Infrastruktur dan Pembangunan

Konservasi sebagai Pembangunan Berkelanjutan: Tinjauan Kritis terhadap Restorasi Gedung Kantor Kolektor Lama Thanjavur

Dipublikasikan oleh Timothy Rumoko pada 17 November 2025


Latar Belakang Teoretis

Penelitian ini berakar pada sebuah tantangan inti dalam pembangunan perkotaan: bagaimana menyelaraskan modernisasi "kota cerdas" dengan pelestarian aset warisan budaya yang tak ternilai. Latar belakang masalah yang diangkat adalah bahwa warisan budaya, baik yang berwujud maupun tidak berwujud (tangible and intangible), sangat penting untuk karakter, identitas, dan ekonomi sebuah kota.   

Kerangka teoretis yang diusung oleh studi SAAR ini adalah bahwa konservasi warisan budaya merupakan komponen integral dari pembangunan berkelanjutan, yang secara langsung berkontribusi pada Target 11.4 dari Sustainable Development Goal (SDG) 11, yaitu "Memperkuat upaya untuk melindungi dan menjaga warisan budaya dan alam dunia". Proyek restorasi Gedung Kantor Kolektor Lama di Thanjavur—sebuah kota yang dikenal sebagai "Mangkuk Nasi Tamil Nadu" dan rumah bagi Kuil Brihadeswara (situs Warisan Dunia UNESCO) —diposisikan sebagai studi kasus dalam strategi ini. Tujuannya tidak hanya untuk melestarikan bangunan, tetapi juga untuk "merevitalisasi ekonomi lokal" dan menanamkan "rasa bangga dan memiliki" di antara penduduk melalui penggunaan kembali adaptif (adaptive reuse) bangunan tersebut sebagai museum.   

Metodologi dan Kebaruan

Sebagai sebuah tinjauan, studi SAAR ini mengadopsi metodologi studi kasus kualitatif. Pendekatan ini melibatkan pengumpulan data primer melalui Wawancara Informan Kunci (Key Informant Interview) dengan pemangku kepentingan terkait, termasuk perencana kota, insinyur eksekutif dari Surat Municipal Corporation (SMC), dan arsitek konservasi. Ini dilengkapi dengan studi sekunder terhadap laporan proyek, dokumen, dan literatur terkait.   

Metodologi proyek restorasi itu sendiri (yang ditinjau oleh studi ini) sangat terstruktur. Proyek ini menggunakan "rencana konservasi komprehensif" yang dikembangkan melalui konsultasi dengan para ahli konservasi. Rencana ini melibatkan penilaian dan analisis kondisi struktur, termasuk inspeksi, diagnosis, dan analisis penyebab kerusakan.   

Kebaruan dari pendekatan proyek ini terletak pada strategi intervensi bertahap yang pragmatis. Pekerjaan konservasi dikategorikan ke dalam tiga prioritas: Immediate (Segera), Necessary (Diperlukan), dan Desirable (Diinginkan), yang memungkinkan alokasi sumber daya yang fleksibel berdasarkan urgensi, anggaran, dan waktu yang tersedia.   

Temuan Utama dengan Kontekstualisasi

Analisis studi kasus SAAR menghasilkan temuan-temuan kunci yang berfokus pada proses penilaian dan intervensi.

  1. Identifikasi Masalah: Penilaian awal mengidentifikasi berbagai masalah yang disebabkan oleh kurangnya pemeliharaan. Ini termasuk ruang terbuka yang tersebar secara serampangan, penambahan struktur tambahan baru yang "tidak menghargai nilai warisan" (disrespected the heritage value), degradasi area kanal di sekitar lokasi, dan pertumbuhan biologis (seperti lumut atau jamur) akibat kelembapan pada bangunan itu sendiri.   

  2. Intervensi Konservasi yang Ditargetkan: Berdasarkan diagnosis tersebut, "Respons atau Intervensi Konservasi"  yang diimplementasikan meliputi:   

    • Pembongkaran Selektif: Menghapus struktur tambahan yang tidak asli dan puing-puing untuk memulihkan integritas visual dan spasial situs.   

    • Peningkatan Ekologi: Memperbarui area kanal melalui "pengembangan bagian depan kanal" (canal front development) untuk mengaktifkan kembali ruang tersebut.   

    • Restorasi Bangunan: Melakukan perawatan terhadap pertumbuhan biologis dan meningkatkan fasilitas dasar (utilitas) "tanpa mengganggu struktur yang ada".   

  3. Strategi Penggunaan Kembali Adaptif: Inti dari proyek ini adalah tujuannya untuk penggunaan kembali (reuse) yang berkelanjutan. Tinjauan ini mencatat perlunya "mengumpulkan dan melestarikan" objek-objek bernilai budaya dan sejarah. Dengan mengubah gedung kantor kolektor lama menjadi museum, proyek ini bertujuan untuk menciptakan pusat pendidikan dan budaya yang dapat menarik lebih banyak wisatawan ke kota warisan yang sudah terkenal itu.   

