Infrastruktur
Dipublikasikan oleh Guard Ganesia Wahyuwidayat pada 02 Oktober 2025
Pendahuluan: Infrastruktur sebagai Masalah dan Solusi
Sejak Indonesia dilanda krisis ekonomi Asia tahun 1997, pembangunan infrastruktur menjadi agenda yang tak kunjung tuntas. Padahal, infrastruktur adalah fondasi penting bagi pertumbuhan ekonomi berkelanjutan. Dalam makalah yang ditulis oleh Kyunghoon Kim, dibahas secara tajam bagaimana kebijakan reformasi institusional pasca-krisis ternyata gagal mengakselerasi pembangunan infrastruktur. Sebaliknya, Kim mengajukan perspektif alternatif, yaitu dengan meninjau ulang peran negara sebagai aktor utama dalam pembangunan, sebagaimana yang pernah diterapkan oleh negara-negara Asia Timur lainnya.
Reformasi Institusi Pascakrisis: Antara Harapan dan Kenyataan
Pasca-krisis 1997, Indonesia bergerak cepat melakukan reformasi institusi, dengan mengadopsi pendekatan “good governance” yang diusung lembaga internasional seperti IMF dan Bank Dunia. Tujuannya adalah membasmi korupsi dan kolusi yang sudah mengakar di bawah rezim Orde Baru. Lahirnya institusi seperti KPK, LKPP, dan LPJK menjadi simbol reformasi.
Namun, Kim mencatat bahwa reformasi tersebut tidak sepenuhnya berjalan sesuai harapan. Alih-alih memperkuat tata kelola, sejumlah institusi justru rentan disusupi oleh kepentingan oligarki dan elite bisnis lokal. Proses sertifikasi usaha konstruksi yang dialihkan ke asosiasi swasta malah menciptakan lahan baru bagi rente dan praktik kartel. Studi KPPU menunjukkan bahwa sekitar 60% dari perusahaan konstruksi di awal 2010-an tidak aktif atau hanya berdiri sebagai “bendera proyek”.
Data dan Fakta: Ketimpangan Antara Pertumbuhan Konstruksi dan Infrastruktur
Salah satu temuan paling mencolok dalam makalah ini adalah kontras tajam antara pertumbuhan sektor konstruksi dengan ketersediaan infrastruktur publik. Antara tahun 2000 hingga 2014, sektor konstruksi menyumbang hingga 10,1% dari PDB Indonesia. Namun di sisi lain, investasi infrastruktur justru turun drastis dari 7,8% menjadi 2,7% dari PDB.
Fokus investasi lebih banyak diarahkan ke sektor properti - perumahan, apartemen, dan pusat perbelanjaan yang memang lebih menguntungkan bagi pengembang swasta. Akibatnya, kebutuhan publik akan jalan, pelabuhan, transportasi massal, dan jaringan listrik justru terabaikan.
Peran BUMN dan Skandal Politik
Kim juga menyoroti transformasi BUMN konstruksi seperti Waskita Karya, Wijaya Karya, dan Adhi Karya. Alih-alih menjadi agen pembangunan, BUMN justru sering terseret dalam skandal korupsi. Kasus Hambalang menjadi contoh nyata bagaimana pejabat BUMN terlibat dalam suap demi mendapatkan proyek besar. Bahkan proyek tersebut mangkrak dan merugikan negara secara finansial dan politis.
Meskipun BUMN telah menjalani privatisasi parsial dan mulai menerapkan prinsip tata kelola korporat modern, upaya tersebut ternyata belum mampu sepenuhnya menekan intervensi politik maupun praktik penyalahgunaan wewenang.
Kritik terhadap Pendekatan “Good Governance”
Salah satu poin paling kuat dari makalah ini adalah kritik terhadap pendekatan reformasi ala Barat yang mengandalkan pembentukan institusi formal dan pelepasan peran negara dalam pembangunan. Kim menilai bahwa pendekatan ini mengasumsikan pasar akan secara otomatis bekerja efisien bila institusi formal diperkuat. Padahal di negara berkembang seperti Indonesia, di mana kekuatan informal dan struktur kekuasaan masih dominan, asumsi ini tidak realistis.
Contoh nyata terlihat pada proses pengadaan proyek yang meskipun sudah digital (melalui LPSE), tetap saja dibajak oleh “permainan dalam sistem” yang melibatkan perusahaan fiktif, kontraktor pinjaman, dan pengaturan tender. Bahkan menurut KPPU, biaya sertifikasi sering kali berlipat ganda dari tarif resmi karena praktik rente yang dilakukan oleh asosiasi.
Bangkitnya Strategi Negara: Jokowi dan Kembalinya Peran Aktif Pemerintah
Dari tahun 2015, pemerintahan Presiden Joko Widodo memulai langkah besar dengan mengubah pendekatan menjadi lebih proaktif. Pemerintah meningkatkan anggaran infrastruktur secara signifikan, bahkan pada 2019 anggarannya empat kali lebih besar dibanding subsidi energi. Jokowi juga menjadikan BUMN sebagai pelaksana utama proyek-proyek strategis nasional seperti tol Trans-Jawa, kereta cepat Jakarta-Bandung, dan pembangunan pelabuhan.
Transformasi ini mendorong pertumbuhan luar biasa pada beberapa BUMN. Waskita Karya, misalnya, naik dari posisi 94 ke 16 dalam daftar perusahaan publik dalam waktu lima tahun. Meski dikhawatirkan memunculkan risiko utang dan persaingan tidak sehat, strategi ini menunjukkan efektivitas negara dalam memobilisasi sumber daya.
