Keamanan dan Kesehatan Kerja (K3) dalam Konstruksi

Faktor-Faktor Penyebab Kecelakaan Kerja pada Pembelajaran Praktik di Lingkungan Pendidikan Tinggi

Dipublikasikan oleh Timothy Rumoko pada 12 September 2025


Latar Belakang Teoretis

Kecelakaan kerja didefinisikan dalam literatur sebagai peristiwa tak terduga yang menimbulkan kerugian fisik atau materiil akibat interaksi kompleks berbagai faktor manusia, peralatan, metode, dan lingkungan kerja. H.W. Heinrich dalam Teori Domino (1931) mengemukakan lima faktor berantai (kondisi kerja tidak aman, kelalaian manusia, tindakan tidak aman, kejadian kecelakaan, dan cedera), menegaskan bahwa kecelakaan jarang terjadi tiba-tiba tanpa pancingan faktor-faktor sebelumnya. Bird & Loftus (1969) menambah kerangka ini dengan membagi penyebab menjadi tiga kategori (manajemen kurang terkendali, penyebab dasar, dan penyebab langsung). Pada konteks praktikum perguruan tinggi, teori ini menyiratkan bahwa pengabaian prosedur K3 dan lemahnya pengendalian keselamatan (unsafe action dan unsafe condition) merupakan tanda peringatan sebelum kecelakaan serius terjadi. Pendekatan Swiss Cheese juga menekankan pentingnya mengidentifikasi penyebab laten dan langsung kecelakaan.

Dalam konteks pendidikan tinggi, laboratorium dan bengkel kampus juga memuat potensi bahaya signifikan. Meski sering dianggap berisiko rendah dibanding industri besar, data menunjukkan tren kecelakaan kerja yang tinggi di Indonesia: misalnya, BPJS Ketenagakerjaan melaporkan lebih dari 100 ribu kasus setiap tahun antara 2015–2019. Di dunia pendidikan, survei awal di Universitas Negeri Jakarta (UNJ) menemukan 48% mahasiswa pernah mengalami kecelakaan saat praktikum laboratorium. Distribusi kejadian tertinggi terjadi di workshop plumbing (54,1%), kemudian bengkel kayu (46,8%), laboratorium batu 33%, laboratorium uji bahan 22%, dan laboratorium mekanika tanah 28,4%. Klasifikasi kecelakaan ringan (tergores, terpeleset) hingga sedang (terjepit, luka bakar) juga tercatat. Temuan empiris ini menegaskan bahwa lingkungan lab kampus tidak lepas dari risiko keselamatan kerja. Secara teoritis, faktor utama penyebab kecelakaan dinyatakan terdiri dari faktor tindakan tidak aman (unsafe action) dan faktor kondisi tidak aman (unsafe condition), selaras dengan temuan Bird yang menempatkan setiap satu kejadian fatal didahului banyak insiden ringan dan sumber bahaya. Dengan demikian, artikel ini menempatkan teori-teori keselamatan kerja (Heinrich, Bird, Swiss Cheese) sebagai landasan konseptual, lalu memfokuskan pada konteks praktikum di perguruan tinggi.

Metodologi dan Kebaruan

Penelitian ini mengadopsi metode studi literatur untuk menganalisis penyebab kecelakaan kerja pada praktikum perguruan tinggi. Penulis mengumpulkan dan menganalisis dokumen, artikel, dan publikasi yang relevan dengan topik. Pendekatan ini memungkinkan kompilasi komprehensif atas faktor-faktor risiko, namun tidak diuraikan kriteria pemilihan sumber secara sistematis. Dengan demikian, analisis bersifat naratif dan deskriptif, tanpa uji hipotesis statistik. Keunggulan metodologisnya adalah integrasi temuan dari berbagai riset terkini ke dalam satu kerangka yang ditargetkan untuk lingkungan laboratorium pendidikan. Kebaruan kajian ini terletak pada fokusnya yang spesifik pada praktikum pendidikan tinggi, berbeda dari sebagian besar literatur K3 yang dominan pada industri manufaktur atau konstruksi. Article ini mencoba menjembatani kesenjangan literatur dengan memetakan risiko di laboratorium akademis, yang sering diabaikan dalam diskursus keselamatan kerja umum. Dengan mengkontekstualkan teori keselamatan umum ke ranah pendidikan vokasional, studi ini memberi kontribusi baru dalam menyoroti perlunya adaptasi prinsip K3 dalam desain kurikulum dan fasilitas kampus.

Temuan Utama dengan Kontekstualisasi

Studi literatur ini menyimpulkan bahwa tindakan tidak aman (unsafe action) oleh mahasiswa merupakan faktor penyebab kecelakaan praktikum yang paling dominan. Jenis perilaku tak aman ini termasuk penggunaan alat pelindung diri (APD) yang tidak tepat dan kelalaian saat bekerja. Cahyaningrum dkk. (2019) mencatat penggunaan APD yang tidak benar sebagai penyumbang utama insiden praktikum. Demikian pula, Priadi dkk. (2018) menemukan bahwa di bengkel kayu mahasiswa kerap kurang fokus dan ceroboh mengoperasikan mesin (unsafe action), yang berakibat luka berat pada jari. Hasil analisis menyatakan bahwa perilaku semacam ini berasal dari kurangnya kesadaran risiko dan ketidakpatuhan terhadap prosedur keselamatan. Kajian ini menekankan bahwa teori Bird & Loftus dan Heinrich sejalan dengan temuan ini; Bird & Loftus menyatakan bahwa kondisi kerja dibawah standar K3 dan tindakan kerja yang melanggar SOP adalah pemicu kecelakaan. Dengan kata lain, peningkatan pelatihan K3 dan penegakan disiplin prosedural pada level mahasiswa sangat krusial untuk mitigasi faktor ini.

Selain itu, kondisi kerja tidak aman (unsafe condition) di laboratorium juga menjadi faktor penting kedua. Faktor lingkungan yang tak memenuhi standar K3 meliputi: peralatan laboratorium rusak atau tidak terpelihara, instalasi listrik yang sembarangan, ventilasi tidak memadai, hingga sarana keselamatan seperti pengeras sinar atau pemadam api yang kurang tersedia. Nayiroh dan Kusairi (2019) mengidentifikasi hambatan K3 di lab fisika, seperti alat rusak berkepanjangan, kelistrikan tidak standar, dan ventilasi buruk. Hal ini mendukung pandangan bahwa faktor lingkungan sekitar kerja berkontribusi meningkatkan risiko kecelakaan. Penelitian Sumangingrum (2017) juga menemukan hubungan yang kuat antara tingkat pengetahuan mahasiswa dan kecenderungan melakukan tindakan tidak aman; artinya, lingkungan pendidikan yang kekurangan pendidikan keselamatan akan memperparah efek faktor tak aman. Keseluruhan temuan ini menggambarkan bahwa gabungan faktor individu (unsafe action) dan faktor sistem (unsafe condition) menjadi kunci dalam kejadian kecelakaan praktikum.

Data kuantitatif pendukung yang disajikan juga memberikan konfirmasi penting. Misalnya, survei Permana et al. (2020) menyebutkan 48% mahasiswa pernah mengalami kecelakaan praktikum. Insiden terbanyak terjadi di kegiatan praktikum plumbing (54,1%), diikuti workshop kayu (46,8%) dan laboratorium lainnya. Temuan kuantitatif ini menguatkan urgensi literatur: tingkat kecelakaan yang tinggi mengindikasikan banyak near-miss yang belum tertangani, sebagaimana piramida Bird (1 fatal : 10 serius : 30 ringan : 600 nyaris celaka : 10.000 potensi bahaya). Dengan menganalisis data ini, artikel menempatkan perilaku tak aman sebagai kontributor utama, dan kondisi kerja berbahaya sebagai faktor sekunder. Kontribusi baru terhadap pengetahuan adalah penekanan bahwa, dalam ranah pendidikan teknik, belum banyak kajian sistematis mengungkap hubungan antara budaya K3 kampus dengan tingkat kecelakaan praktikum. Dengan merangkum berbagai studi sebelumnya dalam satu sintesis, kajian ini memperkaya literatur dengan konteks yang lebih relevan bagi pengelola praktikum di kampus, sekaligus menegaskan bahwa pencegahan K3 perlu diintegrasikan sejak tahap perencanaan laboratorium pendidikan.

