Keamanan dan Kesehatan Kerja (K3) dalam Konstruksi

Penerapan SMK3 pada Proyek Tol Jakarta–Cikampek II Elevated: Strategi Menekan Risiko di Ketinggian

Dipublikasikan oleh Dewi Sulistiowati pada 09 Mei 2025


Latar Belakang: Konstruksi dan Risiko di Ketinggian

Industri konstruksi menempati posisi rawan dalam hal keselamatan kerja, terlebih pada proyek yang melibatkan pekerjaan di ketinggian. Berdasarkan data dari BPJS Ketenagakerjaan, Indonesia mencatat 157.313 kecelakaan kerja pada 2018, dengan hampir 32% di antaranya terjadi di sektor konstruksi. Proyek Jalan Tol Jakarta–Cikampek II Elevated milik PT. X menjadi studi penting karena sifatnya yang berisiko tinggi: pekerjaan dilakukan di atas dua jalur tol aktif dan melibatkan lebih dari 2.000 pekerja.

Penelitian oleh Triana Srisantyorini dan Rika Safitriana dari Universitas Muhammadiyah Jakarta mengevaluasi implementasi Sistem Manajemen Keselamatan dan Kesehatan Kerja (SMK3) berdasarkan PP No. 50 Tahun 2012, menggunakan pendekatan mix method (kualitatif dan kuantitatif). Fokus evaluasi mencakup lima prinsip utama: komitmen, perencanaan, pelaksanaan, pemantauan, dan tinjauan ulang SMK3.

Studi Kasus: Proyek Jakarta–Cikampek II Elevated

Proyek tol ini memiliki panjang 36,84 km jalur utama dan 6,30 km on/off ramp, mencakup ruas dari Cikunir hingga Karawang Barat. Beberapa insiden fatal pernah terjadi pada proyek-proyek lain yang dijalankan perusahaan ini, seperti:

  • 22 September 2017: jatuhnya girder, menyebabkan 1 meninggal dan 2 luka-luka.
  • 29 Oktober 2017: insiden serupa menewaskan 1 pekerja, melukai 3 lainnya.
  • 2 Februari 2018: longsor dinding terowongan di proyek bandara, 1 meninggal.
  • 20 Februari 2018: jatuhnya bracket bekisting menyebabkan 7 luka-luka.

Rangkaian insiden ini menunjukkan pentingnya penerapan sistem SMK3 secara ketat dan berkelanjutan.

Capaian SMK3: Angka-angka dari Lapangan

Berdasarkan checklist yang disusun menurut PP No. 50/2012, proyek ini mencatat penerapan SMK3 sebesar 98,04% (163 dari 166 kriteria). Berikut rincian pencapaiannya:

  • Komitmen dan kebijakan K3: 98,07%
  • Perencanaan K3: 100% pada dokumentasi, 93,75% pada kontrol desain
  • Pelaksanaan K3: 100% untuk dokumen dan pengendalian produk, 96,95% pada keamanan kerja
  • Pemantauan dan evaluasi: 98,53% pemantauan, 94,44% pelaporan
  • Tinjauan ulang: 100% data, 91,66% audit SMK3

Semua indikator menunjukkan kategori “baik” hingga “sangat baik”, menjadikan proyek ini contoh sukses dalam penerapan SMK3 pada pekerjaan konstruksi berisiko tinggi.

Faktor Penentu Keberhasilan Implementasi SMK3

1. Komitmen Manajemen dan Edukasi Karyawan
Proyek ini memiliki komitmen tertulis berupa spanduk yang ditandatangani seluruh pekerja, menargetkan zero accident. Edukasi dilakukan berulang kali agar pekerja tidak sekadar patuh secara formal, tapi juga memiliki budaya sadar risiko.

2. Perencanaan K3 yang Komprehensif
Penyusunan Rencana Keselamatan dan Kesehatan Kerja Lingkungan (RK3L) dilakukan sebelum proyek berjalan. Metode identifikasi bahaya dan HIRADC diterapkan untuk mengendalikan risiko secara teknis.

3. Pengawasan dan Prosedur Inspeksi Terintegrasi
Tiap elemen pelaksanaan dipantau harian, mingguan, dan bulanan. Ketidaksesuaian langsung ditindaklanjuti, dan pelaporan internal dilakukan hingga ke pusat.

4. Pelatihan dan Sertifikasi SDM K3
Seluruh pekerja wajib mengikuti pelatihan sesuai bidang tugas, termasuk pelatihan APAR, simulasi kebakaran, prosedur P3K, dan pelatihan pengenalan risiko kerja untuk kontraktor.

5. Tindak Lanjut Hasil Audit dan Monitoring
Temuan lapangan seperti pelanggaran pemakaian APD atau kurangnya SOP langsung dievaluasi dalam rapat mingguan oleh P2K3, dengan tenggat penyelesaian maksimal satu minggu.

