Infrastruktur

Membedah Lanskap Kemitraan Pemerintah dan Swasta (PPP) di Indonesia: Peluang, Tantangan, dan Masa Depan Infrastruktur

Dipublikasikan oleh Wafa Nailul Izza pada 30 Mei 2025


Pendahuluan: Menuju Infrastruktur Masa Depan Melalui Kolaborasi

 

Indonesia menghadapi tantangan besar dalam membiayai pembangunan infrastruktur di tengah kebutuhan yang terus meningkat. Pemerintah tidak lagi bisa mengandalkan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) semata, mengingat keterbatasan fiskal dan kompleksitas proyek-proyek jangka panjang. Oleh karena itu, Kemitraan Pemerintah dan Swasta atau Public–Private Partnership (PPP) menjadi pilihan strategis. Laporan Public–Private Partnership Monitor: Indonesia yang diterbitkan oleh Asian Development Bank (ADB) pada Desember 2020 memaparkan gambaran menyeluruh tentang kondisi, tantangan, dan potensi pengembangan PPP di tanah air.

 

Laporan ini menjadi sumber penting untuk memahami lanskap regulasi, institusi, dan sektor-sektor prioritas dalam PPP. Selain itu, dokumen ini juga menyajikan data empiris dari lebih dari 500 indikator kualitatif dan kuantitatif yang merepresentasikan dinamika PPP di tingkat nasional, sektoral, dan daerah. Dengan menganalisis laporan tersebut secara mendalam, kita dapat merumuskan strategi masa depan guna menciptakan pembangunan infrastruktur yang berkelanjutan dan inklusif.

 

Mengapa PPP Menjadi Kunci Pembangunan Infrastruktur Nasional

 

Menurut estimasi ADB, kawasan Asia-Pasifik membutuhkan investasi infrastruktur sebesar $1,7 triliun per tahun hingga 2030. Untuk Indonesia sendiri, dalam rentang 2020–2024, kebutuhan investasi infrastruktur mencapai $429 miliar. Tantangannya, kapasitas APBN hanya mampu menutup sekitar 41% dari kebutuhan tersebut. Sisanya, sebesar 59%, diharapkan datang dari sektor swasta, termasuk melalui skema PPP.

 

PPP tidak hanya menjadi solusi pembiayaan, tetapi juga membawa nilai tambah dalam bentuk efisiensi operasional, transfer teknologi, dan manajemen risiko yang lebih sehat. Dalam konteks ini, PPP bukan hanya kerja sama pembiayaan, tetapi kolaborasi yang bertujuan untuk meningkatkan kualitas pelayanan publik dan mempercepat pertumbuhan ekonomi.

 

Regulasi dan Lembaga Pendukung: Pilar Kunci Kesuksesan PPP

 

Landasan hukum utama PPP di Indonesia adalah Peraturan Presiden (Perpres) No. 38 Tahun 2015 yang mengatur jenis-jenis proyek, skema pembiayaan, serta peran masing-masing aktor. Laporan ADB menyebut regulasi ini sebagai salah satu framework PPP paling kokoh di Asia Tenggara.

 

Institusi yang memainkan peran penting dalam implementasi PPP meliputi Kementerian PPN/Bappenas sebagai penyusun rencana proyek strategis, Direktorat Jenderal Pengelolaan Pembiayaan dan Risiko (DJPPR) Kementerian Keuangan sebagai penjamin proyek melalui IIGF (Indonesia Infrastructure Guarantee Fund), serta Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) yang memfasilitasi investasi.

 

Terdapat pula Project Development Facility (PDF) yang menyediakan pendanaan untuk studi kelayakan dan konsultasi proyek-proyek PPP. Skema ini menjadi insentif penting bagi kementerian/lembaga maupun pemerintah daerah agar lebih aktif mengembangkan proyek berbasis PPP.

 

Dinamika Sektoral: Sektor Prioritas dan Studi Kasus

 

Sektor jalan raya menjadi salah satu fokus utama PPP di Indonesia. Tercatat lebih dari 30 proyek jalan tol dalam pipeline PPP sepanjang 2019–2020, termasuk Jalan Tol Serang–Panimbang, Balikpapan–Samarinda, dan Solo–Yogyakarta. Proyek Balikpapan–Samarinda sepanjang 99 km, misalnya, berhasil direalisasikan lebih cepat dari target melalui kontribusi swasta, dengan nilai investasi mencapai Rp9,9 triliun.