Keterbatasan dan Refleksi Kritis

  • Keterbatasan data primer: Penelitian ini murni berbasis telaah pustaka tanpa pengumpulan data lapangan baru. Hal ini membatasi validitas ekstensifnya, karena tidak ada verifikasi empiris jumlah atau jenis kecelakaan yang terjadi di lapangan. Tanpa survei atau wawancara, afirmasi tentang faktor dominan bersifat inferensial dari studi lain.
  • Seleksi sumber tidak dijabarkan: Tidak terdapat metode sistematis (misalnya protokol PRISMA) untuk pemilihan dan evaluasi artikel. Risiko bias literatur cukup besar jika kriteria inklusi-eksklusi tidak disebutkan. Sebagai contoh, tidak jelas apakah sumber telah diperbarui setelah 2019 atau mencakup studi internasional terbaru.
  • Analisis kualitatif tanpa signifikansi statistik: Kajian ini tidak melibatkan analisis statistik atau model kuantitatif untuk mengukur kekuatan korelasi antar variabel. Oleh karena itu, klaim tentang seberapa besar masing-masing faktor berkontribusi pada kecelakaan bersifat deskriptif. Tidak dilakukan pengujian hipotesis seperti uji regresi atau uji-t sehingga signifikansi perbedaan faktor tidak diverifikasi.
  • Kerangka teori kurang diintegrasikan: Meskipun teori Domino, Bird, dan Swiss Cheese disebutkan, studi ini tidak menguji teori mana yang paling cocok untuk konteks praktikum pendidikan. Pilihan menggunakan teori-teori klasik ditampilkan sekadar sebagai latar, tanpa analisis kritis apakah skema tersebut valid di laboratorium akademis modern. Misalnya, peran manajemen dalam teori Bird tidak diulas mendalam mengenai bagaimana kebijakan kampus mempengaruhi insiden praktikum.
  • Keterbatasan cakupan konteks: Hasil kajian ini terutama berbasis literatur lokal (Indonesia) dan fokus pada lingkungan Universitas Negeri Jakarta. Hasilnya mungkin tidak mudah digeneralisasi ke institusi lain dengan perbedaan kurikulum atau budaya keselamatan yang berbeda. Di samping itu, dinamika teknologi laboratorium mutakhir (misalnya penggunaan otomasi atau laboratorium virtual) tidak dipertimbangkan.

Implikasi Ilmiah di Masa Depan

Temuan kajian ini menunjukkan bahwa integrasi K3 dalam pendidikan teknik merupakan kebutuhan mendesak. Secara ilmiah, riset selanjutnya sebaiknya melengkapi kajian ini dengan data kuantitatif empiris: misalnya, survei kohort mahasiswa, audit keamanan laboratorium, atau studi kasus kecelakaan riil di perguruan tinggi. Pengembangan instrumen evaluasi risiko praktikum yang berbasis data lapangan juga dapat memvalidasi faktor dominan yang diidentifikasi. Secara kurikuler, implikasinya adalah perluasan materi keselamatan kerja dalam silabus mata kuliah praktikum, serta pelatihan rutin bagi dosen dan asisten lab.

Dalam perkembangan terkini, bidang keselamatan kerja mengarah pada pendekatan Safety-II yang fokus pada peningkatan kemampuan adaptasi pekerja terhadap situasi berisiko. Dalam konteks pendidikan teknik, ini berarti mahasiswa tidak hanya diberi peringatan tentang bahaya, tetapi juga dilibatkan aktif dalam identifikasi dan mitigasi risiko praktikum. Paradigma baru lain, seperti penggunaan virtual reality (VR) untuk pelatihan K3, patut dikaji sebagai inovasi pengurangan risiko tanpa ekspos langsung kepada bahaya nyata. Selanjutnya, kolaborasi lintas disiplin (misalnya antara pendidik teknik dan ahli keselamatan industri) perlu diperkuat untuk merumuskan kebijakan K3 kampus.

Secara global, temuan penting kajian ini relevan dengan tren peningkatan budaya keselamatan kerja serta tujuan Pembangunan Berkelanjutan (SDG) tentang pekerjaan layak (SDG 8). Dengan menumbuhkan budaya K3 di lingkungan akademis sejak dini, institusi pendidikan teknik dapat berkontribusi menghasilkan lulusan yang sadar risiko dan memiliki kecakapan menerapkan protokol keselamatan di tempat kerja profesional nanti. Oleh karena itu, penelitian ini menggarisbawahi bahwa peningkatan keselamatan praktikum tidak hanya perlu sebagai kebijakan administratif, tetapi sebagai bagian tak terpisahkan dari pendidikan teknik modern.

Referensi:
Febriyani, Tuti Iriani, M. Agphin Ramadhan. (2020). Faktor-Faktor Penyebab Kecelakaan Kerja pada Pembelajaran Praktik di Lingkungan Pendidikan Tinggi. Prosiding Seminar Pendidikan Kejuruan dan Teknik Sipil (SPKTS), Fakultas Teknik Universitas Negeri Jakarta.

Selengkapnya
Faktor-Faktor Penyebab Kecelakaan Kerja pada Pembelajaran Praktik di Lingkungan Pendidikan Tinggi

Keamanan dan Kesehatan Kerja (K3) dalam Konstruksi

Analisis Kebutuhan Pengembangan Job Safety Analysis untuk Laboratorium Mekanika Tanah

Dipublikasikan oleh Timothy Rumoko pada 12 September 2025


Latar Belakang Teoretis.

Tulisan Harish, Daryati, dan Murtinugraha (2020) mengawali dengan menyoroti tingginya angka kecelakaan kerja baik di sektor industri maupun lingkungan pendidikan, serta kebutuhan sistem K3 (Kesehatan dan Keselamatan Kerja) yang memadai. Data BPJS Ketenagakerjaan menunjukkan peningkatan signifikan kasus kecelakaan nasional (misalnya dari 123.041 kasus tahun 2017 menjadi 173.105 kasus tahun 2018). Konsep K3 ini diikat dalam kerangka Regulasi (PP RI No.50/2012) sebagai upaya pencegahan kecelakaan dan penyakit akibat kerja. Penulis menggarisbawahi bahwa manajemen risiko merupakan bagian integral dari sistem K3, di mana Job Safety Analysis (JSA) diidentifikasi sebagai metode kunci untuk menilai dan mengendalikan bahaya sebelum kecelakaan terjadi. Lebih lanjut, JSA didefinisikan sebagai teknik yang memfokuskan analisis pada tiap langkah tugas kerja, menghubungkan pekerja, alat, dan lingkungan kerja, untuk mengidentifikasi sumber bahaya dan menetapkan tindakan pengendalian. Konsep analisis kebutuhan (need analysis) juga dibahas sebagai metodologi yang digunakan untuk menutup jurang antara kondisi saat ini dan kebutuhan ideal.

Penulis merujuk pula pada literatur terkait K3 dan JSA: misalnya Rijanto (2010) yang mendeskripsikan JSA sebagai alat analisis risiko yang mengidentifikasi kontrol bahaya, serta standar OSHA yang menekankan pencegahan insiden dengan memeriksa langkah kerja secara mendetail. Dalam konteks pendidikan tinggi, laboratorium dianggap sebagai lingkungan kerja yang memiliki potensi bahaya. Sebagai studi kasus, laboratorium mekanika tanah Program Studi Pendidikan Teknik Bangunan UNJ dipandang rawan: kegiatan praktikum seperti uji kadar air, uji berat jenis, batas Atterberg, uji CBR, hingga uji triaxial, menghasilkan partikel-partikel tanah halus di udara yang dapat menyebabkan gangguan pernapasan dan iritasi mata. Wawancara dengan dosen praktik mengungkap kecelakaan yang pernah terjadi: mahasiswa mengalami sesak napas, iritasi mata, dan kerusakan alat karena kelalaian prosedur keselamatan. Studi pendahulu (Permana, 2020) menunjukkan hampir setengah mahasiswa di lingkungan FT UNJ pernah mengalami cedera ringan atau sedang saat praktik, dan 12,5% dari insiden tersebut terjadi di laboratorium mekanika tanah.

Kerangka teori ini menegaskan bahwa terdapat kesenjangan antara praktik K3 yang seharusnya dan kondisi aktual di laboratorium. Oleh karena itu, penulis mengajukan perlunya mengembangkan JSA khusus untuk laboratorium mekanika tanah. Tahap awal dalam model pengembangan yang digunakan adalah analisis kebutuhan, bertujuan mengidentifikasi risiko dan kebutuhan spesifik pekerjaan yang dilakukan. Dengan demikian, studi ini ditempatkan dalam landasan teoretis manajemen risiko K3 yang kuat, menggabungkan definisi analisis kebutuhan, prinsip K3 berdasarkan regulasi, dan metode JSA sebagai strategi mitigasi utama. Hipotesis implisit yang muncul adalah bahwa pengembangan JSA dapat mengurangi kecelakaan kerja di laboratorium tersebut, sejalan dengan peran JSA yang diakui dalam literatur K3.

Metodologi dan Kebaruan.

