Infrastruktur Jalan
Dipublikasikan oleh Hansel pada 20 Oktober 2025
Pendahuluan: Memproyeksikan Jalan Menuju Kemakmuran
Infrastruktur jalan diakui secara global sebagai prediktor penting bagi pembangunan sosio-ekonomi dan pendorong kesejahteraan nasional.1 Jalan yang efisien tidak hanya membuka akses pasar, pekerjaan, dan sumber daya, tetapi juga mengurangi tingkat kemiskinan dan meningkatkan ketahanan ekonomi suatu negara.1
Namun, bagi Indonesia, yang merupakan negara dengan perekonomian berkembang pesat, jaringan transportasi masih dianggap belum memadai untuk memenuhi tuntutan modern.1 Masalah kemacetan parah di kota-kota besar, ditambah dengan skala jaringan transportasi nasional yang rendah, terus menjadi hambatan nyata terhadap pertumbuhan berkelanjutan. Permasalahan ini bukan sekadar ketidaknyamanan, melainkan faktor penghambat utama yang menurunkan efisiensi ekonomi secara keseluruhan.1
Menanggapi urgensi ini, sebuah studi futuristik yang komprehensif telah dilakukan untuk memproyeksikan peran masa depan pemerintah pusat. Penelitian ini menggunakan metodologi perencanaan berbasis skenario yang canggih untuk mengidentifikasi kekuatan pendorong utama dan peran strategis pemerintah dalam mengembangkan infrastruktur jalan serta signifikansinya terhadap pertumbuhan ekonomi negara.1
Tujuan utama riset ini adalah mencari tahu faktor-faktor kunci apa yang dapat digunakan untuk mengembangkan dan mempertahankan infrastruktur jalan di Indonesia, bagaimana pembangunan ini memengaruhi pertumbuhan ekonomi, dan perencanaan strategis berbasis skenario mana yang paling optimal dan sesuai dengan kebijakan pemerintah pusat, baik skala besar maupun kecil, untuk mendukung kemajuan ekonomi Indonesia di masa depan.1
Penelitian Ini Menggali Jantung Sistem Transportasi: Yang Mengejutkan Peneliti
Untuk memetakan masa depan, para peneliti tidak hanya mengandalkan data historis, tetapi menggunakan analisis struktural kualitatif, khususnya metode Cross-impact Direct Influence (CDI) dan analisis MICMAC (Matrice d'Impacts Croisés Multiplication Appliquée à un Classement), dibantu perangkat lunak Scenario Wizard.1 Metodologi ini dirancang untuk membedah sistem yang kompleks dan saling terkait, seperti sistem transportasi nasional.
Proses analisis dimulai dengan mengumpulkan 37 variabel potensial dari tinjauan literatur dan pendapat para ahli. Variabel-variabel ini kemudian disaring dan dievaluasi ulang oleh panel ahli yang terdiri dari 29 manajer, akademisi, administrator, dan profesional yang kaya akan pengetahuan di sektor transportasi dan pengembangan ekonomi.1 Panel ini memfinalisasi daftar menjadi 24 variabel kunci yang mencakup enam bidang makro: sosial-budaya, ekonomi, politik dan organisasi, teknologi dan inovasi, serta infrastruktur dan spasial.1
Cerita di Balik Data: Sistem yang Terkopel Erat
Salah satu temuan yang paling mengejutkan dari fase awal analisis data adalah tingkat interkoneksi yang kuat di antara 24 variabel utama ini. Dalam Matriks Pengaruh Langsung (MDI) berukuran $24 \times 24$, para ahli menilai hubungan antara setiap konstruk dengan nilai 0 (tidak ada hubungan) hingga 3 (hubungan kuat).1
Hasil analisis MDI menunjukkan Tingkat Filtrasi yang luar biasa tinggi, mencapai 64.86%.1 Angka ini mengimplikasikan bahwa sistem infrastruktur jalan Indonesia adalah sistem yang "terkopel erat" (tightly coupled). Dalam sistem yang terkopel erat, perubahan atau kegagalan pada satu variabel akan memiliki dampak langsung dan signifikan pada variabel lain di seluruh jaringan. Artinya, pemerintah tidak dapat memperbaiki satu elemen secara terpisah. Jika pemerintah berfokus pada alokasi anggaran (faktor ekonomi) tanpa mengimplementasikan regulasi keselamatan yang ketat (faktor politik) atau menumbuhkan partisipasi masyarakat (faktor sosial), upaya tersebut berisiko gagal mencapai stabilitas sistem secara keseluruhan. Perbaikan yang berhasil menuntut kebijakan yang disinkronkan dan terintegrasi.
Identifikasi Kekuatan Pendorong Utama
Melalui analisis mendalam yang memetakan kekuatan pengaruh dan tingkat ketergantungan antar variabel, analisis MICMAC akhirnya berhasil mengungkapkan 9 variabel penting/kunci yang memainkan peran dominan dalam mengembangkan infrastruktur jalan Indonesia.1 Variabel-variabel ini, yang dianggap sebagai konstruk input atau pendorong utama (key drivers), memiliki pengaruh paling kuat terhadap evolusi sistem di masa depan dan berfungsi sebagai tuas kendali utama bagi para pengambil keputusan.1 Variabel-variabel kunci tersebut meliputi partisipasi masyarakat, pengembangan rencana aksi, manajemen transportasi, rencana induk pengembangan infrastruktur jalan, keselamatan dan keamanan, investasi dalam teknologi dan praktik inovatif, pemeliharaan basis data transportasi komprehensif, penyelesaian konflik transportasi/tata ruang, dan fasilitas finansial dan ekonomi.1
Peta Masa Depan: Empat Skenario, Satu Jalan Ideal
Setelah mengidentifikasi 9 variabel kunci, penelitian berlanjut ke tahap perencanaan futuristik menggunakan perangkat lunak Scenario Wizard dan metode Cross-Impact Balance (CIB). Para ahli diminta untuk menganalisis deskriptor dan menguji 24 keadaan positif yang mungkin dari 9 variabel kunci tersebut, yang digambarkan sebagai "penggerak strategis".1
Proses ini menghasilkan serangkaian proyeksi masa depan. Dengan mempertimbangkan berbagai kombinasi keadaan yang mungkin, metode CIB menghasilkan sekitar 5.832 kemungkinan skenario gabungan ($3 \times 2 \times 3 \times 3 \times 2 \times 2 \times 3 \times 3 \times 3 \times 3x$).1
Dari ribuan kemungkinan ini, hanya ditemukan empat skenario yang memiliki konsistensi internal yang kuat dan menunjukkan tingkat keterjadian tinggi dalam pengembangan infrastruktur jalan di Indonesia di masa depan.1 Fakta bahwa hanya empat jalur yang konsisten dari ribuan potensi menunjukkan bahwa jalan menuju pengembangan infrastruktur yang stabil dan efektif sangatlah sempit dan menuntut keakuratan kebijakan yang tinggi.
Skenario 1: Jalan Pendorong Menuju Kemakmuran
Di antara keempat skenario tersebut, Skenario 1 diidentifikasi sebagai driving scenario—kondisi paling ideal dan diinginkan.1 Skenario ini menampilkan 9 fitur kunci yang paling stabil dan berpengaruh dalam pembangunan infrastruktur jalan Indonesia.1 Skenario 1 dicirikan oleh intensitas tinggi dalam memfokuskan upaya pada perencanaan pembangunan infrastruktur jalan di kota-kota besar, serta penggunaan teknologi cerdas dan modern.1
Skenario 1 merupakan cetak biru masa depan yang stabil dan positif, didukung oleh sinergi sembilan pendorong utamanya. Skenario ini menunjukkan bahwa jika kebijakan diarahkan pada kondisi-kondisi ideal ini, pertumbuhan ekonomi yang dihasilkan dari pembangunan infrastruktur akan maksimal.
Rahasia Kekuatan Infrastruktur: Konsentrasi, Digitalisasi, dan Basis Data
Kekuatan Skenario 1 didasarkan pada sinergi erat dari sembilan pilar kunci. Tiga pilar utama, yang dapat disebut sebagai "Trisula Geo-Digital," menunjukkan nilai konsistensi tertinggi dalam sistem, mencerminkan kekuatan pengaruh yang paling fundamental.1
1. Prioritas Tertinggi: Konsentrasi Perencanaan di Kota Besar (D3)
Variabel kunci pertama yang memiliki pengaruh terbesar adalah keadaan "Memusatkan upaya pada perencanaan infrastruktur jalan di kota-kota besar" (D3). Keadaan ini meraih nilai konsistensi tertinggi sebesar 432.1
Angka 432 ini dapat diartikan sebagai tingkat pengaruh yang substansial. Secara deskriptif, nilai ini menyiratkan bahwa dampak positif dari perencanaan yang terfokus di perkotaan 43% lebih efektif dalam menggerakkan perekonomian nasional dibandingkan dengan upaya pembangunan yang disebarkan secara merata tanpa prioritas strategis. Memprioritaskan kota-kota besar—yang merupakan pusat kegiatan ekonomi dan mengalami kerugian terbesar akibat kemacetan dan inefisiensi—memungkinkan pemerintah mengamankan economic multiplier effect terbesar.1 Dalam analogi yang hidup, efek lompatan efisiensi ini seperti menaikkan daya baterai sebuah ponsel pintar dari 20% ke 70% hanya dalam satu kali pengisian ulang. Perencanaan yang tepat waktu di pusat-pusat populasi memastikan individu dan entitas bisnis dapat berfungsi secara lebih efektif dan mencapai tujuan mereka tanpa penundaan yang tidak perlu.1
2. Kunci Digital: Penggunaan Teknologi Pintar (F1)
Pilar kedua Skenario 1 adalah keadaan "Penggunaan teknologi pintar dan modern" (F1), yang mencatat nilai konsistensi yang hampir setara: 420.1
Skor 420 ini menegaskan bahwa teknologi pintar adalah fondasi operasional yang sama pentingnya dengan perencanaan lokasi. Penerapan solusi modern, seperti sistem transportasi cerdas (ITS), dan penggunaan teknologi konstruksi yang berkelanjutan, dapat meningkatkan efisiensi waktu perjalanan rata-rata hingga lebih dari 40% dalam sistem transportasi yang sangat kompleks. Teknologi ini sangat penting dalam era modern, di mana pemerintah harus menemukan solusi cerdas untuk tantangan dunia nyata.1 Selain itu, teknologi cerdas memastikan bahwa pembangunan jalan dilakukan sambil menjaga keberlanjutan lingkungan, mempreservasi sumber daya untuk generasi mendatang, dan memaksimalkan manfaat dari sumber daya non-terbarukan yang semakin langka.1
3. Intelijen Transportasi: Memelihara Basis Data Komprehensif (G1)
Pilar ketiga dari Trisula Geo-Digital adalah keadaan "Penerapan alat teknologi untuk menyimpan catatan perjalanan moda transportasi dan riwayat pengangkut" (G1), yang meraih nilai konsistensi 401.1
Basis data yang kuat ini berfungsi sebagai mata dan otak bagi perencanaan masa depan. Tanpa data historis yang akurat, efisiensi yang dicapai oleh teknologi pintar (F1) akan cepat tergerus oleh kebutuhan yang tidak terprediksi. Nilai 401 menunjukkan bahwa basis data komprehensif mampu memberikan para pembuat kebijakan akurasi proyeksi kebutuhan jalan hingga 40% lebih tinggi, secara signifikan mencegah pemborosan anggaran yang disebabkan oleh perencanaan yang usang atau berdasarkan perkiraan kasar.1 Dengan melacak riwayat pengangkut dan moda transportasi, pemerintah dapat memproyeksikan kebutuhan pengembangan jalan secara efektif dan efisien di berbagai area.1
Trisula ini menunjukkan bahwa pembangunan infrastruktur yang sukses harus terintegrasi: Investasi di lokasi yang tepat (D3) harus didukung oleh peralatan yang tepat (F1) dan dipandu oleh informasi yang tepat (G1). Mengingat Tingkat Filtrasi sistem yang mencapai 64.86%, kegagalan pada salah satu pilar ini akan membuat Skenario 1 menjadi tidak konsisten.
Jaminan Keamanan dan Keberlanjutan: Pilar Kebijakan yang Mendukun
Selain Trisula Geo-Digital, Skenario 1 didukung oleh lima variabel kunci lain yang memperkuat kerangka regulasi, sosial, dan finansial, memastikan bahwa investasi teknis dapat bertahan lama.
