Industri Maritim

Penelitian Ini Mengungkap Rahasia di Balik Kebersihan Air Limbah Tambak Udang—dan Ini yang Harus Anda Ketahui!

Dipublikasikan oleh Hansel pada 20 November 2025


Pendahuluan: Saat Industri Udang Menjerat Ekosistem Pesisir

Skala Krisis yang Terabaikan

Pencatat bahwa ekspansi industri ini seringkali diiringi dengan berkurangnya lahan bakau dan memicu polusi air yang masif dari kegiatan tambak.1

Air limbah buangan tambak terbukti membawa bahan pencemar berbahaya, termasuk sisa pakan yang tidak termakan, berbagai mikroorganisme, bibit penyakit, serta senyawa nitrogen (seperti nitrat, nitrit, dan amonia) dan fosfat yang memicu eutrofikasi.1 Jika dibiarkan tanpa pengolahan, kontaminan ini akan merusak seluruh ekosistem perairan tempat limbah dibuang.

Fokus Kasus Kertasada: Ancaman Harian Setengah Juta Liter Limbah

Studi yang dilakukan oleh peneliti Ach. Desmantri Rahmanto dan Diana Sulfa mengambil Desa Kertasada, Kecamatan Kalianget, Kabupaten Sumenep, sebagai fokus utama. Desa ini merepresentasikan masalah struktural dalam industri budidaya udang di Indonesia. Di Kertasada, terdapat delapan petak tambak dengan luas total $4.532\ \text{m}^2$. Masalah utamanya sangat mendasar: tidak adanya perlakuan terhadap air limbah tambak sebelum dilepaskan kembali ke perairan.1

Volume air limbah yang dihasilkan dari proses produksi harian tambak di Kertasada mencapai $498,52\ \text{m}^3$ per hari.1 Angka ini setara dengan hampir setengah juta liter limbah cair yang setiap hari dialirkan langsung ke badan penerima air limbah, yaitu sungai di muara Kertasada.1 Pembuangan langsung ini, tanpa sedikit pun proses reduksi polutan, menjadi ancaman serius bagi kesehatan sungai dan biota di dalamnya.

Tujuan Penelitian: Mempersenjatai Petani dengan Kepatuhan Hukum

Menghadapi krisis ini, penelitian ini bertujuan untuk merancang unit dan instalasi Pengelolaan Air Limbah (IPAL) yang sesuai. Tujuannya bukan hanya sekadar membersihkan air, tetapi memastikan bahwa air yang dikembalikan ke lingkungan memenuhi baku mutu air limbah budidaya tambak udang yang ditetapkan oleh pemerintah, yaitu Keputusan Menteri Perikanan dan Kelautan Nomor 28 Tahun 2004.1

Rancangan unit IPAL biofilter yang dihasilkan oleh studi ini merupakan cetak biru rekayasa lingkungan. Ia menawarkan solusi teknis yang ringkas untuk rekonsiliasi yang sangat dibutuhkan antara praktik budidaya intensif yang menguntungkan dan kewajiban moral serta regulasi untuk melindungi ekosistem pesisir. Krisis di Kertasada adalah contoh nyata dari kegagalan implementasi regulasi, dan desain IPAL ini hadir sebagai alat praktis bagi pemerintah daerah dan petani untuk menegakkan kepatuhan.

 

311 Kali Lipat Batas Aman: Mengapa Temuan Ini Mengejutkan Peneliti?

Data hasil uji kualitas air limbah tambak udang Kertasada sebelum diolah adalah inti narasi krisis ini, mengejutkan para peneliti dengan tingkat kontaminasi yang ekstrem. Untuk menentukan rancangan IPAL yang tepat, pengujian kualitas air awal sangat krusial, dan hasilnya menunjukkan bahwa air limbah tambak udang ini jauh melampaui batas aman yang diizinkan.

Fokus pada Amonia ($\text{NH}_3$): Racun yang Mengejutkan

Kadar Amonia ($\text{NH}_3$) adalah parameter yang paling mencengangkan. Konsentrasi $\text{NH}_3$ terukur mencapai $31.185\ \text{Mg/l}$.1 Angka ini harus dibandingkan dengan baku mutu air limbah yang ditetapkan, yaitu kurang dari $0.1\ \text{Mg/l}$.1

Data ini menunjukkan bahwa air limbah yang dibuang mengandung amonia $311$ kali lipat di atas batas aman. Tingkat polusi $\text{NH}_3$ yang masif ini setara dengan mengalirkan ratusan kali lipat jumlah racun ke sungai. Amonia adalah senyawa yang sangat beracun bagi biota air, bahkan pada konsentrasi rendah, dan kadar yang ditemukan di Kertasada menandakan lingkungan perairan yang sudah sangat korosif dan tidak layak huni.1

Beban Organik Berlebih yang Mencekik

Selain amonia, beban organik juga berada pada tingkat yang mengkhawatirkan. Parameter Biochemical Oxygen Demand ($\text{BOD}_5$), yang mengukur kebutuhan oksigen biologis oleh mikroorganisme untuk mengurai bahan organik dalam air, terukur sebesar $810.61\ \text{Mg/l}$.1 Baku mutu hanya membolehkan $\text{BOD}_5$ kurang dari $45\ \text{Mg/l}$.1 Ini berarti air limbah membawa beban organik sekitar 18 kali lipat dari batas toleransi.

