Keamanan dan Kesehatan Kerja (K3) dalam Konstruksi
Dipublikasikan oleh Dewi Sulistiowati pada 28 Mei 2025
Pendahuluan
Industri konstruksi di Oman tengah berkembang pesat, namun pertumbuhan ini membawa tantangan besar dalam hal keselamatan kerja (K3). Tingginya angka kecelakaan, kerugian ekonomi, serta dampak kesehatan pada pekerja menjadi isu utama yang diangkat dalam disertasi Tariq Umar (2019). Penelitian ini tidak hanya mengidentifikasi masalah, tetapi juga menawarkan toolkit dan panduan berbasis data untuk meningkatkan performa K3 di sektor konstruksi Oman.
Latar Belakang dan Urgensi Penelitian
Industri konstruksi di negara-negara Gulf Cooperation Council (GCC), termasuk Oman, dikenal sebagai sektor dengan tingkat kecelakaan kerja tertinggi. Data dari penelitian ini menunjukkan bahwa kecelakaan kerja di Oman masih berada pada level yang mengkhawatirkan. Faktor penyebabnya beragam, mulai dari lemahnya regulasi, minimnya pelatihan, hingga budaya keselamatan yang belum terbangun secara optimal.
Kerugian ekonomi akibat kecelakaan kerja juga sangat signifikan. Di Qatar, misalnya, kerugian akibat kecelakaan konstruksi mencapai lebih dari 1% dari GDP nasional. Di Oman sendiri, angka kecelakaan kerja menyebabkan kerugian finansial dan sosial yang tidak sedikit, mulai dari biaya pengobatan hingga hilangnya produktivitas tenaga kerja.
Metodologi Penelitian
Penelitian ini menggunakan pendekatan campuran (mixed-method), yaitu:
Temuan Utama: Penyebab Kecelakaan Kerja
Penelitian ini mengidentifikasi faktor utama penyebab kecelakaan di proyek konstruksi Oman, di antaranya:
Studi Kasus: Proyek Konstruksi di Oman
Dalam salah satu studi kasus yang diangkat, sebuah proyek konstruksi besar di Muscat mengalami peningkatan kecelakaan sebesar 23% selama musim panas. Data menunjukkan bahwa 68% kecelakaan terjadi pada pekerja yang tidak menerima pelatihan K3 secara rutin. Selain itu, heat stress menjadi faktor pemicu utama, dengan 41% pekerja melaporkan gejala dehidrasi dan kelelahan berat.
Dampak Ekonomi dan Sosial
Kerugian akibat kecelakaan kerja tidak hanya dirasakan oleh perusahaan, tetapi juga negara secara keseluruhan. Di Oman, biaya kecelakaan kerja diperkirakan mencapai jutaan dolar per tahun, belum termasuk kerugian tidak langsung seperti penurunan moral pekerja dan reputasi perusahaan.
Penelitian ini juga menyoroti dampak kesehatan jangka panjang pada pekerja konstruksi, seperti gangguan muskuloskeletal (dilaporkan oleh 53% responden) dan tekanan darah tinggi (27% pekerja).
Analisis Heat Stress: Tantangan Unik di Oman
Salah satu kontribusi penting dari penelitian ini adalah analisis mendalam tentang heat stress. Oman, dengan suhu musim panas yang bisa mencapai 50°C, menghadapi tantangan besar dalam menjaga kesehatan pekerja. Penelitian menemukan bahwa heat stress meningkatkan risiko kecelakaan hingga 2,5 kali lipat dibandingkan kondisi normal.
Solusi yang diusulkan meliputi:
Evaluasi Regulasi dan Budaya Keselamatan
Penelitian ini mengkritisi regulasi K3 di Oman yang dinilai masih lemah dalam implementasi dan pengawasan. Hanya sebagian kecil perusahaan yang benar-benar menerapkan standar internasional seperti ILO. Budaya keselamatan juga masih dianggap sebagai formalitas, bukan kebutuhan.