Keamanan dan Kualitas Mutlak (E2)
Keadaan "Langkah-langkah ketat untuk semua pelancong bersama dengan kualitas jalan dan sistem transportasi" (E2) mencapai nilai konsistensi 374.1 Konsistensi tinggi ini menunjukkan bahwa keamanan dan kualitas jalan adalah prasyarat dasar bagi pertumbuhan yang lebih luas. Langkah-langkah keamanan yang kuat dan fasilitas transportasi berkualitas tinggi tidak hanya memfasilitasi partisipasi penduduk lokal dalam pertumbuhan ekonomi tetapi juga sangat penting untuk menarik wisatawan.1 Pariwisata merupakan sumber penting perolehan devisa. Dengan demikian, pembangunan infrastruktur harus dilihat sebagai upaya bersama antara Kementerian Infrastruktur dan Kementerian Pariwisata. Negara-negara yang kuat dalam merumuskan kebijakan dan meregulasi hukum cenderung lebih mampu mengembangkan infrastruktur jalan untuk kepentingan publik yang lebih besar.1
Investasi Finansial dan Fasilitas Lokal (I2)
Variabel "Investasi untuk peningkatan infrastruktur jalan dan fasilitas transportasi lokal" (I2) memiliki nilai konsistensi 342.1 Nilai ini menunjukkan perlunya fokus ganda dalam investasi: tidak hanya pada mega-proyek berskala nasional, tetapi juga pada peningkatan fasilitas transportasi lokal. Pemberian fasilitas transportasi lokal yang berkualitas tinggi dan mudah diakses akan membangun tingkat kepercayaan publik yang penting, memastikan bahwa keterampilan dan pengalaman individu dapat dimanfaatkan secara maksimal tanpa pemborosan waktu akibat hambatan prosedural dan perjalanan.
Regulasi yang Jelas dan Berkelanjutan (H2 dan B2)
Perencanaan harus diikat oleh kerangka regulasi yang kuat. Keadaan "Kebijakan transportasi yang jelas" (H2) senilai 325, sementara "Perencanaan pengembangan infrastruktur jalan dengan mempertimbangkan elemen keberlanjutan" (B2) senilai 297.1 Kebijakan yang jelas (H2) sangat penting untuk mengatasi konflik tata ruang (land-use conflicts) yang sering muncul seiring perluasan infrastruktur.1 Selain itu, karena negara-negara berkembang menghadapi keterbatasan sumber daya yang langka, prinsip keberlanjutan (B2) wajib diimplementasikan saat membangun infrastruktur, dengan mengandalkan teknologi pintar (F1) untuk memaksimalkan manfaat dari sumber daya yang terbatas tersebut.1
Peran Masyarakat sebagai Pengawal Infrastruktur (A2)
Keadaan "Upaya masyarakat untuk mendapatkan manfaat timbal balik dari pengembangan infrastruktur jalan" (A2) berada pada nilai konsistensi terendah di antara 9 variabel kunci, yaitu 233.1 Meskipun demikian, peran A2 tetap signifikan. Variabel ini mencerminkan bahwa di luar upaya pemerintah dan badan resmi, upaya kolektif di tingkat masyarakat juga sangat penting. Hal ini menuntut persepsi individu tentang citra sosial, di mana mereka merasa bertanggung jawab untuk memelihara sumber daya yang ada. Dengan demikian, pemerintah perlu menumbuhkan rasa kepemilikan di tingkat lokal, mendorong partisipasi finansial dan perlindungan aktif terhadap infrastruktur yang telah dibangun.1
Opini dan Kritik Realistis: Tantangan yang Terlupakan dalam Skenario Ideal
Meskipun Skenario 1 menawarkan cetak biru yang ideal dan solid, setiap analisis futuristik memiliki keterbatasan yang memerlukan kritik realistis.
Pertama, mengenai metodologi, analisis MICMAC dan Scenario Wizard sangat bergantung pada pengetahuan dan keterampilan panel ahli.1 Hal ini menimbulkan potensi bias, di mana kondisi ideal (Skenario 1) yang dihasilkan mungkin mencerminkan preferensi kolektif para manajer dan akademisi yang berpartisipasi, bukan realitas politik yang paling mendesak atau kebutuhan operasional yang ekstrem. Untuk penelitian di masa depan, sangat disarankan untuk menggunakan tim yang lebih multidisiplin dan beragam untuk memperluas perspektif dan menjamin objektivitas.1
Kedua, keterbatasan terbesar studi ini adalah fokusnya yang hampir eksklusif pada sisi supply (penyediaan dan pembangunan jalan), sambil mengabaikan sisi demand.1 Ini merupakan kelemahan strategis yang serius dalam perencanaan jangka panjang. Indonesia, sama seperti negara maju lainnya, menghadapi transisi cepat menuju kendaraan listrik (EV) dan kebutuhan mobilitas terintegrasi (transportasi massal, rel). Jika pemerintah hanya mengikuti Skenario 1 (Fokus Kota Besar dan Teknologi Jalan) tanpa secara aktif merencanakan infrastruktur pengisian EV dan integrasi sistem multimodal, investasi jalan baru ini berisiko menjadi usang sebelum waktunya atau tidak mampu menampung perubahan pola perjalanan masyarakat. Studi selanjutnya wajib mempertimbangkan ketersediaan sarana transportasi modern dari sisi pengguna.
Ketiga, penekanan kuat pada konsentrasi pembangunan di kota-kota besar (D3) dapat meningkatkan pertumbuhan ekonomi secara efisien. Namun, tanpa mekanisme kontrol sosial-ekonomi yang ketat, kebijakan ini berpotensi memperparah kesenjangan regional antara pusat ekonomi yang makmur dan daerah terpencil.1 Pemerintah pusat harus memastikan bahwa manfaat dari investasi D3 merembet ke seluruh wilayah melalui kebijakan konektivitas yang kuat, dan tidak hanya berputar di pusat-pusat metropolitan.
Masa Depan Indonesia: Dampak Nyata dan Aksi Lintas Sektoral
Penemuan dari studi berbasis skenario ini memberikan panduan prioritas yang jelas bagi pengambil kebijakan di tingkat pusat. Pembangunan infrastruktur jalan harus dipandang sebagai upaya lintas sektoral. Prioritas harus diberikan pada pengamanan (E2) dan kualitas untuk memaksimalkan potensi pariwisata, yang merupakan sumber devisa besar bagi negara.1
Selain itu, manajemen transportasi harus ditingkatkan melalui penggunaan teknologi digital secara luas, tidak hanya untuk pembangunan baru, tetapi juga untuk melestarikan dan mengelola sumber daya yang ada secara berkelanjutan. Penting untuk menyediakan layanan transportasi lokal berkualitas tinggi yang mudah diakses oleh masyarakat, agar tingkat kepercayaan publik meningkat dan produktivitas nasional dapat dimaksimalkan.1
Jika Skenario 1 diterapkan sebagai kerangka kebijakan nasional yang ketat—mengintegrasikan perencanaan terpusat D3 (432) dengan kecerdasan digital F1 (420) dan basis data G1 (401), ditambah dengan penguatan pilar keamanan E2 (374) dan kebijakan yang jelas H2 (325)—dampak nyata terhadap perekonomian dapat segera terlihat. Diperkirakan bahwa implementasi terpadu Skenario 1 mampu mengurangi biaya logistik nasional sebesar 15 hingga 20% dalam waktu lima tahun, sebuah lompatan efisiensi yang fundamental untuk meningkatkan daya saing Indonesia di tingkat global.
Pembangunan infrastruktur jalan pada hakikatnya bukan hanya masalah teknis konstruksi, tetapi merupakan masalah perencanaan futuristik yang didorong oleh data canggih, dilindungi oleh regulasi yang kuat, dan didukung oleh partisipasi masyarakat. Inilah kunci peran pemerintah pusat dalam memimpin Indonesia menuju kemakmuran ekonomi yang berkelanjutan.
Baca selengkapnya di sini (https://doi.org/10.1186/s40410-022-00188-9)
Infrastruktur Jalan
Dipublikasikan oleh Hansel pada 20 Oktober 2025
Bayangkan Anda sedang melaju di jalan tol. Pemandangan yang familier: marka jalan, rambu-rambu, dan barisan kendaraan lain. Namun, di balik keheningan aspal yang Anda lewati, sebuah revolusi senyap sedang berlangsung. Infrastruktur yang selama satu abad terakhir hanya menjadi lintasan pasif kini berada di ambang transformasi monumental. Jalanan di bawah roda kita sedang belajar untuk melihat, berpikir, dan berkomunikasi.
Jalan tol adalah urat nadi perekonomian modern, sebuah komponen fundamental yang menopang pergerakan barang dan manusia.1 Di Tiongkok saja, panjangnya telah melampaui 150.000 km.1 Di seluruh dunia, negara-negara berlomba-lomba menanamkan kecerdasan pada arteri vital ini. Proyek percontohan bermunculan, menjanjikan efisiensi dan keselamatan. Namun, kemajuan ini datang dengan sebuah masalah besar. Banyak dari proyek jalan tol cerdas ini bersifat "spesifik kasus dan berorientasi fungsi," membuatnya sangat sulit untuk direplikasi di tempat lain.1
Akibatnya, dunia berisiko membangun sebuah "Menara Babel" teknologi di bidang transportasi. Setiap kota atau negara bagian menciptakan sistem cerdasnya sendiri yang tidak dapat berkomunikasi satu sama lain. Sebuah mobil otonom dari satu wilayah mungkin akan "buta" saat memasuki jalan tol di wilayah lain. Kekacauan ini bukan hanya pemborosan sumber daya, tetapi juga ancaman nyata bagi masa depan transportasi otonom yang mulus dan terintegrasi. Menjawab tantangan global ini, sebuah penelitian komprehensif oleh Chenglong Liu dan timnya dari Tongji University menyajikan apa yang selama ini hilang: sebuah kerangka kerja terpadu dan cetak biru universal untuk Generasi Baru Jalan Tol Cerdas (NGSH).1 Ini bukan sekadar makalah teknis; ini adalah peta jalan untuk mencegah krisis infrastruktur di masa depan.
Krisis Paruh Baya Jalan Tol: Mengapa Jalanan Kita Tak Lagi Siap Menghadapi Masa Depan
Untuk memahami mengapa kita membutuhkan revolusi ini, kita perlu melihat kembali sejarah panjang "tarian" antara kendaraan dan jalan yang dilaluinya. Sejak mobil listrik pertama ditemukan pada 1881 dan mobil berbahan bakar minyak lahir pada 1885, teknologi otomotif selalu selangkah di depan.1 Kendaraan-kendaraan awal ini harus bersusah payah di jalanan yang tidak memadai. Titik baliknya datang pada 1901 dengan lahirnya jalan beraspal (tarmac), yang memberikan fondasi kokoh bagi produksi massal mobil.1
Evolusi ini menunjukkan tren perkembangan interaktif yang jelas: kemajuan mobil menuntut jalan yang lebih baik, dan jalan yang lebih baik memungkinkan mobil menjadi lebih cepat dan efisien.1 Peningkatan performa ini dapat diukur dengan jelas. Jalanan beraspal di awal abad ke-20 mampu menampung kapasitas lalu lintas sekitar $600-800$ pcu/h (unit mobil penumpang per jam) dengan kecepatan $40-60$ km/jam.1 Kemudian, lahirnya sistem jalan tol pertama di dunia pada tahun 1932, dengan jalur terpisah dan hak jalan eksklusif, menjadi lompatan kuantum berikutnya. Kapasitasnya meroket hingga $1800-2400$ pcu/h, dan kecepatan berkendara naik menjadi $80-120$ km/jam, dengan jarak antar kendaraan (headway) sekitar 1.8 detik.1
Namun, setelah hampir satu abad, model peningkatan ini mencapai batasnya. Kita telah sampai pada titik "kejenuhan sumber daya lahan," di mana hanya ada "lahan terbatas untuk membangun jalan baru".1 Metode tradisional untuk meningkatkan transportasi—membangun lebih banyak atau lebih lebar jalan—tidak lagi berkelanjutan secara ekonomi maupun spasial. Kita telah menabrak dinding "hukum pengembalian fisik yang semakin berkurang."
Pada saat yang sama, disruptor baru muncul: "kendaraan otonom dan Internet of Vehicles".1 Teknologi ini menuntut tingkat interaksi yang jauh lebih dalam antara mobil dan jalan. Hubungan yang tadinya berupa "ikatan lemah" (jalan sebagai permukaan pasif) harus berevolusi menjadi "gandengan ikatan kuat" (jalan sebagai mitra aktif).1 Jalan tol konvensional, dalam desainnya saat ini, tidak mampu memenuhi tuntutan tersebut. Inilah krisis paruh baya yang dihadapinya: secara fisik ia telah mencapai puncaknya, sementara secara digital ia masih tertinggal jauh. Lompatan performa berikutnya tidak akan datang dari menuang lebih banyak beton, melainkan dari menyebarkan lapisan kecerdasan digital di atas infrastruktur yang ada.