Refleksi dan Opini Kritis: Menuju Model Hibrida
Kim tidak menolak pentingnya reformasi institusi, namun ia menekankan perlunya pendekatan yang lebih kontekstual yaitu menggabungkan kekuatan negara dengan tata kelola yang baik. Dalam konteks Indonesia, pembangunan infrastruktur tidak bisa semata-mata mengandalkan pasar. Pemerintah perlu menjadi aktor aktif, tidak hanya sebagai regulator, tapi juga sebagai investor dan pelaksana.
Pendekatan ini mirip dengan yang dilakukan oleh negara-negara Asia Timur seperti Korea Selatan dan China. Pemerintah di negara-negara tersebut tidak hanya membentuk institusi, tetapi juga memobilisasi BUMN untuk mendorong pembangunan strategis dengan insentif jangka panjang.
Kesimpulan: Kebutuhan Akan Negara yang Kembali Hadir
Makalah Kim menyimpulkan bahwa hambatan utama dalam pembangunan infrastruktur Indonesia bukan hanya karena kelemahan institusi, tapi karena negara terlalu mundur dari peran pembangunan. Ketika pasar tidak mampu mengatasi kegagalan koordinasi dan risiko investasi jangka panjang, maka negara harus hadir kembali, tidak hanya sebagai fasilitator, tetapi sebagai motor utama pembangunan.
Untuk mengatasi defisit infrastruktur secara berkelanjutan, Indonesia perlu memadukan kekuatan institusi dan kapasitas negara. Strategi negara pembangunan (developmentalist state) bukan berarti kembali ke masa otoritarian, melainkan mengadopsi peran aktif dan strategis negara dalam konteks demokratis.
Referensi:
Kim, Kyunghoon. (2021). Analysing Indonesia’s Infrastructure Deficits from a Developmentalist Perspective. Competition & Change, Vol. 27(1), 115–142.
DOI: 10.1177/10245294211043355
Infrastruktur
Dipublikasikan oleh Marioe Tri Wardhana pada 30 September 2025
Mengapa Temuan Ini Penting untuk Kebijakan?
Profesi insinyur merupakan salah satu pilar utama pembangunan infrastruktur dan pengembangan teknologi. Laporan 2021/22 Professional Engineers Employment & Remuneration Report memberikan gambaran komprehensif tentang kondisi ketenagakerjaan dan remunerasi insinyur profesional di Australia. Data yang ditampilkan meliputi tren upah, pola kerja, tingkat kepuasan, serta tantangan yang dihadapi tenaga kerja teknik di berbagai sektor industri.
Temuan ini sangat penting untuk kebijakan publik karena isu kesejahteraan insinyur berhubungan langsung dengan daya tarik profesi teknik bagi generasi muda, keberlanjutan pembangunan infrastruktur, serta daya saing global. Indonesia, yang sedang giat mendorong transformasi digital dan pembangunan infrastruktur masif, juga menghadapi tantangan serupa: keterbatasan jumlah insinyur profesional yang berkualitas dan kesenjangan upah dibandingkan standar internasional.
Sejalan dengan artikel Penuhi Kebutuhan Insinyur di Indonesia, ITS Lantik 120 Insinyur Baru yang mengungkap bahwa jumlah insinyur di Indonesia masih jauh dari ideal. Artikel tersebut menunjukkan bahwa meskipun perguruan tinggi sudah menghasilkan lulusan insinyur, pemenuhan kebutuhan profesional insinyur di masyarakat masih belum optimum. Selain itu, ketika kebutuhan tinggi tidak diimbangi dengan remunerasi yang memadai dan pengakuan profesional, risiko brain drain dan ketidakpuasan akan muncul.
Implementasi di Lapangan: Dampak, Hambatan, dan Peluang
Laporan ini menegaskan adanya peningkatan permintaan insinyur di berbagai sektor, termasuk energi, teknologi informasi, konstruksi, hingga manufaktur. Dampak positifnya adalah terbukanya lapangan kerja yang luas dan meningkatnya peran strategis profesi insinyur dalam mendukung pembangunan berkelanjutan. Namun, laporan juga menunjukkan bahwa terdapat kesenjangan signifikan antara tingkat remunerasi dengan kompleksitas pekerjaan yang dijalankan. Hal ini berpotensi menurunkan motivasi dan meningkatkan risiko brain drain, di mana insinyur berbakat lebih memilih bekerja di luar negeri dengan kompensasi lebih tinggi.
Hambatan lain yang diidentifikasi adalah ketidakmerataan kesempatan kerja dan remunerasi antar sektor, serta keterbatasan akses insinyur muda untuk meniti karier dengan jalur yang jelas. Faktor gender juga menjadi isu penting, di mana insinyur perempuan masih menghadapi kesenjangan upah dan keterbatasan representasi pada posisi senior.
Meski demikian, peluang besar terbuka melalui kebijakan pemerintah yang mendukung peningkatan pendidikan teknik, investasi dalam riset dan inovasi, serta promosi internasionalisasi profesi insinyur. Dengan dukungan kebijakan yang tepat, profesi insinyur dapat semakin menarik dan berdaya saing tinggi, baik di level nasional maupun global.
5 Rekomendasi Kebijakan Praktis
Kritik terhadap Potensi Kegagalan Kebijakan
Jika kebijakan terkait profesi insinyur hanya berfokus pada penyediaan lapangan kerja tanpa memperhatikan kualitas remunerasi dan jalur karier, maka risiko kegagalan cukup besar. Insinyur muda dapat kehilangan motivasi, sementara insinyur berpengalaman memilih migrasi ke luar negeri. Selain itu, jika regulasi kesetaraan gender tidak ditegakkan, maka kesenjangan struktural akan terus berlanjut, menghambat potensi penuh profesi teknik.