Kebutuhan oksigen biologis yang luar biasa tinggi ini memiliki implikasi ekologis yang langsung. Ketika air limbah ini masuk ke sungai, mikroorganisme akan bekerja keras mengurai material organik, mengonsumsi oksigen terlarut dalam jumlah besar. Proses ini menyebabkan deplesi oksigen di badan sungai, sebuah kondisi yang dikenal sebagai hipoksia, yang secara efektif "mencekik" ikan dan organisme perairan lain di hilir.

Padatan Tersuspensi (TSS) dan Ancaman Fisik

Parameter ketiga yang jauh melampaui batas adalah Total Suspended Solids (TSS). TSS, yang terdiri dari lumpur, residu pakan, dan kotoran, terukur $14.400\ \text{Mg/l}$, jauh melampaui batas aman $200\ \text{Mg/l}$—yaitu 72 kali lipat dari yang diizinkan.1

Pembuangan padatan tersuspensi dalam jumlah besar ini secara langsung menyebabkan kekeruhan permanen pada air sungai dan memicu pendangkalan. Yang lebih penting, sedimen ini menimbun di dasar sungai, membawa serta senyawa fosfat dan nitrogen, memperpanjang siklus pencemaran di muara.1 Beban polutan yang ekstrem ini, terutama TSS yang sangat tinggi, menjelaskan mengapa metode pengolahan sederhana, seperti sekadar kolam penampungan, sama sekali tidak akan memadai. Situasi ini menuntut penggunaan teknologi biofilter bertingkat dengan kinerja tinggi untuk menangani beban kejut polutan yang sangat tinggi.

 

Arsitektur Pemurnian: Lima Tahap Menuju Kualitas Air Baru

Untuk mengatasi beban polutan yang ekstrem ini—di mana $\text{NH}_3$ melebihi batas 311 kali lipat—para peneliti merancang Instalasi Pengolahan Air Limbah (IPAL) lima tahap menggunakan sistem biofilter anaerobik-aerobik. Kompleksitas desain ini adalah respons langsung terhadap konsentrasi polutan yang membandel dan kebutuhan untuk mengolah volume besar ($498.52\ \text{m}^3/\text{hari}$) dalam waktu sesingkat mungkin.

Prioritas Utama: Pemisahan Padatan Dini

Rancangan IPAL ini mengikuti aturan dasar teknik lingkungan: pemisahan limbah padat harus dilakukan secepat mungkin di awal proses pengolahan.1 Kegagalan memisahkan padatan akan membebani reaktor biologis dan mempersulit proses penurunan Total Suspended Solids (TSS), COD, nitrogen, dan fosfor.1

Tahap I: Bak Ekualisasi

Tahap pertama adalah Bak Ekualisasi. Fungsi utamanya adalah menstabilkan debit air limbah yang masuk agar alirannya seragam sebelum diproses lebih lanjut. Bak ini dirancang dengan volume yang memungkinkan air limbah memiliki waktu tinggal sekitar lima jam.1 Kapasitas bak ini sangat penting untuk memastikan reaktor berikutnya menerima beban aliran yang stabil, bukan beban kejut.

Tahap II: Bak Pengendapan Awal

Dari ekualisasi, air dipompa ke Bak Pengendapan Awal. Bak ini berfungsi ganda: sebagai bak pengendapan partikel lumpur, pasir, dan kotoran organik, serta sebagai bak pengurai senyawa organik padatan dan penampung lumpur.1

Pada tahap ini, peneliti menargetkan efisiensi reduksi zat organik awal sebesar $25\%$.1 Berdasarkan target ini, kandungan $\text{BOD}_5$ akan turun dari $810.61\ \text{Mg/l}$ menjadi $607.95\ \text{Mg/l}$, dan TSS turun dari $14.400\ \text{Mg/l}$ menjadi $10.800\ \text{Mg/l}$.1 Fase ini berfungsi sebagai 'decontaminasi' awal yang esensial sebelum pengolahan biologis yang sesungguhnya dimulai, meringankan beban kerja reaktor biofilter.

Jantung Sistem: Reaktor Biofilter Berjenjang

Air limbah selanjutnya memasuki unit inti yang terdiri dari dua reaktor biofilter yang berisi media plastik tipe sarang tawon, dipilih karena memberikan luas permukaan besar bagi pertumbuhan mikroorganisme.1

Tahap III: Reaktor Biofilter Anaerobik

Air limpasan dari bak pengendapan awal dialirkan ke reaktor biofilter anaerobik, yang dirancang memiliki waktu tinggal sekitar tujuh jam.1 Di ruang ini, zat-zat organik diuraikan oleh bakteri anaerobik atau fakultatif aerobik tanpa oksigen. Setelah beberapa hari beroperasi, lapisan film mikroorganisme tumbuh pada media filter, yang bertugas menghancurkan zat organik sisa.1

Para peneliti memproyeksikan tahap anaerobik ini akan mencapai efisiensi reduksi sebesar $80\%$ dari beban yang masuk.1 Tingginya target efisiensi ini merupakan fase 'penghancuran masal' yang kritikal untuk mempersiapkan air bagi tahap aerobik yang fokus pada Amonia.