Catatan Kritis: Kecelakaan Masih Terjadi

Meski capaian nyaris sempurna, proyek ini tetap mencatat 4 kasus kecelakaan ringan (terjatuh, luka akibat alat) dan 2 kematian pekerja. Ini menandakan bahwa bahkan penerapan SMK3 tingkat lanjut masih memerlukan penguatan pada aspek kedisiplinan individu dan pengawasan real-time.

Rekomendasi untuk Proyek Serupa

  1. Penerapan teknologi digital K3, seperti dashboard monitoring live dan QR-code untuk ceklis APD.
  2. Audit eksternal rutin dari lembaga independen agar tidak terjadi bias dalam evaluasi internal.
  3. Kampanye internal bertema keselamatan hidup, bukan hanya kepatuhan kerja.
  4. Insentif berbasis kinerja K3 untuk mendorong kesadaran pekerja dari dalam diri.
  5. Perluasan edukasi ke pihak kontraktor dan subkontraktor yang seringkali luput dari kontrol langsung.

Pembanding dan Relevansi Global

Dalam konteks global, capaian 98,04% sangat kompetitif. Namun bila dibandingkan dengan proyek serupa di negara-negara Skandinavia atau Jepang yang telah menerapkan K3 berbasis sensor dan IoT, proyek ini masih berbasis pendekatan manual. Ada peluang besar bagi proyek infrastruktur Indonesia untuk mengejar kemajuan lewat digitalisasi K3 dan automasi inspeksi keselamatan.

Kesimpulan

Penerapan SMK3 di proyek Tol Jakarta–Cikampek II Elevated berhasil mencapai tingkat “memuaskan”, dengan skor hampir sempurna dalam seluruh elemen evaluasi. Penerapan ini menunjukkan bahwa sistem keselamatan tidak hanya menjadi pelengkap proyek, tapi elemen kunci yang menjamin kelangsungan operasional, produktivitas, dan perlindungan nyawa pekerja.

Meskipun insiden tetap terjadi, implementasi sistematis berbasis regulasi menunjukkan hasil yang nyata. Ke depan, proyek serupa harus mengedepankan pembentukan budaya keselamatan yang berkelanjutan dan menyeluruh, bukan hanya sekadar kepatuhan prosedural.

Sumber : Srisantyorini, T., & Safitriana, R. (2020). Penerapan Sistem Manajemen Keselamatan dan Kesehatan Kerja pada Pembangunan Jalan Tol Jakarta-Cikampek 2 Elevated. Jurnal Kedokteran dan Kesehatan, 16(2), 151–163.

Selengkapnya
Penerapan SMK3 pada Proyek Tol Jakarta–Cikampek II Elevated: Strategi Menekan Risiko di Ketinggian

Keamanan dan Kesehatan Kerja (K3) dalam Konstruksi

Evaluasi Strategis Penerapan K3 Berbasis ISO 45001 di Proyek Pembangunan Pasar Singamandawa Bali

Dipublikasikan oleh Dewi Sulistiowati pada 09 Mei 2025


Konstruksi dan Risiko Kecelakaan: Kenyataan yang Tak Terelakkan

Sektor konstruksi menyumbang angka kecelakaan kerja tertinggi di dunia, termasuk Indonesia. Proyek berskala besar hingga revitalisasi pasar rakyat seperti Pasar Singamandawa Tahap I di Kintamani, Bali, tetap menyimpan potensi bahaya yang serius. Artikel karya I Kadek Bayu Widiantara, Ida Ayu Putu Sri Mahapatni, dan I Made Harta Wijaya ini mengevaluasi penerapan sistem manajemen keselamatan dan kesehatan kerja (SMK3) sesuai ISO 45001:2018, dalam konteks proyek pembangunan pasar tersebut.

Penelitian ini tak hanya menyentuh pemenuhan regulasi, tetapi juga menggunakan pendekatan PDCA (Plan-Do-Check-Action) serta model evaluasi Countenance Stake, mengintegrasikan data kualitatif dan kuantitatif dari wawancara, observasi, dan kuesioner terhadap 35 responden yang terdiri dari manajer proyek, staf K3, pengawas, hingga pekerja lapangan.

Studi Kasus: Proyek Pasar Singamandawa Kintamani

Pasar Singamandawa dibangun untuk memperbaiki fasilitas publik dan mendukung kegiatan ekonomi masyarakat sekitar Kintamani. Namun, seperti banyak proyek konstruksi lainnya, penerapan K3 masih menghadapi kendala utama, seperti:

  • Rendahnya penggunaan Alat Pelindung Diri (APD) karena dianggap menghambat gerak.
  • Kurangnya kesadaran bahwa K3 adalah pelindung utama pekerja, bukan hanya formalitas perusahaan.
  • Belum optimalnya dokumentasi dan pencatatan kejadian insiden kerja.

