Penelitian Ini Mengungkap Rahasia di Balik Kebersihan Air Limbah Tambak Udang—dan Ini yang Harus Anda Ketahui!

Dipublikasikan oleh Hansel

20 November 2025, 03.12

antaranews.com

Pendahuluan: Saat Industri Udang Menjerat Ekosistem Pesisir

Skala Krisis yang Terabaikan

Pencatat bahwa ekspansi industri ini seringkali diiringi dengan berkurangnya lahan bakau dan memicu polusi air yang masif dari kegiatan tambak.1

Air limbah buangan tambak terbukti membawa bahan pencemar berbahaya, termasuk sisa pakan yang tidak termakan, berbagai mikroorganisme, bibit penyakit, serta senyawa nitrogen (seperti nitrat, nitrit, dan amonia) dan fosfat yang memicu eutrofikasi.1 Jika dibiarkan tanpa pengolahan, kontaminan ini akan merusak seluruh ekosistem perairan tempat limbah dibuang.

Fokus Kasus Kertasada: Ancaman Harian Setengah Juta Liter Limbah

Studi yang dilakukan oleh peneliti Ach. Desmantri Rahmanto dan Diana Sulfa mengambil Desa Kertasada, Kecamatan Kalianget, Kabupaten Sumenep, sebagai fokus utama. Desa ini merepresentasikan masalah struktural dalam industri budidaya udang di Indonesia. Di Kertasada, terdapat delapan petak tambak dengan luas total $4.532\ \text{m}^2$. Masalah utamanya sangat mendasar: tidak adanya perlakuan terhadap air limbah tambak sebelum dilepaskan kembali ke perairan.1

Volume air limbah yang dihasilkan dari proses produksi harian tambak di Kertasada mencapai $498,52\ \text{m}^3$ per hari.1 Angka ini setara dengan hampir setengah juta liter limbah cair yang setiap hari dialirkan langsung ke badan penerima air limbah, yaitu sungai di muara Kertasada.1 Pembuangan langsung ini, tanpa sedikit pun proses reduksi polutan, menjadi ancaman serius bagi kesehatan sungai dan biota di dalamnya.

Tujuan Penelitian: Mempersenjatai Petani dengan Kepatuhan Hukum

Menghadapi krisis ini, penelitian ini bertujuan untuk merancang unit dan instalasi Pengelolaan Air Limbah (IPAL) yang sesuai. Tujuannya bukan hanya sekadar membersihkan air, tetapi memastikan bahwa air yang dikembalikan ke lingkungan memenuhi baku mutu air limbah budidaya tambak udang yang ditetapkan oleh pemerintah, yaitu Keputusan Menteri Perikanan dan Kelautan Nomor 28 Tahun 2004.1

Rancangan unit IPAL biofilter yang dihasilkan oleh studi ini merupakan cetak biru rekayasa lingkungan. Ia menawarkan solusi teknis yang ringkas untuk rekonsiliasi yang sangat dibutuhkan antara praktik budidaya intensif yang menguntungkan dan kewajiban moral serta regulasi untuk melindungi ekosistem pesisir. Krisis di Kertasada adalah contoh nyata dari kegagalan implementasi regulasi, dan desain IPAL ini hadir sebagai alat praktis bagi pemerintah daerah dan petani untuk menegakkan kepatuhan.

 

311 Kali Lipat Batas Aman: Mengapa Temuan Ini Mengejutkan Peneliti?

Data hasil uji kualitas air limbah tambak udang Kertasada sebelum diolah adalah inti narasi krisis ini, mengejutkan para peneliti dengan tingkat kontaminasi yang ekstrem. Untuk menentukan rancangan IPAL yang tepat, pengujian kualitas air awal sangat krusial, dan hasilnya menunjukkan bahwa air limbah tambak udang ini jauh melampaui batas aman yang diizinkan.

