnya sudah kita tahu: kompetensi tidak datang begitu saja, ia harus dibangun secara sistematis. Inilah mengapa platform pembelajaran berkelanjutan menjadi sangat vital. Bagi para profesional di bidang ini, mengikuti kursus spesialis seperti (https://www.diklatkerja.com/course/k3-konstruksi/) bukan lagi pilihan, melainkan sebuah keharusan strategis untuk melindungi nyawa dan keberlangsungan proyek.
Langkah Anda Selanjutnya: Dari Pembaca Menjadi Pelaku
Paper ini bukan sekadar bacaan menarik di sore hari. Ini adalah cermin. Setelah membacanya, saya tidak bisa tidak bertanya pada diri sendiri: di mana "ruang terbatas" dalam pekerjaan saya? Di mana titik buta saya? Apakah tim saya benar-benar siap jika terjadi keadaan darurat?
Saya mengajak Anda untuk melakukan refleksi yang sama. Tanyakan pada diri sendiri dan tim Anda: Apakah kita hanya fokus pada tugas sehari-hari sambil mengabaikan persiapan untuk hal tak terduga? Apakah kita sudah memiliki budaya di mana keselamatan adalah tanggung jawab semua orang, bukan hanya tugas petugas K3?
Masalahnya jelas, tetapi begitu pula solusinya. Kekuatan untuk menjembatani jurang ini ada di tangan kita—para profesional yang memilih untuk tidak pernah berhenti belajar dan selalu menempatkan keselamatan di urutan pertama.
Jika Anda, seperti saya, tergelitik oleh data dan metodologi di baliknya, saya sangat merekomendasikan untuk membaca paper aslinya. Ada lebih banyak nuansa di sana yang bisa memperkaya pemahaman Anda.
Keamanan dan Kesehatan Kerja (K3) dalam Konstruksi
Dipublikasikan oleh Raihan pada 15 Oktober 2025
Pengantar: Dekonstruksi Krisis Keselamatan Perilaku Konstruksi
Sektor konstruksi secara universal diakui sebagai salah satu industri paling berbahaya, di mana diperkirakan 60.000 kecelakaan fatal terjadi setiap tahun di seluruh dunia. Di Amerika Serikat, Occupational Safety and Health Administration (OSHA) mencatat bahwa 90% fatalitas muncul dari 'Fatal Four' (jatuh, tersetrum, tertabrak, dan terjepit). Ini menekankan peran sentral perilaku tidak aman, yang disinyalir berkontribusi hingga 80%–90% dari seluruh insiden.
Laporan ini meninjau studi krusial yang mengidentifikasi faktor-faktor yang secara langsung mempengaruhi perilaku keselamatan para pekerja terampil (tradesmen) di sektor konstruksi Negara Bagian Lagos, Nigeria. Penelitian ini digerakkan oleh kebutuhan mendesak untuk mengisi kekosongan data, mengingat konteks Nigeria. Meskipun industri ini berperan besar, menyumbang sekitar 3.01% dari Produk Domestik Bruto (PDB) dan mempekerjakan sekitar 25% tenaga kerja—kedua terbesar setelah pertanian —negara ini menghadapi kegagalan pelaporan kecelakaan formal. Sebagai contoh, kurang dari 100 kecelakaan dilaporkan secara resmi antara tahun 2001 dan 2006. Kondisi anomali ini membuat penelitian mengenai faktor perilaku spesifik di lingkungan negara berkembang ini semakin relevan, karena faktor yang berlaku di negara maju tidak dapat digeneralisasi karena kekhasan sosio-ekonomi dan regulasi lokal.
Metodologi yang digunakan bersifat kuantitatif, mengumpulkan data dari 117 tradesmen (tukang batu, tukang kayu, tukang besi) yang dipilih dari 53 perusahaan konstruksi terdaftar di Lagos. Para responden menilai 37 faktor yang bersumber dari literatur menggunakan skala Likert lima poin. Data dianalisis menggunakan Mean Item Score (MIS) untuk menentukan signifikansi faktor, dan Analisis Komponen Utama (PCA) untuk mengelompokkan faktor-faktor ini ke dalam klaster laten yang dominan.
Jalur Logis Temuan dan Sorotan Kuantitatif
Jalur temuan penelitian ini menunjukkan pergeseran logis dari identifikasi faktor permukaan yang paling dihargai pekerja menuju penemuan pendorong kausalitas inti di tingkat manajemen.
Pertama, analisis kelayakan data (Factorability) menunjukkan nilai Kaiser-Meyer-Olkin (KMO) sebesar 0.822. Nilai ini melebihi batas yang direkomendasikan (0.6), mengindikasikan bahwa data yang dikumpulkan memiliki korelasi yang memadai antarvariabel untuk pemodelan multivariat yang lebih maju. Temuan ini menegaskan hubungan kuat antara variabel yang diukur, yang selanjutnya membuka potensi kuat untuk pengembangan model persamaan struktural (Structural Equation Modeling/SEM) di penelitian lanjutan.
Kedua, melalui analisis Mean Item Score (MIS), penelitian ini mengidentifikasi 25 dari 37 faktor (67.56%) sebagai faktor yang "sangat penting" (dengan MIS di atas rata-rata MIS 3.90) yang mempengaruhi perilaku keselamatan tradesmen. Faktor-faktor teratas yang dinilai paling berpengaruh (MIS > 4.31) berpusat pada intervensi fisik dan penegakan yang sangat terlihat oleh pekerja. Faktor dengan peringkat tertinggi adalah Penyediaan Alat Pelindung Diri (PPE) yang memadai dengan MIS 4.50, diikuti oleh Penegakan aturan dan regulasi keselamatan (MIS 4.40). Nilai-nilai MIS yang tinggi untuk item-item yang nyata dan langsung ini menunjukkan bahwa pekerja lini depan sangat menghargai infrastruktur keselamatan yang dapat mereka lihat dan akses.
Ketiga, penemuan kausalitas inti dicapai melalui Analisis Komponen Utama (PCA). PCA berhasil mengelompokkan 37 variabel tersebut menjadi 8 komponen utama yang secara kumulatif menjelaskan 62.877% dari total varians yang diamati. Faktor yang paling dominan, atau Principal Factor, yang menjelaskan persentase varians terrotasi tertinggi sebesar 13.148%, adalah Komitmen Manajemen (Management Commitment). Faktor ini bertindak sebagai payung kausal yang menaungi tindakan-tindakan terukur, seperti penegakan, pelatihan, dan penyediaan PPE.