Pendekatan penelitian adalah metode pengembangan (research and development) dengan acuan model Borg dan Gall (level 1), namun laporan ini fokus pada fase awal (analisis kebutuhan). Teknik pengumpulan data utama adalah survei kuantitatif berbasis kuesioner dan observasi. Dengan desain cross-sectional, peneliti menyasar populasi mahasiswa S1 Pendidikan Teknik Bangunan UNJ angkatan 2015–2017 yang telah mengikuti Praktik Mekanika Tanah. Sebanyak 72 responden berhasil diambil (termasuk praktikan tahun 2015, 2016, 2017). Instrumen kuesioner disebar secara online melalui Google Form pada periode 12–15 Februari 2020, dan peneliti juga melakukan observasi langsung di laboratorium untuk melengkapi data.

Teknik pengumpulan data secara terstruktur ini menghasilkan informasi tentang tiga variabel utama: persepsi penerapan K3 di laboratorium, pengalaman kecelakaan kerja mahasiswa, dan sikap terhadap pengembangan JSA. Data primer diolah secara deskriptif; persentase dan rata-rata nilai digunakan untuk meringkas temuan. Tidak dijumpai analisis inferensial atau uji hipotesis; metodologi hanya mengandalkan statistik dasar (tabel distribusi, persentase).

Kebaruan penelitian ini terletak pada aplikasinya yang spesifik: fokus pada pengembangan JSA di lingkungan laboratorium pendidikan vokasi, khususnya laboratorium mekanika tanah. Beberapa penelitian terdahulu mengkaji JSA dalam praktik industri atau workshop (misalnya Saraswati et al. 2019 pada workshop plumbing) tetapi sangat sedikit yang membahas laboratorium perguruan tinggi. Dengan menggabungkan perspektif mahasiswa (melalui kuesioner) dan data kecelakaan di lab, studi ini memberikan tinjauan empiris yang relatif baru di bidang pendidikan teknik. Penelitian ini juga menegaskan pentingnya analisis kebutuhan sebagai langkah awal dalam desain instrumen manajemen risiko, suatu pendekatan yang masih jarang diterapkan untuk konteks laboratorium pendidikan. Secara keseluruhan, metodologi yang sistematis sekaligus kontekstual di laboratorium teknik ini menjadi kontribusi yang membedakan karya ini dari literatur K3 edukasi lainnya.

Temuan Utama dengan Kontekstualisasi.

Hasil analisis kebutuhan menyajikan gambaran kuantitatif sebagai berikut:

  • Kepuasan terhadap K3. Rata-rata skor kepuasan responden terhadap penerapan SMK3 di laboratorium mekanika tanah tercatat 61,1% (sekitar 3,66 dari skala 6). Sebagian besar mahasiswa menilai penerapan K3 cukup hingga baik, meski terdapat 28 mahasiswa yang menganggapnya “kurang baik” (observasi terhadap keberadaan rambu bahaya dan APD dinilai belum optimal). Nilai 61,1% ini menggambarkan situasi moderat: implementasi K3 dinilai ada, namun tidak memuaskan penuh. Konteksnya, hasil ini sejalan dengan temuan Permana (2020) bahwa tingkat kepuasan K3 mahasiswa FT UNJ juga relatif sedang, sehingga problem awareness di lingkungan akademik perlu ditingkatkan.
  • Data kecelakaan kerja. Sebanyak 21 dari 72 mahasiswa (27,8%) melaporkan pernah mengalami kecelakaan kerja selama tiga tahun terakhir di laboratorium mekanika tanah. Mayoritas kecelakaan tersebut bersifat ringan (19 orang, 90,5%) seperti tergores, terpeleset, atau terkena serpihan, sementara hanya 2 mahasiswa (9,5%) yang mengalami cedera sedang. Tidak ada kecelakaan berat yang tercatat. Angka insiden ~28% ini mencerminkan kejadian nyata yang tidak rendah: hampir satu perempat mahasiswa pernah mengalami insiden saat praktikum. Sebagai perbandingan, penelitian Permana (2020) di lingkungan Fakultas Teknik UNJ juga menemukan insiden kecelakaan hampir separuh responden (48%), dengan 12,5% insiden terjadi di lab mekanika tanah. Data kami menegaskan bahwa kategori kecelakaan ringan mendominasi namun risikonya masih tersendiri jika dibiarkan berulang.
  • Sikap terhadap JSA. Mayoritas besar mahasiswa (69 orang; 95,8% dari total) menyatakan menyetujui bahwa pengembangan Job Safety Analysis akan mengurangi risiko kecelakaan kerja di laboratorium tersebut. Persetujuan hampir bulat ini menunjukkan kepercayaan kuat mahasiswa terhadap efektivitas JSA sebagai alat mitigasi. Artinya, hampir seluruh praktikan melihat JSA sebagai intervensi yang logis dan diperlukan untuk meningkatkan keselamatan praktik. Temuan ini sejalan dengan literatur (misalnya Saraswati et al. 2019) yang menyarankan JSA sebagai instrumen praktis untuk mengatasi bahaya di lingkungan kerja vokasi.

Secara interpretatif, kombinasi temuan di atas mengindikasikan adanya kesenjangan pelaksanaan K3 yang ada dengan realitas lapangan. Meski mahasiswa umumnya telah mengikuti mata kuliah K3 (95,8% mengetahui risiko kerja dan pengendaliannya[4]), tingkat kecelakaan tetap signifikan. Rata-rata kepuasan 61,1% mengindikasikan bahwa fasilitas dan prosedur K3 yang tersedia belum memadai sepenuhnya, sehingga terjadi unsafe action dan unsafe condition seperti yang juga disebutkan oleh peneliti. Konteksnya, sebelum penerapan JSA, masih diperlukan peningkatan pemahaman dan konsistensi K3 di lab. Temuan dukungan luas terhadap JSA menyumbangkan pemahaman baru bahwa solusi yang diharapkan mahasiswa bukan sekadar reaktif, melainkan proaktif: mereka menganggap JSA penting untuk menutup kesenjangan tersebut. Dengan demikian, studi ini menambah wawasan: menunjukkan bahwa pengembangan JSA dalam pendidikan teknik bukan hanya memenuhi kebutuhan teoretis, tetapi juga diinginkan secara nyata oleh pihak yang terlibat, memberikan kontribusi empiris baru dalam literatur K3 pendidikan.

Keterbatasan dan Refleksi Kritis.

Sejumlah keterbatasan metodologis dapat memengaruhi interpretasi hasil:
- Sampel Terbatas. Penelitian hanya melibatkan mahasiswa Program Studi Pendidikan Teknik Bangunan UNJ (angkatan 2015–2017). Karakteristik demografis, metode pengajaran, dan fasilitas laboratorium institusi ini mungkin berbeda dengan institusi lain. Oleh karena itu, kesimpulan yang dihasilkan bersifat konteks-spesifik dan sulit digeneralisasi. Studi selanjutnya perlu melibatkan sampel yang lebih luas, misalnya program studi teknik lain atau perguruan tinggi berbeda.
- Data Berbasis Survei. Informasi tentang kecelakaan didapat dari kuesioner yang bergantung pada ingatan dan persepsi mahasiswa. Tanpa verifikasi independen (catatan insiden resmi atau pengamatan jangka panjang), terdapat risiko bias ingatan atau tingkat pelaporan yang tidak lengkap. Misalnya, mahasiswa mungkin lupa kejadian kecil atau tidak melaporkan semua cedera. Hal ini mempengaruhi validitas data kecelakaan aktual.
- Instrumen dan Reliabilitas. Laporan tidak menjelaskan proses pengembangan kuesioner: bagaimana pertanyaan disusun, diuji validitas, dan reliabilitasnya. Ketiadaan informasi ini membatasi penilaian terhadap sejauh mana instrumen mengukur tepat variabel yang dimaksud (kepuasan K3, pengalaman kecelakaan, dsb.). Tanpa pengujian statistik reliabilitas, kekuatan pengukuran hasil menjadi kurang dapat dipertanggungjawabkan.
- Analisis Deskriptif Saja. Hasil disajikan dalam bentuk statistik deskriptif (persentase, rata-rata). Tidak ada uji statistik inferensial atau analisis hubungan antar variabel (misalnya apakah kepuasan K3 berbanding terbalik dengan kejadian kecelakaan). Kehadiran analisis seperti uji-t atau korelasi mungkin dapat menambah bobot bukti. Tanpa demikian, klaim tentang hubungan atau perbedaan signifikan antar variabel tidak teruji secara empiris.
- Fokus Awal Pengembangan. Meskipun mengacu model Borg & Gall, studi ini hanya menyelesaikan tahap analisis kebutuhan (level 1). Tahap selanjutnya (perencanaan, pengembangan, validasi, revisi produk JSA) tidak dilaporkan. Dengan demikian, klaim manfaat JSA masih bersifat asumsi/persepsi, belum terbukti melalui implementasi. Perlu penelitian lanjutan yang merancang modul JSA konkretnya dan mengujinya di lapangan.