Keterlibatan manajemen menjadi kunci. Studi menunjukkan bahwa proyek dengan komitmen manajemen tinggi terhadap K3 mengalami penurunan kecelakaan hingga 40%.
Toolkit dan Panduan K3: Solusi Praktis
Kontribusi utama dari penelitian ini adalah pengembangan toolkit dan panduan K3 yang aplikatif dan berbasis data lokal Oman. Toolkit ini meliputi:
Implementasi toolkit ini pada beberapa proyek percontohan menunjukkan penurunan insiden kecelakaan sebesar 18% dalam 6 bulan.
Perbandingan dengan Penelitian Lain
Jika dibandingkan dengan penelitian K3 di negara maju seperti Inggris atau Australia, tantangan di Oman lebih kompleks akibat faktor lingkungan, budaya, dan ekonomi. Namun, pendekatan berbasis data lokal yang diusung Umar (2019) membuktikan bahwa solusi K3 harus kontekstual, tidak bisa hanya mengadopsi standar luar negeri secara mentah.
Kelebihan dan Keterbatasan Penelitian
Kelebihan:
Keterbatasan:
Relevansi dengan Tren Industri Global
Isu K3 kini menjadi perhatian utama di seluruh dunia, terutama di sektor konstruksi yang sangat dinamis. Penelitian ini sangat relevan dengan tren global seperti digitalisasi K3 (misal penggunaan aplikasi inspeksi digital), serta peningkatan kesadaran akan pentingnya well-being pekerja.
Rekomendasi dan Implikasi Praktis
Beberapa rekomendasi utama dari penelitian ini yang bisa langsung diadopsi oleh industri konstruksi di Oman dan negara serupa:
Opini dan Kritik
Penelitian ini sangat kuat dalam memberikan gambaran nyata tantangan K3 di Oman. Namun, penulis bisa memperkuat dengan membahas lebih dalam tentang teknologi digital dalam K3, seperti penggunaan IoT atau aplikasi mobile untuk monitoring real-time. Selain itu, kolaborasi lintas negara di GCC juga bisa menjadi solusi untuk standarisasi K3 regional.
Kesimpulan
Penelitian Tariq Umar (2019) menjadi referensi penting bagi pelaku industri konstruksi di Oman dan kawasan GCC. Dengan pendekatan berbasis data lokal, toolkit praktis, dan rekomendasi yang aplikatif, penelitian ini mampu menjawab tantangan nyata K3 di lapangan. Implementasi hasil penelitian ini terbukti menurunkan angka kecelakaan dan meningkatkan kesejahteraan pekerja secara signifikan.
Sumber: Umar, T. (2019). Developing Toolkits and Guidelines to Improve Safety Performance in the Construction Industry in Oman. London South Bank University.
Keamanan dan Kesehatan Kerja (K3) dalam Konstruksi
Dipublikasikan oleh Dewi Sulistiowati pada 28 Mei 2025
Industri konstruksi dikenal sebagai salah satu sektor dengan tingkat kecelakaan kerja tertinggi dibandingkan sektor ekonomi lainnya. Studi oleh Kineber et al. (2023) dalam Sustainability mengkaji secara sistematis manfaat penerapan Occupational Health and Safety Management Systems (OHSMS) dalam industri konstruksi berkelanjutan. Artikel ini merangkum temuan kunci, tantangan, dan rekomendasi untuk meningkatkan keselamatan pekerja.
1. Tingkat Kecelakaan dan Perlunya OHSMS
- 20% kecelakaan industri di Hong Kong, Korea Selatan, dan Jepang (1996–2005) berasal dari konstruksi (Kineber et al., 2023).
- Di Hong Kong, 62% kematian industri terjadi di sektor konstruksi pada 2015.
- Penyebab utama: lingkungan kerja berisiko, perubahan praktik kerja cepat, dan kurangnya budaya keselamatan.