Kegagalan lain bisa muncul jika database dan pemetaan tenaga kerja tidak dikembangkan, sehingga kebijakan pemerintah tidak berbasis data yang akurat. Hal ini dapat mengakibatkan mismatch antara kebutuhan industri dengan ketersediaan insinyur, yang pada akhirnya menghambat produktivitas nasional.
Penutup
Laporan 2021/22 Professional Engineers Employment & Remuneration Report memberikan wawasan penting tentang tantangan dan peluang dalam profesi teknik. Bagi Indonesia, temuan ini dapat dijadikan bahan refleksi untuk memperkuat kebijakan ketenagakerjaan, meningkatkan kesejahteraan insinyur, serta memperluas daya saing global. Profesi insinyur bukan sekadar penyedia solusi teknis, melainkan aset strategis bangsa dalam menghadapi tantangan pembangunan dan transformasi industri di era digital.
Sumber
Engineers Australia. (2022). Professional Engineers Employment and Remuneration Report 2021/22.
Infrastruktur
Dipublikasikan oleh Guard Ganesia Wahyuwidayat pada 26 September 2025
Pendahuluan: Menuju Infrastruktur Masa Depan Melalui Kolaborasi
Indonesia menghadapi tantangan besar dalam membiayai pembangunan infrastruktur di tengah kebutuhan yang terus meningkat. Pemerintah tidak lagi bisa mengandalkan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) semata, mengingat keterbatasan fiskal dan kompleksitas proyek-proyek jangka panjang. Oleh karena itu, Kemitraan Pemerintah dan Swasta atau Public–Private Partnership (PPP) menjadi pilihan strategis.
Laporan Public–Private Partnership Monitor: Indonesia yang diterbitkan oleh Asian Development Bank (ADB) pada Desember 2020 memaparkan gambaran menyeluruh tentang kondisi, tantangan, dan potensi pengembangan PPP di tanah air.
Laporan ini menjadi sumber penting untuk memahami lanskap regulasi, institusi, dan sektor-sektor prioritas dalam PPP. Selain itu, dokumen ini juga menyajikan data empiris dari lebih dari 500 indikator kualitatif dan kuantitatif yang merepresentasikan dinamika PPP di tingkat nasional, sektoral, dan daerah. Dengan menganalisis laporan tersebut secara mendalam, kita dapat merumuskan strategi masa depan guna menciptakan pembangunan infrastruktur yang berkelanjutan dan inklusif.
Mengapa PPP Menjadi Kunci Pembangunan Infrastruktur Nasional
Menurut estimasi ADB, kawasan Asia-Pasifik membutuhkan investasi infrastruktur sebesar $1,7 triliun per tahun hingga 2030. Untuk Indonesia sendiri, dalam rentang 2020–2024, kebutuhan investasi infrastruktur mencapai $429 miliar. Tantangannya, kapasitas APBN hanya mampu menutup sekitar 41% dari kebutuhan tersebut. Sisanya, sebesar 59%, diharapkan datang dari sektor swasta, termasuk melalui skema PPP.
PPP tidak hanya menjadi solusi pembiayaan, tetapi juga membawa nilai tambah dalam bentuk efisiensi operasional, transfer teknologi, dan manajemen risiko yang lebih sehat. Dalam konteks ini, PPP bukan hanya kerja sama pembiayaan, tetapi kolaborasi yang bertujuan untuk meningkatkan kualitas pelayanan publik dan mempercepat pertumbuhan ekonomi.
Regulasi dan Lembaga Pendukung: Pilar Kunci Kesuksesan PPP
Landasan hukum utama PPP di Indonesia adalah Peraturan Presiden (Perpres) No. 38 Tahun 2015 yang mengatur jenis-jenis proyek, skema pembiayaan, serta peran masing-masing aktor. Laporan ADB menyebut regulasi ini sebagai salah satu framework PPP paling kokoh di Asia Tenggara.
Institusi yang memainkan peran penting dalam implementasi PPP meliputi Kementerian PPN/Bappenas sebagai penyusun rencana proyek strategis, Direktorat Jenderal Pengelolaan Pembiayaan dan Risiko (DJPPR) Kementerian Keuangan sebagai penjamin proyek melalui IIGF (Indonesia Infrastructure Guarantee Fund), serta Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) yang memfasilitasi investasi.
Terdapat pula Project Development Facility (PDF) yang menyediakan pendanaan untuk studi kelayakan dan konsultasi proyek-proyek PPP. Skema ini menjadi insentif penting bagi kementerian/lembaga maupun pemerintah daerah agar lebih aktif mengembangkan proyek berbasis PPP.
Dinamika Sektoral: Sektor Prioritas dan Studi Kasus
Sektor jalan raya menjadi salah satu fokus utama PPP di Indonesia. Tercatat lebih dari 30 proyek jalan tol dalam pipeline PPP sepanjang 2019–2020, termasuk Jalan Tol Serang–Panimbang, Balikpapan–Samarinda, dan Solo–Yogyakarta. Proyek Balikpapan–Samarinda sepanjang 99 km, misalnya, berhasil direalisasikan lebih cepat dari target melalui kontribusi swasta, dengan nilai investasi mencapai Rp9,9 triliun.
Di sektor energi, proyek PLTP Lahendong menjadi contoh kolaborasi sukses dalam energi terbarukan. Dengan kapasitas 40 MW, proyek ini tak hanya berkontribusi terhadap ketahanan energi, tetapi juga mendukung komitmen Indonesia terhadap pengurangan emisi karbon.