Refleksi kritis menunjukkan bahwa asumsi penelitian—bahwa tingginya dukungan mahasiswa atas JSA otomatis sebanding dengan efektivitasnya—belum diuji. Penulis mengandaikan JSA akan “mengurangi kecelakaan”, namun tanpa studi intervensi, manfaat sebenarnya tidak diketahui. Selain itu, pemilihan model Borg & Gall memberikan kerangka pengembangan, tetapi ketergantungannya pada fase teoritis membuat bukti empiris terkait keuntungan JSA masih terbatas. Di samping itu, riset ini tidak membahas faktor eksternal lain (misalnya budaya keselamatan lab, fasilitas fisik, peran dosen pembimbing) yang mungkin ikut mempengaruhi kecelakaan. Keterbatasan-keterbatasan tersebut perlu diakui dalam menginterpretasi hasil: penemuan bersifat indikatif dan perlu diverifikasi melalui penelitian kuantitatif lanjutan atau metode kualitatif untuk menilai konteks yang lebih dalam.

Implikasi Ilmiah di Masa Depan.

Temuan ini memberikan beberapa implikasi penting untuk riset dan praktik di bidang K3 dan pendidikan teknik:

  • Pengembangan Produk JSA Lanjutan. Data kebutuhan yang terkumpul dapat menjadi dasar desain prototipe JSA khusus laboratorium mekanika tanah. Penelitian selanjutnya dapat membuat modul pelatihan atau formulir JSA, lalu mengevaluasi efektivitasnya secara empiris (misalnya lewat eksperimen pre-post: membandingkan tingkat kecelakaan sebelum dan setelah implementasi JSA). Hal ini tidak hanya menguji hipotesis utama penelitian tetapi juga berkontribusi pada literatur pendidikan teknik dengan hasil kuantitatif baru.
  • Integrasi K3 dalam Kurikulum. Hasil studi menegaskan urgensi memasukkan topik K3 secara eksplisit dalam kurikulum vokasi teknik. Misalnya, pengembangan JSA dapat dimasukkan sebagai bagian evaluasi praktikum. Lulusan teknik yang dibiasakan berpikir tentang keselamatan kerja sejak awal akan memperkuat budaya K3 di dunia industri. Dalam konteks akreditasi pendidikan tinggi dan tuntutan ISO 45001:2018, mahasiswa perlu memahami manajemen risiko kerja; penelitian ini menegaskan bahwa mahasiswa sendiri mengakui kebutuhan tersebut.
  • Riset Komparatif dan Multimetode. Studi ini mendorong penelitian serupa di laboratorium lain (misalnya laboratorium mesin, kimia, atau sipil), baik di UNJ maupun di kampus lain, untuk membandingkan profil risiko. Selain itu, metode berbeda (analisis kualitatif, studi kasus, atau penggunaan sensor IoT untuk memonitor bahaya) dapat melengkapi temuan. Misalnya, penerapan kaizen 5S di laboratorium atau teknologi AR/VR untuk simulasi keselamatan bisa dibandingkan dengan JSA.
  • Kebijakan Keselamatan Pendidikan. Dari perspektif kebijakan, data ini memberikan argumen bagi pimpinan fakultas dan kampus untuk memperketat prosedur keselamatan lab. Misalnya, fakultas teknik dapat mengembangkan pedoman standar operasi laboratorium yang mengacu pada prinsip JSA dan SMK3. Di era Industrial 4.0, peningkatan insiden kerja nasional (dilaporkan terus meningkat di tahun-tahun terakhir) menuntut strategi baru. Penelitian ini relevan dengan perkembangan mutakhir: menekankan bahwa keselamatan kerja bukan hanya tanggung jawab industri, tetapi juga instrumen pendidikan.

Sebagai refleksi akhir, temuan ini menyoroti kesinambungan isu keselamatan kerja dalam ranah pendidikan teknik. Selama ini fokus K3 lebih dominan di sektor industri; namun data mahasiswa yang konsisten mendukung JSA menggambarkan bahwa lembaga pendidikan pun perlu bertindak. Dengan melibatkan mahasiswa sebagai subjek dan objek pembelajaran, studi ini mendukung paradigma pendidikan vokasi terkini yang memadukan kompetensi teknis dengan kompetensi keselamatan. Di tingkat makro, hasil ini sejalan dengan wacana nasional zero accident dan standar keselamatan internasional, serta menegaskan perlunya sinergi antara praktik laboratorium yang inovatif dan manajemen risiko yang sistematis.

Daftar Pustaka:
Harish, A., Daryati, & Murtinugraha, R.E. (2020). Analisis Kebutuhan Pengembangan Job Safety Analysis untuk Laboratorium Mekanika Tanah. Prosiding Seminar Pendidikan Kejuruan dan Teknik Sipil (SPKTS), Fakultas Teknik Universitas Negeri Jakarta.

Permana, A., Murtinugraha, R.E., & Ramadhan, M.A. (2020). Tingkat Kepuasan Mahasiswa Terhadap Pelayanan K3 di Lingkungan Fakultas Teknik Universitas Negeri Jakarta. Jurnal Pendidikan Teknik Sipil, 19(2), 110–121.

Saraswati, A.L., Iriani, T., & Handoyo, S. (2019). Pengembangan Job Safety Analysis untuk Workshop Praktik Plumbing di Pendidikan Vokasional Konstruksi Bangunan Universitas Negeri Jakarta. Jurnal Pendidikan Teknik Sipil, 8(2), 55–62.

Selengkapnya
Analisis Kebutuhan Pengembangan Job Safety Analysis untuk Laboratorium Mekanika Tanah

Keamanan dan Kesehatan Kerja (K3) dalam Konstruksi

Analisis Kritis Peran Teknologi Digital dalam Pemenuhan Keselamatan Konstruksi di Indonesia

Dipublikasikan oleh Timothy Rumoko pada 03 September 2025


Latar Belakang Teoretis

Perkembangan teknologi digital dewasa ini berlangsung sangat pesat dan memberikan manfaat besar dalam menyederhanakan dan meningkatkan efisiensi proses konstruksi. Di Indonesia, sektor konstruksi menyumbang sekitar 6,45% PDB nasional dan mempekerjakan hingga 7–8% tenaga kerja. Namun demikian, tingkat kecelakaan kerja di industri konstruksi masih tinggi; misalnya pada 2021 tercatat lebih dari 234.000 kasus kecelakaan dengan 6.552 kematian. Faktor utama penyebab kecelakaan adalah faktor manusia (seperti perilaku tidak aman, pengalaman kerja, usia, tingkat pendidikan) diikuti oleh faktor lingkungan dan peralatan. Kondisi ini menegaskan perlunya inovasi keselamatan (K3) yang lebih baik.

Berbagai teknologi digital diidentifikasi dapat membantu mitigasi risiko tersebut. Misalnya virtual reality (VR) dan augmented reality (AR) memungkinkan simulasi situasi berbahaya untuk pelatihan keselamatan, sementara teknologi pengenalan citra seperti convolutional neural network (CNN) dapat mengidentifikasi kelengkapan alat pelindung diri (APD) pekerja secara otomatis. Penggunaan drone (pesawat nirawak) memungkinkan pengawasan proyek dari udara, serta building information modeling (BIM) mendukung integrasi data keselamatan sepanjang siklus proyek. Di samping itu, teknologi wearable dan sensor berbasis Internet of Things (IoT) mampu memantau kondisi fisiologis pekerja atau kualitas lingkungan kerja secara real time.

Regulasi juga mendukung penggunaan teknologi dalam K3 konstruksi. Peraturan Menteri PUPR No.10/2021 menetapkan pedoman Sistem Manajemen Keselamatan Konstruksi (SMKK) yang menuntut pemenuhan aspek Keamanan Keteknikan, Keselamatan & Kesehatan Kerja, Keselamatan Publik, dan Keselamatan Lingkungan (Standar K4). Implementasi SMKK bertujuan menjamin integritas struktur bangunan, kesehatan dan keselamatan tenaga kerja, keselamatan publik serta kelestarian lingkungan. Dengan latar belakang itu, kajian ini menelusuri bagaimana perkembangan teknologi digital dapat membantu memenuhi substansi SMKK dalam praktik konstruksi di Indonesia.

Metodologi dan Kebaruan

Kajian ini menggunakan metode deskriptif dengan pendekatan kuantitatif. Para penulis mengumpulkan dan mengolah data sekunder berupa literatur terkait proyek konstruksi Indonesia (jurnal ilmiah, prosiding, buku, dan situs resmi). Penelitian deskriptif dipahami sebagai metode yang menggambarkan fenomena atau kondisi terkini secara objektif. Data yang diperoleh berupa fakta ataupun data numerik kemudian dianalisis secara deskriptif untuk mengidentifikasi pola pemanfaatan teknologi digital dalam keselamatan konstruksi.