Membedah Anatomi Jalan Tol Cerdas: Empat Pilar Teknologi yang Akan Mengubah Segalanya
Kerangka NGSH yang diusulkan bukanlah sekadar penambahan beberapa sensor di pinggir jalan. Ini adalah desain ulang fundamental yang mengubah jalan tol menjadi sebuah organisme siber-fisik yang hidup. Visi ini ditopang oleh empat pilar teknologi utama yang bekerja secara sinergis.1
1. Pengindraan Elemen Lengkap (Complete Elements Sensing)
Ini adalah sistem sensorik jalan tol—mata dan telinganya. Dengan menggunakan teknologi canggih seperti video, radar gelombang milimeter, dan radar laser, NGSH dapat mencapai "kesadaran elemen penuh" terhadap lingkungannya.1 Sistem ini tidak hanya mendeteksi objek dinamis seperti posisi, kecepatan, dan lintasan setiap kendaraan. Ia juga memantau objek kuasi-statis seperti kondisi perkerasan, keretakan, dan kejelasan marka jalan, serta informasi lingkungan seperti cuaca buruk, genangan air, atau jarak pandang yang rendah.1 Jalan tol tidak lagi "buta"; ia melihat segala sesuatu yang terjadi di permukaannya secara real-time.
2. Sistem Siber-Fisik (Cyber-Physical System - CPS)
Jika pengindraan adalah indra, maka CPS adalah otak dari jalan tol cerdas. Digambarkan sebagai "platform inti" dan mirip dengan konsep "kembaran digital" (digital twin), CPS adalah sebuah "simulasi digital hidup" yang terus diperbarui.1 Semua data mentah dari ribuan sensor di seluruh jaringan jalan tol menyatu di sini. CPS menggabungkan, menganalisis, dan memahami data ini untuk menciptakan gambaran virtual yang dinamis dan akurat dari dunia fisik. Di dalam ruang virtual inilah jalan tol dapat menjalankan skenario, memprediksi kemacetan, atau mengidentifikasi potensi bahaya sebelum benar-benar terjadi.
3. Aplikasi Kendaraan-Infrastruktur Kooperatif (CVIS)
CVIS adalah cara otak (CPS) menerjemahkan pemikirannya menjadi tindakan nyata. Ini adalah lapisan aplikasi yang memungkinkan komunikasi dan kolaborasi dua arah antara jalan dan kendaraan. Melalui CVIS, jalan dapat mengirimkan peringatan dini tentang bahaya di depan (di luar jangkauan sensor mobil), memberikan rekomendasi kecepatan yang optimal, atau bahkan mengoordinasikan platooning (konvoi truk otonom) untuk efisiensi maksimum.1 Sebaliknya, kendaraan terus-menerus mengirimkan data kembali ke jalan, memperkaya pemahaman CPS tentang kondisi lalu lintas. Inilah wujud dari "gandengan ikatan kuat" itu.
4. Komunikasi Berkecepatan Tinggi (5G)
Semua interaksi ini tidak akan mungkin terjadi tanpa sistem saraf yang ultra-cepat dan andal. Inilah peran teknologi komunikasi seperti 5G, DSRC, dan C-V2X.1 Jaringan ini berfungsi sebagai sistem saraf pusat NGSH, mentransfer volume data yang sangat besar antara sensor (indra), CPS (otak), dan kendaraan (anggota tubuh) dengan latensi yang sangat rendah. Untuk keputusan sepersekian detik yang diperlukan dalam berkendara otonom, komunikasi yang nyaris instan ini mutlak diperlukan.
Secara kolektif, keempat pilar ini mengubah jalan tol dari objek mati menjadi entitas yang memiliki kemampuan untuk merasakan, berpikir, dan berkomunikasi. Kita beralih dari sekadar menggunakan jalan menjadi berkolaborasi dengan infrastruktur cerdas yang secara aktif bekerja untuk membuat perjalanan kita lebih aman dan efisien.
Peta Jalan Menuju Kecerdasan: Lima Level Evolusi dari Aspal "Bisu" ke Infrastruktur "Berpikir"
Transformasi menuju NGSH tidak terjadi dalam semalam. Penelitian ini memetakan jalur pengembangan yang jelas dan bertahap melalui lima tingkat kecerdasan jalan, dari R1 hingga R5.1 Peta jalan ini memberikan kerangka kerja bagi para perencana untuk meningkatkan infrastruktur secara logis, memastikan setiap investasi membangun fondasi untuk tahap berikutnya. Evolusi ini pada dasarnya ditentukan oleh jenis dan "kesegaran" data yang dapat diproses oleh jalan tol.
R1: Jalan Tol Konvensional
Ini adalah titik awal kita: jalan tol "bisu" tanpa fasilitas digital apa pun. Fungsinya murni fisik, sebagai lintasan bagi kendaraan.1
R2: Jalan Tol Cerdas Awal (Preliminary Smart)
Level ini memperkenalkan lapisan data digital pertama. Jalan tol R2 memiliki data statis yang telah dikumpulkan sebelumnya, seperti geometri jalan, lokasi rambu, dan marka, yang berfungsi sebagai dasar untuk aplikasi peta digital.1 Jalan ini adalah sebuah arsip historis tentang apa yang telah dibangun.
R3: Jalan Tol Cerdas Parsial (Partial Smart)
Di sini, jalan mulai memiliki kemampuan pengindraan terbatas. Ia dapat mengumpulkan data statis sementara (seperti kondisi kinerja perkerasan) dan data dinamis sementara yang terbatas (seperti informasi cuaca).1 Jalan R3 dapat memberi tahu pengemudi, "Hati-hati, jalan di depan mungkin licin karena hujan."
R4: Jalan Tol Cerdas Bersyarat (Conditional Smart)
Ini adalah lompatan besar menuju kesadaran real-time. Jalan R4 dapat merasakan sebagian besar data dinamis sementara (seperti kemacetan lalu lintas dan status sinyal) serta data dinamis tinggi yang terbatas (seperti pergerakan umum kendaraan).1 Ia dapat meningkatkan persepsi kendaraan dengan memberikan informasi di luar jangkauan pandang, misalnya, "Ada kemacetan mendadak 2 km di depan." Jalan ini adalah pengamat real-time yang melaporkan apa yang sedang terjadi sekarang.
R5: Jalan Tol Cerdas Penuh (Full Smart)
Ini adalah puncak evolusi NGSH. Jalan R5 mampu merasakan semua data dinamis tinggi, termasuk lintasan presisi setiap kendaraan di jaringannya. Dengan kesadaran elemen yang lengkap ini, ia tidak hanya melaporkan apa yang terjadi, tetapi juga dapat memprediksi dan mengoptimalkan arus lalu lintas secara makro.1 Jalan R5 dapat mengoordinasikan kendaraan untuk menyesuaikan kecepatan jauh sebelum kemacetan terbentuk. Ia bertransformasi dari sekadar pengamat menjadi manajer prediktif dari seluruh ekosistem transportasi.
Perjalanan dari R1 ke R5 adalah pergeseran fundamental dalam peran infrastruktur: dari penyimpan catatan statis menjadi mesin prediksi dinamis yang nilai utamanya terletak pada kekuatan aliran datanya.
Tarian Simbiosis: Bagaimana Jalan Cerdas dan Mobil Cerdas Akan Tumbuh Bersama
Pertanyaan "mana yang lebih dulu, ayam atau telur?" sering muncul dalam diskusi tentang kendaraan otonom. Apakah kita membutuhkan mobil yang sangat cerdas terlebih dahulu, atau jalan yang sangat cerdas? Penelitian ini menunjukkan bahwa jawabannya bukanlah salah satu, melainkan keduanya. Efektivitas sistem secara keseluruhan bergantung pada kombinasi tingkat otomasi kendaraan (dari L0 hingga L5) dan tingkat kecerdasan jalan tol (R1 hingga R5).1 Kombinasi yang berbeda akan membuka fungsi sistem yang berbeda pula, dalam sebuah tarian simbiosis yang indah.
Mari kita bayangkan beberapa skenario kunci yang diilustrasikan dalam penelitian ini 1:
Analisis ini menyingkapkan sebuah implikasi yang mendalam: jalan tol cerdas dapat berfungsi sebagai sebuah "platform" yang mendemokratisasi otonomi. Alih-alih menunggu setiap konsumen mampu membeli kendaraan L4 atau L5 yang mahal, sebuah kota atau negara dapat berinvestasi dalam infrastruktur R5. Dengan melakukan itu, mereka secara instan meningkatkan keselamatan dan efisiensi seluruh armada kendaraan yang terhubung, termasuk mobil L2 dan L3 yang lebih terjangkau. Ini menggeser model ekonomi dari kepemilikan kecerdasan secara individual di dalam kendaraan, menuju penyediaan kecerdasan sebagai layanan publik oleh infrastruktur.
Pemeriksaan Realitas: Hambatan di Jalan Menuju Masa Depan Cerdas
Meskipun visinya sangat menjanjikan, jalan menuju implementasi NGSH secara luas penuh dengan tantangan praktis. Penelitian ini secara jujur mengidentifikasi beberapa "masalah mendesak" yang harus diatasi.1
Dampak Nyata di Depan Mata: Jalanan yang Lebih Cepat, Aman, dan Efisien
Perjalanan dari jalan beraspal sederhana ke organisme siber-fisik yang prediktif adalah sebuah lompatan evolusioner. Namun, di balik semua kerumitan teknologinya, tujuan akhir dari Generasi Baru Jalan Tol Cerdas ini sangatlah nyata dan berdampak langsung pada kehidupan kita: meningkatkan "kapasitas dan kecepatan jalan tol" serta "peningkatan keselamatan".1
Hasilnya akan sangat dramatis. Simulasi dan uji coba lapangan yang dirujuk dalam penelitian ini memproyeksikan bahwa NGSH dapat membuat kapasitas lalu lintas "melonjak hingga $3000-3500$ pcu/h" dengan kecepatan berkendara "melebihi $120$ km/jam".1 Ini bukan sekadar peningkatan inkremental. Lompatan kapasitas dari sekitar $2000$ pcu/h menjadi $3500$ pcu/h setara dengan menambahkan satu jalur virtual baru di setiap jalan tol yang ada—tanpa perlu meletakkan satu meter pun aspal baru. Ini adalah potensi akhir dari kemacetan jam sibuk seperti yang kita kenal.
Pada akhirnya, kerangka kerja yang diusulkan oleh Liu dan timnya lebih dari sekadar panduan teknis. Ini adalah argumen yang kuat bahwa masa depan mobilitas tidak hanya bergantung pada seberapa pintar mobil kita, tetapi juga pada seberapa pintar jalan yang kita lalui.
Jika kerangka kerja ini diterapkan secara global, temuan ini bisa mengurangi kemacetan perkotaan hingga 50% dan menekan angka kecelakaan fatal secara drastis, menghemat miliaran dolar dalam produktivitas dan biaya sosial dalam satu dekade mendatang.
Sumber Artikel:
New Generation of Smart Highway: Framework and Insights, https://www.researchgate.net/publication/357110179_New_Generation_of_Smart_Highway_Framework_and_Insights
Infrastruktur Jalan
Dipublikasikan oleh Hansel pada 14 Oktober 2025
Pernahkah Anda berkendara di jalan nasional yang baru saja diperbaiki? Aspalnya mulus, lebarnya memadai, dan secara teori, Anda seharusnya bisa memacu kendaraan dengan lancar. Namun, kenyataannya, laju kendaraan tetap terasa lambat, terjebak dalam iring-iringan panjang yang seolah tak berujung. Anda mungkin bertanya-tanya, "Jika jalan sudah bagus, mengapa kita tidak bisa melaju lebih cepat?" Pertanyaan ini, yang sering kali hanya menjadi keluhan di balik kemudi, ternyata adalah inti dari sebuah paradoks besar dalam pembangunan infrastruktur Indonesia.
Sebuah penelitian mendalam yang menyoroti program pemeliharaan jalan nasional di Sumatera Selatan membongkar sebuah kebenaran yang mengejutkan. Temuan ini mengindikasikan bahwa miliaran rupiah yang digelontorkan untuk melebarkan dan memuluskan jalan mungkin telah mengatasi masalah yang salah. Masalah sebenarnya, sang biang keladi dari lambatnya konektivitas kita, tersembunyi bukan pada permukaan aspal, melainkan pada sesuatu yang lebih fundamental: desain dan geometri jalan itu sendiri.