Evaluasi Tiga Tahapan Kunci Penerapan K3

Penelitian ini membagi evaluasi dalam tiga dimensi utama, yaitu:

1. Antecedents (Masukan)

Evaluasi pada tahap perencanaan dan kebijakan K3 memperlihatkan hasil sangat sesuai menurut persepsi:

  • Staff (rata-rata skor: 40,00)
  • Pekerja (rata-rata skor: 41,08)

Faktor kunci keberhasilan tahap ini meliputi:

  • Adanya komitmen manajemen tertulis dalam bentuk kebijakan K3.
  • Struktur organisasi K3 yang aktif, lengkap dengan papan informasi dan sistem pelaporan internal.
  • Pengalokasian dana K3 yang jelas dalam anggaran proyek.

2. Tracedents (Proses)

Penilaian dilakukan pada dua aspek besar: perencanaan dan pelaksanaan K3.

  • Perencanaan K3 (identifikasi bahaya):
    • Staff: 34,09
    • Pekerja: 34,63
  • Pelaksanaan K3 (komunikasi, pengawasan, kesiapsiagaan):
    • Staff: 45,64
    • Pekerja: 46,00

Indikator pelaksanaan sangat sesuai karena:

  • Identifikasi bahaya dilakukan sejak awal proyek dan didokumentasikan dengan baik.
  • Tersedia APAR, rambu evakuasi, air bersih, MCK, dan fasilitas P3K lengkap.
  • Komunikasi rutin antara manajemen dan pekerja untuk pelaporan kondisi berbahaya.

3. Output (Keluaran)

Evaluasi tahap akhir difokuskan pada pemantauan, evaluasi, dan perbaikan sistem K3.

  • Staff: 18,82
  • Pekerja: 18,96

Hal ini mencakup:

  • Pelaporan kecelakaan kerja sudah berjalan namun masih perlu perbaikan dalam pendokumentasian.
  • Sarana dan prasarana kerja diperiksa dan diperbaiki secara berkala.
  • Audit internal dilakukan, namun belum sepenuhnya terdokumentasi secara sistematis.

Pendekatan ISO 45001:2018 dan PDCA

Proyek ini mengadopsi ISO 45001:2018 sebagai acuan utama. Standar ini menggabungkan aspek hukum, manajemen mutu, dan prinsip risiko dalam satu sistem terpadu. Pendekatan PDCA digunakan sebagai kerangka kerja:

  • Plan: Pembentukan P2K3 dan penetapan kebijakan K3.
  • Do: Implementasi program kerja seperti pelatihan dan pengendalian bahaya.
  • Check: Audit dan inspeksi lapangan (safety patrol).
  • Act: Evaluasi dan tindakan korektif berdasarkan hasil audit.

Kelebihan dan Kekurangan Implementasi di Lapangan

Yang Sudah Berjalan Baik:

  • Komitmen manajemen tertuang dalam struktur dan anggaran.
  • APD tersedia lengkap dan sosialisasi terus dilakukan.
  • Kegiatan pengawasan dan identifikasi bahaya rutin dilakukan.

Yang Masih Perlu Ditingkatkan:

  • Kesadaran pekerja untuk memakai APD secara konsisten.
  • Dokumentasi pelaporan insiden dan evaluasi internal belum optimal.
  • Integrasi sistem pelaporan berbasis digital belum diterapkan.

Rekomendasi Strategis untuk Proyek Selanjutnya

  1. Digitalisasi sistem pelaporan dan evaluasi K3 untuk meningkatkan transparansi dan pelacakan progres.
  2. Pelatihan berjenjang untuk seluruh pekerja, termasuk sesi khusus untuk pemahaman risiko kerja.
  3. Penguatan audit internal dengan dokumentasi lengkap dan rekomendasi perbaikan nyata.
  4. Pemberian insentif berbasis kinerja K3 untuk memotivasi pekerja.
  5. Pemasangan lebih banyak media visual edukatif K3 seperti infografik dan signage dinamis.

Perbandingan dengan Penelitian Lain

Hasil evaluasi proyek Singamandawa konsisten dengan studi oleh Kani et al. (2013) dan Kemala (2017), yang menegaskan pentingnya integrasi sistem K3 dalam setiap tahapan proyek konstruksi. Dibandingkan dengan proyek konstruksi di Bitung dan Badung, proyek Singamandawa tergolong berhasil dalam tahap perencanaan dan pelaksanaan, meski masih tertinggal dalam dokumentasi dan evaluasi berkelanjutan.

Kesimpulan: K3 Adalah Budaya, Bukan Sekadar Regulasi

Evaluasi implementasi K3 di proyek Pasar Singamandawa Tahap I menunjukkan tingkat kesesuaian yang tinggi berdasarkan standar ISO 45001:2018. Rata-rata penilaian dari seluruh responden menempatkan proyek ini dalam kategori “sangat sesuai”, yang berarti telah memenuhi standar internasional dalam aspek keselamatan kerja.