 

Di sektor energi, proyek PLTP Lahendong menjadi contoh kolaborasi sukses dalam energi terbarukan. Dengan kapasitas 40 MW, proyek ini tak hanya berkontribusi terhadap ketahanan energi, tetapi juga mendukung komitmen Indonesia terhadap pengurangan emisi karbon.

 

Namun, tidak semua sektor berkembang mulus. Di sektor air bersih, proyek SPAM (Sistem Penyediaan Air Minum) Bandar Lampung menghadapi tantangan kompleks, termasuk resistensi masyarakat terhadap tarif dan ketidakjelasan alokasi risiko. Meski demikian, proyek ini tetap menjadi rujukan penting bagaimana PPP dapat diterapkan di sektor sosial yang rentan terhadap tekanan politik dan sosial.

 

Analisis Kritis: Kekuatan dan Kelemahan PPP Indonesia

 

Keunggulan utama dari PPP Indonesia adalah adanya kerangka hukum dan institusional yang relatif kuat serta pipeline proyek yang terus berkembang. Namun demikian, laporan ADB mengidentifikasi beberapa hambatan besar:

  • Rendahnya kapasitas teknis dan administratif pemerintah daerah untuk merancang dan mengelola proyek PPP
  • Ketiadaan sistem insentif yang jelas bagi proyek-proyek sosial seperti pendidikan dan kesehatan
  • Ketergantungan tinggi pada prakarsa proyek pemerintah, sementara usulan dari swasta masih minim karena proses birokrasi yang kompleks

 

Lebih jauh, laporan ini juga menyoroti perlunya harmonisasi regulasi antarinstansi dan penyederhanaan proses tender yang dinilai terlalu panjang dan tidak konsisten antar proyek.

 

Perbandingan Regional: Belajar dari Filipina dan India

 

Jika dibandingkan dengan Filipina, Indonesia masih tertinggal dalam hal efisiensi proses dan jumlah proyek yang mencapai financial close. Filipina memiliki PPP Center yang kuat dan otonom, serta platform daring yang memungkinkan investor memantau proyek secara real-time.

 

India juga menjadi contoh sukses dengan skema Viability Gap Funding (VGF), yang memberikan subsidi bagi proyek-proyek yang layak secara sosial tetapi tidak secara finansial. Pendekatan ini cocok diterapkan di Indonesia untuk sektor pendidikan, rumah sakit, dan air bersih.

 

PPP Pasca Pandemi: Fokus pada Infrastruktur Sosial dan Digitalisasi

 

Pandemi COVID-19 telah mengubah prioritas pembangunan. Infrastruktur sosial seperti rumah sakit, pusat kesehatan, dan perumahan rakyat kini menjadi kebutuhan mendesak. Laporan ADB menyarankan agar skema PPP tidak lagi berfokus semata pada sektor ekonomi, tetapi juga menyentuh layanan dasar.

 

Salah satu inisiatif menarik adalah Palapa Ring, proyek PPP di sektor telekomunikasi yang berhasil menjangkau daerah 3T (Tertinggal, Terdepan, dan Terluar). Proyek ini menjadi tonggak penting integrasi digital nasional, dan menjadi contoh bagaimana PPP dapat mendukung agenda inklusi digital.

 

Rekomendasi Strategis untuk Masa Depan PPP di Indonesia

 

1. Membangun PPP Center Nasional yang Independen, mirip dengan model di Filipina, agar dapat menyelaraskan kebijakan antarinstansi dan mempercepat proses evaluasi proyek.

 

2. Menerapkan sistem e-procurement dan e-monitoring untuk meningkatkan transparansi dan akuntabilitas proyek PPP.

 

3. Mengembangkan skema insentif fiskal untuk sektor sosial, seperti keringanan pajak dan VGF.

 

4. Peningkatan kapasitas teknis dan SDM di pemerintah daerah, melalui pelatihan, pertukaran pengetahuan, dan kerja sama dengan lembaga internasional.

 

5. Mengadopsi pendekatan fleksibel dan adaptif terhadap risiko, termasuk pembagian risiko yang lebih adil dan penguatan mekanisme jaminan pemerintah.

 

Kesimpulan: PPP sebagai Pilar Pembangunan Berkelanjutan

 

Kemitraan Pemerintah dan Swasta bukan hanya solusi jangka pendek atas defisit pembiayaan, tetapi juga strategi jangka panjang untuk menghadirkan infrastruktur berkualitas tinggi secara merata. Laporan ADB menunjukkan bahwa Indonesia telah memiliki fondasi kuat, namun masih banyak pekerjaan rumah yang harus diselesaikan—khususnya dalam membangun kapasitas institusi, menciptakan kepastian hukum, dan memperluas partisipasi swasta.