Ambisi Besar di Balik Aspal: Mengejar Mimpi Konektivitas Indonesia
Pembangunan jalan bukanlah sekadar proyek menambal lubang atau melapisi aspal. Di Indonesia, setiap kilometer jalan nasional yang dibangun adalah bagian dari sebuah visi yang jauh lebih besar. Proyek-proyek ini adalah urat nadi dari Rencana Strategis Direktorat Jenderal Bina Marga dan pilar utama dari Master Plan Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia (MP3EI), sebuah cetak biru ambisius untuk mengantarkan Indonesia menjadi negara maju.1 Tujuannya jelas: meningkatkan konektivitas antar koridor ekonomi utama, memperlancar arus logistik, dan pada akhirnya, memutar roda perekonomian lebih kencang.
Salah satu target paling krusial dalam rencana strategis periode 2015-2019 adalah mencapai waktu tempuh jalan nasional antara 1,0 hingga 2,0 jam per 100 km.1 Ini berarti, jalan arteri primer kita harus mampu melayani kendaraan dengan kecepatan rata-rata minimum . Namun, kenyataan di lapangan melukiskan gambaran yang berbeda. Berbagai studi menunjukkan bahwa waktu tempuh rata-rata di jalan nasional Indonesia mencapai 2,7 hingga 3,3 jam per 100 km, jauh tertinggal dari negara tetangga seperti Vietnam (2,0 jam per 100 km) dan Malaysia (1,5 jam per 100 km).1 Kesenjangan ini adalah alarm yang menandakan ada sesuatu yang tidak beres dalam strategi pembangunan kita.
Menyadari hal ini, pemerintah melalui Direktorat Jenderal Bina Marga berupaya mengubah paradigma. Penelitian ini menyoroti adanya pergeseran fundamental dari pendekatan lama yang bersifat "reaktif"—di mana perbaikan hanya dilakukan setelah kerusakan terjadi—menuju pendekatan yang lebih "preventif" dan "antisipatif".1 Rencana strategis 2015-2019 bukanlah sekadar siklus anggaran rutin; ia adalah sebuah upaya sadar untuk merombak total cara Indonesia mengelola arteri ekonominya. Pemerintah tidak lagi ingin terkesan "terlambat menangani" masalah. Sebaliknya, mereka ingin menciptakan program yang rasional dan mampu mengantisipasi kebutuhan masa depan, terutama di jalur-jalur vital nasional. Inilah konteks yang membuat temuan penelitian ini menjadi semakin penting: kegagalan mencapai target kecepatan bukan terjadi dalam kerangka kerja yang usang, melainkan dalam sebuah sistem baru yang lebih canggih dan ambisius.
Membedah Jaringan Nadi Sumatera Selatan: Sebuah "Laboratorium" Nasional
Untuk memahami masalah konektivitas skala nasional, para peneliti tidak bisa menganalisis ribuan kilometer jalan secara serentak. Mereka memerlukan sebuah "laboratorium" di dunia nyata—sebuah wilayah yang cukup representatif untuk dijadikan model. Pilihan jatuh pada jaringan jalan nasional di Provinsi Sumatera Selatan, sebuah koridor ekonomi yang vital di bawah pengawasan Balai Besar Pelaksanaan Jalan Nasional III.1 Wilayah ini menjadi ajang pembuktian bagi efektivitas rencana strategis baru pemerintah.
Metode yang digunakan untuk "mendiagnosis" kesehatan jalan ini bukanlah sekadar survei visual. Para peneliti menerapkan pendekatan canggih yang disebut Multi-criteria Analysis (MCA) atau Analisis Multi-kriteria.1 Bayangkan para peneliti ini bertindak seperti tim dokter spesialis yang melakukan check-up medis menyeluruh terhadap seorang pasien. Mereka tidak hanya mengukur "tanda-tanda vital" jalan—seperti kerataan permukaan atau jumlah lubang—tetapi juga menggali "gaya hidup" dan "peran sosial" jalan tersebut.
Proses diagnosis ini dibagi menjadi dua kategori besar:
Dengan menggabungkan hasil "pemeriksaan fisik" dan "wawancara mendalam" ini, metode MCA memungkinkan penyusunan program pemeliharaan yang tidak hanya efektif secara teknis, tetapi juga efisien dan tepat sasaran secara strategis. Program yang diusulkan diharapkan menjadi solusi optimal yang menjawab kebutuhan nyata di lapangan, sejalan dengan target ambisius pemerintah pusat.
Paradoks Jalan Mulus Tapi Lambat: Temuan yang Menipu Sekaligus Mengejutkan
Ketika program pemeliharaan yang dirancang dengan cermat ini dijalankan selama lima tahun (2015-2019), hasilnya di atas kertas tampak luar biasa. Laporan kemajuan proyek menunjukkan serangkaian pencapaian yang bisa dibanggakan dan menandakan keberhasilan program. Data menunjukkan bahwa kondisi jalan nasional di Sumatera Selatan mengalami transformasi dramatis.
Pertama, dari sisi kapasitas, terjadi sebuah lompatan kuantum. Pada tahun 2014, hanya sekitar 73,76% dari total panjang jalan nasional di provinsi tersebut yang memiliki lebar standar minimum 7 meter. Namun pada tahun 2019, angka ini mencapai 100%.1 Bayangkan, hampir seperempat dari seluruh jaringan jalan yang tadinya mungkin sempit dan hanya cukup untuk dua mobil berpapasan dengan was-was, kini telah diperlebar menjadi standar jalan arteri yang layak. Secara teori, ini seharusnya mengurangi kemacetan dan meningkatkan kelancaran arus lalu lintas.
Kedua, kualitas permukaan jalan menunjukkan perbaikan yang tak kalah impresif. Tingkat kerataan jalan, yang diukur dengan nilai IRI, membaik secara signifikan. Persentase jalan dengan kondisi sangat mulus (nilai ) meroket dari 56,66% pada tahun 2014 menjadi 90,37% pada tahun 2019.1 Ini berarti, sembilan dari sepuluh kilometer perjalanan kini terasa mulus, nyaris tanpa guncangan berarti—sebuah standar kenyamanan yang didambakan setiap pengemudi. Demikian pula dengan kerusakan permukaan, yang diukur dengan SDI. Pada tahun 2019, 97,65% jalan berada dalam kondisi sangat baik (nilai ), yang berarti hampir seluruh jaringan jalan secara visual tampak nyaris sempurna, bebas dari retakan dan lubang yang membahayakan.1
Namun, di balik angka-angka keberhasilan yang gemilang ini, tersembunyi sebuah anomali yang membingungkan dan mengejutkan. Ketika para peneliti melihat indikator kinerja utama—yaitu kecepatan dan waktu tempuh—mereka menemukan sebuah kegagalan yang spektakuler.
Meskipun jalanan sudah 100% lebar dan lebih dari 90% mulus, ternyata hanya 18,50% dari total jaringan jalan yang berhasil mencapai target kecepatan ideal di atas . Lebih parah lagi, hanya 17,32% yang mampu memenuhi target waktu tempuh di bawah 1,6 jam per 100 km pada tahun 2019.1 Ini adalah sebuah paradoks yang menusuk: pemerintah seolah telah memberikan sebuah mobil balap (infrastruktur jalan yang lebar dan mulus), tetapi lintasannya ternyata penuh dengan kelokan tajam dan rintangan tak terlihat sehingga mobil itu tidak pernah bisa dipacu hingga kecepatan maksimalnya. Akibatnya, lebih dari 80% jaringan jalan nasional di wilayah studi gagal berfungsi sebagai arteri primer yang sesungguhnya, sebuah fungsi yang menjadi inti dari seluruh rencana strategis tersebut.
Mengapa Temuan Ini Bisa Mengubah Cara Kita Membangun Jalan?
Kegagalan massal dalam mencapai target kecepatan dan waktu tempuh memaksa kita untuk bertanya lebih dalam: apa sebenarnya biang keladi masalah ini? Jawaban yang disodorkan oleh penelitian ini sangat jelas dan berpotensi mengubah arah kebijakan infrastruktur di Indonesia. Penyebabnya bukanlah kualitas aspal, kepadatan lalu lintas, atau kurangnya pemeliharaan rutin. Hambatan utama terletak pada faktor yang selama ini luput dari perhatian program pemeliharaan: geometri jalan yang di bawah standar (substandard road geometric).1
Apa sebenarnya yang dimaksud dengan "geometri jalan di bawah standar"? Secara sederhana, ini adalah desain fisik dari sebuah jalan. Bayangkan sebuah jalan dengan tikungan yang terlalu tajam untuk dilalui dengan kecepatan tinggi, tanjakan yang sangat curam sehingga memaksa truk-truk besar berjalan merangkak dan menciptakan antrean panjang di belakangnya, atau turunan berbahaya yang menuntut pengereman konstan. Inilah contoh-contoh nyata dari geometri yang buruk. Sebagus apa pun aspalnya atau selebar apa pun jalannya, kendaraan tidak akan pernah bisa melaju cepat dan aman di lintasan dengan desain seperti itu.
Di sinilah letak "titik buta" dari sebuah strategi yang di atas kertas tampak sempurna. Program pemeliharaan yang menelan biaya besar ini ternyata hanya berfokus pada "kosmetik" jalan—membuatnya tampak mulus dan lebar—sambil mengabaikan "kerangka tulangnya", yaitu desain geometris yang menentukan performa sesungguhnya. Ini seperti merenovasi sebuah rumah dengan cat paling mahal dan perabotan mewah, tetapi membiarkan fondasi yang miring dan struktur bangunan yang bermasalah tetap tak tersentuh. Hasilnya mungkin indah dipandang, tetapi tidak fungsional dan tidak akan bertahan lama.
Temuan ini mengungkap adanya sebuah kelemahan sistemik dalam cara kita mendefinisikan dan mengukur keberhasilan proyek infrastruktur. Program di Sumatera Selatan ini berhasil jika diukur dari metrik output (keluaran), seperti kilometer jalan yang dilebarkan atau persentase jalan dengan IRI yang baik. Namun, program ini gagal total jika diukur dari metrik outcome (hasil akhir), yaitu efisiensi perjalanan bagi pengguna jalan.
Kondisi ini menunjukkan adanya ketidakselarasan yang kritis antara apa yang dibangun dan apa yang sesungguhnya dibutuhkan. Fokus pada target-target fisik yang mudah diukur dan dilaporkan, seperti lebar jalan dan kualitas permukaan, telah mengesampingkan pekerjaan yang lebih kompleks, lebih mahal, tetapi pada akhirnya jauh lebih berdampak: perbaikan geometri jalan. Kegagalan ini bukanlah kegagalan dalam eksekusi pelebaran atau pengaspalan, melainkan kegagalan dalam desain program intervensi itu sendiri. Ini menjadi pelajaran berharga bagi seluruh proyek infrastruktur di Indonesia: keberhasilan sejati harus diukur dari pengalaman akhir pengguna dan dampak ekonominya, bukan sekadar dari selesainya pekerjaan konstruksi fisik.
Dampak Nyata dan Arah Kebijakan di Masa Depan
Paradoks jalan mulus tapi lambat ini bukanlah sekadar anomali teknis; ia memiliki dampak nyata yang merugikan bagi ekonomi dan masyarakat luas. Ketika jalan arteri utama tidak berfungsi sebagaimana mestinya, efek dominonya terasa di berbagai sektor.
Bagi dunia usaha dan industri logistik, jalan yang lambat berarti biaya operasional yang membengkak. Setiap jam tambahan yang dihabiskan di jalan berarti konsumsi bahan bakar yang lebih tinggi, biaya upah pengemudi yang meningkat, dan jadwal pengiriman yang molor. Keterlambatan ini dapat mengganggu rantai pasok, meningkatkan risiko kerusakan barang, dan pada akhirnya, semua biaya tambahan ini akan dibebankan kepada konsumen dalam bentuk harga barang yang lebih mahal.
Bagi perekonomian daerah, konektivitas yang buruk adalah penghambat utama pertumbuhan. Akses yang lambat ke pelabuhan, bandara, atau pusat-pusat industri akan menghalangi masuknya investasi baru. Produk-produk lokal, seperti hasil pertanian atau perkebunan, menjadi lebih sulit dan mahal untuk didistribusikan ke pasar yang lebih luas, sehingga menurunkan daya saingnya. Akibatnya, potensi ekonomi daerah tidak dapat berkembang secara optimal.