Namun demikian, keberhasilan tidak cukup hanya dari kepatuhan terhadap prosedur. Kesadaran dan budaya keselamatan harus terus dibangun dari bawah ke atas, melalui pendidikan, evaluasi berkelanjutan, dan teknologi pendukung. Tanpa itu, semua regulasi hanya menjadi teks tanpa makna.

Proyek ini menunjukkan bahwa dengan komitmen, koordinasi, dan evaluasi yang tepat, penerapan K3 bisa menjadi motor penggerak produktivitas sekaligus pelindung nyawa manusia di balik beton dan baja.

Sumber : Widiantara, I. K. B., Mahapatni, I. A. P. S., & Wijaya, I. M. H. (2024). Evaluasi Penerapan Keselamatan dan Kesehatan Kerja (K3) pada Proyek Pembangunan Pasar Singamandawa Tahap I. Jurnal Widya Teknik, 19(2), 54–59.

Selengkapnya
Evaluasi Strategis Penerapan K3 Berbasis ISO 45001 di Proyek Pembangunan Pasar Singamandawa Bali

Keamanan dan Kesehatan Kerja (K3) dalam Konstruksi

Strategi Efektif Menurunkan Kecelakaan Kerja di Proyek Konstruksi: Studi Kasus PT. XYZ Gresik

Dipublikasikan oleh Dewi Sulistiowati pada 09 Mei 2025


Mengapa K3 Harus Jadi Prioritas Utama di Proyek Konstruksi?

Industri konstruksi masih menempati peringkat teratas dalam angka kecelakaan kerja di Indonesia. Berdasarkan data BPJS Ketenagakerjaan, terjadi 265.334 kecelakaan kerja hanya dalam periode Januari hingga November 2022, naik 13,26% dibandingkan tahun sebelumnya. Fakta ini menunjukkan lemahnya penerapan Keselamatan dan Kesehatan Kerja (K3) yang sering kali dianggap sekadar formalitas.

Penelitian oleh Hidayatul Diana Prameswari dan Nur Cahyadi dari Universitas Muhammadiyah Gresik ini menyajikan analisis mendalam tentang kegagalan dan peluang dalam penerapan K3 di PT. XYZ, sebuah perusahaan pelaksana konstruksi yang sedang mengerjakan proyek pembangunan SPBU Nelayan di Gresik. Dengan 23 kecelakaan kerja selama tiga tahun terakhir, riset ini menyajikan studi kasus yang konkret dan aktual dalam memahami celah implementasi K3 di lapangan.

Fakta Lapangan: Data Kecelakaan Kerja di PT. XYZ (2021–2023)

  • Tahun 2021: 3 kecelakaan
  • Tahun 2022: 8 kecelakaan
  • Tahun 2023: 9 kecelakaan

Tren kenaikan ini menegaskan bahwa pendekatan K3 yang diterapkan belum cukup efektif. Padahal, proyek tersebut vital untuk produktivitas nelayan karena bertujuan menyediakan akses solar subsidi. Kegagalan dalam menjaga keselamatan berpotensi menimbulkan kerugian operasional, reputasi, hingga hilangnya nyawa.

Penyebab Utama Kecelakaan Berdasarkan Observasi Lapangan

Berdasarkan wawancara dengan Manajer K3 dan observasi langsung, penelitian ini mengidentifikasi empat faktor utama penyebab kecelakaan kerja:

  1. Kurangnya Kesadaran K3 di Kalangan Pekerja
    Banyak pekerja menganggap K3 sebagai aturan administratif, bukan kebutuhan perlindungan diri. Hal ini memperlihatkan lemahnya edukasi yang berkelanjutan.
  2. Ketidakpatuhan Terhadap Penggunaan APD
    Meskipun APD telah disediakan (helm, masker, sarung tangan, sepatu safety, dan lain-lain), banyak pekerja yang tidak menggunakannya. Ketidakpatuhan ini membahayakan diri sendiri dan orang di sekitarnya.
  3. Rendahnya Pemahaman tentang Risiko Kerja
    Sebagian besar pekerja belum pernah mengikuti pelatihan K3 secara memadai, sehingga minim pemahaman tentang tindakan preventif terhadap bahaya kerja.
  4. Minimnya Persepsi terhadap Konsekuensi Kecelakaan
    Banyak pekerja tidak menyadari betapa besar dampak kecelakaan—baik secara fisik, psikologis, maupun finansial. Ini menyebabkan sikap meremehkan terhadap protokol keselamatan.

Solusi Strategis: Membangun Budaya K3 yang Solid

Manajer K3 PT. XYZ menyampaikan empat langkah strategis yang harus diambil untuk membangun sistem keselamatan kerja yang efektif dan berkelanjutan:

1. Sosialisasi K3 yang Konsisten dan Berkala

Program edukasi seperti pelatihan rutin, workshop, dan seminar dijalankan untuk meningkatkan kesadaran K3. Pekerja diberi pemahaman bahwa K3 bukan hanya kewajiban, tapi juga bentuk perlindungan terhadap diri sendiri.