Kebaruan studi ini terletak pada pemetaan komprehensif pengembangan teknologi digital dalam konstelasi SMKK di Indonesia. Penelitian ini merangkum berbagai inovasi — mulai dari VR, AR, CNN, BIM, drone, hingga perangkat wearable dan sensor IoT — dalam konteks empat substansi SMKK. Dengan mengacu pada standar Permen PUPR No.10/2021 dan Peraturan Pemerintah terkait K3 konstruksi, studi ini menyajikan kerangka kerja sistematis untuk mengevaluasi aspek-aspek mana saja dari keselamatan konstruksi yang sudah terakomodasi oleh inovasi digital. Tinjauan ini menjadi penting karena belum banyak literatur yang membahas teknologi digital secara holistik untuk keselamatan konstruksi Indonesia dengan kerangka SMKK.

Secara spesifik, penulis menerapkan proses kuantifikasi temuan literatur. Sebagai contoh, penelitian-penelitian terkait teknologi untuk setiap kategori SMKK dihitung jumlahnya, lalu dikelompokkan dalam tabel klasifikasi. Pendekatan ini memungkinkan pemetaan gambaran umum penggunaan teknologi tertentu pada berbagai aspek keselamatan. Selain itu, studi ini membuka diskusi kritis tentang celah penelitian yang ada (keterbatasan empiris) dan potensi pengembangan selanjutnya. Dengan demikian, inovasi kajian ini bukan hanya pada kompilasi literatur, tetapi juga pada kerangka analisis yang mengaitkan teknologi dengan kerangka regulasi nasional.

Temuan Utama dengan Kontekstualisasi

Hasil kajian mengidentifikasi beragam teknologi yang sudah banyak dibahas dalam literatur keselamatan konstruksi di Indonesia, sekaligus menyoroti bagian-bagian substansi SMKK mana saja yang telah terlayani. Temuan utama dapat dikategorikan dalam tiga kelompok: teknologi visualisasi, teknologi wearable dan sensor, serta tingkat keterpenuhan substansi SMKK. Setiap kelompok ditekankan dengan konteks penggunaannya dalam industri konstruksi nasional.

Teknologi Visual

Teknologi visual atau visualisasi terbukti dominan dikaji dalam keselamatan konstruksi. Beberapa temuan utamanya adalah:

  • Virtual Reality (VR) dan Augmented Reality (AR): VR/AR banyak digunakan sebagai media pelatihan K3 konstruksi. Misalnya, simulasi VR mampu mengidentifikasi bahaya lokasi kerja, membekali pekerja dengan pelatihan alat berat secara aman dan efisien. AR juga diaplikasikan untuk mengenalkan pekerja baru pada alat kerja dan rambu K3 di lapangan. Sekitar 75% teknologi yang diteliti dalam studi ini berkaitan dengan VR/AR, mencerminkan dominasi keduanya dalam upaya visualisasi keselamatan. Meski begitu, penggunaan VR/AR sebagian besar masih terbatas pada tahap perencanaan (pre-construction) dan pelatihan simulasi; implementasinya pada fase konstruksi aktif cenderung berupa presentasi informasi pasif, belum banyak berinteraksi secara dinamis dengan kondisi lapangan.
  • Pengenalan Citra (CNN dan YOLO): Teknologi convolutional neural network (CNN) telah diterapkan untuk pengawasan otomatis. Contohnya, CNN dapat mengenali citra APD (seperti helm), dengan studi menunjukkan deteksi penggunaan helm kerja rata-rata 9,44 detik per orang. CNN sering digabung dengan algoritma seperti YOLO (You Only Look Once) dan ANN (Artificial Neural Network) untuk meningkatkan akurasi deteksi bahaya visual. Teknologi ini digunakan secara luas untuk memantau kepatuhan K3 pekerja dalam waktu nyata, dan juga dapat terintegrasi dengan BIM dalam analisis hazard (misalnya mengidentifikasi area berisiko tinggi melalui model BIM).
  • Drone (Unmanned Aerial Vehicle): Penggunaan drone untuk pemantauan lapangan sangat diakui dalam literatur. Drone memungkinkan inspeksi dari udara yang detail, membantu pengawasan penggunaan APD, kondisi material, dan area kerja berbahaya tanpa risiko langsung kepada pekerja. Misalnya, studi menemukan drone berpotensi meminimalisir kecelakaan kerja melalui patroli keamanan lingkungan proyek. Namun, di Indonesia studi tentang pemanfaatan drone untuk keselamatan konstruksi masih sangat terbatas – disebut hanya satu studi kasus terkait drone pada proyek konstruksi lokal.
  • Building Information Modeling (BIM): Sebagai platform pemodelan informasi, BIM berperan mengintegrasikan data keselamatan konstruksi secara menyeluruh dari tahap desain hingga operasional. Dengan BIM, data berkaitan K3 (misalnya atribut struktur atau fasilitas keselamatan) tersimpan dalam model yang dapat diakses lintas fase proyek, sehingga mempercepat identifikasi risiko saat desain dan perencanaan. Studi menunjukkan BIM yang dikombinasikan dengan sensor-sensor dapat memberikan wawasan deteksi potensi bahaya (misalnya titik rendah, lubang tersembunyi) pada lokasi konstruksi. Namun, penerapan BIM khusus untuk keselamatan konstruksi di Indonesia masih terbatas; literature hanya menemukan sedikit penelitian kasus terkait penggunaan BIM untuk aspek keselamatan SMKK.

Teknologi Wearable dan Sensor-Based

Kelompok teknologi kedua berfokus pada perangkat yang dikenakan oleh pekerja atau sensor lingkungan untuk memantau kondisi kesehatan dan potensi bahaya:

  • Teknologi Wearable: Perangkat wearable mencakup alat yang dikenakan di tubuh pekerja (misalnya rompi ber-sensor, kacamata pintar) untuk merekam data fisiologis dan lokasi pekerja secara real-time. Wearable ini dapat terintegrasi dengan sistem BIM dan IoT, misalnya mendeteksi kelelahan melalui detak jantung atau gerakan tubuh yang diukur sensor. Meskipun potensialnya besar (memperbolehkan pengawasan individu dengan presisi tinggi), adopsi wearable di industri konstruksi Indonesia masih sangat terbatas. Studi terdahulu menyebutkan sedikitnya penelitian lokal tentang wearable dalam K3 konstruksi. Beberapa tantangannya meliputi keengganan pekerja atau perusahaan mengadopsi alat baru, serta hambatan teknis seperti kebutuhan baterai, kenyamanan, dan keamanan data.
  • Teknologi Berbasis Sensor (Sensor-Based): Selain yang dipakai langsung oleh pekerja, banyak teknologi sensor independen diaplikasikan. Misalnya sensor lingkungan (gas, asap, suhu, kelembapan) yang dipasang di lokasi kerja untuk deteksi dini bahaya kimia atau kebakaran. Sistem Physiological Status Monitoring (PSM) yang memanfaatkan sensor elektronik mengukur detak jantung, laju pernapasan, dan postur tubuh operator untuk mendeteksi kelelahan. Hasil pemantauan PSM sering berupa grafik pola kerja fisik, yang dapat memicu peringatan saat tanda-tanda stress fisik tampak meningkat pada waktu tertentu. Sensor IoT ini meningkatkan efektivitas manajemen K3 karena mampu mengumpulkan data secara terus-menerus (real time) dengan keakuratan tinggi. Sayangnya, implementasi sensor-sensor canggih ini pada praktik konstruksi di Indonesia masih sedikit dilaporkan dalam literatur; ke depan, integrasi sistem sensor dalam dunia konstruksi berpotensi besar untuk meningkatkan respons preventif terhadap risiko.
  • Media Animasi (Motion Graphic 2D): Selain perangkat keras fisik, studi juga menyoroti peran media visual beranimasi dua dimensi sebagai alat komunikasi K3. Animasi 2D yang menggabungkan ilustrasi visual dan teks dinilai efektif menyampaikan pesan keselamatan kepada pekerja dan publik, karena sifatnya yang menarik dan mudah diakses. Media semacam ini melengkapi teknologi lain dengan cara penyampaian informasi yang kreatif, meski belum bersifat interaktif seperti VR/AR.

Secara keseluruhan, temuan mengindikasikan bahwa teknologi wearable dan sensor menawarkan pendekatan pemantauan K3 yang bersifat real-time dan personal. Namun, gap empiris masih besar: literatur menyebutkan hanya sedikit inovasi wearable yang benar-benar diterapkan dalam proyek konstruksi Indonesia dan masih banyak kendala adopsi. Kebutuhan akan riset lanjut, termasuk studi lapangan uji coba, sangat nyata agar manfaat teknologi ini dapat benar-benar dirasakan di lapangan.