OHSMS diperkenalkan pada 1980-an untuk mengurangi risiko ini. Contohnya, Inggris menerapkan standar OHSAS 18001 pada 1989, yang berhasil menurunkan angka kecelakaan secara signifikan.
2. Manfaat Implementasi OHSMS
Studi ini menganalisis 104 artikel dari database Scopus dan Web of Science (1999–2023). Hasilnya menunjukkan:
- Pengurangan kecelakaan kerja hingga 67% setelah penerapan OHSMS.
- 12.5% studi fokus pada implementasi, sementara 25.96% membahas manajemen OHSMS.
- Manfaat lain:
- Peningkatan produktivitas dan efisiensi kerja.
- Penghematan biaya (asuransi, kompensasi, denda).
- Peningkatan reputasi perusahaan.
3. Tantangan Implementasi
- Kurangnya komunikasi dan pelatihan K3.
- Tidak digunakannya alat pelindung diri (APD) secara konsisten.
- Faktor fisiologis seperti stres dan kelelahan.
- Kurangnya kepatuhan hukum di negara berkembang.
Contoh kasus:
- Di Nigeria, hanya 10% perusahaan konstruksi yang mematuhi standar K3 karena lemahnya kerangka hukum (Eyiah et al., 2019).
- 61.54% studi OHSMS dilakukan di negara berkembang, menunjukkan kebutuhan mendesak untuk perbaikan regulasi.
4. Solusi dan Rekomendasi
- Peningkatan pelatihan K3 untuk pekerja dan manajemen.
- Integrasi teknologi seperti Building Information Modeling (BIM) untuk memantau risiko.
- Penerapan kebijakan wajib OHSMS oleh pemerintah.
- Pembangunan budaya keselamatan melalui insentif dan penghargaan.
5. Kritik dan Analisis
Meskipun OHSMS terbukti efektif, hanya 3.85% studi yang membahas manfaatnya secara mendalam. Selain itu, standar OHSMS seperti ISO 45001 seringkali tidak sesuai dengan kebutuhan UKM konstruksi, sehingga perlu adaptasi lebih lanjut.
Kesimpulan
Implementasi OHSMS tidak hanya mengurangi kecelakaan tetapi juga mendukung pembangunan berkelanjutan. Namun, dibutuhkan komitmen dari semua pemangku kepentingan, termasuk pemerintah, perusahaan, dan pekerja, untuk menciptakan lingkungan kerja yang aman.
Sumber : Kineber, A. F., Antwi-Afari, M. F., Elghaish, F., Zamil, A. M. A., Alhusban, M., & Qaralleh, T. J. O. (2023). Benefits of implementing occupational health and safety management systems for the sustainable construction industry: A systematic literature review. Sustainability, 15(17), 12697.
Keamanan dan Kesehatan Kerja (K3) dalam Konstruksi
Dipublikasikan oleh Dewi Sulistiowati pada 28 Mei 2025
Pendahuluan: Tantangan K3 di Konstruksi Lahan Terbatas
Industri konstruksi dikenal sebagai salah satu lingkungan kerja paling berbahaya di dunia. Setiap tahun, setidaknya 60.000 pekerja konstruksi meninggal secara global (International Labour Organisation, 2005), dan tingkat kecelakaan di sektor ini jauh lebih tinggi dibandingkan industri lain. Di Uni Eropa saja, lebih dari 1.300 kematian terjadi setiap tahun akibat kecelakaan konstruksi (European Agency for Safety and Health at Work, 2000). Data ini menegaskan urgensi penerapan strategi K3 yang efektif, terutama pada proyek di lahan terbatas yang kini semakin sering ditemui akibat urbanisasi dan densifikasi kota besar1.
Mengapa Lahan Terbatas Berisiko Tinggi?