2. Penerapan SOP (Standar Operasional Prosedur) yang Ketat

Setiap pekerjaan harus mengikuti panduan teknis yang telah dirancang untuk menghindari kesalahan operasional. Semua pekerja wajib memahami dan menjalani SOP sebelum bertugas.

3. Pemasangan Rambu-rambu K3 di Lokasi Proyek

Rambu visual berfungsi sebagai pengingat dan panduan bagi pekerja terhadap area berbahaya atau prosedur yang harus dipatuhi. Ini meningkatkan kewaspadaan sepanjang waktu.

4. Penerapan Sanksi Tegas

Pekerja yang melanggar aturan dikenakan sanksi administratif seperti Surat Peringatan (SP) atau denda. Tujuannya bukan menghukum, tetapi mendidik bahwa keselamatan adalah tanggung jawab bersama.

Pendekatan Holistik: Meningkatkan Kompetensi Ahli K3

Penelitian ini juga menyuarakan pentingnya peningkatan kualitas tenaga ahli K3, karena keberhasilan implementasi sistem keselamatan tidak cukup hanya dengan aturan. Kompetensi SDM, khususnya di bidang pengawasan dan edukasi K3, sangat menentukan keberhasilan penerapan kebijakan.

Melalui program peningkatan kompetensi seperti pelatihan teknis lanjutan dan sertifikasi, ahli K3 diharapkan mampu menyesuaikan SOP dengan kondisi proyek serta mengelola risiko secara efektif dan adaptif.

Perbandingan dan Relevansi dengan Studi Lain

Temuan dalam studi ini memperkuat hasil dari penelitian Adi & Kushartomo (2023) yang menunjukkan bahwa pengabaian terhadap K3 adalah penyebab utama kecelakaan kerja di proyek konstruksi. Dalam proyek lain di Jakarta Pusat, ketidakpatuhan penggunaan APD menjadi penyebab 60% kecelakaan ringan hingga sedang.

Studi ini juga selaras dengan hasil kajian Atmaja et al. (2018) yang menyatakan bahwa edukasi K3 dan keberadaan SOP tertulis dapat menurunkan insiden kecelakaan hingga 40% di proyek gedung bertingkat di Padang.

Kesimpulan: K3 Adalah Investasi Jangka Panjang, Bukan Beban Operasional

Penerapan K3 yang serius dan menyeluruh terbukti mampu menekan angka kecelakaan kerja, meningkatkan produktivitas, dan menciptakan lingkungan kerja yang sehat dan bermoral. Penelitian ini menyimpulkan bahwa strategi pencegahan kecelakaan harus dimulai dari edukasi, dilanjutkan dengan sistem pelaporan risiko, serta ditegakkan dengan SOP dan sanksi yang adil.

PT. XYZ bisa menjadi contoh nyata bahwa transformasi budaya keselamatan kerja bukan hanya memungkinkan, tetapi juga esensial dalam memastikan keberlanjutan proyek konstruksi, baik dari sisi ekonomi, sosial, maupun kemanusiaan.

Sumber : Prameswari, H. D., & Cahyadi, N. (2024). Analisis Penerapan Keselamatan dan Kesehatan Kerja (K3) pada Proyek Konstruksi PT. XYZ di Kota Gresik. Jurnal Manajemen Kompeten, 7(1), 1–11.

Selengkapnya
Strategi Efektif Menurunkan Kecelakaan Kerja di Proyek Konstruksi: Studi Kasus PT. XYZ Gresik

Keamanan dan Kesehatan Kerja (K3) dalam Konstruksi

Efektivitas Implementasi K3 di Proyek Jembatan Tol Becakayu: Evaluasi SMK3 Berbasis Regulasi Nasional

Dipublikasikan oleh Dewi Sulistiowati pada 09 Mei 2025


Pendahuluan: Konstruksi dan Tantangan K3 di Indonesia

Peningkatan pembangunan infrastruktur, khususnya proyek jalan tol, menjadi prioritas nasional. Di balik geliatnya, sektor ini menyimpan risiko tinggi terhadap kecelakaan kerja. Data dari BPJS Ketenagakerjaan menunjukkan peningkatan signifikan kasus kecelakaan kerja dari 101.367 kasus pada 2016, menjadi 173.105 kasus pada 2018. Dalam konteks tersebut, penerapan Keselamatan dan Kesehatan Kerja (K3) menjadi urgensi yang tak bisa ditawar.