 

Dengan memperkuat kerangka PPP yang inklusif dan adaptif, Indonesia dapat menjadikan kemitraan ini sebagai pilar utama pembangunan berkelanjutan di era post-pandemi dan menghadapi tantangan global seperti urbanisasi cepat, krisis iklim, dan revolusi digital.

 

 

Sumber

Asian Development Bank. (2020). Public–Private Partnership Monitor: Indonesia. DOI: http://dx.doi.org/10.22617/SGP210069-2

 

 

 

Selengkapnya
Membedah Lanskap Kemitraan Pemerintah dan Swasta (PPP) di Indonesia: Peluang, Tantangan, dan Masa Depan Infrastruktur

Infrastruktur

Menelisik Defisit Infrastruktur Indonesia: Dari Reformasi Institusi Menuju Strategi Pembangunan oleh Negara

Dipublikasikan oleh Wafa Nailul Izza pada 30 Mei 2025


Pendahuluan: Infrastruktur sebagai Masalah dan Solusi

 

Sejak Indonesia dilanda krisis ekonomi Asia tahun 1997, pembangunan infrastruktur menjadi agenda yang tak kunjung tuntas. Padahal, infrastruktur adalah fondasi penting bagi pertumbuhan ekonomi berkelanjutan. Dalam makalah yang ditulis oleh Kyunghoon Kim, dibahas secara tajam bagaimana kebijakan reformasi institusional pasca-krisis ternyata gagal mengakselerasi pembangunan infrastruktur. Sebaliknya, Kim mengajukan perspektif alternatif, yaitu dengan meninjau ulang peran negara sebagai aktor utama dalam pembangunan, sebagaimana yang pernah diterapkan oleh negara-negara Asia Timur lainnya.

 

Reformasi Institusi Pascakrisis: Antara Harapan dan Kenyataan

 

Pasca-krisis 1997, Indonesia bergerak cepat melakukan reformasi institusi, dengan mengadopsi pendekatan “good governance” yang diusung lembaga internasional seperti IMF dan Bank Dunia. Tujuannya adalah membasmi korupsi dan kolusi yang sudah mengakar di bawah rezim Orde Baru. Lahirnya institusi seperti KPK, LKPP, dan LPJK menjadi simbol reformasi.

 

Namun Kim mengungkap bahwa reformasi ini tidak berjalan sesuai ekspektasi. Bukannya membenahi tata kelola, institusi-institusi tersebut justru disusupi oleh kepentingan oligarki dan elite bisnis lokal. Proses sertifikasi usaha konstruksi yang dialihkan ke asosiasi swasta malah menciptakan lahan baru bagi rente dan praktik kartel. Studi KPPU menunjukkan bahwa sekitar 60% dari perusahaan konstruksi di awal 2010-an tidak aktif atau hanya berdiri sebagai “bendera proyek”.

 

Data dan Fakta: Ketimpangan Antara Pertumbuhan Konstruksi dan Infrastruktur

 

Salah satu temuan paling mencolok dalam makalah ini adalah kontras tajam antara pertumbuhan sektor konstruksi dengan ketersediaan infrastruktur publik. Antara tahun 2000 hingga 2014, sektor konstruksi menyumbang hingga 10,1% dari PDB Indonesia. Namun di sisi lain, investasi infrastruktur justru turun drastis dari 7,8% menjadi 2,7% dari PDB.

 

Fokus investasi lebih banyak diarahkan ke sektor properti—perumahan, apartemen, dan pusat perbelanjaan—yang memang lebih menguntungkan bagi pengembang swasta. Akibatnya, kebutuhan publik akan jalan, pelabuhan, transportasi massal, dan jaringan listrik justru terabaikan.

 

Peran BUMN dan Skandal Politik

 

Kim juga menyoroti transformasi BUMN konstruksi seperti Waskita Karya, Wijaya Karya, dan Adhi Karya. Alih-alih menjadi agen pembangunan, BUMN justru sering terseret dalam skandal korupsi. Kasus Hambalang menjadi contoh nyata bagaimana pejabat BUMN terlibat dalam suap demi mendapatkan proyek besar. Bahkan proyek tersebut mangkrak dan merugikan negara secara finansial dan politis.