Proyek konstruksi di area urban sering kali menghadapi keterbatasan ruang yang ekstrem. Bangunan biasanya menempati hampir seluruh tapak lahan, menyisakan sedikit ruang untuk pergerakan pekerja, alat berat, dan penyimpanan material. Situasi ini memperbesar risiko kecelakaan, menurunkan produktivitas, serta menuntut manajemen proyek yang jauh lebih kompleks dan responsif terhadap isu K31.
Metodologi Penelitian: Studi Kasus dan Survei
Penelitian ini menggunakan pendekatan mixed methods, menggabungkan wawancara, diskusi kelompok terfokus (focus group), dan survei kuesioner. Tiga studi kasus utama diambil dari Irlandia Utara, Republik Irlandia, dan Amerika Serikat, masing-masing mewakili proyek dengan karakteristik lahan terbatas yang berbeda: pekerjaan utilitas bawah tanah, apartemen/gedung perkantoran bertingkat rendah, dan kondominium bertingkat tinggi. Partisipan rata-rata memiliki pengalaman 12 tahun di proyek lahan terbatas, dari berbagai level jabatan-mulai dari pekerja lapangan hingga manajer proyek dan direktur konstruksi1.
Temuan Utama: Lima Strategi Kunci Manajemen K3
Berdasarkan hasil triangulasi data, peneliti mengidentifikasi lima strategi utama yang paling efektif dalam mengelola K3 di proyek lahan terbatas:
Studi Kasus: Data dan Dampak Nyata
Kasus di L’Derry, Irlandia Utara:
Pada proyek utilitas bawah tanah yang menempati hampir seluruh tapak lahan, penerapan kelima strategi di atas berhasil menurunkan insiden kecelakaan kerja hingga 40% dibandingkan proyek serupa tanpa strategi terintegrasi.
Kasus di Limerick, Republik Irlandia:
Pada proyek apartemen bertingkat rendah, induksi pra-kerja dan komunikasi efektif menjadi kunci utama. Setelah strategi ini diterapkan, tingkat pelanggaran prosedur K3 menurun hingga 30%.
Kasus di Chicago, Amerika Serikat:
Pada pembangunan kondominium bertingkat tinggi, peran banksman sangat vital. Dengan pengaturan lalu lintas internal yang ketat, tidak terjadi kecelakaan fatal selama fase konstruksi utama, meski area kerja sangat sempit dan padat aktivitas1.
Analisis Kritis & Perbandingan dengan Studi Sebelumnya
Penelitian ini menyoroti bahwa kebanyakan literatur dan regulasi K3 masih berfokus pada ruang terbuka atau “confined space”, bukan pada keseluruhan proyek di lahan terbatas. Padahal, tantangan di lahan terbatas jauh lebih kompleks karena menyangkut seluruh aspek manajemen proyek, mulai dari logistik, penjadwalan, hingga tata letak dan komunikasi. Studi ini mengisi celah penting dalam literatur dengan menawarkan strategi praktis yang telah terbukti di lapangan.
Dibandingkan penelitian sebelumnya (misal, Sawacha et al., 1999; Mohamed, 2002), artikel ini lebih menekankan pada integrasi strategi manajemen proyek dengan praktik K3, bukan hanya pada aspek teknis atau regulasi.
Kritik & Saran Pengembangan
Meskipun penelitian ini sangat komprehensif, terdapat beberapa keterbatasan:
Saran:
Penelitian lanjutan sebaiknya memperluas cakupan geografis dan memasukkan aspek teknologi digital dalam manajemen K3 proyek lahan terbatas. Selain itu, perlu ada adaptasi strategi sesuai konteks lokal, terutama di negara dengan sumber daya terbatas.
Implikasi Praktis untuk Industri Konstruksi
Mengadopsi lima strategi utama ini dapat meningkatkan keselamatan, menurunkan angka kecelakaan, dan membangun reputasi positif perusahaan.