Penggabungan antara data MIS dan PCA menunjukkan bahwa meskipun pekerja menghargai PPE dan penegakan aturan secara individu, kedua faktor tersebut hanya dapat terwujud secara efektif jika didorong oleh variabel laten Komitmen Manajemen. Artinya, keputusan manajemen untuk menyediakan dan kemauan untuk menegakkan aturan (visibilitas dan akuntabilitas manajemen) adalah prasyarat sistemik yang lebih kuat daripada sekadar keberadaan kebijakan atau peralatan itu sendiri. Keputusan di tingkat puncak ini secara efektif mengubah kebijakan tertulis menjadi infrastruktur keselamatan fisik dan prosedural yang dipersepsikan oleh pekerja.
Kontribusi Utama terhadap Bidang
Studi ini memberikan kontribusi signifikan, terutama dalam konteks penelitian Keselamatan dan Kesehatan Kerja (K3) di negara berkembang, dengan memecah anomali data K3 Nigeria dan memfokuskan lensa penelitian pada segmen tenaga kerja yang paling berisiko.
Validasi Data Persepsi di Tengah Kegagalan Pelaporan
Penelitian ini memvalidasi penggunaan persepsi pekerja sebagai proksi pengukuran risiko yang relevan di lingkungan di mana pelaporan kecelakaan formal hampir tidak ada. Dengan mengidentifikasi 25 faktor yang dinilai sangat penting (MIS > 3.90) , penelitian ini memberikan daftar prioritas yang teruji secara statistik untuk intervensi di tingkat perusahaan yang telah disetujui oleh para pelaksana pekerjaan di lapangan.
Identifikasi Principal Factor dalam Konteks Negara Berkembang
Penemuan bahwa Komitmen Manajemen adalah faktor penentu terkuat (menjelaskan 13.148% varians) sangat krusial untuk manajemen proyek di negara berkembang. Hal ini menegaskan bahwa di lingkungan di mana peraturan eksternal (pemerintah atau badan regulasi) mungkin tidak memiliki gigi penegakan yang kuat, inisiatif keselamatan didorong secara intrinsik dari internal perusahaan, dimulai dari kepemimpinan. Dengan demikian, investasi riset harus berfokus pada instrumen pengukuran komitmen internal ini.
Menyoroti Stabilitas Kerja di Atas Insentif
Analisis ini secara eksplisit menggeser fokus dari insentif yang sering diusulkan dalam literatur Barat. Insentif moneter dan non-moneter ditemukan kurang berpengaruh, dengan insentif non-moneter (promosi) menempati peringkat terbawah (MIS 3.27, peringkat 37). Sebaliknya, pekerja menempatkan nilai tinggi pada faktor stabilitas yang lebih mendasar, seperti Kepuasan Kerja dan Keamanan (Job Satisfaction and Security) dengan MIS 4.15.
Peringkat yang relatif tinggi untuk keamanan kerja dan peringkat yang rendah untuk insentif ini menunjukkan bahwa bagi tenaga kerja dengan latar belakang pendidikan rendah dan tantangan sosio-ekonomi (mayoritas SSCE ke bawah) , terdapat hierarki kebutuhan keselamatan. Kebutuhan fisiologis (gaji yang stabil, keamanan kerja) harus dipenuhi sebelum motivasi tingkat tinggi (insentif atau promosi) dapat secara efektif mengubah perilaku. Oleh karena itu, intervensi K3 di konteks ini tidak boleh meniru program insentif Barat secara membabi buta, melainkan harus diintegrasikan dengan kebijakan retensi tenaga kerja dan jaminan sosial untuk mencapai keberlanjutan perilaku yang aman.
Keterbatasan dan Pertanyaan Terbuka
Meskipun penelitian ini meletakkan fondasi yang kuat, keterbatasan yang diakui secara eksplisit dan implisit membuka pertanyaan mendesak bagi komunitas akademik dan penerima hibah riset untuk agenda masa depan.
Keterbatasan Generalisasi dan Lingkup Profesi
Batasan utama studi ini adalah fokusnya yang ketat pada opini tradesmen di Lagos, dan secara eksplisit dicatat bahwa temuan ini mungkin tidak dapat digeneralisasi untuk profesional konstruksi (arsitek, insinyur, manajer proyek). Karena Komitmen Manajemen adalah faktor utama, muncul pertanyaan terbuka: Bagaimana Komitmen Manajemen diterjemahkan atau dimediasi melalui perilaku profesional tingkat atas, dan apakah terdapat diskrepansi persepsi yang signifikan mengenai prioritas keselamatan antara pekerja lini depan dan pengawas/manajer. Penelitian lebih lanjut harus membandingkan persepsi ini untuk mengidentifikasi hambatan komunikasi vertikal.
Keterbatasan Metodologis: Struktur Kausalitas Lintas Faktor
Meskipun PCA berhasil mengelompokkan faktor (KMO = 0.822), PCA hanya teknik reduksi dimensi, bukan pemodelan kausal. Penelitian ini menyajikan delapan klaster faktor yang berkontribusi menjelaskan 62.877% varians total , namun belum memetakan hubungan hierarkis dan prediktif di antara klaster-klaster ini. Sebagai contoh, klaster Project Design (5.931% varians) dan Environmental (5.871% varians) pasti memengaruhi klaster Safety Process and Procedure (9.797% varians). Oleh karena itu, pertanyaan terbuka adalah bagaimana merancang model yang menguji jalur kausal di antara 8 klaster faktor ini, memungkinkan pemahaman prediktif sistem keselamatan.
Keterbatasan Budaya dan Pendidikan dalam Intervensi
Fakta bahwa sebagian besar responden berpendidikan SSCE ke bawah dan membutuhkan bantuan peneliti untuk memahami kuesioner menimbulkan masalah efikasi untuk intervensi yang bergantung pada teks dan literasi tinggi, seperti "Well written safety policy and plans" (MIS 4.23). Jika kebijakan tertulis tidak dapat dipahami, maka faktor tersebut tidak akan pernah mencapai potensi dampaknya. Pertanyaan terbuka yang timbul adalah bagaimana efektivitas berbagai modalitas pelatihan (visual, lisan, simulasi, atau Virtual Reality/VR) pada kelompok pekerja konstruksi dengan tingkat literasi formal yang rendah di Nigeria, dan bagaimana hal ini memengaruhi koefisien transfer perilaku keselamatan jangka panjang.
Struktur komponen utama yang diekstraksi memberikan peta jalan untuk fokus riset berikutnya.