Namun, tidak semua sektor berkembang mulus. Di sektor air bersih, proyek SPAM (Sistem Penyediaan Air Minum) Bandar Lampung menghadapi tantangan kompleks, termasuk resistensi masyarakat terhadap tarif dan ketidakjelasan alokasi risiko. Meski demikian, proyek ini tetap menjadi rujukan penting bagaimana PPP dapat diterapkan di sektor sosial yang rentan terhadap tekanan politik dan sosial.
Analisis Kritis: Kekuatan dan Kelemahan PPP Indonesia
Keunggulan utama dari PPP Indonesia adalah adanya kerangka hukum dan institusional yang relatif kuat serta pipeline proyek yang terus berkembang. Namun demikian, laporan ADB mengidentifikasi beberapa hambatan besar:
Lebih jauh, laporan ini juga menyoroti perlunya harmonisasi regulasi antarinstansi dan penyederhanaan proses tender yang dinilai terlalu panjang dan tidak konsisten antar proyek.
Perbandingan Regional: Belajar dari Filipina dan India
Jika dibandingkan dengan Filipina, Indonesia masih tertinggal dalam hal efisiensi proses dan jumlah proyek yang mencapai financial close. Filipina memiliki PPP Center yang kuat dan otonom, serta platform daring yang memungkinkan investor memantau proyek secara real-time.
India juga menjadi contoh sukses dengan skema Viability Gap Funding (VGF), yang memberikan subsidi bagi proyek-proyek yang layak secara sosial tetapi tidak secara finansial. Pendekatan ini cocok diterapkan di Indonesia untuk sektor pendidikan, rumah sakit, dan air bersih.
PPP Pasca Pandemi: Fokus pada Infrastruktur Sosial dan Digitalisasi
Pandemi COVID-19 telah mengubah prioritas pembangunan. Infrastruktur sosial seperti rumah sakit, pusat kesehatan, dan perumahan rakyat kini menjadi kebutuhan mendesak. Laporan ADB menyarankan agar skema PPP tidak lagi berfokus semata pada sektor ekonomi, tetapi juga menyentuh layanan dasar.
Salah satu inisiatif menarik adalah Palapa Ring, proyek PPP di sektor telekomunikasi yang berhasil menjangkau daerah 3T (Tertinggal, Terdepan, dan Terluar). Proyek ini menjadi tonggak penting integrasi digital nasional, dan menjadi contoh bagaimana PPP dapat mendukung agenda inklusi digital.
Rekomendasi Strategis untuk Masa Depan PPP di Indonesia
1. Membangun PPP Center Nasional yang Independen, mirip dengan model di Filipina, agar dapat menyelaraskan kebijakan antarinstansi dan mempercepat proses evaluasi proyek.
2. Menerapkan sistem e-procurement dan e-monitoring untuk meningkatkan transparansi dan akuntabilitas proyek PPP.
3. Mengembangkan skema insentif fiskal untuk sektor sosial, seperti keringanan pajak dan VGF.
4. Peningkatan kapasitas teknis dan SDM di pemerintah daerah, melalui pelatihan, pertukaran pengetahuan, dan kerja sama dengan lembaga internasional.
5. Mengadopsi pendekatan fleksibel dan adaptif terhadap risiko, termasuk pembagian risiko yang lebih adil dan penguatan mekanisme jaminan pemerintah.
Kesimpulan: PPP sebagai Pilar Pembangunan Berkelanjutan
Kemitraan Pemerintah dan Swasta bukan hanya solusi jangka pendek atas defisit pembiayaan, tetapi juga strategi jangka panjang untuk menghadirkan infrastruktur berkualitas tinggi secara merata. Laporan ADB menunjukkan bahwa Indonesia telah memiliki fondasi kuat, namun masih banyak pekerjaan rumah yang harus diselesaikan khususnya dalam membangun kapasitas institusi, menciptakan kepastian hukum, dan memperluas partisipasi swasta.
Dengan memperkuat kerangka PPP yang inklusif dan adaptif, Indonesia dapat menjadikan kemitraan ini sebagai pilar utama pembangunan berkelanjutan di era post-pandemi dan menghadapi tantangan global seperti urbanisasi cepat, krisis iklim, dan revolusi digital.
Sumber
Asian Development Bank. (2020). Public–Private Partnership Monitor: Indonesia. DOI: http://dx.doi.org/10.22617/SGP210069-2
Infrastruktur
Dipublikasikan oleh Marioe Tri Wardhana pada 19 September 2025
Mengapa Temuan Ini Penting untuk Kebijakan?
Indonesia sedang gencar membangun infrastruktur skala besar, mulai dari proyek strategis nasional hingga pembangunan Ibu Kota Nusantara (IKN). Namun, tantangan besar berupa perubahan iklim, bencana alam, dan degradasi lingkungan membuat kebutuhan akan infrastruktur yang tangguh (resilient) dan berkelanjutan (sustainable) semakin mendesak.
Artikel ini menekankan dua hal utama:
Infrastruktur berkelanjutan berfokus pada efisiensi sumber daya, rendah karbon, dan mendukung tujuan pembangunan berkelanjutan (SDGs).
Infrastruktur tangguh menekankan kemampuan sistem untuk beradaptasi, merespons, dan pulih dari guncangan seperti bencana alam, pandemi, atau krisis energi.