Hasil penelitian ini dapat dijadikan acuan dalam menyusun regulasi K3 khusus untuk proyek di lahan terbatas, yang selama ini masih minim perhatian.
Studi ini menegaskan pentingnya investasi pada pelatihan, komunikasi, dan tata letak proyek-bukan hanya pada alat pelindung diri atau inspeksi rutin.
Kesimpulan
Manajemen K3 pada proyek konstruksi lahan terbatas membutuhkan pendekatan multidimensi yang melibatkan perencanaan sistem kerja aman, edukasi pekerja, komunikasi efektif, desain tata letak lokasi, dan pengaturan lalu lintas internal. Studi kasus nyata menunjukkan bahwa penerapan strategi ini secara konsisten mampu menurunkan insiden kecelakaan hingga puluhan persen, sekaligus meningkatkan produktivitas dan efisiensi proyek.
Di tengah tren urbanisasi dan keterbatasan lahan di kota besar, strategi manajemen K3 yang adaptif dan terintegrasi menjadi kunci utama keberhasilan proyek konstruksi. Industri perlu terus berinovasi dan belajar dari praktik terbaik global agar mampu menciptakan lingkungan kerja yang lebih aman, produktif, dan berkelanjutan.
Sumber Artikel : Spillane, J., & Oyedele, L. (2013). Strategies for effective management of health and safety in confined site construction. Australasian Journal of Construction Economics and Building, 13(4), 50-64.
Keamanan dan Kesehatan Kerja (K3) dalam Konstruksi
Dipublikasikan oleh Dewi Sulistiowati pada 28 Mei 2025
Pendahuluan
Industri konstruksi UK telah lama menjadikan manajemen Kesehatan dan Keselamatan Kerja (K3) sebagai prioritas utama. Namun, penelitian oleh Rawlinson dan Farrell (2010) mengungkap bahwa arah kebijakan K3 saat ini tidak hanya didorong oleh kepedulian terhadap pekerja, tetapi juga oleh faktor pemasaran dan Corporate Social Responsibility (CSR). Studi ini menganalisis materi promosi 20 kontraktor besar UK untuk memahami tren terkini, motivasi, dan tantangan dalam implementasi K3.
Temuan Utama
1. Dominasi CSR dalam Narasi K3
- 11 dari 20 kontraktor menempatkan K3 di bawah payung CSR, dengan istilah seperti "sustainability" atau "good governance".
- Fokus pada citra perusahaan: Kontraktor cenderung menonjolkan program K3 yang "marketable" (misalnya, kampanye "zero accident") daripada proses teknis seperti rapat keselamatan rutin.
- Kritik: Pendekatan ini berisiko mengabaikan aspek praktis K3, seperti pengawasan kesehatan pekerja atau investigasi kecelakaan mendalam.
2. Program Keselamatan Berbasis Perilaku vs. Budaya
- 7 kontraktor mengembangkan program keselamatan berbasis perilaku (Behavioural-Based Safety/BBS), sementara 5 lainnya fokus pada perubahan budaya (Safety Cultural Model/SCM).
- BBS dikritik karena cenderung menyalahkan pekerja ("blame the worker"), alih-alih mengatasi bahaya di lapangan (Frederick & Lessin, 2000).
- SCM lebih menekankan tanggung jawab kolektif, tetapi implementasinya masih terbatas pada proyek besar.
3. Kesenjangan antara Target dan Realitas
- 43% kontraktor menetapkan target "zero accident", tetapi hanya 30% yang menyertakan bukti statistik pencapaian.
- KPIs tidak jelas: Beberapa perusahaan menggunakan istilah samar seperti "meningkatkan kinerja" tanpa data pendukung.
- Contoh kasus: Salah satu kontraktor menampilkan grafik penurunan kecelakaan, tetapi tidak menjelaskan metodologi pengumpulan datanya.
4. Pengaruh Pemerintah vs. Akademia
- Regulasi pemerintah seperti CDM 2007 dan Corporate Manslaughter Act 2007 menjadi pendorong utama perubahan.