5 Rekomendasi Riset Berkelanjutan
Berdasarkan prioritas yang ditentukan oleh Principal Factor dan celah pengetahuan yang diidentifikasi dari keterbatasan, lima rekomendasi riset strategis diusulkan.
1. Pemodelan Persamaan Struktural (SEM) untuk Memvalidasi Hubungan Kausal antara Klaster Faktor
Justifikasi Ilmiah: Hasil PCA mengidentifikasi Komitmen Manajemen sebagai pendorong terbesar (13.148% varians). Namun, belum jelas bagaimana klaster sekunder bekerja sebagai mediator. Kelayakan data yang ditunjukkan oleh KMO 0.822 mendukung pengujian kausalitas. Metode, Variabel, atau Konteks Baru: Penelitian harus menerapkan SEM orde tinggi untuk menguji hipotesis di mana Komitmen Manajemen berperan sebagai variabel latent orde tinggi yang secara positif dan signifikan memprediksi perilaku keselamatan. Pengujian harus fokus pada jalur di mana proses keselamatan (9.797% varians) dan kebijakan (8.883% varians) memediasi hubungan antara komitmen puncak dan hasil di lapangan. Perlunya Penelitian Lanjutan: Ini akan menghasilkan koefisien jalur kausal yang terkuantifikasi, memungkinkan manajer dan penerima hibah untuk memprioritaskan alokasi sumber daya dengan presisi ilmiah, beralih dari korelasi ke prediksi.
2. Studi Komparatif Lintas Regional dan Lintas Profesi di Nigeria
Justifikasi Ilmiah: Studi ini terbatas pada tradesmen di Lagos, dan temuan tidak digeneralisasi untuk profesional. Lagos memiliki kekhasan yang mungkin berbeda dengan pusat konstruksi lain. Metode, Variabel, atau Konteks Baru: Penelitian harus direplikasi di pusat konstruksi utama lain di Nigeria (misalnya, Abuja) dan secara eksplisit menyertakan profesional konstruksi (manajer proyek, insinyur) dalam pengambilan sampel. Variabel baru yang harus diuji adalah Persepsi Ketidakcocokan Antar-Level Organisasi (Inter-Level Organizational Discrepancy) untuk mengukur perbedaan prioritas keselamatan antara manajemen dan pekerja lapangan. Perlunya Penelitian Lanjutan: Perbandingan lintas regional dan profesional ini akan menentukan generalisabilitas faktor pendorong K3, memungkinkan pengembangan Kerangka K3 Nasional yang adaptif, bukan hanya Solusi Lagos yang terisolasi.
3. Eksplorasi Peran Variabel Kognitif dan Literasi dalam Pelaksanaan Pelatihan K3
Justifikasi Ilmiah: Pelatihan (MIS 4.31 dan 4.25) sangat penting , tetapi mayoritas responden memiliki literasi formal yang rendah, yang mengurangi efikasi kebijakan berbasis teks. Metode, Variabel, atau Konteks Baru: Penelitian harus mengadopsi desain kuasi-eksperimental untuk menguji efektivitas intervensi pelatihan berbasis visual/simulasi (misalnya, pelatihan gamified atau VR sederhana) yang secara khusus ditujukan pada pekerja dengan literasi rendah. Variabel yang diukur adalah retensi pengetahuan keselamatan dan koefisien transfer perilaku (sejauh mana pengetahuan diterjemahkan menjadi tindakan aman). Perlunya Penelitian Lanjutan: Hal ini akan menghasilkan modul pelatihan K3 yang efisien dan budaya-sensitif, memastikan bahwa investasi Komitmen Manajemen dalam pelatihan (yang merupakan bagian dari faktor principal) menghasilkan perubahan perilaku yang nyata di lapangan.
4. Analisis Pengaruh Upstream Planning (Project Design dan Environmental Factors)
Justifikasi Ilmiah: Klaster Project Design (5.931% varians) dan Environmental (5.871% varians) menunjukkan bahwa keputusan perencanaan yang diambil di awal proyek memiliki kontribusi yang terukur terhadap perilaku di situs. Variabel seperti planned and organized site layout menempati peringkat yang relatif rendah (MIS 3.79, peringkat 29) , menunjukkan perlunya perbaikan hulu. Metode, Variabel, atau Konteks Baru: Penelitian harus menggunakan studi kasus mendalam untuk mengukur Safety-in-Design (SiD) Maturity Index dari proyek di Lagos dan secara retrospektif menghubungkannya dengan perilaku tidak aman yang dilaporkan. Fokus harus pada integrasi keputusan desain dengan faktor lingkungan yang dapat dikendalikan. Perlunya Penelitian Lanjutan: Penelitian ini memungkinkan pergeseran pencegahan kecelakaan dari intervensi reaktif pada tingkat pekerja (hilir) ke desain dan perencanaan proaktif di tingkat manajer dan perancang (hulu), yang memiliki potensi dampak pencegahan sistemik yang jauh lebih besar.
5. Pengembangan Indeks Kepatuhan Manajemen Berbasis Tindakan yang Diukur (MVA Index)
Justifikasi Ilmiah: Komitmen Manajemen adalah faktor utama, tetapi perlu diukur secara objektif. Komponennya mencakup tindakan terukur seperti inspeksi rutin (MIS 4.32), penegakan aturan (MIS 4.40), dan alokasi sumber daya. Metode, Variabel, atau Konteks Baru: Penelitian harus merancang dan memvalidasi Management Visibility and Accountability (MVA) Index yang mengukur frekuensi, kualitas, dan konsistensi dari tindakan manajemen ini. Indeks ini harus mencakup dimensi sanksi yang dialokasikan kepada pekerja karena melanggar aturan keselamatan (MIS 3.95) sebagai ukuran penegakan yang objektif. Perlunya Penelitian Lanjutan: Indeks MVA akan berfungsi sebagai alat diagnostik standar bagi perusahaan dan regulator untuk secara objektif menilai efektivitas Komitmen Manajemen, memfasilitasi audit K3 yang transparan dan dapat diperbandingkan di seluruh industri.
