Industri Kontruksi

Transformasi Digital Konstruksi: Posisi Indonesia dalam Penerapan IoT Global

Dipublikasikan oleh Izura Ramadhani Fauziyah pada 08 Mei 2025


Mengapa IoT Penting untuk Masa Depan Konstruksi?

Revolusi industri 4.0 menuntut setiap sektor untuk beradaptasi secara digital, termasuk industri konstruksi yang selama ini dikenal sebagai salah satu sektor paling lambat dalam mengadopsi teknologi. Internet of Things (IoT) konsep di mana perangkat fisik terhubung dan berkomunikasi melalui internet tanpa campur tangan manusia secara langsung menjadi tulang punggung dari transformasi digital ini. Artikel karya Wimala dan Imanuela mencoba menjawab pertanyaan penting: “Sejauh mana penerapan IoT di industri konstruksi, khususnya di Indonesia?”

Tujuan dan Metodologi Penelitian

Penelitian ini bertujuan untuk mengevaluasi perkembangan dan kesenjangan penerapan IoT dalam industri konstruksi antara Indonesia dan beberapa negara maju lainnya. Dengan menggunakan metode bibliometrik dan perangkat lunak Publish or Perish 7, penulis menganalisis 46 karya ilmiah dari tahun 2010 hingga 2021 yang berkaitan dengan IoT di industri konstruksi. Lima ranah utama yang dikaji dalam penelitian ini adalah:

  1. Construction Safety,
  2. Machine Control,
  3. Site Monitoring,
  4. Fleet Management,
  5. Project Management.

Negara-negara yang dianalisis mencakup Cina, Jepang, Korea Selatan, Malaysia, Amerika Serikat, dan Inggris, sementara Indonesia dijadikan studi banding sebagai negara berkembang dengan adopsi teknologi yang relatif baru.

Hasil Penelitian: Di Mana Posisi Indonesia?

Fakta Penting:

  • China mendominasi dengan 19 publikasi, mewakili 41% dari total karya ilmiah yang dikaji. Fokus utama mereka adalah construction safety.
  • Indonesia baru mulai menerapkan IoT di sektor konstruksi sekitar tahun 2018 terpaut 16 tahun dibanding Jepang yang sudah memulainya sejak 2002.
  • Rata-rata h-index penulis di Indonesia dalam topik ini hanya 5, jauh dibandingkan penulis luar negeri dengan rata-rata 139.
  • Investasi R&D Indonesia hanya 0,1% dari PDB, sangat tertinggal dibanding Korea (4,81%), Jepang (3,56%), atau China (2,2%).

Lima Ranah IoT di Konstruksi: Siapa Unggul di Mana?

1. Construction Safety (Keselamatan Kerja)

China unggul dalam penerapan early warning system berbasis sensor untuk mendeteksi potensi bahaya seperti radiasi, getaran, dan listrik. Sistem ini memiliki tingkat keberhasilan deteksi hingga 98% dalam 7 hari pertama dan 92% dalam 60 hari. Inisiatif besar pemerintah seperti Construction Information Management Service Sharing (CIMSS) juga mendukung digitalisasi data proyek, mengurangi penggunaan kertas hingga 40% dan mempercepat pengiriman dokumen proyek sebesar 7,3%.

2. Fleet Management

Inggris menjadi pionir dengan memanfaatkan IoT untuk mengatur pengiriman material secara presisi menggunakan sensor dan sistem pembayaran otomatis. Efeknya bukan hanya meningkatkan efisiensi logistik, tetapi juga memangkas kebutuhan tenaga kerja di lapangan, yang berpotensi menghemat dana hingga 14,6 triliun USD secara global.

3. Site Monitoring

Malaysia masih menggunakan sistem manual berbasis kertas, namun tengah bertransisi ke sistem digital. Pemerintahnya telah mengeluarkan National IoT Roadmap 2015 untuk mempercepat adopsi teknologi monitoring proyek berbasis sensor dan augmented reality.

4. Project Management

Amerika Serikat, sebagai negara asal banyak inovasi digital, menerapkan BIM (Building Information Modeling) yang terintegrasi dengan IoT. Sejak 2010, beberapa negara bagian mewajibkan penggunaan BIM untuk proyek pemerintah. IoT diintegrasikan untuk pengambilan keputusan real-time, pelacakan aset, dan manajemen biaya proyek secara otomatis.

5. Machine Control

Korea Selatan menjadi pionir dalam otomatisasi mesin konstruksi. Sejak tahun 2014, mereka menghadapi krisis kekurangan tenaga kerja konstruksi, sehingga pada 2020, pemerintah mengucurkan dana sebesar $173 juta untuk mewujudkan Smart Construction 2025. Targetnya, pada 2030 seluruh proses konstruksi akan sepenuhnya otomatis, termasuk penggunaan IoT untuk maintenance mesin secara real-time.

Bagaimana dengan Indonesia?

Baru sejak 2018 IoT mulai masuk ke sektor konstruksi Indonesia, bersamaan dengan maraknya penggunaan perangkat wearable seperti smartwatch. Hingga kini, kontribusi terbesar justru datang dari perusahaan BUMN PT Waskita Karya, yang mengembangkan teknologi HoloLens—kacamata realitas campuran yang terhubung dengan model BIM untuk komunikasi proyek digital.

Dari sisi kebijakan, Kementerian Komunikasi dan Informatika telah merilis Peraturan Menteri No. 1 Tahun 2019 mengenai izin penggunaan frekuensi untuk perangkat IoT. Namun, belum ada peta jalan (roadmap) nasional yang secara khusus menargetkan IoT di sektor konstruksi.