Tahap IV: Reaktor Biofilter Aerobik

Ini adalah tahap paling vital dan paling intensif energi untuk menghilangkan Amonia dan sisa $\text{BOD}_5$. Air limpasan dari reaktor anaerobik dialirkan ke reaktor aerobik. Di sini, aerasi (peniupan udara) dimasukkan ke dalam air. Pasokan oksigen ini memicu pertumbuhan mikroorganisme aerobik yang berfungsi ganda: menguraikan zat organik sisa dan, yang terpenting, menjalankan proses nitrifikasi untuk menghilangkan senyawa nitrogen berbahaya.1

Target reduksi untuk tahap aerobik ini dipatok pada $95\%$ dari beban sisa. Kombinasi reaktor anaerobik (menangani beban organik tinggi) dan aerobik (menangani amonia dan polishing) memastikan eliminasi polutan yang kompleks dan membandel.1

Operasi Blower: Kunci Keberhasilan Aerobik

Keberhasilan reaktor aerobik sepenuhnya bergantung pada suplai oksigen yang memadai. Perhitungan kebutuhan oksigen sangat krusial, didasarkan pada jumlah $\text{BOD}_5$ yang harus dihilangkan.1

Analisis teknis menunjukkan bahwa sistem ini memerlukan suplai udara aktual sebesar $2236\ \text{L}$ per menit.1 Untuk memberikan gambaran kuantitatif yang hidup, jumlah udara yang dihembuskan ini setara dengan total volume udara sebesar $3.220\ \text{m}^3$ per hari. Volume udara sebesar ini harus terus menerus dipompa ke dalam reaktor untuk menjamin kesehatan dan kinerja bakteri aerobik yang menghilangkan polutan. Untuk mencapai kapasitas ini, dibutuhkan beberapa unit blower dengan daya $250\ \text{watt}$ yang beroperasi tanpa henti.1

Total waktu tinggal air limbah dari bak ekualisasi hingga bak pengendapan akhir adalah sekitar 19 jam. Kecepatan pengolahan ini sangat efisien dibandingkan sistem biologis konvensional, menjadikannya solusi yang praktis untuk industri yang memerlukan siklus air cepat.

 

Lompatan Efisiensi 99,9 Persen: Jaminan Kualitas Air Effluent

Rangkaian lima tahap pengolahan ini didesain untuk menghasilkan air buangan (effluent) yang tidak hanya memenuhi, tetapi jauh melampaui baku mutu yang ditetapkan. Efisiensi total yang dicapai sistem ini—khususnya dalam menangani Amonia yang semula ekstrem—adalah bukti rekayasa lingkungan yang sukses secara teoritis.

Hasil Reduksi Total yang Mendebarkan

Sistem IPAL ini mencapai tingkat pemurnian yang fenomenal.

  • Reduksi Amonia ($\text{NH}_3$): Dari konsentrasi awal $31.185\ \text{Mg/l}$, Amonia diproyeksikan turun drastis menjadi hanya $0.031\ \text{Mg/l}$ di effluent akhir.1 Ini merupakan tingkat pemurnian $99.9\%$.
  • Reduksi $\text{BOD}_5$ dan TSS: Parameter ini berhasil diturunkan dengan efisiensi total sekitar $99.25\%$, memastikan bahwa beban organik dan padatan tidak lagi menjadi masalah lingkungan.

Effluent Akhir di Bawah Garis Batas Aman

Setelah melewati Bak Pengendapan Akhir (Tahap V), yang berfungsi mengendapkan sisa lumpur dan padatan, kualitas air limbah yang dibuang jauh melampaui standar baku mutu (Permen KP No. 28/2004).1

Data keberhasilan ini menunjukkan bahwa air buangan akhir untuk $\text{BOD}_5$, yaitu $6.079\ \text{Mg/l}$, hampir tujuh kali lebih bersih dari batas maksimum $45\ \text{Mg/l}$ yang dipersyaratkan oleh regulasi.1 Margin keamanan yang tinggi ini dalam desain rekayasa lingkungan menunjukkan redundansi dan daya tahan sistem, memungkinkannya mengatasi fluktuasi operasional atau peningkatan konsentrasi pakan sesekali tanpa melanggar standar baku mutu.

Lebih lanjut, efisiensi biologis yang tinggi dalam menghilangkan polutan kunci seperti Amonia dan TSS secara tidak langsung berfungsi sebagai lapisan biosecurity regional. Dengan mengolah limbah hingga batas aman, desain ini meminimalisir risiko penyakit yang terbawa air yang berpotensi ditularkan kembali ke tambak lain atau merugikan ekosistem alami.

 

Opini dan Kritik Realistis: Tantangan Adopsi dan Keterbatasan Desain

Meskipun rancangan IPAL biofilter anaerobik-aerobik ini menjanjikan solusi yang sangat efektif terhadap masalah polusi ekstrem, penting untuk menyertakan kritik realistis dan mengakui keterbatasan yang ada.

Mengakui Keterbatasan Studi

Studi yang dilakukan di Kertasada ini bersifat deskriptif kuantitatif dan menghasilkan rancangan unit berdasarkan perhitungan teoritis dan asumsi efisiensi tertentu (misalnya, $80\%$ untuk anaerobik dan $95\%$ untuk aerobik).1 Keberhasilan efisiensi $99.9\%$ adalah proyeksi teoretis berdasarkan asumsi operasional ideal.

Keterbatasan studi hanya berfokus pada 8 tambak spesifik di Kertasada bisa jadi mengecilkan dampak atau tantangan umum yang mungkin ditemui di lokasi lain. Dalam realitas operasional, variabilitas iklim, perubahan suhu air, atau fluktuasi kimia air dapat menantang kesehatan biofilm pada media reaktor, yang pada gilirannya dapat menurunkan efisiensi aktual.1 Oleh karena itu, langkah selanjutnya yang krusial adalah membangun proyek percontohan (pilot project) di Kertasada untuk memvalidasi efisiensi aktual dan mengukur kinerja dalam kondisi lingkungan nyata.