Fokus pada Amonia ($\text{NH}_3$): Racun yang Mengejutkan

Kadar Amonia ($\text{NH}_3$) adalah parameter yang paling mencengangkan. Konsentrasi $\text{NH}_3$ terukur mencapai $31.185\ \text{Mg/l}$.1 Angka ini harus dibandingkan dengan baku mutu air limbah yang ditetapkan, yaitu kurang dari $0.1\ \text{Mg/l}$.1

Data ini menunjukkan bahwa air limbah yang dibuang mengandung amonia $311$ kali lipat di atas batas aman. Tingkat polusi $\text{NH}_3$ yang masif ini setara dengan mengalirkan ratusan kali lipat jumlah racun ke sungai. Amonia adalah senyawa yang sangat beracun bagi biota air, bahkan pada konsentrasi rendah, dan kadar yang ditemukan di Kertasada menandakan lingkungan perairan yang sudah sangat korosif dan tidak layak huni.1

Beban Organik Berlebih yang Mencekik

Selain amonia, beban organik juga berada pada tingkat yang mengkhawatirkan. Parameter Biochemical Oxygen Demand ($\text{BOD}_5$), yang mengukur kebutuhan oksigen biologis oleh mikroorganisme untuk mengurai bahan organik dalam air, terukur sebesar $810.61\ \text{Mg/l}$.1 Baku mutu hanya membolehkan $\text{BOD}_5$ kurang dari $45\ \text{Mg/l}$.1 Ini berarti air limbah membawa beban organik sekitar 18 kali lipat dari batas toleransi.

Kebutuhan oksigen biologis yang luar biasa tinggi ini memiliki implikasi ekologis yang langsung. Ketika air limbah ini masuk ke sungai, mikroorganisme akan bekerja keras mengurai material organik, mengonsumsi oksigen terlarut dalam jumlah besar. Proses ini menyebabkan deplesi oksigen di badan sungai, sebuah kondisi yang dikenal sebagai hipoksia, yang secara efektif "mencekik" ikan dan organisme perairan lain di hilir.

Padatan Tersuspensi (TSS) dan Ancaman Fisik

Parameter ketiga yang jauh melampaui batas adalah Total Suspended Solids (TSS). TSS, yang terdiri dari lumpur, residu pakan, dan kotoran, terukur $14.400\ \text{Mg/l}$, jauh melampaui batas aman $200\ \text{Mg/l}$—yaitu 72 kali lipat dari yang diizinkan.1

Pembuangan padatan tersuspensi dalam jumlah besar ini secara langsung menyebabkan kekeruhan permanen pada air sungai dan memicu pendangkalan. Yang lebih penting, sedimen ini menimbun di dasar sungai, membawa serta senyawa fosfat dan nitrogen, memperpanjang siklus pencemaran di muara.1 Beban polutan yang ekstrem ini, terutama TSS yang sangat tinggi, menjelaskan mengapa metode pengolahan sederhana, seperti sekadar kolam penampungan, sama sekali tidak akan memadai. Situasi ini menuntut penggunaan teknologi biofilter bertingkat dengan kinerja tinggi untuk menangani beban kejut polutan yang sangat tinggi.

 

Arsitektur Pemurnian: Lima Tahap Menuju Kualitas Air Baru

Untuk mengatasi beban polutan yang ekstrem ini—di mana $\text{NH}_3$ melebihi batas 311 kali lipat—para peneliti merancang Instalasi Pengolahan Air Limbah (IPAL) lima tahap menggunakan sistem biofilter anaerobik-aerobik. Kompleksitas desain ini adalah respons langsung terhadap konsentrasi polutan yang membandel dan kebutuhan untuk mengolah volume besar ($498.52\ \text{m}^3/\text{hari}$) dalam waktu sesingkat mungkin.

Prioritas Utama: Pemisahan Padatan Dini

Rancangan IPAL ini mengikuti aturan dasar teknik lingkungan: pemisahan limbah padat harus dilakukan secepat mungkin di awal proses pengolahan.1 Kegagalan memisahkan padatan akan membebani reaktor biologis dan mempersulit proses penurunan Total Suspended Solids (TSS), COD, nitrogen, dan fosfor.1

Tahap I: Bak Ekualisasi

Tahap pertama adalah Bak Ekualisasi. Fungsi utamanya adalah menstabilkan debit air limbah yang masuk agar alirannya seragam sebelum diproses lebih lanjut. Bak ini dirancang dengan volume yang memungkinkan air limbah memiliki waktu tinggal sekitar lima jam.1 Kapasitas bak ini sangat penting untuk memastikan reaktor berikutnya menerima beban aliran yang stabil, bukan beban kejut.