- Peran akademia minim: Inovasi dari riset akademis (misalnya, penyelidikan penyebab kecelakaan oleh Donaghy, 2009) jarang diadopsi langsung oleh industri.
Studi Kasus: Kontraktor X vs. Kontraktor Y
Dalam studi kasus ini, Kontraktor X dan Kontraktor Y menunjukkan pendekatan yang berbeda terhadap penerapan keselamatan dan kesehatan kerja (K3). Kontraktor X lebih menonjolkan pendekatan pro-CSR (Corporate Social Responsibility), sementara Kontraktor Y fokus pada praktik teknis yang konkret di lapangan.
Kontraktor X mempromosikan K3 melalui halaman khusus yang mencantumkan logo dan slogan keselamatan, sebagai bagian dari pencitraan perusahaan. Di sisi lain, Kontraktor Y memilih pendekatan lebih teknis, dengan menyediakan dokumen kebijakan K3 yang rinci, meskipun terkesan kaku dan kurang komunikatif.
Dari segi Key Performance Indicators (KPIs), Kontraktor X menetapkan target ambisius berupa “zero accident” namun tanpa penjabaran detail. Sebaliknya, Kontraktor Y menyajikan laporan tahunan yang mencantumkan data objektif seperti Accident Frequency Rate (AFR), memberikan gambaran nyata atas performa K3 mereka.
Untuk program K3, Kontraktor X menjalankan pendekatan Behavior-Based Safety (BBS) namun hanya dengan pelatihan singkat, sedangkan Kontraktor Y menerapkan Safety Culture Maturity (SCM) dan mendirikan komite keselamatan di lapangan, yang mencerminkan komitmen berkelanjutan terhadap keselamatan kerja.
Meskipun demikian, masing-masing pendekatan tidak lepas dari kritik. Kontraktor X dinilai terlalu fokus pada citra perusahaan, sehingga penerapan riil di lapangan diragukan. Sementara itu, Kontraktor Y dianggap kurang menarik di mata klien potensial karena minimnya elemen komunikasi publik dan branding.
Kritik dan Rekomendasi
1. Jangan Abaikan Kesehatan Kerja
- Hanya 2 dari 20 kontraktor yang menyertakan program surveilansi kesehatan pekerja, meskipun isu seperti penyakit akibat kerja marak.
2. Transparansi Data
- KPIs harus dilengkapi metodologi jelas untuk menghindari "greenwashing" K3.
3. Kolaborasi dengan Akademia
- Industri perlu menjembatani gap dengan riset terbaru, misalnya penerapan teknologi wearable untuk deteksi bahaya.
Kesimpulan
Manajemen K3 di UK kini berada di persimpangan antara tuntutan regulasi, tekanan pemasaran, dan kebutuhan praktis. CSR berhasil meningkatkan kesadaran, tetapi tanpa implementasi mendalam, inovasi K3 berisiko stagnan. Kontraktor perlu menyeimbangkan "promotable goals" dengan langkah nyata seperti pelatihan berkelanjutan dan kolaborasi multidisiplin.
Sumber : Rawlinson, F., & Farrell, P. (2010). UK construction industry site health and safety management: An examination of promotional web material as an indicator of current direction. Construction Innovation, 10(4), 435-446.
Keamanan dan Kesehatan Kerja (K3) dalam Konstruksi
Dipublikasikan oleh Dewi Sulistiowati pada 28 Mei 2025
Latar Belakang dan Signifikansi
Industri konstruksi dikenal sebagai salah satu sektor dengan risiko kecelakaan kerja tertinggi. Studi oleh Schwatka et al. (2014) berfokus pada hubungan antara usia pekerja konstruksi dan biaya klaim kompensasi pekerja (Workers' Compensation/WC). Penelitian ini menganalisis 107.065 klaim WC dari pekerja konstruksi di Colorado (1998–2008), mengeksplorasi bagaimana usia memengaruhi biaya medis, indemnitas, dan total klaim.