Potensi Jangka Panjang dan Keterhubungan Sistemik
Temuan bahwa Komitmen Manajemen adalah pendorong kausalitas utama menawarkan potensi jangka panjang yang transformatif bagi sektor konstruksi Nigeria. Jika institusi penelitian berhasil mengembangkan dan memvalidasi alat pengukuran dan intervensi berbasis Management Commitment (seperti MVA Index dan modul pelatihan non-literasi), hal ini akan menciptakan efek domino sistemik:
Ajakan Kolaboratif
Untuk memastikan keberlanjutan, generalisabilitas, dan validitas hasil dari agenda riset yang disarankan di atas—terutama implementasi model SEM, studi komparatif regional, dan validasi indeks MVA—penelitian lebih lanjut harus melibatkan kolaborasi multidisiplin dan lintas benua. Secara khusus, penelitian harus melibatkan Bamidele Olumilua University of Education, Science and Technology, Osun State University, Obafemi Awolowo University (mewakili konteks lokal dan keahlian di Nigeria), Western Sydney University (mewakili praktik terbaik dan validasi metrik di negara maju), dan Universidade Federal do Rio de Janeiro (mewakili keahlian di negara berkembang non-Afrika) untuk memastikan keberlanjutan dan validitas hasil yang dapat diterapkan secara global.
(https://doi.org/10.1080/15623599.2024.2325750)
Keamanan dan Kesehatan Kerja (K3) dalam Konstruksi
Dipublikasikan oleh Raihan pada 02 Oktober 2025
Filosofi keselamatan "Nol" (seperti Zero Harm atau Vision Zero) telah menjadi pendekatan dominan dalam manajemen keselamatan dan kesehatan kerja (K3) di industri konstruksi global. Didukung oleh argumen etis yang tampaknya tak terbantahkan—bahwa menerima target selain nol berarti menerima adanya cedera—konsep ini diadopsi secara luas di tingkat C-Suite. Namun, di balik popularitasnya, terdapat kelangkaan bukti empiris yang mendukung efektivitasnya dalam mengurangi insiden paling parah. Paper "Making zero work for construction safety in a post-zero world" oleh Sherratt, Harch, dan Perez (2024) secara sistematis mendekonstruksi validitas "Nol", menyajikan argumen teoretis yang kuat dan analisis kuantitatif yang menantang status quo ini.
Paper tersebut berargumen bahwa "Nol" secara konseptual cacat karena beberapa alasan fundamental. Pertama, ia bersifat ahistoris. Asumsi bahwa "semua kecelakaan dapat dicegah" mengabaikan fakta bahwa banyak tugas konstruksi dirancang selama Revolusi Industri Pertama, sebuah era di mana pekerja dianggap dapat dikorbankan dan keselamatan bukanlah pertimbangan desain utama. Akibatnya, menerapkan slogan keselamatan modern pada sistem kerja yang secara inheren tidak aman tanpa merekayasa ulang tugas itu sendiri adalah tindakan yang tidak logis. Kedua, "Nol" bertentangan dengan kerangka hukum yang mendasari regulasi K3 di banyak negara, termasuk AS, Inggris, dan Australia. Legislasi ini dibangun di atas prinsip "sejauh dapat dipraktikkan secara wajar" (so far as is reasonably practicable), yang menuntut keseimbangan antara risiko, biaya, dan upaya. Sebaliknya, "Nol" adalah sebuah absolutisme yang tidak memungkinkan adanya keseimbangan, menciptakan disonansi operasional bagi manajer. Ketiga, dari perspektif sosial, "Nol" dipandang sebagai produk dari "hiperbola linguistik" abad ke-21. Dalam budaya korporat yang terobsesi dengan slogan-slogan ekstrem seperti "terdepan di dunia", "Nol" menjadi norma yang diharapkan. Namun, penggunaan yang berlebihan ini menyebabkan "kelelahan linguistik", di mana pekerja di lapangan menganggapnya sebagai propaganda yang tidak memiliki substansi nyata, yang berpotensi menyebabkan sinisme dan keterasingan.
Untuk menguji klaim "Nol" secara empiris, penelitian ini menganalisis data Cedera Serius dan Kematian (Serious Injuries and Fatalities - SIF) dari industri konstruksi AS selama periode 2018–2022. Sampel terdiri dari 15 perusahaan konstruksi terbesar, yang diklasifikasikan menjadi kelompok "Nol" (n=6) yang secara publik mengadopsi kebijakan keselamatan berbasis nol, dan kelompok "non-Nol" (n=9).
Analisis data mentah pada awalnya tampak mendukung kebijakan "Nol". Perusahaan dalam kelompok "Nol" secara kolektif mencatat lebih sedikit insiden SIF (10 kematian dan 7 cedera serius) dibandingkan dengan kelompok "non-Nol" (16 kematian dan 23 cedera serius). Namun, temuan deskriptif ini bisa menyesatkan. Untuk mengevaluasi signifikansi statistik dari perbedaan ini, peneliti menggunakan Welch's t-test, sebuah uji statistik yang sesuai untuk sampel dengan varians yang tidak sama. Hasilnya sangat mencerahkan: perbedaan dalam hasil SIF antara kedua kelompok ditemukan tidak signifikan secara statistik, dengan nilai p=0.41. Dalam terminologi statistik, ini berarti tidak ada cukup bukti untuk menolak hipotesis nol—yaitu, tidak ada perbedaan nyata dalam kinerja SIF antara perusahaan yang mengadopsi "Nol" dan yang tidak. Data tersebut bersifat ekuivokal: tidak membuktikan bahwa "Nol" gagal, tetapi juga sama sekali tidak memberikan bukti bahwa ia berhasil.
Perbandingan Statistik Insiden SIF antara Perusahaan 'Zero' dan 'Non-Zero' (2018-2022)
Metrik untuk Perusahaan 'Zero':
Metrik untuk Perusahaan 'Non-Zero':
Hasil Welch's t-test (p−value) untuk kedua kelompok: 0.41 (Tidak Signifikan)
Sumber: Diadaptasi dari Sherratt et al. (2024)
Temuan kuantitatif ini, yang menggemakan hasil studi serupa sebelumnya di Inggris, menunjukkan hubungan yang lemah antara retorika keselamatan "Nol" dan hasil keselamatan yang sebenarnya. Hal ini menunjukkan bahwa adopsi "Nol" mungkin lebih merupakan cerminan dari kematangan organisasi atau tekanan eksternal daripada strategi intervensi yang efektif secara inheren.