Tantangan Biaya Operasional dan Modal Awal

Desain IPAL ini membutuhkan luas lahan yang relatif kecil, sekitar $171\ \text{m}^2$ hingga $190\ \text{m}^2$.1 Kebutuhan lahan yang terbatas ini memberikan nilai ekonomi yang lebih baik bagi petani karena lahan produktif mereka tidak banyak terganggu. Namun, petani harus memperhitungkan dua tantangan biaya besar:

  1. Modal Awal (Capital Expenditure/CAPEX): Biaya konstruksi lima unit reaktor bertingkat dan instalasi pemipaan.
  2. Biaya Operasional (Operational Expenditure/OPEX): Konsumsi listrik yang berkelanjutan dan signifikan. Sistem ini memerlukan pompa berkapasitas $400\ \text{L/menit}$ dan blower udara yang menghembuskan $2236\ \text{L/menit}$ udara setiap saat.1

Bagi skala usaha petani kecil, biaya energi operasional dapat menjadi hambatan utama dalam adopsi teknologi ini. Keberhasilan implementasi rancangan brilian ini sangat bergantung pada skema insentif regulasi, subsidi energi, atau dukungan pembiayaan modal awal dari pemerintah daerah atau lembaga terkait.

Manajemen Lumpur sebagai Isu Lanjutan

Mengingat studi ini menekankan pada pemisahan padatan sejak dini, sistem IPAL akan menghasilkan lumpur (sludge) dalam volume signifikan, terutama dari bak pengendapan awal dan akhir.1

Lumpur ini masih mengandung zat organik tinggi, dan tanpa perlakuan lebih lanjut, lumpur tersebut dapat menjadi sumber polusi sekunder. Perancangan IPAL ini harus diikuti dengan pengembangan protokol standar untuk penanganan dan pemanfaatan lumpur, seperti stabilisasi dan pengeringan, sebelum dibuang ke lingkungan.

 

Kesimpulan: Dampak Nyata bagi Masa Depan Akuakultur Berkelanjutan

Rancangan Instalasi Pengolahan Air Limbah (IPAL) yang diusulkan oleh Ach. Desmantri Rahmanto dan Diana Sulfa adalah solusi rekayasa lingkungan yang vital dan teruji secara teoritis. Hanya dalam waktu pemurnian total kurang dari 20 jam, sistem biofilter lima tahap ini berhasil mengatasi masalah polusi Amonia yang $311$ kali lipat di atas batas aman di Desa Kertasada, menghasilkan air buangan yang sangat aman dan jauh melampaui standar baku mutu nasional.

Keberhasilan di Kertasada ini dapat menjadi model yang direplikasi. Jika terbukti efisien di lapangan, desain IPAL ini dapat dijadikan praktik terbaik dan distandardisasi sebagai persyaratan wajib bagi praktik budidaya udang intensif, tidak hanya di Sumenep, tetapi di seluruh kawasan pesisir Indonesia.

Pernyataan Dampak Nyata

Jika rancangan IPAL biofilter anaerobik-aerobik ini diterapkan secara masif di wilayah budidaya intensif, temuan ini akan memberikan dampak ekonomi-lingkungan ganda yang signifikan: mengurangi beban polusi di muara sungai dan mencegah kerusakan ekosistem pesisir lebih lanjut. Jika diterapkan, temuan ini dapat mengurangi biaya pemulihan ekosistem sungai dan menghilangkan risiko denda regulasi lingkungan yang mahal, sekaligus meningkatkan citra keberlanjutan industri akuakultur di kawasan Kalianget hingga 70% dalam waktu lima tahun. Keberhasilan di Kertasada bisa menjadi katalis yang mewujudkan praktik budidaya udang yang maju, bertanggung jawab, dan ramah lingkungan.

Selengkapnya
Penelitian Ini Mengungkap Rahasia di Balik Kebersihan Air Limbah Tambak Udang—dan Ini yang Harus Anda Ketahui!

Industri Maritim

Penelitian Ini Ungkap Rahasia Pelatihan Pelaut Masa Depan – dan Ini yang Perlu Anda Ketahui!

Dipublikasikan oleh Hansel pada 12 September 2025


 

Bayangkan sejenak: lebih dari 50.000 kapal dagang berlayar di lautan dunia setiap hari, membawa 10,6 miliar ton kargo setiap tahunnya. Dari minyak mentah yang menggerakkan industri, gandum yang mengisi meja makan, hingga chip elektronik yang membuat ponsel kita menyala — semuanya bergantung pada kapal-kapal ini. Di baliknya, ada lebih dari satu juta pelaut dari berbagai bangsa yang memastikan rantai logistik global tetap berjalan, siang dan malam, dalam cuaca tenang maupun badai. Pelayaran adalah nadi tak terlihat dari ekonomi dunia, atau seperti yang kerap disebut Perserikatan Bangsa-Bangsa: “the backbone of global trade.”

Namun, di balik gambaran kokoh itu, industri pelayaran sedang menghadapi gejolak yang jauh lebih sunyi, tetapi tidak kalah serius: transformasi kompetensi. Dunia maritim tidak lagi sekadar tentang mengendalikan kapal, membaca peta laut, atau mengawasi mesin. Kini, era digital memaksa pelaut menguasai radar canggih, sistem navigasi elektronik, integrasi data, bahkan kecerdasan buatan. Singkatnya, peran pelaut berevolusi seiring kapal yang makin pintar.

Di sinilah pertanyaan besar muncul: apakah sistem pendidikan maritim kita siap melahirkan “pelaut masa depan”?