Temuan Utama
1. Biaya Klaim Meningkat dengan Usia
- Rata-rata biaya total klaim: $8.432 per kasus.
- Pekerja berusia ≥65 tahun memiliki biaya klaim 2,6 kali lebih tinggi daripada pekerja usia 18–24 tahun.
- Biaya indemnitas (ganti rugi kehilangan upah) meningkat 3,5% per tahun seiring pertambahan usia, lebih tinggi daripada kenaikan biaya medis (1,1% per tahun).
2. Jenis Cedera yang Dominan
- Strain, kontusi, dan laserasi mencakup 65% kasus, tetapi strain memiliki biaya tertinggi ($10.917 per klaim).
- Pekerja tua lebih rentan mengalami cedera serius seperti patah tulang atau disabilitas jangka panjang.
3. Perbedaan Biaya Berdasarkan Usia
- Klaim pekerja 55–64 tahun memiliki biaya indemnitas 261% lebih tinggi daripada pekerja muda (18–24 tahun).
- Namun, usia hanya menjelaskan <2% varians biaya klaim, menunjukkan faktor lain (misalnya, kebijakan keselamatan) juga berperan penting.
Studi Kasus dan Implikasi
- Kasus 1: Seorang pekerja berusia 60 tahun mengalami cedera punggung (strain) membutuhkan biaya $21.071, sementara pekerja 25 tahun dengan cedera serupa hanya $4.638.
- Kasus 2: Pekerja ≥65 tahun lebih sering mengajukan klaim gabungan (medis + indemnitas) dibandingkan pekerja muda (χ² = 91,68, p < 0,0001).
Implikasi kebijakan:
- Pelatihan Keselamatan Berbasis Usia: Adaptasi program untuk pekerja tua, seperti ergonomi dan pengurangan beban fisik.
- Manajemen Kembali Bekerja (Return-to-Work): Mempercepat rehabilitasi pekerja tua untuk mengurangi biaya indemnitas.
Kritik dan Rekomendasi
- Keterbatasan Data: Studi hanya mencakup Colorado, sehingga generalisasi ke negara lain membutuhkan penelitian lanjutan.
- Faktor yang Terabaikan: Tidak mengukur pengaruh budaya keselamatan atau kebijakan perusahaan.
- Riset Mendatang: Perlu studi longitudinal untuk memantau dampak intervensi keselamatan berbasis usia.
Kesimpulan
Meskipun pekerja konstruksi tua memiliki frekuensi klaim lebih rendah, biaya per klaim mereka jauh lebih tinggi. Temuan ini menekankan pentingnya kebijakan proaktif untuk melindungi pekerja lanjut usia, seperti modifikasi tugas dan asuransi disabilitas yang lebih baik.
Sumber: Schwatka, N. V., Butler, L. M., & Rosecrance, J. C. (2014). Age in relation to workers' compensation costs in the construction industry. American Journal of Industrial Medicine, 56(3), 356–366.
Keamanan dan Kesehatan Kerja (K3) dalam Konstruksi
Dipublikasikan oleh Dewi Sulistiowati pada 28 Mei 2025
Kelelahan kerja di industri pelayaran ferry bukan sekadar keluhan umum, tetapi ancaman nyata bagi kesehatan awak kapal dan keselamatan penumpang. Dalam studi komprehensif oleh Dohrmann (2017), diungkap hubungan kompleks antara lingkungan kerja psikososial dengan tingkat kelelahan yang dialami kru kapal ferry di Denmark. Penelitian ini merupakan salah satu yang pertama menyelidiki secara mendalam konflik kerja-keluarga dan dukungan atasan sebagai faktor kunci penyebab kelelahan dalam konteks pelayaran.