Kontribusi Utama terhadap Bidang
Penelitian oleh Sherratt et al. (2024) memberikan tiga kontribusi signifikan bagi bidang K3. Pertama, ia menyediakan data empiris penyeimbang yang sangat dibutuhkan dalam wacana yang didominasi oleh argumen teoretis dan etis. Dengan mereplikasi temuan dari konteks Inggris di pasar konstruksi AS yang besar, paper ini memperkuat argumen bahwa tidak ada bukti kuantitatif yang jelas yang mendukung klaim keberhasilan "Nol". Kedua, paper ini membangun kerangka kritik teoretis yang komprehensif. Dengan mengintegrasikan perspektif historis, hukum, dan sosiolinguistik, ia menawarkan pemahaman yang lebih kaya dan bernuansa tentang mengapa "Nol" mungkin gagal dalam praktik, melampaui kritik operasional yang umum seperti potensi kurangnya pelaporan (under-reporting). Ketiga, penelitian ini secara proaktif menggeser wacana ke arah alternatif yang dapat diukur. Dengan menyoroti pendekatan-pendekatan baru seperti "triase SIF" (memfokuskan upaya pada risiko paling parah) dan metrik yang mengukur "kehadiran kontrol" seperti High-Energy Control Assessment (HECA), paper ini mendorong komunitas K3 untuk bergerak melampaui perdebatan pro/kontra "Nol" dan menuju paradigma keselamatan generasi berikutnya yang berbasis bukti.
Keterbatasan dan Pertanyaan Terbuka
Para penulis secara transparan mengakui beberapa keterbatasan dalam penelitian mereka. Ukuran sampel yang relatif kecil (n=15) membatasi kekuatan statistik analisis. Sifat data yang korelasional berarti tidak ada klaim kausalitas yang dapat dibuat—penelitian ini tidak dapat membuktikan bahwa "Nol" menyebabkan hasil tertentu, hanya saja ia tidak berkorelasi dengan peningkatan kinerja SIF. Selain itu, penggunaan data SIF sebagai metrik kinerja itu sendiri bermasalah, karena insiden ini adalah peristiwa langka (black swan) yang tidak selalu mencerminkan kesehatan sistem keselamatan secara keseluruhan.
Keterbatasan ini justru membuka beberapa pertanyaan penelitian yang mendesak. Jika "Nol" tidak terbukti berhasil, mengapa ia terus menyebar dengan begitu pesat? Apakah ini didorong oleh tekanan dari investor dan kebutuhan pelaporan Environmental, Social, and Governance (ESG), seperti yang diisyaratkan oleh argumen "minyak ular untuk keselamatan"? Apa mekanisme kausal spesifik di balik "paradoks nol"—fenomena yang diamati dalam studi sebelumnya di mana lokasi "Nol" justru memiliki lebih banyak SIF? Apakah ini karena fokus yang salah pada cedera ringan mengorbankan perhatian pada bahaya fatal? Terakhir, bagaimana pekerja di lapangan menafsirkan dan merespons berbagai implementasi "Nol" (misalnya, 'Visi' vs. 'Target'), dan apakah ada perbedaan dalam tingkat keterasingan yang dihasilkannya?
5 Rekomendasi Riset Berkelanjutan
Berdasarkan temuan dan pertanyaan terbuka ini, lima arah penelitian masa depan yang spesifik dapat dirumuskan untuk membangun agenda riset yang koheren dan berdampak.
Secara keseluruhan, penelitian Sherratt et al. (2024) secara meyakinkan menunjukkan bahwa fondasi empiris untuk filosofi "Nol" sangat lemah. Implikasi jangka panjangnya adalah bahwa perdebatan dalam komunitas K3 tidak lagi seharusnya tentang apakah "Nol" berhasil, tetapi tentang bagaimana membangun dan memvalidasi alternatif yang berakar pada ilmu keselamatan, desain sistem, dan psikologi organisasi.
Agenda riset yang diuraikan di atas bersifat ambisius dan interdisipliner. Untuk mengatasi pertanyaan-pertanyaan ini secara efektif, penelitian lebih lanjut harus melibatkan kolaborasi antara pusat penelitian keselamatan konstruksi seperti Construction Safety Research Alliance (CSRA), departemen psikologi industri-organisasi di universitas riset terkemuka, dan lembaga pendanaan seperti National Institute for Occupational Safety and Health (NIOSH). Kemitraan dengan asosiasi industri dan serikat pekerja juga penting untuk memastikan bahwa penelitian ini relevan secara praktis dan temuannya dapat diterjemahkan ke dalam praktik di lapangan untuk memastikan keberlanjutan dan validitas hasil.
Keamanan dan Kesehatan Kerja (K3) dalam Konstruksi
Dipublikasikan oleh Raihan pada 01 Oktober 2025
Mengungkap Realitas Keselamatan Konstruksi di Nepal: Sebuah Tinjauan Mendalam
Industri konstruksi secara global dikenal sebagai salah satu sektor dengan risiko kecelakaan kerja tertinggi, dan Nepal tidak terkecuali. Setiap tahun, diperkirakan 20.000 pekerja di Nepal mengalami kecelakaan di tempat kerja, dengan 200 di antaranya berakibat fatal. Lebih mengkhawatirkan lagi, banyak insiden yang tidak dilaporkan, menunjukkan bahwa angka sebenarnya bisa jauh lebih tinggi. Meskipun pemerintah Nepal telah menunjukkan komitmen melalui regulasi seperti UU Ketenagakerjaan 2017 dan Kebijakan Nasional K3 2019, implementasi di lapangan masih menjadi tantangan besar.
Sebuah studi terbaru yang diterbitkan dalam Saudi Journal of Civil Engineering oleh Mahendra Acharya dkk. menyelami lebih dalam untuk menilai status praktik keselamatan di proyek gedung komersial Nepal dan mengidentifikasi tantangan utamanya.
Metodologi dan Temuan Kunci
Penelitian ini mengumpulkan data primer dari 487 responden yang tersebar di berbagai proyek konstruksi gedung komersial di Nepal. Responden berasal dari berbagai tingkatan, termasuk Manajer Proyek (11,09%), Insinyur Senior (26,90%), Insinyur Lapangan (18,89%), Sub-Insinyur (13,14%), dan lainnya (29,98%). Data yang dikumpulkan melalui kuesioner dengan skala Likert lima poin kemudian dianalisis secara kuantitatif menggunakan MS Excel dan SPSS. Tiga metode analisis utama digunakan: Bloom Cutoff untuk mengkategorikan level implementasi, Relative Importance Index (RII) untuk merangking praktik keselamatan, dan Principal Component Analysis (PCA) untuk mengekstrak tantangan utama.
Status Implementasi: Berada di Level "Moderat"
Temuan utama menunjukkan bahwa status implementasi keselamatan secara keseluruhan berada pada level moderat, di mana 70,64% responden jatuh dalam kategori ini. Hanya 16,22% yang menganggap implementasi berada pada level tinggi, sementara 13,14% lainnya menilainya rendah.