Penelitian oleh Eriz Sukmadiansyah dan Katarina Rini Ratnayanti dari Institut Teknologi Nasional ini secara khusus mengkaji implementasi K3 di proyek Jembatan Tol Becakayu, dengan mengacu pada Peraturan Pemerintah No. 50 Tahun 2012 serta Permenakertrans No. 1 Tahun 1980 dan No. 8 Tahun 2010.

Metodologi dan Rujukan Regulasi

Studi ini menggunakan pendekatan gap analysis dengan membandingkan regulasi K3 nasional terhadap implementasi aktual di lapangan. Sumber data sekunder dikumpulkan dari dokumentasi proyek, literatur K3, dan peraturan perundang-undangan.

Penilaian dilakukan dengan mengelompokkan setiap aspek implementasi ke dalam kategori “Sesuai” dan “Tidak Sesuai”, lalu menghitung tingkat pencapaian berdasarkan formula:

Tingkat Penerapan = ((Jumlah Sesuai – Tidak Sesuai) / Total Kriteria) x 100%

Kerangka Regulasi K3 yang Digunakan

  1. Permenakertrans No. 1 Tahun 1980
    • Mengatur lokasi kerja, alat kerja, beton, alat bantu, dan alat penyelamat.
  2. Permenakertrans No. 8 Tahun 2010
    • Fokus pada Alat Pelindung Diri (APD), pekerja, pengusaha, pengurus, dan pengawas.
  3. PP No. 50 Tahun 2012
    • Kerangka penerapan Sistem Manajemen Keselamatan dan Kesehatan Kerja (SMK3) secara menyeluruh.

Temuan Kunci dan Analisis Implementasi

1. Implementasi K3 Berdasarkan Permenakertrans No. 1 Tahun 1980

  • Total sub-kriteria: 12
  • Kategori Sesuai: 8
  • Kategori Tidak Sesuai: 4

Ketidaksesuaian ditemukan pada:

  • Kabel baja, rantai, dan peralatan bantu: tidak diperiksa rutin atau rawan cacat.
  • Pekerjaan memancang dan beton: tidak semua aspek keselamatan terpenuhi.
  • Tempat kerja dan perlindungan diri: sebagian belum memenuhi syarat minimal penerangan, ventilasi, dan kebersihan.

2. Implementasi Berdasarkan Permenakertrans No. 8 Tahun 2010

  • Total sub-kriteria: 14
  • Kategori Sesuai: 14

Penerapan perlindungan diri dinilai baik. Alat pelindung seperti helm, pelindung mata, telinga, tangan, kaki, serta respirator tersedia dan digunakan sesuai standar. Juga, peran pengusaha, pengurus, dan tenaga ahli K3 telah dijalankan sebagaimana mestinya.

3. Evaluasi Menggunakan PP No. 50 Tahun 2012

Meskipun peraturan ini dijadikan tolok ukur pembanding, hasil evaluasi keseluruhan terhadap SMK3 menunjukkan tingkat penerapan 69,23%, yang termasuk dalam kategori "baik", namun belum "memuaskan".

Studi Kasus: Proyek Becakayu dan Insiden Nyata

Proyek Jembatan Tol Becakayu sempat mengalami insiden pada 20 Februari 2018, ketika tiang pancang ambruk dan menyebabkan tujuh orang luka-luka. Ini menjadi salah satu peristiwa penting yang menggarisbawahi pentingnya pengawasan K3 sejak perencanaan hingga operasional.

Dengan keberadaan insiden tersebut, analisis penerapan K3 menjadi lebih dari sekadar evaluasi dokumen: ini tentang menyelamatkan nyawa.

Kritik dan Rekomendasi Tambahan

Apa yang Sudah Baik

  • Penggunaan APD konsisten, termasuk edukasi kepada pekerja.
  • Kepatuhan administratif terhadap Permenakertrans No. 8/2010 sangat tinggi.

Apa yang Perlu Ditingkatkan

  • Pekerjaan memancang dan beton perlu pengawasan lebih ketat—dua area ini masuk kategori tidak sesuai dan memiliki risiko tinggi.
  • Dokumentasi inspeksi dan perawatan alat bantu kerja seperti kabel baja harus dilengkapi dan dievaluasi secara berkala.
  • Pelatihan keselamatan untuk penggunaan alat berat dan mesin pancang harus ditingkatkan agar pekerja memahami batas aman operasional.

Tren Global & Rekomendasi

Di negara-negara maju, penerapan K3 semakin bergeser ke proaktif berbasis teknologi, seperti sensor di alat pelindung, sistem pemantauan real-time, dan pelatihan berbasis simulasi. Indonesia dapat mengadopsi hal serupa, terutama pada proyek berskala besar seperti Becakayu.

Kesimpulan

Penerapan K3 di proyek Jembatan Tol Becakayu telah memenuhi sebagian besar standar nasional dengan skor 69,23%, yang masuk kategori baik. Namun, masih terdapat ruang perbaikan, terutama pada aspek pekerjaan berat dan alat bantu mekanis.