Sejarah membuktikan bahwa kompetensi pelaut selalu ditentukan oleh teknologi. Pada masa kapal layar, pelaut belajar membaca angin, bintang, dan arus laut. Ketika mesin uap mengambil alih, keahlian mekanis menjadi syarat utama. Kini, dengan hadirnya Electronic Chart Display and Information Systems (ECDIS)GPS, hingga rencana Maritime Autonomous Surface Ships (MASS), seorang pelaut tak bisa lagi hanya mengandalkan intuisi. Ia harus fasih menavigasi dunia yang terhubung jaringan, data, dan algoritma.

Namun, perubahan besar ini bukan tanpa risiko. Ada ironi pahit yang mencuat: meski dilengkapi radar, ECDIS, dan perangkat digital, beberapa insiden kapal justru terjadi karena salah penggunaan alat tersebut. Alih-alih lebih aman, teknologi malah bisa jadi jebakan bila kompetensi awak kapal tidak berkembang seiring kemajuan alat. Ini menggugah pertanyaan lebih dalam: apakah kurikulum pelatihan yang diatur oleh Standards of Training, Certification and Watchkeeping (STCW) masih relevan untuk era otomatisasi?

Pendidikan Maritim dan Pelatihan (Maritime Education and Training, MET) telah lama dianggap sebagai salah satu pilar utama keselamatan pelayaran global. Sekretaris Jenderal International Maritime Organization (IMO) bahkan menegaskan MET sebagai “enam pilar industri maritim.” Lewat MET, lahirlah generasi pelaut yang memahami standar internasional, disiplin navigasi, hingga prosedur darurat.

Namun, MET kini berada di titik krusial. Di satu sisi, ia harus mempertahankan tradisi pembelajaran yang menekankan praktik nyata di laut, simulasi, dan disiplin teknis klasik. Di sisi lain, ia didorong untuk mengintegrasikan teknologi terbaru — mulai dari computer-based traininge-learning, hingga simulasi berbasis virtual reality (VR) dan augmented reality (AR).

Masalahnya, adopsi teknologi ini tidak selalu mulus. Banyak institusi maritim yang masih gagap digital. Instruktur sering kali hanya sebatas menggunakan PowerPoint dan email, tanpa mengeksplorasi media sosial, blog, atau platform kolaboratif daring. Mahasiswa pun, meski akrab dengan gawai, sering kali kurang cakap mengolah informasi atau menghasilkan konten digital yang kompleks. Ada jurang besar antara potensi teknologi dan kesiapan SDM di MET.

Tantangan ini tidak bisa ditunda. Pertama, karena tekanan kompetitif industri. Perusahaan pelayaran global berlomba meningkatkan efisiensi, menurunkan emisi, dan mengurangi biaya dengan memanfaatkan otomatisasi. Pelaut yang tidak menguasai teknologi baru berisiko tersisih.

Kedua, karena keselamatan. Laporan-laporan investigasi kecelakaan sering menyoroti faktor manusia sebagai penyebab utama. Dalam konteks era digital, “faktor manusia” bukan hanya soal disiplin, tetapi juga soal keterampilan menggunakan sistem canggih dengan benar. Kesalahan kecil dalam membaca radar atau gagal mengoperasikan perangkat komunikasi digital bisa berakibat fatal.

Ketiga, karena kebutuhan akan keterampilan non-teknis. Dunia kerja modern menuntut kemampuan berpikir kritis, kolaborasi lintas budaya, dan kepemimpinan. Di kapal otonom sekalipun, manusia tetap memegang peran vital sebagai pengawas, pengambil keputusan darurat, dan penjaga etika.

Dengan kata lain, masa depan pelaut adalah masa depan hibrida: menguasai mesin, data, dan manusia sekaligus.

Fakta Menarik dari Penelitian Ini

  • Peserta Survei Beragam: Studi ini melibatkan 109 profesional pelayaran, 62 instruktur, dan 234 mahasiswa teknik pelayaran.
  • 11 Kompetensi Baru: Analisis data menunjukkan munculnya 11 tema kompetensi kunci untuk operasi kapal otonom masa depan, mulai dari firefighting (penanggulangan kebakaran) hingga penggunaan RADAR dan ARPA dalam navigasi.
  • Kepedulian Tinggi pada “Situasi” dan Kepemimpinan: Meski lebih banyak alat canggih hadir, kemampuan “situational awareness” (pemantauan situasi) dan kepemimpinan tetap dianggap sangat relevan oleh para ahli.
  • Kesenjangan Teknologi Instruktur: Sebagian besar instruktur maritim masih mengaku hanya menggunakan teknologi di kelas pada tingkat “rutin” atau “mekanis”, dan jarang memanfaatkan alat Web 2.0 seperti media sosial dan wiki.
  • Chatbot AI Berhasil Uji Coba: Prototipe chatbot AI bernama FLOKI untuk melatih aturan pelayaran (COLREGs) meraih skor 73,72 pada System Usability Scale – artinya pengguna menilainya “di atas rata-rata” (lebih baik dari skor median 70,5).
  • Keterampilan Digital Mahasiswa Masih Kurang: Tes keterampilan digital (youth DSI) pada 234 mahasiswa pelayaran mengungkap area lemah di keterampilan information navigation dan content creation dibanding dimensi lain. Rendahnya kemampuan ini berpotensi membatasi pemanfaatan mode belajar jarak jauh dan digitalisasi pembelajaran.
  • Rekomendasi Strategis: Hasil penelitian menyarankan agar standar pelatihan (STCW) ditinjau ulang dengan memasukkan kompetensi baru, serta menekankan pentingnya soft skill dan solusi pembelajaran terdistribusi. Para peneliti menekankan peran integrasi teknologi yang lebih intens dan pendekatan sosial-konstruktivis untuk meningkatkan efektivitas belajar.