Analisis RII memberikan gambaran yang lebih detail mengenai praktik mana yang paling sering dan paling jarang diterapkan:
Studi ini juga menemukan bahwa keberadaan
safety officer dan pelaksanaan audit keselamatan secara rutin hampir tidak ada di mayoritas proyek yang diteliti, menandakan celah pengawasan yang signifikan.
Lima Tantangan Utama Penghambat Keselamatan
Analisis PCA berhasil mengelompokkan berbagai tantangan menjadi lima faktor utama yang secara kolektif menjelaskan 68,12% dari total varians.
aided cost), kecenderungan untuk hanya memenuhi persyaratan kontrak minimum, serta kurangnya inspeksi dan pemantauan keselamatan yang proaktif.
Keterbatasan dan Pertanyaan Terbuka
Para peneliti mengakui adanya keterbatasan, termasuk potensi bias persepsi karena data sangat bergantung pada kuesioner dan observasi lapangan yang terbatas. Namun, penelitian ini membuka beberapa pertanyaan penting untuk dieksplorasi lebih lanjut: sejauh mana kebijakan pemerintah pasca 2019 benar-benar telah diimplementasikan? Apakah budaya keselamatan dapat diperbaiki secara efektif melalui sistem insentif? Dan bagaimana perbedaan tingkat kepatuhan antara proyek yang didanai publik dan swasta? Hubungan langsung antara faktor-faktor PCA (seperti budaya keselamatan) dengan angka kecelakaan aktual di lapangan juga perlu diteliti lebih lanjut.
5 Rekomendasi Riset Berkelanjutan
Berdasarkan temuan ini, lima arah penelitian di masa depan direkomendasikan untuk membangun fondasi keselamatan yang lebih kuat di Nepal:
Kesimpulan dan Ajakan Kolaboratif
Penelitian ini menegaskan bahwa keselamatan di proyek konstruksi komersial Nepal masih berada pada level moderat dengan tantangan dominan berupa budaya keselamatan yang lemah dan tata kelola yang kurang efektif. Untuk mendorong perubahan yang nyata, diperlukan upaya kolaboratif.
Penelitian lebih lanjut harus melibatkan institusi pemerintah seperti Ministry of Labour, Employment and Social Security (MoLESS), lembaga akademik teknik sipil di Nepal, serta asosiasi kontraktor dan serikat pekerja. Keterlibatan multi-pihak ini krusial untuk memastikan keberlanjutan dan validitas hasil riset, sekaligus mendorong perubahan budaya keselamatan yang nyata dari tingkat kebijakan hingga ke implementasi di setiap proyek.
Baca paper aslinya di sini: https://doi.org/10.36348/sjce.2024.v08i09.003
Keamanan dan Kesehatan Kerja (K3) dalam Konstruksi
Dipublikasikan oleh Raihan pada 22 September 2025
Konteks dan Ruang Lingkup Masalah
Paper yang berjudul Analysis of SMK3 Implementation and Causes of Work Accidents at PT. Bumi Duta Persada (BDP) in Tangerang Regency mengkaji isu kritis kecelakaan kerja di Indonesia, dengan mengambil studi kasus spesifik pada PT. Bumi Duta Persada. Latar belakang riset ini sangat relevan, mengingat data dari periode 2019 hingga 2021 menunjukkan mayoritas kecelakaan kerja (64.4%) terjadi di tempat kerja, dengan sektor industri dan konstruksi menjadi penyumbang utama.1 Hal ini menegaskan urgensi untuk memahami mekanisme di balik insiden-insiden tersebut dan menemukan cara untuk memitigasinya. Penelitian ini secara spesifik berfokus pada analisis kegagalan sistem manajemen K3 di perusahaan tersebut, yang digambarkan sebagai salah satu penyebab utama meningkatnya jumlah kecelakaan.1
Pendekatan Metodologis dan Kerangka Analisis
Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif deskriptif, sebuah metode yang bertujuan untuk mengumpulkan dan menganalisis data dalam bentuk narasi dan tindakan, alih-alih angka atau statistik yang dapat dihitung.1 Pengumpulan data dilakukan melalui tiga teknik utama: observasi langsung di lokasi kerja, wawancara mendalam dengan empat informan kunci, serta dokumentasi.1 Untuk menganalisis data yang terkumpul, peneliti menerapkan dua metode:
Preliminary Hazard Analysis (PHA) untuk mengidentifikasi bahaya awal, dan metode 5W1H (What, Why, Where, When, Who, How) untuk memetakan insiden secara terperinci.1 Penggunaan PHA pada tahap awal memang membantu dalam memberikan informasi bahaya secara ringkas, namun sebagaimana yang diakui dalam paper, metode ini hanya memberikan informasi awal dan kurang detail tentang risiko serta cara pencegahannya secara spesifik.
Temuan Kunci dan Data Kuantitatif Deskriptif
Temuan utama dari penelitian ini mengonfirmasi bahwa faktor penyebab kecelakaan kerja dapat dibagi menjadi dua kondisi, yaitu lokasi proyek yang tidak aman dan perilaku pekerja yang tidak aman, dengan perilaku pekerja yang tidak aman memiliki pengaruh yang lebih signifikan.1 Perilaku ini mencakup kurangnya kesadaran dalam menggunakan Alat Pelindung Diri (APD), kesalahan prosedur, serta kelelahan.1
Data kuantitatif yang disajikan dalam paper memperkuat argumen ini. Pada periode 2020-2022, tercatat total 85 kecelakaan kerja di PT. Bumi Duta Persada, dengan rincian 73 kecelakaan kategori kecil dan 12 kecelakaan kategori sedang.1 Meskipun terdapat sedikit penurunan jumlah kecelakaan di tahun 2021 (26 kecelakaan) dibandingkan tahun 2020 (30 kecelakaan), tren ini kembali meningkat di tahun 2022 menjadi 29 kecelakaan, menunjukkan tantangan yang persisten dalam mengendalikan risiko kerja.1
Lebih lanjut, analisis data kecelakaan yang terjadi pada periode Mei-Juni 2023 menunjukkan total 16 kecelakaan, terdiri dari 13 kecelakaan kecil dan 3 kecelakaan sedang.1 Secara kuantitatif, temuan ini menunjukkan hubungan kuat antara perilaku tidak aman, seperti kurangnya penggunaan APD dan kurangnya fokus, dengan tingginya frekuensi kecelakaan kecil dan sedang. Secara spesifik, dari total 16 kecelakaan yang tercatat,81.25% dikategorikan sebagai kecelakaan kecil.1
Sebuah temuan yang sangat penting adalah identifikasi kelelahan sebagai salah satu penyebab kecelakaan.1 Sebagai contoh, insiden terpeleset yang menyebabkan kecelakaan sedang terjadi pada malam hari, dan temuan ini secara eksplisit menghubungkan insiden tersebut dengan faktor kelelahan akibat pekerja yang melakukan dua shift kerja, yaitu siang dan malam.1 Hal ini menunjukkan bahwa isu perilaku tidak hanya sebatas kurangnya kesadaran, tetapi juga terkait dengan kebijakan internal perusahaan yang secara tidak langsung menciptakan kondisi risiko.