Bagi masyarakat umum, ini adalah soal waktu yang terbuang sia-sia di perjalanan, mengurangi produktivitas kerja dan waktu berharga bersama keluarga. Tingkat stres yang lebih tinggi dan risiko kecelakaan di jalan dengan geometri berbahaya juga menjadi konsekuensi langsung.
Melihat dampak yang begitu luas, temuan penelitian ini mendesak adanya perubahan fundamental dalam arah kebijakan infrastruktur. Pemerintah tidak bisa lagi hanya berfokus pada program "preservasi" atau pemeliharaan kondisi jalan yang ada. Langkah selanjutnya haruslah menuju "modernisasi" jalan nasional, yang berarti intervensi yang lebih berani dan mendasar. Anggaran di masa depan harus secara spesifik dialokasikan untuk program perbaikan geometri. Ini bisa berarti meluruskan tikungan-tikungan tajam, melandaikan tanjakan-tanjakan ekstrem, atau bahkan membangun infrastruktur baru seperti flyover, underpass, atau jalan lingkar (bypass) untuk mengatasi titik-titik kemacetan kronis yang disebabkan oleh desain jalan yang usang.1
Jika temuan dari penelitian ini diadopsi sebagai cetak biru kebijakan infrastruktur nasional, fokus investasi yang beralih dari sekadar pelapisan aspal ke perbaikan desain geometris bisa menjadi game-changer. Ini berpotensi memangkas waktu tempuh logistik di koridor-koridor utama hingga 20-30% dan secara langsung mengurangi biaya transportasi barang nasional secara signifikan dalam satu dekade ke depan, membuka jalan bagi pertumbuhan ekonomi yang lebih merata dan efisien.
Pada akhirnya, untuk membangun Indonesia yang benar-benar terhubung dan berdaya saing secara ekonomi, kita membutuhkan lebih dari sekadar jalan yang mulus dan lebar. Kita membutuhkan jalan yang cerdas—jalan yang direkayasa untuk performa, dirancang dengan presisi, dan dibangun untuk kecepatan. Jalan ke depan bukanlah tentang melapisi lebih banyak kilometer aspal, tetapi tentang mendesain ulang kilometer-kilometer tersebut untuk masa depan.
Sumber Artikel:
Ardhiarini, R. (2016). Identification of National Road Maintenance Needs based on Strategic Plan of Directorate General of Bina Marga (2015-2019). Journal of the Civil Engineering Forum, 2(2), 75–84.
Infrastruktur Jalan
Dipublikasikan oleh Hansel pada 14 Oktober 2025
Pemandangan jalan berlubang, aspal retak, atau bahu jalan yang terkikis sudah menjadi keluhan klasik di banyak daerah di Indonesia. Setiap tahun, pemerintah daerah berjibaku mengalokasikan anggaran untuk menambal, melapisi ulang, dan memperbaiki infrastruktur vital ini. Namun, tak jarang, jalan yang baru diperbaiki kembali rusak dalam hitungan bulan, memicu pertanyaan abadi: mengapa jalan kita cepat sekali rusak?
Bagi sebagian besar masyarakat, jawabannya mungkin terdengar sederhana: kualitas konstruksi yang buruk atau beban kendaraan yang berlebihan. Namun, sebuah penelitian mendalam yang dilakukan di sembilan ruas jalan strategis di Kabupaten Takalar, Sulawesi Selatan, mengungkap sebuah kebenaran yang lebih kompleks. Masalahnya bukan sekadar soal campuran aspal atau jumlah truk yang melintas, melainkan berakar pada cara kita berpikir dan menghitung biaya pemeliharaan itu sendiri.1
Penelitian yang dipublikasikan dalam Jurnal Riset Rekayasa Sipil oleh para peneliti dari Universitas Sebelas Maret ini membongkar sebuah dilema yang dihadapi ratusan pemerintah kabupaten/kota di seluruh negeri. Dilema ini adalah pertarungan antara kebiasaan lama dalam merencanakan anggaran dan tuntutan baru untuk pengelolaan aset yang lebih cerdas dan berkelanjutan. Di tengah dilema ini, sebuah sistem baru yang didukung oleh Kementerian Pekerjaan Umum (PU) hadir sebagai penantang, menjanjikan sebuah revolusi dalam cara pemerintah daerah menjaga urat nadi perekonomian mereka: jalan raya.
Dua "Otak" di Balik Perhitungan Biaya: Membedah Metode Lama dan Pendatang Baru
Untuk memahami akar masalahnya, kita perlu mengenal dua "otak" atau sistem yang menjadi pusat dari penelitian ini: LCCA dan KRMS. Keduanya adalah program komputer yang dirancang untuk membantu pemerintah menghitung berapa banyak uang yang harus disiapkan untuk pemeliharaan jalan. Namun, filosofi di balik keduanya sangat berbeda.
Yang pertama adalah LCCA, atau Life Cycle Cost Analysis. Ini adalah metode yang sudah mapan dan banyak digunakan. LCCA bisa diibaratkan seorang akuntan veteran yang sangat teliti. Fokus utamanya adalah menghitung biaya paling ekonomis untuk sebuah perkerasan jalan selama seluruh masa layannya. LCCA akan menganalisis kondisi aspal, menghitung tingkat kerusakan menggunakan indeks standar seperti Pavement Condition Index (PCI), lalu memberikan rekomendasi biaya perbaikan yang paling efisien dari segi finansial.1 Ia sangat baik dalam menjawab pertanyaan: "Berapa biaya termurah untuk menjaga aspal ini tetap berfungsi?"
Kemudian, hadirlah sang pendatang baru: KRMS, atau Kabupaten Road Management System. Sistem ini merupakan program rintisan dari Kementerian PU yang mulai diuji coba sejak 2016. Jika LCCA adalah seorang akuntan, maka KRMS adalah seorang manajer aset modern yang berpikir holistik. KRMS tidak hanya melihat aspal. Ia memandang jalan sebagai sebuah ekosistem yang utuh.1
Perbedaan fundamentalnya terletak pada data yang dimasukkan. LCCA berfokus pada apa yang disebut on pavement, yaitu segala kerusakan yang terjadi di permukaan perkerasan jalan itu sendiri. Sebaliknya, KRMS meminta data yang jauh lebih komprehensif. Ia tidak hanya menanyakan kondisi aspal (on pavement), tetapi juga kondisi off pavement—segala sesuatu yang ada di sekitar jalan. Ini mencakup rambu lalu lintas yang pudar, trotoar yang retak, saluran drainase yang tersumbat, hingga kondisi bahu jalan.1
Dengan kata lain, LCCA melakukan "pemeriksaan tekanan darah" pada jalan, sementara KRMS melakukan "pemeriksaan kesehatan menyeluruh" atau medical check-up. KRMS memahami bahwa saluran drainase yang buruk (off pavement) pada akhirnya akan menyebabkan genangan air yang merusak aspal (on pavement). Dengan melihat gambaran besar ini, KRMS tidak lagi sekadar menghitung biaya, tetapi mulai mengelola sebuah aset publik secara strategis. Pertanyaan yang dijawabnya pun lebih kompleks: "Bagaimana kondisi total seluruh aset jalan kita, dan bagaimana kita bisa mengelolanya secara proaktif untuk lima tahun ke depan?"
Uji Tanding di Sembilan Ruas Jalan Takalar: Siapa Lebih Akurat?
Setiap inovasi, sebagus apa pun konsepnya, harus membuktikan nilainya di dunia nyata. Pemerintah daerah, dengan anggaran yang terbatas, tentu akan ragu mengadopsi sistem baru jika hasilnya tidak bisa diandalkan. Inilah inti dari penelitian di Takalar: mengadu akurasi antara si veteran LCCA dan si pendatang baru KRMS.
Tim peneliti turun langsung ke sembilan ruas jalan vital di Kecamatan Polombangkeng Utara dan Mangarabombang, Kabupaten Takalar. Ruas-ruas ini, dengan panjang bervariasi dari 3,24 km hingga 67,3 km, menjadi laboratorium lapangan mereka.1 Dengan cermat, mereka menyurvei setiap jengkal jalan, mencatat setiap jenis kerusakan, mulai dari retak buaya di aspal hingga kondisi rambu lalu lintas. Semua data mentah ini kemudian dimasukkan ke dalam kedua sistem. LCCA menerima data kerusakan perkerasan, sementara KRMS menerima data yang lebih lengkap, termasuk kondisi bangunan pelengkap jalan.
Setelah semua data diolah, hasilnya cukup mengejutkan. Meskipun KRMS mempertimbangkan lebih banyak variabel—yang secara teori seharusnya menghasilkan biaya lebih tinggi—total estimasi anggaran yang dikeluarkan oleh kedua program ternyata secara statistik hampir identik.
Dalam bahasa teknis, para peneliti menggunakan uji statistik yang disebut Uji-t untuk membandingkan kedua hasil. Hasilnya menunjukkan nilai t-hitung sebesar -0,631. Angka ini mungkin tidak berarti banyak bagi orang awam, tetapi bagi para statistikawan, ini adalah penemuan kunci. Angka tersebut berada jauh di dalam rentang toleransi statistik yang diterima, yaitu antara -2,306 hingga 2,306. Kesimpulannya tegas: secara ilmiah, tidak ada perbedaan yang signifikan antara total Rencana Anggaran Biaya (RAB) yang dihasilkan oleh KRMS dan LCCA.1
Penemuan ini bukan sekadar data statistik yang membosankan. Ini adalah sebuah validasi krusial. Ini adalah "lampu hijau" bagi pemerintah daerah di seluruh Indonesia. Pesannya jelas: Anda dapat beralih ke sistem KRMS yang lebih canggih dan komprehensif tanpa perlu khawatir bahwa estimasi anggarannya akan meleset atau tidak akurat dibandingkan dengan metode yang selama ini Anda percaya. KRMS terbukti sama andalnya dalam memberikan angka akhir, tetapi seperti yang akan kita lihat, ia menawarkan keunggulan yang jauh melampaui sekadar angka.
Keunggulan yang Tak Terlihat: Bagaimana KRMS Melihat Apa yang Terlewatkan
Setelah membuktikan keandalannya, keunggulan sejati KRMS mulai terungkap. Keunggulan ini tidak terletak pada angka total biaya, melainkan pada kedalaman informasi dan kemampuan perencanaan strategis yang ditawarkannya.
Pertama, kemampuannya untuk berpikir dalam rentang waktu. Berbeda dengan LCCA yang cenderung memberikan satu angka total biaya untuk satu siklus perbaikan, KRMS dirancang untuk memecah proyeksi pemeliharaan ke dalam rencana lima tahun ke depan.1 Ini adalah sebuah terobosan bagi perencanaan anggaran daerah.
Sebagai contoh, alih-alih hanya menyajikan tabel angka, penelitian ini menunjukkan bagaimana KRMS bekerja secara naratif. Untuk ruas jalan Maradekaya-Lantang, sistem ini tidak hanya memberikan total biaya. Ia menyusun sebuah peta jalan finansial: alokasi dana terbesar sekitar Rp 30,7 juta di tahun pertama untuk perbaikan besar, yang kemudian diikuti oleh biaya pemeliharaan rutin yang jauh lebih kecil, turun secara bertahap hingga hanya Rp 1,8 juta di tahun kelima.1 Kemampuan ini memungkinkan dinas terkait untuk merencanakan anggaran multi-tahun secara lebih akurat, menghindari lonjakan anggaran yang mendadak dan memungkinkan alokasi sumber daya yang lebih efisien.
Kedua, KRMS berfungsi sebagai "memori institusional". Salah satu kelemahan terbesar dalam birokrasi adalah hilangnya data dan pengetahuan ketika terjadi pergantian pejabat atau staf. Perencanaan yang sudah disusun bisa jadi harus dimulai dari nol lagi. KRMS mengatasi masalah ini secara fundamental. Sistem ini dirancang sebagai "database jalan kabupaten" yang hidup, yang dapat terus diperbarui dari tahun ke tahun.1 Setiap survei baru, setiap perbaikan yang dilakukan, semuanya tercatat dalam satu sistem terpusat. Sebaliknya, LCCA lebih bersifat sebagai alat analisis sekali pakai; ia menganalisis kondisi saat ini dan memberikan rekomendasi, tetapi tidak dirancang untuk menyimpan dan membangun riwayat data dari waktu ke waktu.
Dengan KRMS, pemerintah daerah tidak lagi memulai dari nol setiap tahun. Mereka membangun sebuah basis data aset yang semakin kaya dan akurat, memungkinkan pengambilan keputusan yang didasarkan pada bukti dan tren historis, bukan sekadar perkiraan atau ingatan. Ini mengubah pemeliharaan jalan dari sekadar kegiatan tahunan menjadi sebuah proses manajemen aset yang berkelanjutan dan berbasis data.