Secara keseluruhan, temuan dari tinjauan ini menyoroti sebuah pendekatan sensitif yang berfokus pada "Penggunaan Kembali, Restorasi, dan Renovasi untuk pembangunan berkelanjutan dari seluruh kawasan warisan budaya".   

Keterbatasan dan Refleksi Kritis

Studi SAAR ini terutama bersifat deskriptif, mendokumentasikan proses dan metodologi yang direncanakan untuk proyek tersebut. Karena berfokus pada "rencana komprehensif"  dan "kebijakan yang diusulkan" , studi ini tidak memberikan evaluasi pasca-implementasi mengenai keberhasilan faktual dari restorasi tersebut, jumlah pengunjung museum, atau dampak ekonomi yang nyata.   

Implikasi Ilmiah di Masa Depan

Secara praktis, implikasi dari penelitian ini sangat signifikan. Proyek ini berfungsi sebagai cetak biru bagi kota-kota warisan lainnya di India tentang cara mengintegrasikan pelestarian aset dengan proses perencanaan kota yang lebih besar. Pendekatan bertahap (Immediate, Necessary, Desirable)  menawarkan model yang dapat direplikasi untuk mengelola proyek konservasi yang kompleks dengan anggaran dan waktu yang terbatas.   

Untuk penelitian di masa depan, langkah logis berikutnya adalah melakukan studi evaluasi pasca-hunian (post-occupancy evaluation) untuk mengukur secara kuantitatif dampak ekonomi dan sosial dari museum yang telah selesai direstorasi, memvalidasi hipotesis bahwa konservasi warisan budaya memang merupakan pendorong yang efektif untuk revitalisasi ekonomi lokal.   

Sumber

Studi Kasus C4: Renovation and Conservation of Old Collector Office Building. (2023). Dalam SAAR: Smart cities and Academia towards Action and Research (Part C: Urban Infrastructure) (hlm. 20, 33-35). National Institute of Urban Affairs (NIUA). 

Selengkapnya
Konservasi sebagai Pembangunan Berkelanjutan: Tinjauan Kritis terhadap Restorasi Gedung Kantor Kolektor Lama Thanjavur

Infrastruktur dan Pembangunan

Meningkatkan Keselamatan dan Kesehatan di Konstruksi Jalan: Pelajaran dari Studi di Nepal

Dipublikasikan oleh Marioe Tri Wardhana pada 16 Oktober 2025


Mengapa Temuan Ini Penting untuk Kebijakan?

Studi oleh Baral & Koirala (2022) menyoroti bahwa proyek jalan di Pokhara, Nepal, masih jauh dari standar keselamatan kerja International Labour Organization (ILO). Meskipun sektor konstruksi menjadi pendorong utama ekonomi, hasil survei menunjukkan bahwa pekerja dan pengawas di lapangan belum sepenuhnya menerapkan praktik keselamatan yang memadai.

Temuan ini penting karena mencerminkan tantangan global yang dihadapi negara berkembang dalam menegakkan Occupational Safety and Health (OSH) di proyek infrastruktur publik. Kebijakan yang lemah, minimnya pelatihan, serta rendahnya kesadaran pekerja menjadi faktor utama yang menghambat penerapan keselamatan kerja secara efektif.

Masalah serupa juga terjadi di banyak negara Asia, termasuk Indonesia, di mana pelaksanaan Keselamatan dan Kesehatan Kerja (K3) masih belum sepenuhnya menjadi budaya organisasi. Sebagaimana dijelaskan dalam artikel “K3 di Sektor Konstruksi: Panduan Lengkap untuk Mencegah Kecelakaan Kerja Berdasarkan Standar ILO”, keselamatan kerja seharusnya tidak hanya dipandang sebagai kewajiban hukum, tetapi juga investasi jangka panjang dalam efisiensi proyek dan kesejahteraan tenaga kerja.

Selain itu, kursus seperti “Pelatihan K3 dan Manajemen Risiko Konstruksi” di Diklatkerja menekankan pentingnya mengintegrasikan manajemen risiko ke dalam seluruh fase proyek — mulai dari desain hingga pemeliharaan. Dengan demikian, perlindungan pekerja bukan hanya tanggung jawab perusahaan, tetapi juga bagian integral dari pembangunan ekonomi berkelanjutan yang berorientasi manusia.