Dari total 26 kriteria yang dievaluasi, 22 dinilai sesuai, dan 4 tidak sesuai, yang menunjukkan adanya keseriusan dalam menjalankan SMK3, namun juga mengungkapkan potensi risiko yang masih mengintai.

Penutup: K3 sebagai Budaya, Bukan Sekadar Prosedur

Untuk masa depan infrastruktur Indonesia yang aman dan berkelanjutan, K3 harus menjadi budaya kerja, bukan hanya regulasi tertulis. Pengalaman di proyek Becakayu menjadi cermin penting bahwa angka di atas kertas belum cukup jika tidak didukung pengawasan di lapangan dan pelatihan berkelanjutan.

Sumber : Sukmadiansyah, E., & Ratnayanti, K. R. (2020). Kajian Penerapan Keselamatan dan Kesehatan Kerja (K3) pada Jembatan Tol Becakayu. Jurnal Reka Rencana, Institut Teknologi Nasional.

Selengkapnya
Efektivitas Implementasi K3 di Proyek Jembatan Tol Becakayu: Evaluasi SMK3 Berbasis Regulasi Nasional

Keamanan dan Kesehatan Kerja (K3) dalam Konstruksi

Meningkatkan Kinerja Proyek Konstruksi dengan Penerapan SMK3 Berstandar ISO 45001 di Bali

Dipublikasikan oleh Dewi Sulistiowati pada 08 Mei 2025


Pendahuluan: Relevansi SMK3 dalam Industri Konstruksi

Industri konstruksi adalah sektor berisiko tinggi, sehingga penerapan Sistem Manajemen Keselamatan dan Kesehatan Kerja (SMK3) menjadi sangat krusial. Artikel karya I Komang Alit Astrawan Putra dan I Gusti Bagus Angga Surya Dharma yang dimuat dalam Jurnal Ilmiah Kurva Teknik Vol. 12 No. 1 (2023) ini membahas secara komprehensif bagaimana implementasi SMK3 dilakukan dalam proyek pembangunan jalan strategis di Bali yang menghubungkan Kota Singaraja dan Kabupaten Badung.

Artikel ini mengkaji implementasi SMK3 berdasarkan ISO 45001:2018, PP No. 50 Tahun 2012, dan Permen PUPR No. 10 Tahun 2021, memberikan data kuantitatif serta studi kasus yang memperlihatkan efektivitas penerapannya dalam lingkungan kerja konstruksi nyata.

Penerapan SMK3 dan Relevansi Regulasi

SMK3 dalam proyek ini diimplementasikan melalui pendekatan SMKK (Sistem Manajemen Keselamatan Konstruksi) yang merujuk pada Permen PUPR No. 10 Tahun 2021. Tujuan utamanya adalah menekan angka kecelakaan kerja, meningkatkan efektivitas kerja, dan memastikan proyek berjalan sesuai standar keselamatan internasional dan nasional.

SMK3 yang diterapkan mengacu pada lima elemen utama:

  1. Penetapan kebijakan K3
  2. Perencanaan
  3. Pelaksanaan dan Operasi
  4. Pemeriksaan dan Evaluasi
  5. Tinjauan dan Peningkatan Manajemen

Model manajemen ini mengikuti siklus Plan-Do-Check-Action (PDCA) dan selaras dengan prinsip tanggung jawab korporat.

Studi Kasus: Proyek Jalan Singaraja – Mengwitani

Ruang Lingkup Proyek

Proyek ini membentang di wilayah Bali Utara menuju selatan, mencakup beberapa titik strategis:

  • Titik 7A (182 m), 7B (278 m), 7C (141 m) → Desa Wanagiri, Gitgit, dan Pegayaman.
  • Titik 8 → Total panjang trase 1.564 m, termasuk 2 jembatan sepanjang 160 m.

Destinasi wisata di sekitar proyek seperti Danau Beratan, Air Terjun Gitgit, dan Kebun Raya Eka Karya menjadi faktor yang menambah urgensi peningkatan keselamatan kerja karena tingginya mobilitas di kawasan tersebut.

Evaluasi Kinerja SMK3: Angka dan Analisis

1. Kinerja Keseluruhan Implementasi SMK3

Penilaian terhadap 17 parameter utama yang diambil dari ISO 45001 dan PP No. 50 Tahun 2012 menunjukkan nilai 74,8%, yang dikategorikan baik. Beberapa elemen penting dalam penilaian ini adalah:

  • Kebijakan K3: 90 (skor tinggi)
  • Perencanaan: 86
  • Komunikasi dan konsultasi: 85
  • Pengendalian Operasional: 80
  • Audit internal: 81

Namun, aspek seperti pengendalian rekaman informasi dan tinjauan manajemen hanya mencetak skor 79, menunjukkan ruang untuk perbaikan.