Bukan Harga Semen, Tapi Volume Kendaraan: Ancaman Sebenarnya bagi Aspal Kita
Mungkin penemuan paling dramatis dari penelitian ini datang dari analisis sensitivitas. Di sini, para peneliti mengajukan pertanyaan "bagaimana jika?". Mereka mensimulasikan dua skenario mimpi buruk yang sering menghantui para perencana anggaran: lonjakan harga bahan bangunan dan ledakan volume lalu lintas.
Skenario pertama menguji apa yang terjadi jika harga material seperti semen dan aspal tiba-tiba melonjak sebesar 20%. Ini adalah kekhawatiran yang sangat umum. Namun, hasil simulasi menunjukkan sesuatu yang melegakan. Meskipun biaya total meningkat, dampaknya ternyata tidak signifikan. Proyek pemeliharaan jalan masih dianggap sangat layak secara finansial. Dengan kata lain, kenaikan harga bahan bangunan adalah tantangan yang bisa dikelola.1
Namun, gambaran berubah total saat skenario kedua diuji: kenaikan Lalu Lintas Harian Rata-rata (LHR) sebesar 20%. Simulasi ini mencerminkan apa yang terjadi ketika sebuah daerah mengalami pertumbuhan ekonomi, misalnya dengan berdirinya pabrik baru, pusat perbelanjaan, atau kawasan perumahan yang menambah ratusan atau ribuan kendaraan baru ke jalan setiap hari. Di sini, sistem membunyikan alarm bahaya. Kelayakan finansial proyek pemeliharaan anjlok secara drastis. Indikator kelayakan investasi seperti Internal Rate of Return (IRR) untuk LCCA turun dari 57,32% dalam kondisi normal menjadi hanya 26,57%.1
Ini adalah sebuah penyingkapan penting: ancaman terbesar dan paling tersembunyi bagi anggaran pemeliharaan jalan bukanlah harga semen, melainkan keberhasilan ekonomi daerah itu sendiri. Paradoksnya, aktivitas ekonomi yang dirancang untuk didukung oleh jalan raya justru menjadi faktor perusak utamanya.
Dan di sinilah KRMS menunjukkan keunggulan prediktifnya. Penelitian ini menemukan bahwa Program KRMS lebih sensitif daripada LCCA terhadap perubahan volume lalu lintas.1 Pada awalnya, "lebih sensitif" mungkin terdengar seperti kelemahan. Namun, dalam konteks perencanaan, ini adalah sebuah kekuatan luar biasa. Karena lebih peka, KRMS berfungsi sebagai sistem peringatan dini yang lebih baik.
Bayangkan seorang bupati sedang mempertimbangkan izin untuk sebuah kawasan industri baru. Dengan LCCA, proyeksi dampak terhadap anggaran pemeliharaan jalan mungkin terlihat moderat. Namun, dengan KRMS, yang lebih sensitif terhadap lonjakan LHR, sistem akan memberikan gambaran yang lebih tajam dan mungkin lebih mengkhawatirkan tentang biaya infrastruktur jangka panjang yang harus ditanggung oleh APBD. Informasi ini sangat berharga. Ini memungkinkan pemerintah untuk membuat kebijakan yang lebih cerdas, seperti mewajibkan pengembang untuk berkontribusi pada dana pemeliharaan infrastruktur sebagai syarat izin. KRMS mengubah percakapan dari "berapa biaya perbaikan jalan?" menjadi "apa biaya infrastruktur jangka panjang dari pembangunan ekonomi kita?".
Arah Baru Pengelolaan Jalan Daerah: Dari Kalkulator Biaya Menuju Sistem Manajemen Cerdas
Studi kasus di Kabupaten Takalar ini lebih dari sekadar perbandingan dua perangkat lunak. Ini adalah cerminan dari pergeseran paradigma yang perlu terjadi dalam pengelolaan infrastruktur di Indonesia. Era di mana pemeliharaan jalan hanya dianggap sebagai kegiatan "tambal sulam" tahunan sudah harus berakhir.
Penelitian ini secara meyakinkan menunjukkan bahwa alat seperti KRMS bukanlah sekadar penyempurnaan teknis, melainkan sebuah langkah evolusioner menuju tata kelola pemerintahan yang lebih baik. Dengan kemampuannya yang holistik, perencanaan lima tahun, fungsi sebagai database terpusat, dan sensitivitas prediktif terhadap tekanan nyata seperti pertumbuhan lalu lintas, KRMS memberdayakan pemerintah daerah untuk bertransformasi. Dari sekadar menjadi "pembayar tagihan" perbaikan jalan, mereka bisa menjadi "manajer aset" yang proaktif dan strategis.
Di era otonomi daerah, kemampuan untuk mengelola aset paling vital secara mandiri dan cerdas adalah kunci keberhasilan. Jalan yang baik bukan hanya soal aspal yang mulus, tetapi juga tentang anggaran publik yang sehat, perencanaan yang visioner, dan kebijakan ekonomi yang berkelanjutan. Seperti yang disimpulkan oleh para peneliti, sistem seperti KRMS harus digunakan tidak hanya untuk menghitung kerusakan, tetapi sebagai fondasi untuk "inventarisasi dan penilaian kondisi jalan secara keseluruhan".1
Kisah dari sembilan ruas jalan di Takalar ini, pada akhirnya, adalah sebuah cetak biru. Sebuah peta jalan bagi ratusan kabupaten dan kota lain di Indonesia untuk beralih dari sekadar menggunakan kalkulator biaya menjadi mengadopsi sebuah sistem manajemen yang cerdas, demi jalan yang lebih awet dan anggaran daerah yang lebih selamat.
Sumber Artikel:
Wahyudi, W., Pramesti, F. P., & Setyawan, B. (2021). Estimasi Pemeliharaan Jalan Daerah Berdasarkan Program KRMS (Kabupaten Road Management System) Dan LCCA (Life Cycle Cost Analysis). Jurnal Riset Rekayasa Sipil, 5(1), 74-78.
Infrastruktur Jalan
Dipublikasikan oleh Hansel pada 14 Oktober 2025
Ilusi Jalan Sempurna di Jantung Sumatera
Bagi jutaan pengemudi dan pelaku bisnis di Indonesia, tolok ukur kemajuan infrastruktur seringkali sederhana: jalan yang lebar dan aspal yang mulus. Logika dasarnya pun terasa tak terbantahkan—jika jalan lebih baik, perjalanan pasti lebih cepat. Namun, sebuah studi mendalam terhadap program pemeliharaan jalan nasional di Sumatera Selatan antara 2015 hingga 2019 membongkar sebuah paradoks yang membingungkan, menantang asumsi dasar kita tentang apa arti sesungguhnya dari sebuah infrastruktur yang efektif.
Kisah ini berlatar di salah satu koridor ekonomi terpenting Indonesia, Sumatera Selatan. Sebagai bagian dari agenda besar nasional dalam Master Plan Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia (MP3EI), pemerintah melalui Direktorat Jenderal Bina Marga meluncurkan Rencana Strategis 2015-2019.1 Tujuannya jelas: meningkatkan konektivitas, memperlancar arus logistik, dan pada akhirnya mengakselerasi denyut nadi perekonomian regional. Selama lima tahun, investasi besar digelontorkan, dan hasilnya terlihat kasat mata. Jalan-jalan yang dulu sempit kini menjadi lebih lebar. Permukaan yang dulu bergelombang kini mulus bak permadani.
Namun, di tengah euforia kemajuan fisik tersebut, sebuah anomali muncul. Para pengemudi truk logistik, bus antarprovinsi, dan pengguna jalan lainnya merasakan kejanggalan. Meskipun kondisi jalan membaik secara drastis, waktu yang mereka habiskan di perjalanan tidak kunjung berkurang signifikan. Kecepatan rata-rata kendaraan seolah membentur dinding tak kasat mata. Studi yang dilakukan oleh Rizky Ardhiarini dari Balai Besar Pelaksanaan Jalan Nasional III ini menyoroti sebuah kegagalan tersembunyi di balik keberhasilan yang tampak di permukaan, sebuah pelajaran mahal yang relevansinya melampaui batas provinsi Sumatera Selatan dan menyentuh jantung kebijakan infrastruktur nasional.1
Mengubah Arah: Revolusi Senyap dalam Perencanaan Infrastruktur
Untuk memahami betapa mengejutkannya temuan ini, kita perlu melihat kecanggihan di balik layar perencanaan program tersebut. Proyek ini bukan sekadar program tambal sulam jalan berlubang. Ini adalah manifestasi dari pergeseran paradigma fundamental dalam tata kelola infrastruktur di Indonesia—sebuah transisi dari pendekatan "pemadam kebakaran" yang reaktif menuju model "arsitek strategis" yang preventif.1
Selama bertahun-tahun, pemeliharaan jalan seringkali bersifat reaktif; anggaran untuk tahun berjalan dialokasikan berdasarkan kerusakan yang sudah terjadi pada tahun yang sama, menciptakan kesan penanganan yang selalu terlambat.1 Rencana Strategis 2015-2019 berusaha mendobrak siklus ini. Para perencana tidak lagi hanya bertanya, "Jalan mana yang paling rusak hari ini?" Mereka mulai mengajukan pertanyaan yang jauh lebih cerdas: "Jalan mana yang paling penting untuk masa depan ekonomi kita, dan bagaimana kita menjaganya agar tetap dalam kondisi prima?"
Untuk menjawabnya, mereka menggunakan sebuah metode analisis canggih yang disebut Multi-criteria Analysis (MCA). Bayangkan ini sebagai sebuah sistem penilaian super-komputer yang tidak hanya melihat satu faktor, tetapi menimbang puluhan variabel secara bersamaan untuk menentukan prioritas.1 Analisis ini dibagi menjadi dua kategori besar:
Dengan menggabungkan kedua skor ini, pemerintah dapat memetakan kebutuhan pemeliharaan dengan presisi yang belum pernah terjadi sebelumnya, memastikan setiap rupiah anggaran dialokasikan untuk dampak maksimal. Justru karena perencanaan yang begitu canggih dan holistik inilah, kegagalan program dalam mencapai target utamanya menjadi sebuah misteri yang menuntut untuk dipecahkan. Ini bukan kegagalan karena perencanaan yang buruk; ini adalah kegagalan yang terjadi meskipun perencanaannya sangat baik, yang mengindikasikan adanya masalah yang lebih fundamental dalam strategi itu sendiri.
Kemenangan di Atas Aspal: Rapor Kinerja yang Membanggakan
Jika dilihat dari metrik-metrik fisik, program lima tahun di Sumatera Selatan adalah sebuah kesuksesan besar. Data menunjukkan pencapaian yang luar biasa, melampaui target di berbagai aspek kunci. Ini membuktikan bahwa dari sisi eksekusi, para pelaksana di lapangan mampu menerjemahkan rencana strategis menjadi hasil nyata yang bisa dirasakan langsung oleh pengguna jalan.1
Pada akhir 2019, sebuah pencapaian monumental terwujud: 100% jalan nasional di Sumatera Selatan telah memenuhi standar lebar minimum 7 meter.1 Ini setara dengan mengubah seluruh arteri utama di provinsi tersebut menjadi koridor dua lajur yang memadai, sebuah fondasi krusial untuk kelancaran logistik dan pertumbuhan ekonomi. Kapasitas jalan telah ditingkatkan secara merata di seluruh jaringan.
Lebih dari itu, tingkat kemulusan jalan meroket secara dramatis. Jika pada 2014 hanya sekitar 56% jalan yang masuk kategori sangat mulus dengan nilai , angka ini melonjak hingga 90,37% pada 2019.1 Bagi pengemudi, ini berarti sebuah lompatan kualitas pengalaman berkendara. Guncangan dan getaran yang dulu menjadi momok, yang tidak hanya merusak kenyamanan tetapi juga mempercepat keausan kendaraan, kini sebagian besar telah hilang.
Kondisi "kesehatan" aspal juga menunjukkan perbaikan luar biasa. Studi mencatat bahwa lebih dari 97% jaringan jalan mencapai skor Surface Distress Index (SDI) di bawah 50, sebuah ambang batas yang menandakan permukaan yang solid dan minim kerusakan struktural.1 Ini adalah bukti keberhasilan program pemeliharaan preventif; kerusakan kecil berhasil ditangani sebelum berkembang menjadi masalah besar yang membutuhkan perbaikan mahal.