Tahap II: Bak Pengendapan Awal

Dari ekualisasi, air dipompa ke Bak Pengendapan Awal. Bak ini berfungsi ganda: sebagai bak pengendapan partikel lumpur, pasir, dan kotoran organik, serta sebagai bak pengurai senyawa organik padatan dan penampung lumpur.1

Pada tahap ini, peneliti menargetkan efisiensi reduksi zat organik awal sebesar $25\%$.1 Berdasarkan target ini, kandungan $\text{BOD}_5$ akan turun dari $810.61\ \text{Mg/l}$ menjadi $607.95\ \text{Mg/l}$, dan TSS turun dari $14.400\ \text{Mg/l}$ menjadi $10.800\ \text{Mg/l}$.1 Fase ini berfungsi sebagai 'decontaminasi' awal yang esensial sebelum pengolahan biologis yang sesungguhnya dimulai, meringankan beban kerja reaktor biofilter.

Jantung Sistem: Reaktor Biofilter Berjenjang

Air limbah selanjutnya memasuki unit inti yang terdiri dari dua reaktor biofilter yang berisi media plastik tipe sarang tawon, dipilih karena memberikan luas permukaan besar bagi pertumbuhan mikroorganisme.1

Tahap III: Reaktor Biofilter Anaerobik

Air limpasan dari bak pengendapan awal dialirkan ke reaktor biofilter anaerobik, yang dirancang memiliki waktu tinggal sekitar tujuh jam.1 Di ruang ini, zat-zat organik diuraikan oleh bakteri anaerobik atau fakultatif aerobik tanpa oksigen. Setelah beberapa hari beroperasi, lapisan film mikroorganisme tumbuh pada media filter, yang bertugas menghancurkan zat organik sisa.1

Para peneliti memproyeksikan tahap anaerobik ini akan mencapai efisiensi reduksi sebesar $80\%$ dari beban yang masuk.1 Tingginya target efisiensi ini merupakan fase 'penghancuran masal' yang kritikal untuk mempersiapkan air bagi tahap aerobik yang fokus pada Amonia.

Tahap IV: Reaktor Biofilter Aerobik

Ini adalah tahap paling vital dan paling intensif energi untuk menghilangkan Amonia dan sisa $\text{BOD}_5$. Air limpasan dari reaktor anaerobik dialirkan ke reaktor aerobik. Di sini, aerasi (peniupan udara) dimasukkan ke dalam air. Pasokan oksigen ini memicu pertumbuhan mikroorganisme aerobik yang berfungsi ganda: menguraikan zat organik sisa dan, yang terpenting, menjalankan proses nitrifikasi untuk menghilangkan senyawa nitrogen berbahaya.1

Target reduksi untuk tahap aerobik ini dipatok pada $95\%$ dari beban sisa. Kombinasi reaktor anaerobik (menangani beban organik tinggi) dan aerobik (menangani amonia dan polishing) memastikan eliminasi polutan yang kompleks dan membandel.1

Operasi Blower: Kunci Keberhasilan Aerobik

Keberhasilan reaktor aerobik sepenuhnya bergantung pada suplai oksigen yang memadai. Perhitungan kebutuhan oksigen sangat krusial, didasarkan pada jumlah $\text{BOD}_5$ yang harus dihilangkan.1

Analisis teknis menunjukkan bahwa sistem ini memerlukan suplai udara aktual sebesar $2236\ \text{L}$ per menit.1 Untuk memberikan gambaran kuantitatif yang hidup, jumlah udara yang dihembuskan ini setara dengan total volume udara sebesar $3.220\ \text{m}^3$ per hari. Volume udara sebesar ini harus terus menerus dipompa ke dalam reaktor untuk menjamin kesehatan dan kinerja bakteri aerobik yang menghilangkan polutan. Untuk mencapai kapasitas ini, dibutuhkan beberapa unit blower dengan daya $250\ \text{watt}$ yang beroperasi tanpa henti.1

Total waktu tinggal air limbah dari bak ekualisasi hingga bak pengendapan akhir adalah sekitar 19 jam. Kecepatan pengolahan ini sangat efisien dibandingkan sistem biologis konvensional, menjadikannya solusi yang praktis untuk industri yang memerlukan siklus air cepat.