Implikasi kebijakan bagi Indonesia sangat signifikan. Tanpa integrasi aspek ketangguhan dan keberlanjutan, infrastruktur yang dibangun berisiko gagal menghadapi krisis di masa depan. Hal ini sejalan dengan artikel Bangunan Hijau, bahwa proyek infrastruktur tidak boleh hanya menargetkan output fisik, tetapi juga kualitas dan daya tahan.
Implementasi di Lapangan: Dampak, Hambatan, dan Peluang
Dampak
Lingkungan: Infrastruktur berkelanjutan mengurangi emisi karbon, meningkatkan efisiensi energi, serta mendorong penggunaan material ramah lingkungan.
Ekonomi: Infrastruktur tangguh memperpanjang umur investasi, mengurangi kerugian akibat bencana, dan menciptakan pasar baru untuk teknologi hijau.
Sosial: Akses infrastruktur yang andal meningkatkan kualitas hidup, memperluas konektivitas, dan mengurangi kesenjangan pembangunan antarwilayah.
Hambatan
Pendanaan terbatas: Infrastruktur hijau dan tangguh membutuhkan biaya awal besar. Skema pembiayaan inovatif seperti green bond masih jarang digunakan.
Kapasitas SDM: Masih kurangnya insinyur dan perencana dengan kompetensi di bidang sustainability dan resilience.
Fragmentasi regulasi: Aturan tentang lingkungan, tata ruang, dan pembangunan infrastruktur seringkali tumpang tindih.
Kurangnya data dan teknologi: Minimnya pemanfaatan teknologi digital seperti digital twin dan BIM membuat perencanaan risiko belum optimal.
Peluang
Agenda global: Paris Agreement, SDGs, dan kerangka kerja Sendai mendorong aliran dana internasional untuk proyek infrastruktur hijau.
Teknologi baru: IoT, AI, dan predictive modelling dapat membantu perencanaan dan manajemen risiko infrastruktur.
Keterlibatan sektor swasta: Skema public-private partnership (PPP) bisa mempercepat pembangunan dengan standar ketangguhan yang lebih tinggi.
5 Rekomendasi Kebijakan Praktis
1. Integrasi Standar Ketahanan Iklim dalam Regulasi Nasional
Kementerian PUPR dan lembaga terkait perlu menetapkan standar teknis wajib yang memasukkan parameter ketangguhan terhadap bencana dan adaptasi iklim.
2. Insentif untuk Infrastruktur Hijau dan Rendah Karbon
Pemerintah dapat memberikan insentif fiskal, subsidi, atau skema green financing untuk proyek infrastruktur yang memenuhi kriteria keberlanjutan.
3. Penguatan Kapasitas SDM dan Pendidikan Teknik
Universitas dan lembaga pelatihan perlu memasukkan kurikulum khusus mengenai infrastruktur tangguh dan berkelanjutan, termasuk pemanfaatan digital twin dan BIM.
4. Penerapan Teknologi Digital untuk Perencanaan Risiko
Pemanfaatan AI, sensor IoT, dan sistem peringatan dini perlu diwajibkan pada proyek strategis untuk meningkatkan kemampuan adaptasi infrastruktur.
5. Skema Pembiayaan Inovatif
Dorong penggunaan green bond dan climate fund untuk membiayai proyek infrastruktur besar, sekaligus melibatkan swasta melalui PPP dengan standar lingkungan ketat.
Kritik terhadap Potensi Kegagalan Kebijakan
Tanpa kebijakan publik yang kuat, pembangunan infrastruktur berisiko hanya mengejar kuantitas tanpa kualitas. Beberapa risiko utama:
Infrastruktur rentan rusak akibat bencana, menimbulkan kerugian ekonomi besar.
Biaya perawatan meningkat tajam karena desain tidak memperhitungkan ketangguhan jangka panjang.
Indonesia kehilangan peluang menarik investasi hijau global karena tidak memenuhi standar internasional.
Penutup
Artikel Resilient and Sustainable Infrastructure Systems menegaskan bahwa keberlanjutan dan ketangguhan harus dipandang sebagai satu kesatuan. Untuk Indonesia, integrasi kedua konsep ini adalah kunci menuju visi 2045 sebagai negara maju dengan infrastruktur yang andal, ramah lingkungan, dan tangguh menghadapi krisis.
Sumber
Ostadtaghizadeh, A., et al. (2021). Resilient and Sustainable Infrastructure Systems: A Review of Definitions and Characteristics. Frontiers in Built Environment. DOI: 10.3389/fbuil.2021.635978.
Infrastruktur
Dipublikasikan oleh Timothy Rumoko pada 12 September 2025
Latar Belakang Teoretis
Tulisan karya Fajar Widianto, Lenggogeni, dan Henita Rahmayanti (2020) mengangkat sebuah anomali yang signifikan dalam konteks manajemen aset: degradasi dini pada infrastruktur yang relatif baru. Latar belakang masalah berpusat pada Gedung K. H. Hasjim Asj'arie di Kampus A Universitas Negeri Jakarta (UNJ), yang mulai beroperasi pada Februari 2017. Meskipun usianya baru beberapa tahun, observasi awal menemukan serangkaian kerusakan yang mencakup komponen arsitektural, mekanikal, dan elektrikal. Kerusakan spesifik yang diidentifikasi antara lain plafon yang rusak akibat rembesan air, pompa booster yang tidak berfungsi otomatis, kaca jendela pecah, lampu mati, pintu kamar mandi rusak, hingga panel fasad (Alumunium Composite Panel) yang terlepas.