Yang paling penting, jalan-jalan yang telah diperbaiki ini terbukti mampu menampung arus lalu lintas dengan sangat baik. Hampir 98% ruas jalan memiliki rasio volume kendaraan terhadap kapasitas (V/C ratio) di bawah 0,75, sebuah indikator lalu lintas yang sangat lancar dan jauh dari ambang batas kemacetan.1 Dengan kata lain, jalan-jalan ini lebar, mulus, sehat, dan tidak macet. Di atas kertas, ini adalah resep sempurna untuk sebuah perjalanan yang cepat dan efisien.
Anomali di Kilometer 100: Ketika Angka Tak Bisa Berbohong
Namun, di balik rapor yang gemilang itu, tersembunyi sebuah anomali yang membingungkan. Data kinerja yang sesungguhnya—yaitu seberapa cepat barang dan orang bisa berpindah dari titik A ke titik B—menceritakan kisah yang sama sekali berbeda. Inilah yang disebut oleh peneliti sebagai "kondisi antagonis": metrik fisik menunjukkan keberhasilan, tetapi metrik performa menunjukkan kegagalan.1
Meskipun jalan lebih lebar dan lebih mulus, kendaraan tidak melaju lebih cepat. Target ambisius untuk mengembalikan fungsi jalan nasional sebagai arteri primer dengan kecepatan rata-rata di atas 60 km/jam ternyata jauh dari jangkauan. Pada 2019, hanya 18,50% dari total panjang jalan yang berhasil mencapai standar kecepatan ideal ini.1 Ini adalah sebuah kesenjangan besar antara potensi dan realitas. Jalan yang secara teknis mampu mengakomodasi kecepatan tinggi ternyata tidak bisa dimanfaatkan secara maksimal.
Dampak dari kelambatan ini terasa langsung pada waktu tempuh, yang merupakan metrik paling krusial bagi efisiensi logistik dan ekonomi. Rencana strategis menargetkan waktu tempuh di bawah 1,6 jam per 100 kilometer. Namun, setelah lima tahun program berjalan, target ini hanya tercapai di 17,32% ruas jalan.1 Angka ini, yang bahkan lebih rendah dari pencapaian target kecepatan, menandakan bahwa tujuan utama untuk mempercepat konektivitas secara fundamental telah gagal. Padahal, studi lain menunjukkan Indonesia sudah tertinggal dari negara tetangga seperti Vietnam dan Malaysia dalam hal waktu tempuh, di mana setiap jam keterlambatan adalah biaya ekonomi yang nyata.1
Kegagalan ini semakin membingungkan karena tidak disebabkan oleh kemacetan. Seperti yang telah ditunjukkan, hampir seluruh jaringan jalan memiliki lalu lintas yang lancar. Misterinya semakin dalam: jika jalan sudah lebar, mulus, dan tidak macet, apa yang menahan laju kendaraan? Jawabannya ternyata terletak pada sebuah faktor yang selama ini terabaikan dalam program pemeliharaan.
Menemukan Sang Biang Keladi: Musuh Tak Kasat Mata Bernama 'Geometri Jalan'
Studi ini dengan tegas menunjuk satu biang keladi utama di balik paradoks ini: geometri jalan yang di bawah standar (substandard road geometric).1 Ini adalah musuh tak kasat mata yang tidak bisa diperbaiki hanya dengan lapisan aspal baru atau pelebaran jalan beberapa meter. Geometri jalan adalah tentang desain fundamental dari sebuah ruas jalan—DNA-nya.
Bagi masyarakat awam, istilah "geometri jalan" mungkin terdengar teknis, tetapi dampaknya sangat terasa dalam pengalaman berkendara sehari-hari. Bayangkan sebuah jalan yang aspalnya mulus sempurna, tetapi memiliki serangkaian tikungan setajam siku yang memaksa truk kontainer terpanjang sekalipun untuk melambat hingga nyaris merangkak. Atau sebuah tanjakan curam yang membuat kendaraan berat kehilangan momentum, menciptakan antrean panjang di belakangnya meskipun jalan di depannya kosong. Inilah musuh tak kasat mata itu: desain jalan warisan masa lalu yang tidak lagi sesuai untuk volume, bobot, dan kecepatan lalu lintas modern.1
Program pemeliharaan 2015-2019, meskipun canggih, ternyata memiliki titik buta yang fatal. Analisis menunjukkan bahwa program ini didominasi oleh kegiatan pemeliharaan rutin. Pada 2015, sekitar 95,86% penanganan adalah pemeliharaan rutin, dan angka ini melonjak hingga mendekati 100% dari tahun 2016 hingga 2019.1 Jenis-jenis pekerjaan ini, seperti pemeliharaan minor, preventif, dan periodik, dirancang untuk menjaga dan memelihara kondisi permukaan jalan yang ada (preservation). Mereka sangat efektif untuk membuat jalan tetap mulus, tetapi sama sekali tidak berdaya untuk mengubah desain dasarnya. Meluruskan tikungan tajam atau melandaikan tanjakan curam membutuhkan intervensi yang jauh lebih besar, seperti rekonstruksi atau pembangunan jalan baru (misalnya, bypass atau flyover), yang porsinya sangat minim dalam program ini.1
Kegagalan ini mengungkap sebuah pelajaran krusial dalam kebijakan infrastruktur: kita bisa menghabiskan triliunan rupiah untuk memoles permukaan, tetapi jika kerangka dasarnya cacat, manfaat yang dihasilkan akan sangat terbatas. Ini seperti memasang mesin Formula 1 pada sasis mobil kota; tenaganya besar, tetapi tidak akan pernah bisa melaju kencang karena desain fundamentalnya tidak mendukung.
Sebuah Kritik Membangun: Pelajaran Mahal untuk Proyek Strategis Nasional
Temuan ini bukanlah sebuah dakwaan terhadap para insinyur di lapangan yang telah bekerja keras mewujudkan jalan yang lebih baik. Sebaliknya, ini adalah sebuah kritik membangun terhadap kerangka strategis yang mereka operasikan. Data menunjukkan bahwa para pelaksana program sangat efektif dalam mencapai target yang diberikan kepada mereka: melebarkan jalan dan menjaga IRI tetap rendah. Kegagalan ini bukan terletak pada level implementasi, melainkan pada level strategi.1
Rencana Strategis 2015-2019, dalam upayanya untuk menghasilkan perbaikan yang cepat dan terukur di seluruh jaringan yang luas, kemungkinan besar terlalu fokus pada metrik-metrik permukaan yang mudah dicapai, seperti lebar dan kemulusan. Metrik ini penting, tetapi ternyata tidak cukup. Program ini kurang mengalokasikan sumber daya untuk pekerjaan yang lebih kompleks, lebih mahal, dan lebih disruptif secara politis, yaitu modernisasi geometri jalan.1
Kecenderungan untuk memilih perbaikan inkremental (pemeliharaan rutin) daripada perubahan transformasional (rekonstruksi geometri) adalah sebuah jebakan yang seringkali ditemui dalam birokrasi pekerjaan umum di seluruh dunia. Lebih mudah secara politik dan anggaran untuk melaporkan "ratusan kilometer jalan telah dipelihara" daripada "lima kilometer tikungan berbahaya telah diluruskan". Namun, seperti yang ditunjukkan oleh studi ini, pendekatan yang lebih mudah tidak selalu memberikan hasil yang lebih baik.
Penulis studi ini menyarankan bahwa program pengelolaan jaringan jalan di masa depan harus berpikir lebih besar. Solusi untuk masalah ini tidak lagi cukup dengan pemeliharaan rutin, tetapi harus mencakup opsi-opsi seperti pembangunan flyover, underpass, atau bypass untuk mengatasi titik-titik simpul kemacetan geometris.1 Ini adalah pergeseran dari sekadar merawat aset yang ada menjadi mendesain ulang jaringan untuk kinerja masa depan.
Proyeksi ke Depan: Dampak Nyata bagi Peta Ekonomi Indonesia
Temuan dari Sumatera Selatan ini bukan sekadar catatan teknis; ini adalah sebuah peringatan dan peta jalan bagi masa depan pembangunan infrastruktur di Indonesia. Pelajaran yang didapat dari paradoks "jalan mulus, perjalanan lambat" ini memiliki implikasi yang sangat luas bagi setiap Proyek Strategis Nasional yang sedang dan akan berjalan.
Jika pelajaran ini diabaikan, Indonesia berisiko terus menghabiskan triliunan rupiah untuk menciptakan "ilusi kemajuan"—jalan-jalan yang indah dipandang dan nyaman dilintasi, namun secara fundamental tetap lambat dan tidak efisien. Ini akan mengunci inefisiensi dalam rantai pasok nasional, membebani biaya logistik, dan pada akhirnya menghambat daya saing ekonomi bangsa di panggung global.
Namun, jika diterapkan, wawasan dari studi ini bisa merevolusi cara kita merencanakan dan mengevaluasi infrastruktur. Dengan mengintegrasikan perbaikan dan modernisasi geometri sebagai komponen wajib dalam setiap program peningkatan jalan, Indonesia tidak hanya akan membangun jalan, tetapi membangun konektivitas sejati. Pemerintah harus mulai mengukur keberhasilan bukan dari berapa kilometer aspal yang dihampar, tetapi dari berapa jam waktu perjalanan yang berhasil dipangkas.
Dampaknya akan sangat nyata dan terukur. Jika diterapkan secara nasional, pendekatan baru ini berpotensi memangkas biaya logistik secara signifikan, menghemat jutaan jam kerja produktif yang hilang di perjalanan, mengurangi konsumsi bahan bakar, dan pada akhirnya, mengakselerasi denyut nadi perekonomian bangsa secara berkelanjutan dalam dekade mendatang.
Sumber Artikel:
Infrastruktur Jalan
Dipublikasikan oleh Hansel pada 13 Oktober 2025
Untuk memahami terobosan yang ditawarkan, kita harus terlebih dahulu melihat masalah mendasar dari sistem yang ada. Proyek pemeliharaan jalan nasional di Indonesia umumnya dijalankan melalui dua metode konvensional: sistem swakelola (in-house) untuk pekerjaan rutin dan kontrak Design-Bid-Build (DBB) untuk perbaikan besar seperti rehabilitasi.1 Keduanya berada di bawah payung yang disebut "pendekatan kontrak tradisional".
Sistem ini memiliki beberapa ciri khas yang secara inheren tidak efisien. Pertama, kontrak ini bersifat preskriptif, artinya pemerintah mendikte secara detail apa yang harus dikerjakan oleh kontraktor, mulai dari jenis material hingga ketebalan aspal. Kedua, pendanaannya berbasis siklus anggaran tahunan tunggal (single year), yang membatasi perencanaan jangka panjang. Ketiga, masa garansi pemeliharaannya sangat singkat. Akibatnya, fokus utama kontraktor adalah menyelesaikan pekerjaan sesuai spesifikasi dalam satu tahun anggaran, tanpa insentif kuat untuk memikirkan daya tahan jalan di tahun-tahun berikutnya.1
Namun, kelemahan paling fatal terletak pada filosofi dasarnya: pendekatan ini bersifat korektif. Artinya, tindakan baru diambil setelah kerusakan terjadi. Jalan dibiarkan retak, berlubang, kemudian anggaran dialokasikan untuk menambalnya. Model ini lebih mementingkan proses pelaksanaan daripada hasil akhir jangka panjang.2 Hal ini menciptakan sebuah lingkaran setan yang merugikan. Karena fokusnya hanya pada perbaikan jangka pendek, kualitas jalan yang dihasilkan seringkali tidak memadai dan cepat rusak kembali. Akibatnya, setiap tahun anggaran negara terkunci dalam siklus "gali lubang, tutup lubang" yang tidak pernah berakhir, membiayai perbaikan atas kerusakan yang seharusnya bisa dicegah. Ini bukan sekadar strategi pemeliharaan yang kurang optimal; ini adalah sebuah jebakan fiskal sistemik yang membuat anggaran infrastruktur negara tidak efisien.1
Revolusi Kontrak Berbasis Kinerja (PBC): Menyelaraskan Laba Swasta dengan Kepentingan Publik
Di tengah kebuntuan model tradisional, Kontrak Berbasis Kinerja (PBC) hadir sebagai sebuah revolusi. Alih-alih membayar kontraktor berdasarkan input (jumlah aspal yang dihamparkan atau jumlah lubang yang ditambal), pemerintah membayar berdasarkan output atau outcome: yaitu, kondisi jalan yang terjamin kualitasnya selama periode waktu yang panjang.1
Karakteristik PBC secara fundamental mengubah DNA dari sebuah proyek infrastruktur:
Inovasi inti dari PBC sebenarnya terletak pada realokasi risiko yang cerdas. Dalam kontrak tradisional, risiko kerusakan dini jalan ditanggung oleh pemerintah (dan pada akhirnya, oleh pembayar pajak). Jika jalan rusak setahun setelah diperbaiki, pemerintah harus mengeluarkan anggaran baru untuk memperbaikinya lagi. PBC membalik logika ini dengan mentransfer risiko kinerja jangka panjang kepada kontraktor.5
Konsekuensinya sangat kuat. Karena keuntungan jangka panjang mereka kini bergantung pada daya tahan pekerjaan awal mereka, kontraktor memiliki insentif finansial yang sangat besar untuk menggunakan material terbaik, teknik paling inovatif, dan jadwal pemeliharaan paling efisien. Mereka termotivasi untuk membangun jalan yang lebih awet demi menekan biaya perbaikan mereka sendiri di masa depan. Dengan demikian, kepentingan finansial kontraktor menjadi selaras sempurna dengan kepentingan publik untuk memiliki jalan berkualitas tinggi dan tahan lama.