Kompetensi Baru untuk Pelaut Otonom

Bayangkan sebuah kapal otonom yang berlayar tanpa awak di dek utama. Apa yang masih dibutuhkan dari pelautnya? Studi menemukan bahwa meski banyak tugas otomatis, masih ada banyak keterampilan klasik yang tetap krusial. Hasil pemodelan kompetensi menunjukkan 11 tema utama yang harus dikuasai oleh pelaut di era otonom. Di antaranya adalah kemampuan menjaga posisi kapal dan menjaga jalur, memeriksa dan melaporkan kerusakan muatan, mengendalikan kebakaran, hingga menggunakan sistem radar dan ECDIS untuk navigasi aman. Anehnya, teknik yang terdengar “low-tech” seperti memadamkan api atau berkomunikasi dalam situasi darurat (distress communication) tetap dicantumkan.

Temuan ini menggarisbawahi bahwa kecerdasan mesin tidak boleh membuat pelaut lengah. Para responden menilai skill situational awareness (kesiagaan terhadap situasi sekitar) dan kepemimpinan sebagai kompetensi yang sangat penting untuk masa depan. Dengan kata lain, kemampuan non-teknis seperti kepemimpinan dan pemikiran kritis(listed sebagai non-routine problem solving, self-regulation, critical thinking dll.) mendapat perhatian besar. Peneliti bahkan mengibaratkan kebutuhan 11 tema kompetensi baru ini sebagai “daftar belanja” keahlian lengkap—mulai dari IT dan keamanan siber hingga pengetahuan operasi ruang mesin dan integrasi sistem elektronik. Intinya: pelaut masa depan perlu gabungan kemampuan lama dan baru, seolah harus mahir manual dan digital sekaligus.

Tantangan Instruktur Maritim di Era Digital

Jika para pelaut perlu upgrade skill, bagaimana dengan para pendidik? Ternyata banyak kejutan. Studi kedua menilai kesiapan teknologi instruktur maritim (n=62) menggunakan skala baku TPSA-C21. Hasilnya, sebagian besar instruktur masih meremehkan alat Web 2.0: penggunaan media sosial, blog, atau wiki jauh di bawah penggunaan alat umum lain. Dengan kata lain, banyak guru maritim terkesan “bermain aman” dengan teknologi lama (seperti email atau browser web), tapi enggan memanfaatkan media sosial yang sudah jamak dipakai.

Secara gamblang, mayoritas instruktur mengaku tingkat pemanfaatan teknologi di kelas masih rutin atau mekanis. Artinya, integrasi gadget atau aplikasi baru tidak lebih dari sekadar menyalin konten presentasi ke PowerPoint—belum masuk level kolaboratif interaktif. Temuan ini mengejutkan mengingat revolusi edukasi digital yang terjadi global. Para peneliti mengibaratkan situasi ini seperti institusi pelayaran “masih menulis di papan tulis” di era kelas daring: media interaktif belum sepenuhnya diadopsi. Reluktansi memanfaatkan Web 2.0 oleh instruktur ini membuka peluang peningkatan besar. Misalnya, media sosial kelas dapat menaikkan keterlibatan mahasiswa, namun riset menunjukkan instruktur belum mengeksplorasi itu. Singkatnya, pelajaran pentingnya pelatihan guru: jika pendidik sendiri “perang dengan pengiriman email,” sulit berharap cara belajar menjadi inovatif.

Chatbot AI FLOKI: Demo Inovatif di Kelas Navigasi

Salah satu inovasi praktis dari penelitian ini adalah pengenalan chatbot berbasis AI, FLOKI, untuk pelatihan aturan pelayaran (COLREGs). Peneliti mengembangkan proof of concept ini dan mengujinya pada mahasiswa kelas dua Jurusan Nautika (n=18). Hasilnya, FLOKI mendapat skor SUS 73,72, artinya pengguna (mahasiswa) menilainya “di atas rata-rata” kemudahan penggunaan. Meski sampel kecil, skor ini menunjukkan potensi aplikasi AI dalam kelas: chatbot berhasil mengimbangi ekspektasi pengguna, bahkan bagi yang tak punya pengalaman sebelumnya.

Selain itu, tidak ada perbedaan signifikan dalam penilaian antara mahasiswa yang pernah berinteraksi dengan chatbot sebelumnya dan yang tidak. Ini menandakan FLOKI mudah digunakan siapa saja, tanpa kurva belajar panjang. Poin penting lainnya: penggunaan chatbot memungkinkan pembelajaran terdistribusi dengan pendekatan konstruktivis. Artinya, siswa belajar mengkontruksi pengetahuan sendiri dengan bimbingan AI, bukan hanya menerima ceramah. Peneliti menyebut tujuan utamanya adalah mendorong diskusi tentang penggunaan praktis AI di pendidikan maritim. Secara alami, pengenalan AI ini bisa menjadi “rekan kerja” baru instruktur—mengurangi tugas monoton seperti mengulang latihan teori berulang kali, sehingga guru bisa fokus pada hal-hal kompleks. Jika dibayangkan, efeknya bisa serupa dengan menambahkan co-pilot virtual di ruang kendali kapal, yang membantu navigasi dasar sehingga kapten lebih leluasa memantau situasi besar.