Implementasi di Lapangan: Dampak, Hambatan, dan Peluang

Temuan penelitian memperlihatkan bahwa tingkat kepuasan pekerja terhadap penerapan K3 masih rendah, dengan nilai rata-rata hanya 2,78 dari 5 untuk aspek keselamatan di tempat kerja. Beberapa komponen penting seperti perawatan scaffolding, penyediaan alat pelindung diri (APD), serta layanan kesehatan dan pertolongan pertama bahkan memiliki skor lebih buruk.

Hambatan utama yang ditemukan:

  1. Ketiadaan standar operasional (SOP) yang konsisten dengan kode praktik ILO.

  2. Kurangnya pelatihan rutin, termasuk minimnya toolbox meeting dan sosialisasi keselamatan di lokasi proyek.

  3. Fokus proyek yang berorientasi waktu dan biaya, bukan pada kesejahteraan serta keselamatan tenaga kerja.

Namun, hasil riset ini juga menunjukkan peluang besar untuk perbaikan kebijakan. Pemerintah dan industri dapat memperkuat implementasi melalui sistem manajemen keselamatan terpadu, training of trainers untuk pengawas lapangan, dan integrasi aspek K3 sejak tahap perencanaan tender proyek.

Pendekatan ini sejalan dengan praktik yang dibahas dalam “Pengantar dan Praktik Audit Sistem Manajemen Keselamatan Konstruksi (SMKK)”, di mana pelaksanaan audit berkala dapat membantu mengidentifikasi celah keselamatan serta mengukur efektivitas penerapan regulasi di lapangan.

5 Rekomendasi Kebijakan Praktis

  1. Mewajibkan Audit K3 Independen di Proyek Publik
    Pemerintah daerah perlu memastikan bahwa setiap proyek jalan menjalani audit keselamatan tahunan untuk menilai kepatuhan terhadap standar ILO. Audit ini dapat mengacu pada panduan dari “Rencana Biaya Penerapan Sistem Manajemen Keselamatan Konstruksi (SMKK)” agar anggaran keselamatan tidak terabaikan.

  2. Membentuk Unit Kesehatan dan Keselamatan di Setiap Instansi Proyek
    Setiap cabang pemerintahan atau badan proyek harus memiliki divisi khusus yang bertanggung jawab atas pelatihan, konsultasi, dan inspeksi K3 secara berkala.

  3. Integrasi K3 dalam Tahap Perencanaan Proyek
    Aspek keselamatan wajib dimasukkan dalam dokumen tender, lengkap dengan anggaran pelatihan dan penyediaan APD. Langkah ini membantu memastikan bahwa keselamatan menjadi indikator performa utama proyek.

  4. Pelatihan dan Sertifikasi Wajib untuk Pengawas dan Kontraktor
    Hasil penelitian menunjukkan bahwa pelatihan reguler dapat meningkatkan skor keselamatan rata-rata menjadi 3,62. 

  5. Pemberian Insentif Kinerja Keselamatan
    Pemerintah dapat mengadopsi sistem penghargaan berbasis pencapaian nol kecelakaan (zero accident), mirip Safety Award Program di beberapa negara Asia. Insentif ini tidak hanya meningkatkan motivasi pekerja, tetapi juga memperkuat reputasi kontraktor dalam proyek publik.

Kritik terhadap Potensi Kegagalan Kebijakan

Kebijakan keselamatan kerja sering gagal karena terlalu menekankan compliance (kepatuhan administratif) ketimbang commitment (komitmen moral dan budaya kerja). Jika tidak dibarengi perubahan budaya organisasi dan keteladanan pimpinan proyek, maka aturan hanya menjadi formalitas.

Selain itu, kurangnya transparansi data kecelakaan dan lemahnya pengawasan independen dapat mengakibatkan kebijakan kehilangan arah. Tanpa basis data digital dan riset yang diperbarui secara berkala, efektivitas program K3 sulit diukur secara objektif. 

Penutup

Keselamatan kerja di proyek jalan bukan sekadar urusan teknis, tetapi juga refleksi dari komitmen pembangunan manusia yang berkelanjutan. Studi Baral dan Koirala menegaskan bahwa memperkuat sistem keselamatan berarti memperkuat keberlanjutan pembangunan nasional.

Pemerintah, kontraktor, dan lembaga pendidikan harus bekerja sama membangun budaya keselamatan berbasis pendidikan (education-based safety culture) agar setiap pekerja tidak hanya patuh pada aturan, tetapi juga sadar bahwa keselamatan adalah hak dan tanggung jawab bersama.

Sumber

Baral, P., & Koirala, M. P. (2022). Assessment of Safety and Health Practices in Road Construction. Open Journal of Safety Science and Technology, 12, 85–95. https://doi.org/10.4236/ojsst.2022.124008

Selengkapnya
Meningkatkan Keselamatan dan Kesehatan di Konstruksi Jalan: Pelajaran dari Studi di Nepal
page 1 of 1