Kondisi ini menjadi problematis karena bertentangan dengan ekspektasi laik fungsi sebuah bangunan modern. Kerangka teoretis penelitian ini dibangun di atas perbandingan antara kondisi faktual (Das Sein) dengan dua kerangka normatif (Das Sollen): (1) Standar Operasional Prosedur (SOP) internal yang dimiliki oleh pihak pengelola, PT. Tondi Gemilang Cahaya Timur (TGCT), dan (2) Peraturan Menteri Pekerjaan Umum (Permen PU) No. 24/PRT/M/2008 sebagai standar nasional. Hipotesis implisit yang diajukan adalah bahwa telah terjadi kesenjangan antara praktik pemeliharaan di lapangan dengan prosedur yang seharusnya, baik menurut standar internal maupun regulasi pemerintah. Dengan demikian, tujuan studi ini adalah untuk mengevaluasi secara sistematis tingkat kesesuaian pelaksanaan pemeliharaan dan perawatan gedung tersebut terhadap kedua kerangka acuan tersebut.
Metodologi dan Kebaruan
Penelitian ini mengadopsi metode kuantitatif asosiatif, sebuah pendekatan yang dirancang untuk menjelaskan dan mengukur kesenjangan antara fakta dan standar ideal. Metodologi ini diperkuat dengan studi literatur dan survei lapangan.
Pengumpulan data dilakukan secara triangulasi melalui tiga teknik:
(1) Observasi, untuk mengamati secara langsung kondisi fisik bangunan dan kegiatan pemeliharaan; (2) Dokumentasi, untuk merekam bukti visual kerusakan melalui fotografi; dan (3) Wawancara terstruktur, yang dilakukan dengan pihak-pihak kunci yang memiliki pengetahuan mendalam tentang pengelolaan gedung, termasuk Building Manager, teknisi, serta perwakilan dari UNJ.
Kebaruan penelitian ini terletak pada aplikasinya yang spesifik dan mendalam pada sebuah studi kasus tunggal. Sementara banyak studi membahas manajemen pemeliharaan secara umum, karya ini memberikan audit mikro yang mendetail terhadap sebuah fasilitas pendidikan tinggi milik negara. Teknik analisis data yang digunakan adalah perbandingan sistematis menggunakan tabel checklist. Peneliti membandingkan SOP milik pengelola dengan Permen PU No. 24/PRT/M/2008, serta membandingkan SOP tersebut dengan implementasi aktual di lapangan. Tingkat kesesuaian kemudian dikuantifikasi dalam bentuk persentase, memberikan sebuah ukuran objektif atas kinerja manajemen pemeliharaan.
Temuan Utama dengan Kontekstualisasi
Hasil penelitian menyajikan sebuah gambaran yang kompleks. Di satu sisi, wawancara mengonfirmasi adanya sistem manajemen formal: UNJ memiliki kontrak berdurasi satu tahun dengan PT. TGCT, yang memiliki struktur staf (termasuk Building Manager, teknisi, dan housekeeping), program kerja terjadwal (harian, mingguan, bulanan, tahunan), dan SOP tertulis. Pihak pengelola juga menyatakan mengetahui keberadaan Permen PU No. 24/PRT/M/2008.
Namun, di sisi lain, data observasi dan dokumentasi menunjukkan kegagalan sistemik. Bukti kerusakan fisik yang terdokumentasi—mulai dari plafon bocor hingga pompa yang harus dioperasikan manual—secara langsung membantah efektivitas sistem yang ada. Temuan kunci dari penelitian ini adalah adanya kesenjangan berlapis:
Kesenjangan antara SOP dan Regulasi: Ditemukan bahwa SOP yang dimiliki pengelola tidak sepenuhnya sesuai dengan Permen PU No. 24/PRT/M/2008.
Kesenjangan antara Praktik dan SOP: Ditemukan pula bahwa kegiatan pemeliharaan yang dilakukan di lapangan tidak sepenuhnya mematuhi SOP internal perusahaan itu sendiri.
Secara interpretatif, pekerjaan pemeliharaan yang dilakukan disimpulkan "masih sangat minimal" dan hanya mencakup "hal-hal sederhana". Menariknya, pihak manajemen memberikan justifikasi bahwa perbedaan antara SOP mereka dan Permen PU sengaja dilakukan karena regulasi tersebut dianggap "kurang detail", sehingga SOP mereka dimaksudkan untuk "melengkapi". Kontekstualisasi ini sangat penting, karena ia mengubah narasi dari sekadar kelalaian menjadi potensi adanya perbedaan interpretasi standar antara regulator dan operator lapangan.
Keterbatasan dan Refleksi Kritis. Keterbatasan utama yang diakui secara eksplisit oleh penulis adalah pengecualian analisis komponen struktural. Evaluasi struktur tidak dilakukan karena keterbatasan biaya, waktu, dan sifat pengujian yang sebagian besar merusak (destructive), serta tidak tercakup dalam kontrak kerja pengelola. Hal ini menyisakan sebuah area buta yang signifikan dalam penilaian keandalan gedung secara keseluruhan.
Secara kritis, meskipun penelitian ini berhasil mengidentifikasi adanya kesenjangan, analisis mengenai akar penyebabnya (root cause) dapat diperdalam. Paper ini menyimpulkan bahwa pemeliharaan kurang maksimal, namun tidak mengeksplorasi lebih jauh faktor-faktor penyebabnya, seperti apakah keterbatasan anggaran dari pihak UNJ, kurangnya SDM terampil di pihak kontraktor, atau kelemahan dalam klausul kontrak dan mekanisme pengawasan menjadi pemicu utama. Asumsi bahwa SOP pengelola yang "melengkapi" Permen PU adalah sebuah klaim yang perlu diuji secara kritis: apakah ini merupakan bentuk inovasi prosedural yang valid atau sebuah dalih untuk menyederhanakan pekerjaan?