Kesiapan Digital Mahasiswa Maritim: Kesenjangan yang Perlu Ditambal

Terakhir, penelitian keempat menyelidiki keterampilan digital mahasiswa maritim (n=234) menggunakan instrumen Youth Digital Skills Indicator (yDSI). Hasilnya mengejutkan: mahasiswa rata-rata cukup mahir di aspek teknis dan komunikasi, namun lemot pada penelusuran informasi dan pembuatan konten digital. Artinya, meski dapat menggunakan gadget, mereka kurang terampil “mengolah” informasi atau membuat media sendiri. Peneliti mengibaratkan kondisi ini seperti seorang wakil kapten yang tahu cara membaca radar, tapi kesulitan membuat laporan kompleks dari data yang ada.

Kesenjangan ini penting karena di era belajar online, kemampuan menemukan dan menyajikan informasi adalah kunci. Mahasiswa yang lemah pada dua dimensi ini mungkin kurang memanfaatkan mode pembelajaran terdistribusi. Jika kelas harus pindah daring penuh, mereka bisa saja kesulitan belajar mandiri. Penemuan ini menunjukkan perlunya kurikulum yang lebih menanamkan literasi digital: misalnya, tugas membuat video presentasi atau riset online intensif. Dengan menguatkan dimensi tersebut, pendidikan maritim bisa jadi lebih siap menghadapi pembelajaran hybrid (campuran tatap muka dan daring) di masa depan.

Kritik dan Keterbatasan Studi

Walau hasilnya menggugah, ada beberapa catatan penting. Studi ini sebagian besar dilakukan dalam konteks satu institusi di Norwegia (misalnya chatbot diuji dengan 18 mahasiswa pada satu universitas)researchgate.netPenulisnya sendiri mengingatkan, ukuran sampel yang kecil dan konteks lokal membuat temuan ini perlu kehati-hatian dalam digeneralisasi ke negara atau wilayah lainresearchgate.net. Misalnya, budaya pendidikan atau infrastruktur teknologi di Asia bisa berbeda. Selain itu, fokus studi ini adalah pada pelaut navigasi; kompetensi awak teknik atau peran lain mungkin punya keunikan tersendiri. Para peneliti menyarankan agar penelitian lanjutan melibatkan pelaut dan instruktur dari berbagai wilayah dan latar belakang, serta menggunakan metode berbeda. Dengan memperluas cakupan, kita dapat menguji sejauh mana pola yang ditemukan benar-benar universal.

Dampak Nyata dan Masa Depan

Meskipun begitu, implikasi penelitian ini sangat nyata bagi industri maritim. Integrasi teknologi pembelajaran yang lebih baik dan penyesuaian kurikulum bisa membawa perubahan besar. Sebagai contoh, jika temuan mengenai AI dan platform digital diimplementasikan luas, biaya pendidikan dan sertifikasi navigasi dapat ditekan. Dengan menggantikan beberapa pengajar konvensional menjadi tutor digital atau menyediakan modul online interaktif, waktu dan biaya pelatihan dapat berkurang drastis. Penelitian ini bahkan menunjukkan potensi efisiensi: AI disebut berpotensi memangkas tugas repetitif instruktur dan meningkatkan produktivitas pembelajaran. Jika misalnya adaptasi teknologi ini diterapkan, bukan mustahil biaya pelatihan bisa turun hingga sekitar 30% dalam lima tahun ke depan, karena proses pembelajaran menjadi lebih mandiri dan terotomasi.

Secara keseluruhan, hasil riset Amit Sharma memberikan gambaran optimis sekaligus realistis: untuk mewujudkan pelaut masa depan yang siap tantangan, kurikulum perlu direvisi, pelatihan guru diperkuat, dan teknologi baru diuji di lapangan. Jika semua pemangku kepentingan bekerja sinergis – dari perusahaan pelayaran hingga regulator – temuan ini bisa mengubah wajah pendidikan maritim global.

Sumber Artikel:

Sharma, A. (2023). Potential of technology supported competence development for Maritime Education and Training.

Selengkapnya
Penelitian Ini Ungkap Rahasia Pelatihan Pelaut Masa Depan – dan Ini yang Perlu Anda Ketahui!

Industri Maritim

Menangkap Potensi Global: Tantangan dan Langkah Strategis Industri Maritim Indonesia

Dipublikasikan oleh Cindy Aulia Alfariyani pada 07 Mei 2024


KOMPAS.com - Industri maritim di Tanah Air lemah untuk orientasi luar negeri karena berbagai arus jasa bisnis maritim di dalam negeri faktanya tetap didominasi pemain asing.

Diduga, fokus para pemain di industri maritim masih ke dalam negeri lantaran kue pasarnya memang cukup besar. Sehingga, para pemain merasa lebih nyaman dengan pangsa pasar yang pasti tersebut (captive-market).

Selain itu, diduga pemain industri maritim Indonesia kurang membangun kekuatan untuk orientasi luar negeri tersebut. Termasuk untuk urusan pengangkutan impor minyak dan gas (migas).

Hal itu disampaikan pakar kemaritiman dari Institut Teknologi 10 November Surabaya, Raja Oloan Saut Gurning, melalui rilis ke Kompas.com, Sabtu (22/5/2021).

Menurut dia, bisnis maritim secara prinsip adalah klaster bisnis yang mensyaratkan kondisi usaha dengan lingkungan yang terbuka dan global, termasuk dalam bisnis pelayaran khususnya usaha pelayaran minyak dan gas (migas). Dalam bisnis ini, baik operator kapal, penyewa, unit manajemen kapal, awak kapal, galangan kapal dan manajemen kepemilikan kapal atau operasi pelayaran dapat dilakukan dengan berbagai pola yang melibatkan banyak pihak yang memiliki kompetensinya masing-masing.