 

Meskipun telah mengalami privatisasi parsial dan menerapkan prinsip tata kelola korporat modern, nyatanya hal ini belum cukup untuk mencegah intervensi politik dan penyalahgunaan wewenang di tubuh BUMN.

 

Kritik terhadap Pendekatan “Good Governance”

 

Salah satu poin paling kuat dari makalah ini adalah kritik terhadap pendekatan reformasi ala Barat yang mengandalkan pembentukan institusi formal dan pelepasan peran negara dalam pembangunan. Kim menilai bahwa pendekatan ini mengasumsikan pasar akan secara otomatis bekerja efisien bila institusi formal diperkuat. Padahal di negara berkembang seperti Indonesia, di mana kekuatan informal dan struktur kekuasaan masih dominan, asumsi ini tidak realistis.

 

Contoh nyata terlihat pada proses pengadaan proyek yang meskipun sudah digital (melalui LPSE), tetap saja dibajak oleh “permainan dalam sistem” yang melibatkan perusahaan fiktif, kontraktor pinjaman, dan pengaturan tender. Bahkan menurut KPPU, biaya sertifikasi sering kali berlipat ganda dari tarif resmi karena praktik rente yang dilakukan oleh asosiasi.

 

Bangkitnya Strategi Negara: Jokowi dan Kembalinya Peran Aktif Pemerintah

 

Dari tahun 2015, pemerintahan Presiden Joko Widodo memulai langkah besar dengan mengubah pendekatan menjadi lebih proaktif. Pemerintah meningkatkan anggaran infrastruktur secara signifikan, bahkan pada 2019 anggarannya empat kali lebih besar dibanding subsidi energi. Jokowi juga menjadikan BUMN sebagai pelaksana utama proyek-proyek strategis nasional seperti tol Trans-Jawa, kereta cepat Jakarta-Bandung, dan pembangunan pelabuhan.

 

Transformasi ini mendorong pertumbuhan luar biasa pada beberapa BUMN. Waskita Karya, misalnya, naik dari posisi 94 ke 16 dalam daftar perusahaan publik dalam waktu lima tahun. Meski dikhawatirkan memunculkan risiko utang dan persaingan tidak sehat, strategi ini menunjukkan efektivitas negara dalam memobilisasi sumber daya.

 

Refleksi dan Opini Kritis: Menuju Model Hibrida

 

Kim tidak menolak pentingnya reformasi institusi, namun ia menekankan perlunya pendekatan yang lebih kontekstual—yaitu menggabungkan kekuatan negara dengan tata kelola yang baik. Dalam konteks Indonesia, pembangunan infrastruktur tidak bisa semata-mata mengandalkan pasar. Pemerintah perlu menjadi aktor aktif, tidak hanya sebagai regulator, tapi juga sebagai investor dan pelaksana.

 

Pendekatan ini mirip dengan yang dilakukan oleh negara-negara Asia Timur seperti Korea Selatan dan China. Pemerintah di negara-negara tersebut tidak hanya membentuk institusi, tetapi juga memobilisasi BUMN untuk mendorong pembangunan strategis dengan insentif jangka panjang.

 

Kesimpulan: Kebutuhan Akan Negara yang Kembali Hadir

 

Makalah Kim menyimpulkan bahwa hambatan utama dalam pembangunan infrastruktur Indonesia bukan hanya karena kelemahan institusi, tapi karena negara terlalu mundur dari peran pembangunan. Ketika pasar tidak mampu mengatasi kegagalan koordinasi dan risiko investasi jangka panjang, maka negara harus hadir kembali—tidak hanya sebagai fasilitator, tetapi sebagai motor utama pembangunan.

 

Untuk mengatasi defisit infrastruktur secara berkelanjutan, Indonesia perlu memadukan kekuatan institusi dan kapasitas negara. Strategi negara pembangunan (developmentalist state) bukan berarti kembali ke masa otoritarian, melainkan mengadopsi peran aktif dan strategis negara dalam konteks demokratis.

 

 

Referensi:

 

Kim, Kyunghoon. (2021). Analysing Indonesia’s Infrastructure Deficits from a Developmentalist Perspective. Competition & Change, Vol. 27(1), 115–142.

DOI: 10.1177/10245294211043355

Selengkapnya
Menelisik Defisit Infrastruktur Indonesia: Dari Reformasi Institusi Menuju Strategi Pembangunan oleh Negara
page 1 of 1