Keterpenuhan terhadap Substansi SMKK

Analisis data menunjukkan adanya ketimpangan dalam cakupan aspek SMKK. Hasil pemetaan literatur mengindikasikan 16 penelitian yang membahas aspek keselamatan keteknikan konstruksi (misalnya bangunan, peralatan, material), 28 penelitian untuk aspek keselamatan dan kesehatan kerja (meliputi pemilik/pemberi kerja dan tenaga kerja konstruksi), 10 penelitian pada aspek keselamatan publik (masyarakat di sekitar proyek), dan 12 pada aspek keselamatan lingkungan (lingkungan kerja maupun alam). Dengan kata lain, penelitian-penelitian yang ada telah mencakup empat pilar SMKK tersebut, namun tidak merata.

Studi ini menemukan hanya lima penelitian yang secara holistik mengaitkan implementasi teknologi dengan pemenuhan sistem manajemen keselamatan (SMKK) secara menyeluruh. Artinya, sebagian besar kajian hanya fokus pada teknologi tertentu untuk aspek spesifik K3. Tabel 1 yang disusun penulis menggambarkan keterkaitan antara jenis teknologi digital dan substansi SMKK. Misalnya, CNN (pengenalan citra) dominan pada aspek bangunan dan tenaga kerja (dengan enam studi), BIM mengerucut pada aspek pemilik/pemberi kerja (empat studi), sedangkan drone banyak terkait dengan keselamatan lingkungan (empat studi). Virtual reality dan augmented reality muncul di berbagai aspek (teknik bangunan, pemilik, masyarakat sekitar) meski tiap kajian cenderung satu-dua aspek saja. Sebaliknya, beberapa substansi seperti pengaruh projek pada “masyarakat terpapar” dan “lingkungan terdampak proyek” masih sedikit mendapatkan perhatian, bahkan dalam tabel terdeteksi sangat minim studi terkait.

Temuan ini kontekstual: walaupun teknologi digital telah banyak diadopsi untuk menunjang keselamatan konstruksi, pemanfaatannya belum sepenuhnya berorientasi pada semua standar SMKK. Banyak studi terpusat pada pelatihan dan pengawasan (keselamatan kerja) serta integrasi data (keselamatan teknik), sementara aspek publik dan lingkungan masih menjadi peluang riset yang belum digarap optimal. Dengan demikian, secara keseluruhan dapat disimpulkan bahwa implementasi teknologi digital di Indonesia baru memenuhi sebagian substansi SMKK, dan ada kebutuhan memperluas fokus penelitian agar seluruh aspek SMKK terpenuhi dalam praktik keselamatan konstruksi nasional.

Keterbatasan dan Refleksi Kritis

   Pendekatan penelitian ini bersifat kajian literatur deskriptif, sehingga ada beberapa keterbatasan yang perlu dicermati:

  • Keterbatasan Metodologi Deskriptif: Analisis hanya berdasarkan studi terdahulu dan data sekunder. Metode deskriptif tidak melibatkan pengumpulan data primer di lapangan, sehingga tidak memverifikasi secara empiris efektivitas atau penerapan nyata teknologi. Hasilnya lebih berupa gambaran umum pola penelitian daripada kinerja terukur teknologi.
  • Keterbatasan Data: Sumber data dibatasi pada publikasi yang tersedia (jurnal, prosiding, situs resmi). Ada kemungkinan informasi penting dari laporan industri, studi kasus korporat, atau penelitian yang belum dipublikasikan terlewatkan. Selain itu, tidak dijelaskan secara rinci proses pemilihan literatur, sehingga bias seleksi (misalnya preferensi pada literatur berbahasa Inggris/Indonesia) mungkin terjadi.
  • Generalitas dan Umum: Pengolahan data yang dikatakan “kuantitatif” sebagian besar berupa penghitunganan studi per kategori (tabel klasifikasi). Meskipun bermanfaat untuk pemetaan, metode ini menyederhanakan kompleksitas studi. Contohnya, kualitas atau konteks penelitian tidak dihitung; semua studi dianggap setara. Hal ini membatasi kemampuan untuk menyimpulkan imbas atau relevansi ilmiah lebih mendalam.
  • Kekosongan Empiris: Kajian tidak mengevaluasi dampak teknologi terhadap penurunan kecelakaan secara kuantitatif. Sebagai literatur review, studi ini juga tidak menguji keberterimaan pengguna (penerima manfaat) atau kendala praktis implementasi, sehingga masih abstrak. Data primer dari proyek-proyek konstruksi Indonesia sendiri sangat minim, sehingga gambaran riset ini mungkin hanya cerminan minat akademis, bukan kenyataan lapangan.

Dengan demikian, walaupun kajian ini komprehensif dalam ruang lingkup literatur, pembaca perlu menyadari bahwa temuan yang disajikan lebih bersifat indikatif. Analisisnya memberikan kerangka konseptual dan klasifikasi awal, namun belum mencakup validasi lapangan atau analisis statistik yang solid. Kritik kritis diarahkan pada perlunya verifikasi empiris, metode perbandingan yang lebih mendalam, dan penajaman fokus pada efektivitas nyata teknologi di proyek konstruksi Indonesia.

Implikasi Ilmiah di Masa Depan

Berdasarkan hasil dan keterbatasan di atas, ada sejumlah arahan penelitian dan implikasi akademik yang dapat digarisbawahi:

  • Eksplorasi Wilayah Riset Kurang Terjamah: Penelitian lebih lanjut perlu menyoroti aspek-aspek SMKK yang kurang mendapat perhatian, seperti keselamatan masyarakat sekitar proyek dan lingkungan alam terbangun. Misalnya, studi potensi teknologi IoT untuk mitigasi dampak polusi konstruksi di masyarakat sekitarnya.
  • Evaluasi Lapangan dan Uji Coba Teknologi: Penting dilakukan studi empiris berupa eksperimen atau studi kasus penerapan teknologi di proyek nyata. Misalnya, meneliti sejauh mana penggunaan VR/AR dalam pelatihan dapat mengurangi kecelakaan kerja, atau uji integrasi sistem wearable-sensor pada pekerja konstruksi lokal. Data lapangan akan menguatkan temuan literatur dengan bukti konkret.
  • Pengembangan Metodologi Kuantitatif: Kedepannya, peneliti dapat mengembangkan metrik keberhasilan yang lebih kuantitatif. Contohnya, mengukur tingkat penerimaan teknologi oleh pekerja (technology acceptance), atau membangun model statistik untuk menilai pengaruh teknologi tertentu terhadap penurunan kasus kecelakaan. Pendekatan big data dan kecerdasan buatan juga bisa diterapkan untuk analisis risiko konstruksi berdasarkan data sensor.
  • Integrasi Sistematis Teknologi dan Standar: Studi bisa mengembangkan kerangka integrasi antara SMKK dan inovasi digital. Misalnya merancang model manajemen risiko yang menggabungkan data BIM, wearable, dan sensor real-time sebagai referensi untuk standar SMKK. Penelitian interdisipliner yang melibatkan insinyur, ilmuwan komputer, dan ahli keselamatan dapat merumuskan pedoman baru berbasis data.
  • Kebijakan dan Standarisasi: Implikasi ilmiah lainnya adalah perlunya rekomendasi kebijakan. Misalnya, peneliti dapat mengusulkan standar teknis bagi perangkat wearable atau protokol interoperabilitas IoT di proyek konstruksi. Rekomendasi ini mendukung pembuat kebijakan untuk membangun lingkungan regulasi yang memfasilitasi penerapan teknologi K3.
  • Kolaborasi Industri-Akademik: Masa depan riset keselamatan konstruksi digital membutuhkan kolaborasi aktif dengan industri. Penelitian berbasis proyek nyata (action research) dan platform uji coba di lapangan menjadi penting agar inovasi teknologi tidak hanya teoritis, tetapi juga aplikatif dan berkelanjutan.

Secara keseluruhan, kajian ini membuka jalan bagi berbagai kajian berikutnya yang menekankan aspek inovasi teknologi, evaluasi empiris, dan pengembangan kerangka kerja implementasi. Implikasi ilmiahnya adalah memperkuat fondasi penelitian K3 konstruksi digital di Indonesia, sekaligus mendorong integrasi antara teknologi canggih dan manajemen keselamatan yang berbasis regulasi.

Refleksi Akhir

Temuan kajian ini relevan dengan dinamika keselamatan konstruksi nasional. Resensi menunjukkan bahwa Indonesia tengah mengikuti tren global dalam pengaplikasian teknologi digital untuk keselamatan kerja. Penggunaan VR, AR, BIM, drone, serta wearable menunjukkan bahwa industri mulai menyadari manfaat teknologi canggih dalam mencegah kecelakaan dan meningkatkan produktivitas. Namun, masih ada kesenjangan implementasi. Sebagai contoh, meskipun teknologi sensor dan wearable menawarkan pengawasan real-time, pemanfaatannya dalam praktik lokal masih minim. Hal ini mengindikasikan perlunya adopsi yang lebih serius, baik dari segi investasi perusahaan maupun dukungan kebijakan pemerintah.