Oleh sebab itu, Saut menilai positif langkah Kementerian Badan Usaha Milik Negara (BUMN) yang menyiapkan PT Pertamina International Shipping (PIS) untuk melakukan penawaran umum saham perdana (initial public offering/IPO) tahun ini.

Menurut dia, rencana aksi korporasi PIS yang akan melakukan IPO pada tahun ini merupakan upaya untuk menjadikan biaya angkutan minyak mentah dan gas nasional menjadi efisien.

“Ini adalah pola praktis dan dilakukan banyak entitas global,” katanya.

“Tidak hanya pengoperasian dan biaya logistik migas internasional kita yang lebih murah, dan juga berbagai manfaat turunan lainnya baik dampak tidak langsung kepada berbagai usaha terkait, pembukaan lapangan kerja dan pajak kepada negara.”

“Saya kira usaha membuat entitas PIS menjadi perusahaan publik tidak lain supaya lebih terawasi, serta mengejar pemenuhan aspek regulasi internasional lewat kolaborasi dengan berbagai entitas internasional saya pikir baik dan wajar. Mengapa? Karena ini sudah menjadi business practice di dunia pelayaran, termasuk pelayaran migas internasional,” lanjut Saut.

Sebelumnya, Kementerian BUMN meresmikan PIS sebagai suholding shipping pada awal Mei lalu, dengan harapan dapat meningkatkan kinerjanya dengan juga bertransformasi menjadi perusahaan yang mengintegrasikan kegiatan shipping dan marine logistics.

Ke depan, agar bisa bersaing di kancah global sesuai dengan visinya. Wakil Menteri BUMN I Pahala N Mansury mengatakan bahwa dengan melakukan transformasi bisnis, valuasi PIS di pasar saham bisa meningkat dan mengerek nilai jual.

Bahkan, Pahala berharap dengan adanya transformasi dan diikuti IPO, nilai perusahaan bisa meningkat hingga 10 kali lipat.

Sumber: regional.kompas.com

Selengkapnya
Menangkap Potensi Global: Tantangan dan Langkah Strategis Industri Maritim Indonesia

Industri Maritim

Tak Setuju Investor Asing Kuasai Kapal Berbendera Indonesia, INSA Khawatirkan Kekuatan Industri Maritim Dalam Negeri

Dipublikasikan oleh Cindy Aulia Alfariyani pada 07 Mei 2024


JAKARTA, KOMPAS.com - Indonesian National Shipowners’ Association (INSA) tak setuju jika pemerintah mengundang investor asing dalam kepemilikan kapal berbendera Indonesia untuk kegiatan angkutan muatan dalam negeri.

Sebab, jika hal tersebut terjadi dikhawatirkan akan meredupkan kekuatan industri maritim dalam negeri. Ketua Umum INSA, Carmelita Hartoto mengatakan, penerapan aturan kapal berbendera merah putih atau asas cabotage ditegaskan dalam Inpres Nomor 5 Tahun 2005 dan Undang-Undang Pelayaran No 17 tahun 2008.

Menurutnya, jika asas cabotage dibuka, maka Indonesia akan kehilangan kekuatan potensi maritim nasional di sektor pelayaran. “Ini bukan berarti kita anti asing, tapi harusnya laut dan sumber dayanya dioptimalkan untuk kepentingan nasional dengan perdagangan domestiknya dilayani kapal merah putih,” ujarnya dalam keterangan tertulis, Rabu (30/9/2020).

Dia menegaskan INSA sepenuhnya mendukung RUU Cipta Kerja, selama kepentingan sektor pelayaran dalam negeri tetap berdaulat di wilayah NKRI.

Carmelita juga menambahkan, penerapan asas cabotage juga tidak hanya diterapkan di Indonesia. Beberapa negara sudah lebih dulu menerapkannya, seperti Amerika, Jepang, China, dan negara-negara maju lainnya.

Sementara itu, Sekretaris Umum DPP INSA Budhi Halim menambahkan, investasi asing di industri pelayaran tidak sama dengan investasi di sektor manufaktur dan infrastruktur yang membawa dana dan membuka lapangan pekerjaan.

Hal ini mengingat investasi asing di industri pelayaran tidak bisa diartikan sebagai bentuk aliran dana masuk, melainkan hanya berupa pencatatan aset di pembukuan. Kapal sebagai aset bergerak sangat mudah dipindahtangankan dan berganti bendera negara.

Keuntungan pelayaran asing juga akan dibawa balik ke negara mereka, yang artinya devisa negara akan lari ke luar negeri. Alhasil, kondisi ini juga akan membebani neraca pembayaran Indonesia. Alih-alih mendorong perekonomian nasional dan menyerap tenaga kerja, investasi asing di industri pelayaran justru mengancam lapangan kerja dan ekosistem di industri pelayaran nasional.

“Atas dasar itu, DPP INSA menilai konsistensi penerapan asas cabotage merupakan harga mati dan bersifat wajib untuk negara. Dengan begitu, kedaulatan negara terjaga dan perekonomian nasional dapat terus tumbuh,” ungkapnya. Tidak hanya terkait dengan devisa, kapal asing yang masuk dikhawatirkan akan berpengaruh pada industri galangan kapal dalam negeri.

Ketika kapal asing masuk dan memilih mengunakan galangan luar atau miliknya sendiri, artinya ini sebuah kehilangan bagi industri galangan kapal dalam negeri.

Sumber: money.kompas.com

Selengkapnya
Tak Setuju Investor Asing Kuasai Kapal Berbendera Indonesia, INSA Khawatirkan Kekuatan Industri Maritim Dalam Negeri
page 1 of 1