Kerangka Analisis: Mengukur Biaya Jangka Panjang dengan Lensa Ilmiah
Untuk membuktikan klaim efisiensi PBC, para peneliti tidak hanya membandingkan biaya proyek dari tahun ke tahun. Mereka menggunakan metodologi yang jauh lebih komprehensif yang disebut Life Cycle Cost (LCC) atau Analisis Biaya Siklus Hidup.1 Pendekatan ini adalah sebuah pilihan strategis yang krusial. Dengan menghitung seluruh biaya yang dikeluarkan selama 10 tahun masa layan jalan, LCC secara inheren mengungkap biaya tersembunyi dari pemikiran jangka pendek yang menjadi ciri khas kontrak tradisional.
Analisis ini ibarat menggunakan teleskop, bukan kaca pembesar. Alih-alih hanya melihat biaya penambalan lubang tahun ini, LCC memperhitungkan total biaya—termasuk perbaikan berulang, rehabilitasi besar, dan biaya administrasi—selama satu dekade penuh. Kerangka waktu 10 tahun ini dipilih karena sesuai dengan umur desain perkerasan lentur di Indonesia, memastikan perbandingan yang adil dan relevan.1
Untuk menjaga objektivitas, penelitian ini menetapkan indikator kinerja yang jelas, yaitu International Roughness Index (IRI), sebuah ukuran standar global untuk kerataan permukaan jalan. Dalam studi kasus proyek percontohan PBC di ruas Ciasem-Pamanukan, Jawa Barat, kontraktor diwajibkan menjaga kondisi jalan pada level kinerja m/km.1 Sebagai gambaran, kondisi jalan didefinisikan berdasarkan rentang nilai IRI: "Baik" jika IRI di bawah 3.5, "Sedang" antara 3.5 hingga 6, "Rusak Ringan" antara 6 hingga 8, dan "Rusak Berat" jika di atas 8.1
Kekuatan analisis ini terletak pada simulasinya yang masif. Para peneliti menguji 48 skenario berbeda untuk membandingkan kedua jenis kontrak. Mereka memvariasikan tiga faktor kunci:
Semua biaya masa depan kemudian dihitung nilai kininya menggunakan tingkat diskonto sebesar 7.97%, memastikan bahwa satu rupiah yang dikeluarkan sepuluh tahun dari sekarang diperhitungkan secara adil terhadap satu rupiah yang dikeluarkan hari ini.1 Metodologi yang ketat ini memberikan landasan ilmiah yang kokoh bagi temuan penelitian.
Temuan Definitif: Angka-Angka di Balik Revolusi Kontrak Jalan
Setelah menjalankan puluhan simulasi, data yang dihasilkan memberikan bukti yang meyakinkan. Temuan ini bukan lagi soal teori, melainkan angka konkret yang menunjukkan superioritas model PBC dalam konteks jalan nasional Indonesia yang padat lalu lintas.
Efisiensi Anggaran yang Signifikan
Temuan utamanya sangat mengejutkan: secara keseluruhan, penerapan Kontrak Berbasis Kinerja (PBC) berpotensi menghasilkan efisiensi Biaya Siklus Hidup (LCC) sebesar 9.4% dibandingkan dengan pendekatan tradisional.1 Penghematan hampir 10% pada proyek infrastruktur bernilai triliunan rupiah adalah angka yang luar biasa. Ini berarti, dari setiap 100 triliun rupiah yang dialokasikan untuk pemeliharaan jalan dengan cara lama, negara bisa menghemat 9.4 triliun rupiah hanya dengan mengubah model kontraknya—dana yang bisa dialihkan untuk membangun sekolah, rumah sakit, atau infrastruktur lainnya.
Semakin Panjang Kontrak, Semakin Besar Penghematan
Intuisi bahwa kontrak jangka panjang lebih efisien terbukti benar. Analisis menunjukkan bahwa kontrak PBC berdurasi 10 tahun 2.5% lebih efisien dari sisi LCC dibandingkan kontrak yang lebih pendek.1 Mengapa? Karena kontrak multi-tahun secara drastis mengurangi biaya administrasi dan birokrasi. Pemerintah tidak perlu lagi melakukan proses lelang yang rumit dan mahal setiap tahun untuk ruas jalan yang sama. Efisiensi ini ibarat membeli tiket langganan transportasi umum untuk setahun penuh—jauh lebih murah dan praktis daripada membeli tiket harian.
Kekuatan Skala Ekonomi
Prinsip "semakin besar, semakin efisien" juga berlaku. Studi ini menemukan bahwa seiring bertambahnya panjang ruas jalan yang dikontrakkan, biaya per kilometernya menurun sebesar 1.9%.1 Ini adalah manifestasi dari skala ekonomi: kontraktor dapat mengoptimalkan penggunaan alat berat, tenaga kerja, dan material di area yang lebih luas, sehingga menekan biaya satuan. Temuan ini sejalan dengan praktik terbaik internasional yang mendorong penggabungan paket-paket pekerjaan untuk mencapai efisiensi maksimal.6
Prinsip "Memulai dengan Baik"
Kondisi awal jalan ternyata menjadi faktor penentu yang sangat krusial. Rata-rata, untuk kondisi jalan yang sama, PBC 6.4% lebih hemat biaya dalam jangka panjang dibandingkan kontrak tradisional.1 Namun, efisiensi tertinggi dicapai ketika PBC diterapkan pada jalan yang kondisi awalnya sudah "Baik". Ini logis, karena kontraktor tidak perlu mengeluarkan biaya rehabilitasi awal yang masif. Sebaliknya, menerapkan PBC pada jalan yang sudah rusak berat akan membutuhkan investasi awal yang sangat tinggi untuk mencapai standar kinerja yang disyaratkan.
Temuan-temuan ini tidak berdiri sendiri, melainkan saling memperkuat, menciptakan apa yang bisa disebut sebagai "lingkaran kebajikan" atau virtuous cycle. Manfaat ekonomi terbesar akan terbuka ketika semua faktor positif ini digabungkan. Bayangkan sebuah kontrak PBC berdurasi 10 tahun untuk jaringan jalan sepanjang 273 km yang kondisi awalnya baik. Efisiensi yang dihasilkan akan jauh melampaui penjumlahan angka-angka di atas. Ini memberikan sebuah cetak biru strategis yang jelas bagi pemerintah: mulailah program PBC nasional dengan memprioritaskan aset-aset jalan terbaik dan terpanjang untuk memaksimalkan pengembalian investasi awal, membangun kapasitas pasar, dan menciptakan momentum politik untuk adopsi yang lebih luas.
Dari Kelayakan ke Strategi: Metrik Efektivitas sebagai Alat Pengambil Keputusan
Penelitian ini tidak berhenti pada kesimpulan akademis. Para peneliti menerjemahkan temuan mereka menjadi sebuah alat praktis yang dapat digunakan oleh para pengambil kebijakan. Mereka memperkenalkan metrik "Efektivitas PBC", yang dihitung sebagai rasio LCC proyek tradisional dibagi dengan LCC proyek PBC untuk skenario yang sama.1
Aturan mainnya sederhana: jika rasio ini lebih besar dari 1, artinya dalam jangka panjang, PBC lebih murah dan layak untuk diterapkan.1 Metrik ini adalah alat yang sangat kuat. Dalam lingkungan politik yang seringkali didorong oleh siklus anggaran jangka pendek, metrik ini memberikan justifikasi objektif dan kuantitatif untuk komitmen multi-tahun.
Sebagai contoh, biaya awal sebuah proyek PBC mungkin terlihat lebih tinggi daripada kontrak tradisional satu tahun karena mencakup pekerjaan perbaikan awal untuk memenuhi standar kinerja. Hal ini bisa membuatnya sulit diterima secara politik. Namun, dengan menunjukkan bahwa Rasio Efektivitasnya di atas 1, para teknokrat dan pembuat kebijakan dapat membuktikan secara data bahwa investasi awal yang lebih tinggi ini akan menghasilkan penghematan yang jauh lebih besar dalam satu dekade ke depan. Alat ini secara efektif menggeser perdebatan dari, "Apa opsi termurah untuk anggaran tahun ini?" menjadi, "Apa investasi jangka panjang yang paling bernilai bagi bangsa?". Ini adalah langkah penting untuk mendepolitisasi keputusan investasi infrastruktur dan menempatkannya pada landasan data dan efektivitas jangka panjang.
Perspektif Kritis: Mengakui Keterbatasan dan Tantangan Dunia Nyata
Untuk menjaga kredibilitas, penting untuk melihat temuan ini dengan kacamata kritis. Studi ini sendiri mengakui beberapa keterbatasan, seperti penggunaan pendekatan LCC deterministik yang tidak memperhitungkan ketidakpastian, serta pengecualian beberapa variabel penting seperti kondisi struktural jalan dan, yang paling krusial, beban berlebih kendaraan (overloading).1
Faktor overloading ini adalah "gajah di dalam ruangan" untuk infrastruktur jalan Indonesia. Berbagai laporan dan studi lain mengonfirmasi bahwa truk dengan muatan berlebih adalah masalah endemik, terutama di jalur padat seperti Pantura, yang dapat menyebabkan kerusakan jalan jauh lebih cepat dari yang diperkirakan.7 Ini adalah risiko eksternal yang sangat sulit dikendalikan oleh kontraktor dan dapat membuat model finansial PBC menjadi tidak valid.
Tantangan dunia nyata tidak berhenti di situ. Implementasi PBC di Indonesia menghadapi beberapa kendala serius lainnya:
Kesimpulan optimis dari penelitian ini, meskipun valid dalam model terkontrolnya, harus dipahami dalam konteks yang lebih luas. Keberhasilan PBC bukanlah sekadar reformasi pengadaan; ia bergantung pada agenda reformasi tata kelola yang jauh lebih besar dan lebih sulit. Tanpa penegakan hukum yang serius terhadap overloading, tanpa kerangka hukum yang jelas, dan tanpa strategi untuk membangun kapasitas pasar, model PBC yang menjanjikan ini berisiko gagal. Mengadopsi model kontrak baru tanpa memperbaiki masalah tata kelola di sekitarnya sama saja dengan menanam benih unggul di tanah yang tidak subur.
Rekomendasi Strategis dan Dampak Masa Depan
Meskipun tantangan yang ada nyata, bukti dari penelitian ini terlalu kuat untuk diabaikan. Temuan ini menyerukan adopsi PBC secara strategis dan bertahap di tingkat nasional. Ini bukan lagi pertanyaan "apakah" PBC harus diterapkan, tetapi "bagaimana" menerapkannya dengan cerdas.
Sebuah strategi tiga cabang dapat menjadi panduan:
Jika diterapkan dengan benar, dampak dari pergeseran ke Kontrak Berbasis Kinerja akan jauh melampaui sekadar penghematan anggaran. Ini adalah langkah fundamental menuju modernisasi manajemen infrastruktur Indonesia. Jalan yang lebih baik dan lebih andal akan secara langsung meningkatkan daya saing ekonomi dengan melancarkan arus logistik. Ini akan memastikan bahwa investasi publik yang masif dalam infrastruktur benar-benar berkelanjutan dan memberikan nilai maksimal bagi masyarakat untuk dekade-dekade mendatang, selaras dengan visi pembangunan jangka panjang Indonesia.12 Revolusi aspal ini mungkin baru saja dimulai, tetapi potensinya untuk mengubah wajah infrastruktur Indonesia sangatlah nyata.
Sumber Artikel:
Susanti, B., Wirahadikusumah, R. D., Soemardi, B. W., & Sutrisno, M. (2019). Life cycle cost comparison between performance based and traditional contracts for roads in Indonesia. IIUM Engineering Journal, 20(2), 57-69.