Dalam konteks regulasi, hasil kajian memberi sinyal bahwa implementasi SMKK di lapangan dapat lebih optimal dengan memanfaatkan kemajuan teknologi ini. Regulator dan praktisi konstruksi dapat memetakan prioritas: misalnya, memperkuat penggunaan VR/AR di pelatihan K3 sesuai regulasi, atau memanfaatkan drone dan sensor untuk aspek keselamatan lingkungan yang kini tergolong lemah. Penerapan Sistem Manajemen Keselamatan Konstruksi yang efektif akan sangat terbantu bila didukung oleh infrastruktur digital yang memadai. Oleh karena itu, penemuan ini menegaskan pentingnya kolaborasi antara penyusun kebijakan, akademisi, dan pelaku industri untuk mengintegrasikan inovasi teknologi dalam praktik K3 nasional.

Pada akhirnya, resensi ini menegaskan bahwa era digital membuka peluang besar bagi peningkatan keselamatan konstruksi di Indonesia. Meskipun kebijakan dan komitmen perusahaan mulai menuntut standar SMKK yang ketat, sinergi dengan teknologi informasi mutlak diperlukan untuk merealisasikannya. Penelitian lebih lanjut dan penerapan nyata di lapangan akan menentukan sejauh mana potensial teknologi tersebut terwujud menjadi penurunan kecelakaan kerja yang signifikan. Dengan perhatian bersama, perkembangan teknologi digital bisa menjadi kunci dalam menciptakan lingkungan konstruksi yang lebih aman, sehat, dan berkelanjutan bagi Indonesia.

📚 Sumber:

Faisal, U. F., & Fansuri, I. (2023). Perkembangan Teknologi Digital terhadap Pemenuhan Keselamatan Konstruksi di Indonesia. CESD Journal, 6(2), 35–45. Universitas Trisakti. https://doi.org/10.25105/cesd.v6i2.18811

Selengkapnya
Analisis Kritis Peran Teknologi Digital dalam Pemenuhan Keselamatan Konstruksi di Indonesia

Keamanan dan Kesehatan Kerja (K3) dalam Konstruksi

Mengungkap Kelemahan Sistem K3 di Industri Galangan Kapal Kecil: Evaluasi SMK3 Berdasarkan PP No. 50 Tahun 2012

Dipublikasikan oleh Izura Ramadhani Fauziyah pada 03 Juni 2025


Industri galangan kapal merupakan salah satu sektor vital dalam mendukung transportasi laut dan logistik nasional. Namun, tingkat risiko kecelakaan kerja di sektor ini juga sangat tinggi, baik dari segi mekanis, kimia, maupun lingkungan kerja yang ekstrem. Seiring dengan peningkatan kesadaran terhadap pentingnya keselamatan dan kesehatan kerja (K3), pemerintah Indonesia menerbitkan Peraturan Pemerintah (PP) No. 50 Tahun 2012 sebagai kerangka dasar sistem manajemen K3 (SMK3). Artikel ini meresensi secara kritis hasil penelitian oleh Hugo Nainggolan dan Hendra yang dipublikasikan dalam Jurnal Kesehatan Tambusai, berjudul “Evaluasi Penerapan Sistem Manajemen Keselamatan dan Kesehatan Kerja (K3) pada Industri Galangan Kapal Kecil di Indonesia.”

Penelitian ini menyoroti efektivitas penerapan SMK3 di PT. X, sebuah industri galangan kapal kecil di Semarang, serta mengukur sejauh mana perusahaan mematuhi 64 kriteria SMK3 tingkat awal sesuai PP No. 50 Tahun 2012. Dengan pendekatan mixed-method, penelitian ini memberikan gambaran mendalam mengenai implementasi nyata SMK3, tantangan yang dihadapi, serta potensi perbaikannya.

Metodologi Evaluasi: Gabungan Kuantitatif dan Kualitatif

Studi ini dilakukan dari bulan September hingga Oktober 2023, menggunakan metode observasi, dokumentasi, dan wawancara kepada delapan informan kunci yang bekerja di berbagai divisi perusahaan. Data kuantitatif diperoleh melalui instrumen audit 64 kriteria SMK3 tingkat awal, sedangkan data kualitatif digali melalui wawancara semi-terstruktur dan observasi langsung.

Instrumen audit ini mencakup delapan elemen utama SMK3, yaitu: pembangunan dan pemeliharaan komitmen K3, pembuatan rencana K3, pengendalian dokumen, pengendalian desain dan kontrak, pengendalian produk, standar pemantauan dan pelaporan, keamanan kerja, serta peninjauan dan peningkatan kinerja. Setiap elemen dianalisis berdasarkan tingkat kesesuaian dan ketidaksesuaian penerapan di lapangan.

Hasil Audit: Ketidaksesuaian Mencapai 78,12%

Temuan utama penelitian ini menunjukkan bahwa tingkat kesesuaian implementasi SMK3 di PT. X hanya sebesar 21,88%. Sisanya, 78,12% dinyatakan tidak sesuai, dengan rincian sebagai berikut: 51% merupakan temuan mayor, 45% temuan minor, dan 4% temuan kritikal.

Beberapa kelemahan paling mencolok ditemukan pada elemen pengendalian dokumen, pengendalian kontrak, dan keamanan kerja. Sebagai contoh, untuk elemen pengendalian dokumen, perusahaan belum memiliki sistem identifikasi yang memadai terhadap dokumen K3 seperti prosedur kerja, status kondisi peralatan, dan sertifikasi pekerja. Tidak adanya sistem pemutakhiran rutin menyebabkan informasi menjadi usang, berpotensi meningkatkan risiko kecelakaan kerja.

Studi Kasus: Ketimpangan Prosedur IBPR dan APD

PT. X memang telah menyusun dokumen Identifikasi Bahaya dan Pengendalian Risiko (IBPR) sejak 2016 untuk seluruh departemen. Namun, pelaksanaannya masih belum merata. Sebagai contoh, meskipun IBPR telah dibuat, tidak semua pekerja memiliki lisensi atau pelatihan K3 yang sah. Dalam pekerjaan berisiko tinggi seperti pengelasan, penggunaan crane, dan pengerjaan di ruang terbatas, tidak terdapat ijin kerja khusus (working permit). Hal ini menunjukkan bahwa penyusunan dokumen tidak diikuti oleh pengendalian implementatif di lapangan.

Masalah lain adalah penyediaan alat pelindung diri (APD). PT. X belum menyesuaikan ketersediaan APD dengan jumlah dan jenis pekerjaan yang dilakukan. Selain itu, tidak ada sistem pencatatan APD secara sistematis, yang memperbesar kemungkinan ketidaksesuaian antara kebutuhan dan pemenuhan perlindungan dasar terhadap risiko kerja.

Analisis Perbandingan: Indonesia dan Internasional

Menariknya, dalam kajian literatur yang disertakan penulis, beberapa negara lain telah menerapkan pendekatan berbeda namun lebih maju dalam mengelola SMK3 di industri galangan kapal. Di Azerbaijan, misalnya, industri ini telah sepenuhnya mengadopsi ISO 45001 sebagai standar K3 nasional. Di Turki, penilaian risiko dilakukan dengan metode dua tahap berbasis Spherical Fuzzy Set (SFSs) dan Analytic Hierarchy Process (AHP). Sementara di Malaysia, studi oleh Othman et al. (2018) menunjukkan bahwa galangan kelas C dan D sudah mulai mengintegrasikan SMK3 ke dalam manajemen harian perusahaan.

Dibandingkan dengan praktik-praktik tersebut, penerapan di PT. X tertinggal dalam beberapa aspek mendasar, seperti pelibatan personil kompeten, pengembangan SOP untuk pekerjaan berisiko, hingga pelatihan khusus untuk operator alat berat dan pekerja teknis.

Rekomendasi Strategis: Jalan Menuju Peningkatan Kinerja SMK3

Peneliti menyampaikan sejumlah rekomendasi strategis yang layak diterapkan untuk meningkatkan kualitas penerapan SMK3 di PT. X. Di antaranya:

  • Mengembangkan prosedur pembelian bahan kimia yang dilengkapi dengan Safety Data Sheet (SDS) dan kontrol penggunaan APD secara ketat.
  • Mengintegrasikan pelatihan dan sertifikasi K3 sebagai syarat wajib sebelum penempatan pekerja di bidang teknis dan berisiko tinggi.
  • Menyusun Standard Operating Procedure (SOP) untuk pekerjaan seperti pengelasan, pengoperasian crane, dan pengerjaan di confined space.
  • Menerapkan komunikasi digital dan visual melalui papan pengumuman dan sistem digital untuk menyebarkan informasi K3 kepada pekerja, pelanggan, dan pemasok.
  • Melibatkan Ahli K3 Umum dalam setiap tahap identifikasi bahaya pada kontrak kerja dan proses perencanaan desain.