2. Kelengkapan Fasilitas K3

Tingkat kelengkapan fasilitas K3 di lapangan dinilai sebesar 71%, yang juga dikategorikan baik. Beberapa fasilitas utama yang tersedia dan dinilai antara lain:

  • APD Lengkap: helm, rompi, masker, boots (nilai 5)
  • Safety gloves dan safety glasses: hanya mencapai nilai 3 karena kurang lengkap
  • Rambu & pagar pengaman: nilai 3, artinya layak tapi tidak lengkap
  • Spanduk K3 dan lampu peringatan: hanya dinilai 2, menunjukkan keberadaan seadanya dan tidak optimal

3. Total Penilaian Kombinasi

Dengan menggabungkan kedua aspek tersebut menggunakan rumus persentase total, diperoleh nilai gabungan sebesar 72,9% (dibulatkan menjadi 73%) yang menempatkan proyek ini dalam kategori “cukup baik”. Nilai ini menunjukkan bahwa implementasi SMK3 masih membutuhkan peningkatan, khususnya pada dokumentasi dan penyediaan fasilitas pendukung yang lebih lengkap.

Kritik dan Analisis Tambahan

Meskipun proyek telah mencatat skor yang cukup baik, sejumlah evaluasi mendalam masih diperlukan, khususnya pada aspek berikut:

  • Sumber daya dan struktur organisasi K3 masih memerlukan penyesuaian untuk memastikan tidak terjadi ketimpangan tanggung jawab.
  • Informasi dan dokumentasi K3 masih belum dilakukan secara terintegrasi.
  • Tinjauan manajemen perlu lebih aktif dan strategis, bukan sekadar administratif.
  • Fasilitas visual K3 seperti spanduk dan lampu peringatan harus diperlakukan sebagai sarana edukasi pekerja, bukan formalitas.

Aspek paling krusial dalam keberhasilan SMK3 adalah keterlibatan aktif manajemen proyek dan penanaman budaya sadar risiko kepada seluruh pekerja. Dengan pendekatan berbasis risk-based thinking, perusahaan tidak hanya memenuhi kewajiban hukum, tetapi juga menciptakan lingkungan kerja yang lebih produktif dan berkelanjutan.

Perbandingan dengan Studi Lain

Dibandingkan studi dari Ibrahim (2020) pada proyek Gedung DPRD Sleman, yang hanya mencetak skor kinerja SMK3 sebesar 65%, proyek ini tergolong lebih maju. Namun, jika dibandingkan dengan proyek konstruksi berskala besar di Jakarta yang dilaporkan oleh Fatimah et al. (2021) dengan skor 85%, pelaksanaan di Bali ini masih bisa ditingkatkan lagi.

Hal ini membuka ruang untuk benchmarking, di mana pengelola proyek dapat belajar dari proyek lain dalam penerapan teknologi K3 terkini atau sistem monitoring berbasis digital.

Rekomendasi Strategis

Untuk meningkatkan efektivitas SMK3 dalam proyek-proyek serupa ke depan, berikut beberapa rekomendasi:

  • Penerapan teknologi digital K3, seperti aplikasi pelaporan insiden secara real-time.
  • Pelatihan berkelanjutan dan gamifikasi untuk meningkatkan partisipasi pekerja.
  • Insentif berbasis K3 kepada pekerja atau tim yang menunjukkan kepatuhan tinggi terhadap prosedur keselamatan.
  • Kolaborasi dengan instansi eksternal, seperti Dinas Ketenagakerjaan dan BPJS Ketenagakerjaan, untuk audit eksternal dan supervisi berkala.

Kesimpulan: Investasi dalam Keselamatan Adalah Investasi dalam Keberhasilan

Penerapan SMK3 pada proyek pembangunan infrastruktur Singaraja – Mengwitani menunjukkan bahwa keselamatan kerja bukan sekadar kewajiban hukum, tetapi juga strategi peningkatan efisiensi dan mutu proyek. Skor 73% secara keseluruhan mencerminkan komitmen yang kuat dari perusahaan, meskipun masih terdapat ruang evaluasi signifikan terutama dalam aspek penyediaan fasilitas dan dokumentasi.

Dengan meningkatkan elemen-elemen yang masih lemah dan mengadopsi inovasi terbaru dalam manajemen keselamatan kerja, proyek-proyek konstruksi di Indonesia dapat menjadi lebih aman, efisien, dan berdaya saing global.

Sumber : Putra, I. K. A. A., & Dharma, I. G. B. A. S. (2023). Implementasi Sistem Manajemen Keselamatan dan Kesehatan Kerja (SMK3) pada Pekerjaan Proyek Pembangunan Infrastruktur. Jurnal Ilmiah Kurva Teknik, 12(1), 103–111.

Selengkapnya
Meningkatkan Kinerja Proyek Konstruksi dengan Penerapan SMK3 Berstandar ISO 45001 di Bali
page 1 of 1