Implikasi Ilmiah di Masa Depan
Temuan dari studi ini memiliki implikasi penting bagi praktik manajemen fasilitas di sektor publik dan arah penelitian di masa depan. Secara praktis, hasil ini memberikan argumen kuat bagi pemilik aset seperti universitas negeri untuk memperketat mekanisme pengawasan terhadap kontraktor pemeliharaan dan memastikan bahwa kontrak kerja secara eksplisit menuntut kepatuhan terhadap standar nasional.
Untuk penelitian selanjutnya, studi ini membuka beberapa jalur. Pertama, penelitian lanjutan dapat berfokus pada analisis biaya-manfaat dari model pemeliharaan yang berbeda (misalnya, in-house vs. outsourced) di lingkungan institusi pendidikan. Kedua, studi longitudinal yang melacak kondisi gedung dan biaya pemeliharaan selama beberapa siklus kontrak akan memberikan data yang lebih kaya tentang efektivitas jangka panjang. Terakhir, penelitian yang secara spesifik menganalisis isi dan kualitas SOP dari berbagai penyedia jasa pemeliharaan dapat menghasilkan wawasan tentang bagaimana standar nasional diterjemahkan—atau salah diterjemahkan—ke dalam praktik operasional. Sebagai refleksi akhir, karya ini secara efektif menunjukkan bahwa keberadaan sistem manajemen di atas kertas tidak menjamin keandalan fisik sebuah bangunan; implementasi yang disiplin dan pengawasan yang ketat adalah kunci yang sesungguhnya.
Sumber
Widianto, F., Lenggogeni, & Rahmayanti, H. (2020). Evaluasi Pemeliharaan dan Perawatan Bangunan Gedung K. H. Hasjim Asj'arie, Kampus A, UNJ. Prosiding Seminar Pendidikan Kejuruan dan Teknik Sipil (SPKTS) 2020, 378-392.
Infrastruktur
Dipublikasikan oleh Timothy Rumoko pada 12 September 2025
Latar Belakang Teoretis
Tulisan karya Pelagia Lia Andarista, R. Eka Murtinugraha, dan M. Agphin Ramadhan (2020) ini berangkat dari sebuah problem fundamental dalam sistem pendidikan vokasi di Indonesia: kesenjangan mutu yang salah satunya disebabkan oleh ketidakmemadaian sarana dan prasarana. Penulis menggarisbawahi data empiris yang menunjukkan tingkat kerusakan ruang kelas SMK yang signifikan di berbagai provinsi, termasuk di ibu kota. Kondisi ini secara langsung menghambat efektivitas proses pembelajaran dan berpotensi menghasilkan lulusan yang tidak kompeten, sebuah kontradiksi tajam dengan visi nasional untuk revitalisasi SMK.
Kerangka teoretis studi ini dibangun di atas perbandingan dua pilar regulasi utama yang mengatur standar infrastruktur SMK, yaitu Peraturan Menteri Pendidikan Nasional (Permendiknas) No. 40 Tahun 2008 dan Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Permendikbud) No. 34 Tahun 2018. Pergeseran regulasi ini diposisikan sebagai respons terhadap dinamika perkembangan teknologi, kurikulum, dan kebutuhan dunia kerja yang menuntut penyesuaian standar. Studi ini secara spesifik memfokuskan analisisnya pada Kompetensi Keahlian Desain Pemodelan dan Informasi Bangunan (DPIB), sebuah spesialisasi yang relatif baru dan menuntut fasilitas praktik yang modern. Hipotesis implisit yang mendasari penelitian ini adalah bahwa terdapat perbedaan substansial antara kedua peraturan tersebut, dan pemahaman mendalam atas perbedaan ini merupakan prasyarat bagi institusi pendidikan untuk melakukan adaptasi strategis demi peningkatan mutu.
Metodologi dan Kebaruan
Penelitian ini mengadopsi metode studi kepustakaan (literature review) sebagai pendekatan utamanya. Pengumpulan data dilakukan melalui analisis dokumen terhadap sumber-sumber primer, yaitu naskah lengkap Permendiknas No. 40 Tahun 2008 dan Permendikbud No. 34 Tahun 2018, serta didukung oleh literatur sekunder seperti jurnal dan artikel ilmiah yang relevan. Analisis data bersifat deskriptif-komparatif, di mana ketentuan-ketentuan spesifik dari kedua peraturan tersebut disandingkan secara sistematis untuk mengidentifikasi, mengklasifikasi, dan mendeskripsikan perbedaannya.
Kebaruan penelitian ini terletak pada fokusnya yang tajam dan aplikatif. Meskipun kajian tentang pentingnya sarana prasarana telah banyak dilakukan, karya ini memberikan kontribusi unik dengan menyajikan analisis perbandingan head-to-head antara dua kerangka hukum yang fundamental bagi satu kompetensi keahlian yang spesifik (DPIB). Dengan demikian, penelitian ini tidak hanya bersifat teoretis, tetapi juga berfungsi sebagai panduan praktis yang menerjemahkan bahasa regulasi yang kompleks menjadi peta jalan yang jelas bagi para pengelola SMK untuk memahami lanskap standar yang baru dan merencanakan penyesuaian yang diperlukan.
Temuan Utama dengan Kontekstualisasi
Analisis komparatif antara kedua peraturan mengungkapkan adanya evolusi standar yang signifikan, yang mencerminkan pergeseran paradigma dalam pendidikan vokasi.