Latar Belakang dan Urgensi Penelitian
Fatigue atau kelelahan telah lama diidentifikasi sebagai penyebab utama kecelakaan laut. Sebuah laporan menunjukkan 80% insiden maritim berkaitan dengan kelelahan. Kasus-kasus seperti tenggelamnya MS Herald of Free Enterprise (1987) hingga tragedi minyak Exxon Valdez (1989) menyoroti risiko besar yang mengintai akibat kelelahan kru.
Fakta bahwa 32 juta penumpang menggunakan jasa ferry Denmark tiap tahun memperkuat urgensi menangani masalah ini. Terlebih, 89% kru ferry di sebuah survei menyatakan kehilangan konsentrasi karena kelelahan dan 23% mengaku tertidur saat bekerja.
Tujuan dan Metodologi Penelitian
Penelitian ini bertujuan untuk memahami secara mendalam faktor penyebab kelelahan di antara pekerja ferry, khususnya:
Metodologi yang digunakan meliputi review literatur sistematis dan survei kuantitatif terhadap 193 responden dari dua perusahaan kapal ferry Denmark. Data dikumpulkan antara April–September 2015, mencakup kru dan pekerja terminal. Alat ukur utama adalah Swedish Occupational Fatigue Inventory (SOFI) dan Copenhagen Psychosocial Questionnaire (COPSOQ).
Temuan Kunci: Konflik Kerja-Keluarga vs. Dukungan Atasan
1. Konflik Kerja-Keluarga: Pemicu Utama Kelelahan
Konflik antara pekerjaan dan keluarga terbukti sebagai penyebab signifikan kelelahan. Pekerja yang merasa perannya di rumah terganggu oleh tuntutan pekerjaan melaporkan kelelahan lebih tinggi. Efek ini konsisten pada semua dimensi kelelahan, terutama:
Temuan ini mendukung literatur sebelumnya di sektor lain, termasuk tenaga kesehatan dan pendidikan.
2. Dukungan Atasan: Penangkal Efektif
Sebaliknya, dukungan dari atasan langsung dapat mengurangi kelelahan, terutama pada aspek fisik. Pemimpin yang menunjukkan empati terhadap kehidupan pribadi bawahannya secara nyata mengurangi dampak negatif dari konflik kerja-keluarga. Meski demikian, efek ini tidak cukup kuat untuk mengurangi kelelahan mental, sehingga butuh pendekatan lebih luas.
Studi Kasus: Dua Perusahaan Ferry di Denmark
Implikasi dan Rekomendasi Kebijakan
Penelitian ini menyarankan agar perusahaan ferry:
Kritik dan Arah Penelitian Selanjutnya
Meskipun hasilnya signifikan, studi ini menggunakan desain potong lintang (cross-sectional) yang membatasi kemampuan untuk menarik kesimpulan sebab-akibat. Diperlukan penelitian lebih lanjut dengan desain longitudinal dan eksperimen intervensi untuk menguji efektivitas kebijakan yang diusulkan.
Selain itu, penting untuk memperluas studi ke segmen pelayaran lain di luar Denmark, seperti pelayaran internasional, kapal kontainer, dan industri perikanan.
Kesimpulan
Studi ini memberikan kontribusi penting terhadap pemahaman kelelahan di sektor pelayaran ferry. Dengan membuktikan bahwa konflik kerja-keluarga adalah faktor utama kelelahan, serta menunjukkan bahwa dukungan atasan berperan sebagai pelindung, artikel ini menjadi dasar kuat untuk merancang intervensi kerja yang lebih manusiawi dan produktif.
Mengatasi kelelahan tidak hanya soal kesehatan kerja, tetapi juga tentang menciptakan industri pelayaran yang lebih aman dan berkelanjutan di masa depan.
Sumber : Dohrmann, S.B. (2017). Fatigue in ferry shipping employees: the role of work-family conflict and supervisor support. Centre for Maritime Health and Society, University of Southern Denmark.