Kontribusi Utama terhadap Bidang
Penelitian ini memberikan kontribusi yang signifikan terhadap bidang keselamatan dan kesehatan kerja, terutama dalam konteks studi kasus. Pertama, paper ini memberikan bukti empiris yang memvalidasi bahwa faktor perilaku pekerja (unsafe labor behavior) memiliki peran dominan dalam insiden kecelakaan kerja, sebuah hipotesis yang telah banyak dibahas dalam literatur.1 Kedua, dengan menggunakan pendekatan kualitatif, penelitian ini berhasil mengidentifikasi akar masalah spesifik dan nuansanya, seperti keterbatasan anggaran dan kelelahan, yang sering kali sulit ditangkap dalam analisis kuantitatif berskala besar.1 Terakhir, penggunaan metode PHA dan 5W1H, meskipun sederhana, berhasil menyediakan kerangka dasar yang efektif untuk mengidentifikasi bahaya dan memetakan insiden, yang dapat menjadi pijakan untuk analisis risiko yang lebih kompleks di masa depan.1
Keterbatasan dan Pertanyaan Terbuka
Meskipun memberikan temuan yang berharga, penelitian ini juga memiliki keterbatasan dan meninggalkan beberapa pertanyaan terbuka yang perlu dijawab oleh riset selanjutnya. Pertama, sebagai penelitian kualitatif deskriptif, hasilnya tidak dapat digeneralisasi ke perusahaan atau industri lain secara statistik. Kedua, terdapat paradoks dalam klasifikasi risiko. Paper menyimpulkan bahwa tingkat risiko kerja berada pada kategori "kecil" dengan nilai rentang (1-4), karena kecelakaan yang terjadi didominasi oleh kategori kecil dan sedang.1 Namun, frekuensi kecelakaan yang tinggi (85 kecelakaan dalam tiga tahun) menunjukkan tingkat kemungkinan (
likelihood) yang sangat tinggi. Hal ini memunculkan pertanyaan kritis: apakah model penilaian risiko yang digunakan (PHA), yang hanya memberikan informasi pendahuluan dan tidak detail, gagal menangkap risiko kumulatif yang sesungguhnya dari frekuensi insiden yang tinggi ini? Ada kemungkinan model penilaian yang lebih canggih akan mengklasifikasikan risiko ini sebagai sedang atau bahkan tinggi.
Ketiga, penelitian ini mengakui adanya faktor eksternal seperti kemacetan lalu lintas yang dapat menyebabkan kecelakaan namun menyatakan hal tersebut "di luar proses manajemen risiko yang ditangani".1 Ini meninggalkan pertanyaan tentang bagaimana interaksi antara faktor internal dan eksternal memengaruhi tingkat kecelakaan. Keempat, analisis paper ini tidak mengeksplorasi secara mendalam faktor psikologis yang melandasi perilaku tidak aman, seperti motivasi keselamatan, persepsi risiko, atau budaya keselamatan. Pertanyaan terbuka yang relevan adalah: sejauh mana faktor-faktor psikologis ini memengaruhi kesadaran pekerja dan kepatuhan terhadap prosedur?
5 Rekomendasi Riset Berkelanjutan
Berdasarkan temuan dan keterbatasan yang teridentifikasi, berikut adalah lima rekomendasi strategis untuk penelitian lanjutan yang dapat memperdalam pemahaman dan memberikan solusi yang lebih efektif:
Kesimpulan
Penelitian ini secara efektif mengidentifikasi kurangnya kesadaran pekerja dan keterbatasan anggaran sebagai penyebab utama kecelakaan kerja di PT. Bumi Duta Persada, yang secara dominan dipicu oleh faktor perilaku. Temuan ini memvalidasi literatur yang ada dan menawarkan wawasan penting melalui analisis kualitatif. Meskipun paper mengklasifikasikan tingkat risiko sebagai "kecil," tingginya frekuensi insiden menuntut perhatian lebih mendalam dan validasi melalui metode yang lebih canggih. Untuk itu, penelitian lanjutan diperlukan untuk mengukur hubungan sebab-akibat secara statistik, menguji efektivitas intervensi, mengkaji K3 dari perspektif ekonomi, memperluas model risiko, dan memvalidasi temuan di konteks industri yang lebih luas.
Penelitian lebih lanjut harus melibatkan institusi akademik (misalnya, Universitas Bina Bangsa, tempat para penulis berafiliasi) untuk memperdalam analisis teoritis dan metodologis, lembaga pemerintah (misalnya, Kementerian Ketenagakerjaan) untuk memastikan temuan relevan dengan regulasi dan kebijakan nasional, serta perusahaan lain di sektor terkait untuk memvalidasi temuan di berbagai konteks. Kolaborasi ini akan memastikan keberlanjutan, validitas, dan dampak praktis dari hasil riset di masa depan.
Baca selengkapnya di https://ejournal.seaninstitute.or.id/index.php/Ekonomi/article/view/3606
Keamanan dan Kesehatan Kerja (K3) dalam Konstruksi
Dipublikasikan oleh Raihan pada 15 September 2025
Mengapa Temuan Ini Penting untuk Kebijakan?
Studi kasus K3 di kawasan PT Gunbuster Nickel Industry (PT GNI) menunjukkan bahwa tata kelola keselamatan di industri berisiko tinggi tidak bisa berhenti pada “kepatuhan dokumen,” melainkan harus menyeberang ke disiplin operasional harian lewat pelatihan, pemantauan lingkungan kerja, komunikasi risiko, serta pelibatan pekerja. Peneliti menemukan praktik yang relatif komprehensif: pelatihan K3 rutin, monitoring lingkungan kerja, kampanye keselamatan, dan penguatan peran Panitia Pembina K3 (P2K3). Di saat yang sama, hambatan faktual tetap ada—mulai dari resistensi sebagian pekerja hingga kompleksitas proses smelting—sehingga dibutuhkan strategi proaktif untuk menjaga konsistensi implementasi di lapangan.