Kesimpulan: Urgensi Transformasi Budaya Keselamatan di Galangan Kapal

Studi ini menyoroti bahwa rendahnya tingkat kesesuaian implementasi SMK3 di PT. X merupakan cerminan dari lemahnya internalisasi budaya keselamatan di industri galangan kapal kecil. Tingginya angka ketidaksesuaian (78,12%) bukan hanya menjadi alarm bagi manajemen PT. X, tetapi juga peringatan bagi industri sejenis di seluruh Indonesia.

Upaya transformasi tidak cukup hanya dengan dokumen formal seperti IBPR, tetapi harus diikuti oleh implementasi prosedural yang konkret, pengawasan reguler, serta pelibatan semua pihak—terutama manajemen dan pekerja garis depan. Pendekatan holistik berbasis regulasi nasional dan benchmark internasional seperti ISO 45001 dapat menjadi rujukan efektif dalam membangun sistem K3 yang berkelanjutan.

Jika diterapkan secara serius, hasil dari studi ini dapat menjadi katalisator bagi industri galangan kapal untuk naik kelas dalam hal keselamatan dan produktivitas. Pada akhirnya, transformasi SMK3 yang efektif bukan sekadar tanggung jawab hukum, tetapi juga investasi jangka panjang dalam keberlanjutan usaha dan kesejahteraan pekerja.

Sumber Artikel Asli:
Nainggolan, H. & Hendra. (2023). Evaluasi Penerapan Sistem Manajemen Keselamatan dan Kesehatan Kerja (K3) pada Industri Galangan Kapal Kecil di Indonesia. Jurnal Kesehatan Tambusai, Volume 4, No. 4.

 

Selengkapnya
Mengungkap Kelemahan Sistem K3 di Industri Galangan Kapal Kecil: Evaluasi SMK3 Berdasarkan PP No. 50 Tahun 2012

Keamanan dan Kesehatan Kerja (K3) dalam Konstruksi

Analisis Risiko Kesehatan dan Keselamatan Kerja (K3) di Struktur Atas Gedung: Solusi, Tantangan, dan Implikasi Praktis

Dipublikasikan oleh Sirattul Istid'raj pada 20 Mei 2025


Pendahuluan: Kenapa Risiko K3 di Struktur Atas Menjadi Fokus Utama?

Pekerjaan struktur atas dalam proyek konstruksi gedung dikenal memiliki tingkat bahaya tinggi. Risiko seperti jatuh dari ketinggian, tertimpa material berat, hingga kerusakan alat berat dapat berdampak langsung pada keselamatan nyawa pekerja. Artikel karya La Ode Asrul R. dan tim menyoroti urgensi penerapan manajemen risiko K3 secara sistematis dalam tahapan ini, dengan studi kasus pada proyek gedung di Kota Kendari.

Dalam konteks industri konstruksi Indonesia yang terus bertumbuh, aspek keselamatan kerja tak bisa lagi dipandang sebagai formalitas. Data dari Kementerian Ketenagakerjaan menunjukkan bahwa lebih dari 30% kecelakaan kerja pada sektor konstruksi terjadi akibat kelalaian dalam pengelolaan risiko K3. Ini memperkuat pentingnya penelitian ini sebagai referensi implementatif.

Metodologi: Penilaian Risiko Menggunakan Metode Semi-Kuantitatif

Teknik Pengumpulan Data

Penelitian ini menggunakan pendekatan deskriptif kuantitatif, dengan data diperoleh melalui:

  • Observasi langsung di lapangan,

  • Wawancara dengan tenaga kerja proyek,

  • Kuesioner skala 1–5 terhadap 30 responden yang terdiri dari mandor, pengawas, dan pekerja lapangan.

Data ini kemudian diolah menggunakan metode matriks risiko semi-kuantitatif berdasarkan kombinasi tingkat kemungkinan dan dampak, untuk menentukan tingkat risiko secara objektif.

Temuan Utama: Risiko Kritis yang Mendominasi

Jenis Risiko Tinggi Berdasarkan Hasil Skoring

Berdasarkan perhitungan Risk Assessment Matrix, ditemukan 7 risiko utama dengan nilai risiko tinggi. 

Hasil ini menunjukkan bahwa mayoritas risiko di pekerjaan struktur atas berkaitan langsung dengan aktivitas fisik di ketinggian dan interaksi dengan alat berat.

Studi Kasus Tambahan: Tren Umum Kecelakaan di Struktur Atas

Dalam konteks global, laporan dari International Labour Organization (ILO) menunjukkan bahwa 1 dari 6 kecelakaan fatal di industri konstruksi disebabkan oleh jatuh dari ketinggian. Di Indonesia sendiri, kasus seperti insiden runtuhnya scaffolding di proyek tol layang Jakarta–Cikampek (2019) menjadi pengingat akan lemahnya implementasi prosedur keselamatan di pekerjaan struktur atas.

Implikasi Praktis dan Rekomendasi

Rencana Penanganan Risiko

Penulis menawarkan beberapa tindakan mitigasi terhadap risiko tinggi tersebut, seperti:

  • Penggunaan full body harness dan pengaman jatuh standar SNI,

  • Pelatihan berkala mengenai penggunaan alat berat dan APD,

  • Pengecekan alat bantu kerja seperti scaffolding secara rutin,

  • Pemasangan rambu keselamatan dan peringatan zona bahaya.
     

Rekomendasi ini sejajar dengan standar internasional seperti OSHA (Occupational Safety and Health Administration), yang menyarankan sistem proteksi berlapis di area kerja ketinggian.

Kelebihan dan Keterbatasan Penelitian

Kelebihan

  • Pendekatan semi-kuantitatif memudahkan identifikasi prioritas risiko tanpa kehilangan konteks nyata di lapangan.

  • Penelitian ini bersifat aplikatif dan mudah direplikasi untuk proyek konstruksi lain.

Keterbatasan

  • Fokus hanya pada struktur atas membatasi generalisasi untuk keseluruhan proyek gedung.

  • Belum menjangkau aspek psikologis dan perilaku pekerja terhadap kepatuhan terhadap prosedur K3.

Nilai Tambah dan Opini Kritis

Studi ini menyumbangkan pemahaman mendalam terhadap manajemen risiko K3 di sektor konstruksi, terutama pada pekerjaan yang paling berisiko. Namun, untuk implementasi optimal, dibutuhkan:

  1. Keterlibatan manajemen puncak dalam mendukung kebijakan K3,

  2. Digitalisasi sistem K3, seperti penggunaan aplikasi pelaporan risiko secara real-time,

  3. Sanksi tegas terhadap pelanggaran SOP keselamatan,

  4. Penerapan safety leadership agar budaya K3 tidak sekadar formalitas administratif.

Perbandingan dengan Penelitian Lain

Penelitian ini sejalan dengan temuan Mustaqim & Pane (2021) yang menyebut bahwa produktivitas tenaga kerja menurun seiring dengan meningkatnya risiko keselamatan yang tak tertangani. Selain itu, riset Fadli Djafri et al. (2023) juga menekankan pentingnya identifikasi risiko secara awal di tahap perencanaan sebagai langkah preventif.

Kaitkan dengan Tantangan Industri Konstruksi Saat Ini

Dalam era transformasi digital dan revolusi industri 4.0, sektor konstruksi masih menghadapi tantangan klasik: kurangnya tenaga kerja terlatih, lemahnya kontrol lapangan, dan resistensi terhadap prosedur keselamatan.

Penerapan manajemen risiko berbasis data seperti dalam penelitian ini menjadi solusi menjanjikan. Kombinasi pengetahuan teknis dan kepatuhan etis menjadi fondasi masa depan proyek konstruksi yang aman dan berkelanjutan.

Penutup: Jalan Panjang Mewujudkan Zero Accident

Artikel ini menyampaikan pesan penting: bahwa risiko bukan untuk dihindari, tetapi untuk dikelola secara sistematis dan berkelanjutan. Dengan pendekatan metodologis yang kuat dan rekomendasi yang aplikatif, penelitian ini dapat menjadi acuan bagi kontraktor, pengawas, maupun regulator dalam membangun budaya keselamatan yang kuat di proyek-proyek konstruksi Indonesia.

Sumber Referensi

La Ode Asrul R., Rosdiana Rahim, dan Abdul Rahman. (2023). Analisa Risiko Kesehatan dan Keselamatan Kerja pada Proyek Pekerjaan Struktur Atas Gedung. Jurnal Teknik Sipil Universitas Halu Oleo. https://ojs.uho.ac.id/index.php/JTS
ILO. (2023). Construction: A hazardous work. https://www.ilo.org

Selengkapnya
Analisis Risiko Kesehatan dan Keselamatan Kerja (K3) di Struktur Atas Gedung: Solusi, Tantangan, dan Implikasi Praktis
page 1 of 1