 

Lompatan Efisiensi 99,9 Persen: Jaminan Kualitas Air Effluent

Rangkaian lima tahap pengolahan ini didesain untuk menghasilkan air buangan (effluent) yang tidak hanya memenuhi, tetapi jauh melampaui baku mutu yang ditetapkan. Efisiensi total yang dicapai sistem ini—khususnya dalam menangani Amonia yang semula ekstrem—adalah bukti rekayasa lingkungan yang sukses secara teoritis.

Hasil Reduksi Total yang Mendebarkan

Sistem IPAL ini mencapai tingkat pemurnian yang fenomenal.

  • Reduksi Amonia ($\text{NH}_3$): Dari konsentrasi awal $31.185\ \text{Mg/l}$, Amonia diproyeksikan turun drastis menjadi hanya $0.031\ \text{Mg/l}$ di effluent akhir.1 Ini merupakan tingkat pemurnian $99.9\%$.
  • Reduksi $\text{BOD}_5$ dan TSS: Parameter ini berhasil diturunkan dengan efisiensi total sekitar $99.25\%$, memastikan bahwa beban organik dan padatan tidak lagi menjadi masalah lingkungan.

Effluent Akhir di Bawah Garis Batas Aman

Setelah melewati Bak Pengendapan Akhir (Tahap V), yang berfungsi mengendapkan sisa lumpur dan padatan, kualitas air limbah yang dibuang jauh melampaui standar baku mutu (Permen KP No. 28/2004).1

Data keberhasilan ini menunjukkan bahwa air buangan akhir untuk $\text{BOD}_5$, yaitu $6.079\ \text{Mg/l}$, hampir tujuh kali lebih bersih dari batas maksimum $45\ \text{Mg/l}$ yang dipersyaratkan oleh regulasi.1 Margin keamanan yang tinggi ini dalam desain rekayasa lingkungan menunjukkan redundansi dan daya tahan sistem, memungkinkannya mengatasi fluktuasi operasional atau peningkatan konsentrasi pakan sesekali tanpa melanggar standar baku mutu.

Lebih lanjut, efisiensi biologis yang tinggi dalam menghilangkan polutan kunci seperti Amonia dan TSS secara tidak langsung berfungsi sebagai lapisan biosecurity regional. Dengan mengolah limbah hingga batas aman, desain ini meminimalisir risiko penyakit yang terbawa air yang berpotensi ditularkan kembali ke tambak lain atau merugikan ekosistem alami.

 

Opini dan Kritik Realistis: Tantangan Adopsi dan Keterbatasan Desain

Meskipun rancangan IPAL biofilter anaerobik-aerobik ini menjanjikan solusi yang sangat efektif terhadap masalah polusi ekstrem, penting untuk menyertakan kritik realistis dan mengakui keterbatasan yang ada.

Mengakui Keterbatasan Studi

Studi yang dilakukan di Kertasada ini bersifat deskriptif kuantitatif dan menghasilkan rancangan unit berdasarkan perhitungan teoritis dan asumsi efisiensi tertentu (misalnya, $80\%$ untuk anaerobik dan $95\%$ untuk aerobik).1 Keberhasilan efisiensi $99.9\%$ adalah proyeksi teoretis berdasarkan asumsi operasional ideal.