Secara sosial, pelibatan aktif pekerja dalam P2K3, dialog rutin, dan diklat tanggap darurat membangun budaya keterbukaan dan saling menghargai—prasyarat penting untuk menekan underreporting insiden dan meningkatkan kedisiplinan penggunaan APD.
Secara ekonomi, praktik K3 yang efektif dikaitkan dengan penurunan angka kecelakaan, pengurangan absensi, dan kenaikan produktivitas—efek berantai yang juga memperkuat citra perusahaan di mata investor.
Secara lingkungan, pemeriksaan dan pengujian aspek lingkungan kerja, kesehatan kerja, alat berat, dan proses operasi ditempatkan sebagai prioritas—mencegah paparan berbahaya, kebocoran risiko, dan dampak eksternalitas lokasi industri.
Secara administratif, keberadaan P2K3—yang diwajibkan pada unit berisiko tinggi—memungkinkan tata kelola berbasis data (pengumpulan–analisis data K3, evaluasi rutin, dan pengendalian risiko) serta koordinasi berkelanjutan dengan pengawas ketenagakerjaan.
Intinya, temuan studi ini memberi landasan kebijakan: kewajiban, kapasitas, dan budaya harus dirajut menjadi satu kesatuan operasional—bukan hanya untuk menjaga keselamatan pekerja, tetapi juga untuk keberlanjutan operasi industri strategis.
Implementasi di Lapangan: Dampak, Hambatan, Peluang
Dampak yang dicatat riset. Penerapan pelatihan, monitoring, kampanye, dan pelibatan pekerja berkontribusi pada penurunan kecelakaan, pengurangan absensi, dan kenaikan produktivitas, sekaligus memperbaiki reputasi perusahaan. Ini mengindikasikan bahwa paket intervensi yang konsisten memberikan nilai sosial-ekonomi ganda: keselamatan meningkat, biaya tak langsung menurun, kepercayaan pemangku kepentingan naik.
Hambatan yang muncul. Dua kelompok hambatan menonjol:
Peluang penguatan. Studi menyoroti tiga tuas peningkatan yang sudah dicoba dan dapat ditingkatkan skalanya:
4 Rekomendasi Kebijakan Praktis
1) Standardisasi Minimum Fungsi P2K3 + Kewajiban Pelaporan Data K3 Triwulanan
Alasan (berbasis temuan). P2K3 memiliki mandat strategis: mengumpulkan–menganalisis data K3, mengevaluasi lingkungan kerja, mengembangkan pengendalian risiko, dan menjadi forum kerja sama pengusaha–pekerja. Studi menunjukkan P2K3 efektif sebagai simpul tata kelola jika didukung proses dan data yang berjalan.
Kebijakan. Tetapkan standar minimum fungsi P2K3 di sektor berisiko tinggi: (a) indikator pelaporan (insiden, penyakit akibat kerja, near miss, kepatuhan APD); (b) siklus evaluasi risiko; (c) rencana tindak korektif; (d) bukti sosialisasi ke pekerja.
Mekanisme pelaksanaan.
2) Program Pemeriksaan & Pengujian Berkala atas Lingkungan Kerja, Kesehatan Kerja, Alat Berat, dan Proses Operasi
Alasan (berbasis temuan). Studi menekankan pemeriksaan–pengujian sebagai prioritas utama demi perlindungan optimal; ini mencakup aspek lingkungan, kesehatan kerja, alat berat, serta proses operasional.
Kebijakan. Tetapkan frekuensi minimum (mis. triwulanan) uji/pemeriksaan untuk keempat domain tersebut, plus tindak korektif terdokumentasi.
Mekanisme pelaksanaan.
3) Penguatan Budaya Keselamatan melalui Dialog Pekerja, Kampanye APD, dan Umpan Balik Terbuka
Alasan (berbasis temuan). Hambatan utama adalah resistensi/ketidakpatuhan sebagian pekerja; di sisi lain, dialog rutin dan kampanye keselamatan terbukti menjadi kanal efektif meningkatkan keterlibatan, pemahaman risiko, dan kenyamanan budaya kerja.
Kebijakan. Wajibkan forum dialog keselamatan bulanan (antara manajemen, P2K3, perwakilan pekerja) dan kampanye APD berkelanjutan dengan materi sederhana (poster, briefing pra-shift, papan skor kepatuhan).
Mekanisme pelaksanaan.
4) Koordinasi Kepatuhan Berbasis Timeline antara Perusahaan dan Pengawas Ketenagakerjaan
Alasan (berbasis temuan). Studi mendokumentasikan bimbingan dan koordinasi aktif dengan otoritas, disertai penyiapan timeline kepatuhan dan pengawasan berkelanjutan untuk memastikan standar dijalankan.
Kebijakan. Terapkan rencana kepatuhan bertenggat (compliance timeline) tahunan untuk setiap perusahaan berisiko tinggi, berisi daftar aksi (penutupan temuan audit, upgrade sarana, pembaruan SOP, jadwal diklat).
Mekanisme pelaksanaan.
Kritik: Risiko Jika Kebijakan Tidak Dilengkapi Input dari Studi Ini
Tanpa menyerap pembelajaran kunci studi—penguatan peran P2K3 berbasis data, diklat multi-skenario, pemeriksaan berkala domain kritis, dialog pekerja, dan timeline kepatuhan—kebijakan K3 berpotensi kembali ke kepatuhan formalitas:
Temuan inti studi di PT GNI menyiratkan bahwa keberhasilan K3 lahir dari kombinasi kewajiban–kapasitas–budaya: ada perangkat organisasi (P2K3), kemampuan teknis (diklat dan pemeriksaan), serta ekosistem sosial (dialog pekerja dan kampanye keselamatan) yang bergerak serempak—diikat oleh timeline kepatuhan dan umpan balik pengawasan. Dengan mengadopsi lima rekomendasi praktis di atas, pembuat kebijakan dapat menyalin praktik yang terbukti di lapangan ke skema nasional yang realistis, berbiaya terkendali, dan berorientasi hasil. Dampak sosial, ekonomi, lingkungan, dan administratif yang lebih solid bukan hanya dimungkinkan, melainkan dapat diukur dan diaudit dari waktu ke waktu.
Sumber Paper: Walidah, Ziana & Fudin, Nur & Amelia, Desi & Fadila, Sur. (2024). Studi Kasus Pelaksanaan K3 (Kesehatan dan Keselamatan Kerja) di Kawasan PT Gunbuster Nickel Industry. https://doi.org/10.62383/aliansi.v1i3.186