Pertama, pada level prasarana atau infrastruktur fisik, terjadi perubahan mendasar. Nama kompetensi keahlian itu sendiri berevolusi dari "Teknik Gambar Bangunan" menjadi "Desain Pemodelan dan Informasi Bangunan (DPIB)", yang diikuti oleh perluasan fungsi ruang praktik untuk mencakup pemahaman konstruksi jalan dan jembatan. Secara kuantitatif, standar luas minimum ruang praktik justru mengalami efisiensi, berkurang dari 176 m² untuk 32 siswa (rasio 5,5 m²/siswa) menjadi 150 m² untuk 36 siswa (rasio 4,17 m²/siswa). Regulasi 2018 juga mengubah tata ruang, dari pemisahan tegas antara ruang gambar manual dan komputer menjadi penggabungan ruang "desain masinal dan komputer" serta penambahan ruang baru untuk "perencanaan dan pembuatan model/maket". Perubahan ini mengindikasikan pergeseran menuju alur kerja yang lebih terintegrasi dan berorientasi pada proyek, meniru praktik industri modern.
Kedua, pada level sarana atau peralatan, regulasi 2018 menunjukkan peningkatan spesifisitas dan modernisasi yang drastis. Standar perabot tidak lagi bersifat umum (misalnya "meja gambar"), melainkan dirinci menjadi "meja kerja", "meja alat", dan "meja persiapan" dengan rasio yang jelas per siswa. Peningkatan paling signifikan terlihat pada penambahan standar yang sebelumnya tidak ada dalam regulasi 2008, yaitu kewajiban penyediaan peralatan Kesehatan dan Keselamatan Kerja (K3) dan Alat Pelindung Diri (APD) untuk setiap siswa. Penambahan ini merupakan sebuah lompatan kualitatif yang menempatkan budaya keselamatan kerja sebagai komponen inti dalam proses pembelajaran, bukan lagi sebagai aspek periferal. Selain itu, standar utilitas seperti jumlah kotak kontak listrik minimum juga ditingkatkan, menandakan pengakuan atas meningkatnya ketergantungan pada perangkat elektronik dalam praktik DPIB modern.
Secara interpretatif, temuan-temuan ini menunjukkan bahwa standar baru tidak hanya memperbarui daftar peralatan, tetapi juga mentransformasi filosofi ruang belajar vokasi. Ruang praktik kini dirancang sebagai simulasi lingkungan kerja profesional yang menekankan integrasi teknologi, manajemen proyek (terlihat dari adanya "papan kemajuan siswa"), dan, yang terpenting, budaya keselamatan yang berstandar industri.
Keterbatasan dan Refleksi Kritis
Sebagai sebuah studi kepustakaan, keterbatasan utama penelitian ini adalah absennya data empiris dari lapangan. Analisis berfokus pada das Sollen (apa yang seharusnya menurut peraturan) tanpa mengukur das Sein (bagaimana kondisi aktual di sekolah). Studi ini tidak menyelidiki sejauh mana SMK telah mematuhi standar baru, tantangan finansial dan logistik yang mereka hadapi dalam proses adaptasi, atau dampak dari fasilitas yang diperbarui terhadap kompetensi lulusan.
Refleksi kritis juga dapat diarahkan pada asumsi bahwa standar baru secara otomatis lebih superior. Misalnya, apakah penurunan rasio luas ruang per siswa, meskipun diimbangi dengan peralatan yang lebih modern, berpotensi menciptakan lingkungan belajar yang lebih padat dan kurang kondusif? Paper ini tidak mengeksplorasi potensi trade-off atau konsekuensi yang tidak diinginkan dari perubahan standar tersebut. Analisis lebih lanjut mengenai justifikasi di balik setiap perubahan—apakah didasarkan pada masukan industri yang komprehensif atau pertimbangan efisiensi anggaran—akan memperkaya diskusi.
Implikasi Ilmiah di Masa Depan
Temuan dari studi ini membuka berbagai jalan untuk penelitian lanjutan. Riset empiris di masa depan dapat melakukan survei skala luas untuk memetakan tingkat kepatuhan SMK terhadap Permendikbud 2018, mengidentifikasi kesenjangan fasilitas, dan menganalisis faktor-faktor yang menghambat implementasi. Studi longitudinal juga dapat dirancang untuk mengukur secara kuantitatif dampak peningkatan sarana prasarana terhadap hasil belajar siswa, tingkat kelulusan uji kompetensi, dan keterserapan lulusan di dunia kerja.
Dari perspektif kebijakan dan praktik, penelitian ini berfungsi sebagai pengingat mendesak bagi pengelola sekolah untuk segera melakukan audit fasilitas dan menyusun rencana strategis untuk pemenuhan standar. Bagi pemerintah dan pembuat kebijakan, temuan ini menyoroti perlunya dukungan finansial dan teknis yang terstruktur untuk membantu sekolah-sekolah dalam melakukan transisi. Tanpa intervensi yang terencana, pemberlakuan standar yang lebih tinggi berisiko memperlebar kesenjangan kualitas antara sekolah yang memiliki sumber daya yang cukup dan yang tidak. Pada akhirnya, studi ini menegaskan bahwa investasi pada infrastruktur fisik adalah investasi langsung pada kualitas sumber daya manusia vokasi di masa depan.
Sumber
Andarista, P. L., Murtinugraha, R. E., & Ramadhan, M. A. (2020). Standar Sarana Prasarana SMK Kompetensi Keahlian Desain Pemodelan dan Informasi Bangunan. Prosiding Seminar Pendidikan Kejuruan dan Teknik Sipil (SPKTS) 2020, 349-360.