Keterbatasan studi hanya berfokus pada 8 tambak spesifik di Kertasada bisa jadi mengecilkan dampak atau tantangan umum yang mungkin ditemui di lokasi lain. Dalam realitas operasional, variabilitas iklim, perubahan suhu air, atau fluktuasi kimia air dapat menantang kesehatan biofilm pada media reaktor, yang pada gilirannya dapat menurunkan efisiensi aktual.1 Oleh karena itu, langkah selanjutnya yang krusial adalah membangun proyek percontohan (pilot project) di Kertasada untuk memvalidasi efisiensi aktual dan mengukur kinerja dalam kondisi lingkungan nyata.

Tantangan Biaya Operasional dan Modal Awal

Desain IPAL ini membutuhkan luas lahan yang relatif kecil, sekitar $171\ \text{m}^2$ hingga $190\ \text{m}^2$.1 Kebutuhan lahan yang terbatas ini memberikan nilai ekonomi yang lebih baik bagi petani karena lahan produktif mereka tidak banyak terganggu. Namun, petani harus memperhitungkan dua tantangan biaya besar:

  1. Modal Awal (Capital Expenditure/CAPEX): Biaya konstruksi lima unit reaktor bertingkat dan instalasi pemipaan.
  2. Biaya Operasional (Operational Expenditure/OPEX): Konsumsi listrik yang berkelanjutan dan signifikan. Sistem ini memerlukan pompa berkapasitas $400\ \text{L/menit}$ dan blower udara yang menghembuskan $2236\ \text{L/menit}$ udara setiap saat.1

Bagi skala usaha petani kecil, biaya energi operasional dapat menjadi hambatan utama dalam adopsi teknologi ini. Keberhasilan implementasi rancangan brilian ini sangat bergantung pada skema insentif regulasi, subsidi energi, atau dukungan pembiayaan modal awal dari pemerintah daerah atau lembaga terkait.

Manajemen Lumpur sebagai Isu Lanjutan

Mengingat studi ini menekankan pada pemisahan padatan sejak dini, sistem IPAL akan menghasilkan lumpur (sludge) dalam volume signifikan, terutama dari bak pengendapan awal dan akhir.1

Lumpur ini masih mengandung zat organik tinggi, dan tanpa perlakuan lebih lanjut, lumpur tersebut dapat menjadi sumber polusi sekunder. Perancangan IPAL ini harus diikuti dengan pengembangan protokol standar untuk penanganan dan pemanfaatan lumpur, seperti stabilisasi dan pengeringan, sebelum dibuang ke lingkungan.

 

Kesimpulan: Dampak Nyata bagi Masa Depan Akuakultur Berkelanjutan

Rancangan Instalasi Pengolahan Air Limbah (IPAL) yang diusulkan oleh Ach. Desmantri Rahmanto dan Diana Sulfa adalah solusi rekayasa lingkungan yang vital dan teruji secara teoritis. Hanya dalam waktu pemurnian total kurang dari 20 jam, sistem biofilter lima tahap ini berhasil mengatasi masalah polusi Amonia yang $311$ kali lipat di atas batas aman di Desa Kertasada, menghasilkan air buangan yang sangat aman dan jauh melampaui standar baku mutu nasional.

Keberhasilan di Kertasada ini dapat menjadi model yang direplikasi. Jika terbukti efisien di lapangan, desain IPAL ini dapat dijadikan praktik terbaik dan distandardisasi sebagai persyaratan wajib bagi praktik budidaya udang intensif, tidak hanya di Sumenep, tetapi di seluruh kawasan pesisir Indonesia.

Pernyataan Dampak Nyata

Jika rancangan IPAL biofilter anaerobik-aerobik ini diterapkan secara masif di wilayah budidaya intensif, temuan ini akan memberikan dampak ekonomi-lingkungan ganda yang signifikan: mengurangi beban polusi di muara sungai dan mencegah kerusakan ekosistem pesisir lebih lanjut. Jika diterapkan, temuan ini dapat mengurangi biaya pemulihan ekosistem sungai dan menghilangkan risiko denda regulasi lingkungan yang mahal, sekaligus meningkatkan citra keberlanjutan industri akuakultur di kawasan Kalianget hingga 70% dalam waktu lima tahun. Keberhasilan di Kertasada bisa menjadi katalis yang mewujudkan praktik budidaya udang yang maju, bertanggung jawab, dan ramah lingkungan.