Kesenjangan Kunci: Apa yang Membuat Indonesia Tertinggal?

Faktor-faktor yang dikaji dalam artikel ini meliputi:

  • Rendahnya Investasi R&D: Hanya 0,28% dari PDB nasional yang dialokasikan untuk penelitian dan pengembangan.
  • Tidak adanya Roadmap khusus konstruksi IoT, seperti “Smart Construction 2025” di Korea atau “Construction 2025” di Inggris.
  • Kurangnya sinergi antara industri dan lembaga riset, terlihat dari jumlah publikasi ilmiah yang masih sangat rendah.
  • Keterbatasan SDM dan teknologi pendukung, termasuk pemahaman atas platform BIM, sensor digital, dan teknologi wearable.

Potensi Pasar dan Arah Masa Depan

Ketua Umum Asosiasi IoT Indonesia (ASIOTI) menyebut bahwa pada 2022, nilai pasar IoT di Indonesia bisa mencapai Rp350 triliun, dengan 400 juta sensor aktif. Ini mencerminkan peluang besar yang belum sepenuhnya dimanfaatkan oleh sektor konstruksi. Dengan pasar sebesar itu, sektor konstruksi bisa menjadi pemicu revolusi digital berikutnya jika adopsi teknologi dilakukan secara terencana dan masif.

Kritik dan Saran Pengembangan

Artikel ini sangat informatif dalam membandingkan posisi Indonesia dengan negara-negara maju lainnya. Namun, ada beberapa hal yang dapat dikembangkan ke depan:

  • Tambahan data primer: Artikel ini sepenuhnya berbasis kajian literatur; ke depan sebaiknya dilengkapi dengan data lapangan dari proyek konstruksi aktual di Indonesia.
  • Analisis risiko dan kendala implementasi: Belum dibahas secara mendalam potensi hambatan seperti keamanan siber, interoperabilitas platform, atau tantangan biaya awal.
  • Studi kasus spesifik di Indonesia: Hanya Waskita Karya yang disebut; akan lebih kuat jika ada lebih banyak contoh aktual dari perusahaan swasta atau proyek pemerintah.

Kesimpulan: Indonesia Perlu Langkah Konkret untuk Kejar Ketertinggalan

Secara umum, penelitian ini memberikan gambaran menyeluruh tentang kemajuan implementasi IoT di sektor konstruksi global dan posisi Indonesia yang masih jauh tertinggal. Meski demikian, peluang untuk mengejar ketertinggalan sangat terbuka, mengingat pertumbuhan pesat pasar IoT domestik dan kebutuhan mendesak akan efisiensi di sektor konstruksi.

Indonesia butuh:

  • Investasi R&D yang signifikan,
  • Kebijakan nasional spesifik tentang IoT di konstruksi,
  • Kolaborasi antara industri dan universitas,
  • Digitalisasi proyek-proyek pemerintah sebagai pemicu.

Dengan langkah-langkah itu, IoT tidak hanya menjadi tren teknologi, tetapi pondasi bagi era baru konstruksi yang lebih efisien, aman, dan transparan di tanah air.

Sumber Artikel Asli:

Wimala, M., & Imanuela, K. (2022). Perkembangan Internet of Things di Industri Konstruksi. Journal of Sustainable Construction, Vol. 1 No. 2, Maret 2022, 43–51. Universitas Katolik Parahyangan.

Selengkapnya
Transformasi Digital Konstruksi: Posisi Indonesia dalam Penerapan IoT Global

Industri Kontruksi

Mengurai Risiko Konstruksi Gedung: Studi Kasus Proyek UHO

Dipublikasikan oleh Sirattul Istid'raj pada 06 Mei 2025


Pendahuluan: Mengapa Manajemen Risiko Konstruksi Sangat Krusial?

Industri konstruksi merupakan sektor yang sangat kompleks dan sarat risiko. Dari keterlambatan material, cuaca ekstrem, hingga kecelakaan kerja, berbagai risiko dapat menyebabkan pembengkakan biaya, keterlambatan proyek, hingga potensi gugatan hukum. Oleh karena itu, manajemen risiko menjadi fondasi penting dalam setiap tahap proyek konstruksi—terutama pada proyek skala besar seperti pembangunan gedung perkuliahan di Universitas Halu Oleo (UHO).

Penelitian ini menyoroti bagaimana risiko-risiko tersebut dapat diidentifikasi, dianalisis, dan diprioritaskan untuk mitigasi. Studi kasus diambil dari Proyek Pembangunan Gedung Perkuliahan Terpadu UHO yang menjadi titik penting dalam mengilustrasikan praktik manajemen risiko secara nyata.

Metodologi: Kerangka Analisis Risiko yang Terstruktur

Peneliti menggunakan metode Risk Breakdown Structure (RBS) dan Risk Matrix untuk mengidentifikasi dan memetakan risiko berdasarkan tingkat keparahan dan probabilitasnya. Wawancara mendalam dengan pihak-pihak terkait proyek seperti kontraktor, pengawas, dan manajer lapangan menjadi sumber data primer utama. Data kemudian dianalisis secara kuantitatif menggunakan skala likert dan matriks probabilitas-dampak.

Metode ini dinilai cocok karena memungkinkan penilaian sistematis dan visualisasi risiko secara hierarkis—dari yang paling kritis hingga yang bisa ditoleransi.

Temuan Utama: Risiko Utama dalam Proyek Gedung Perkuliahan UHO

Dari penelitian ini, 37 risiko berhasil diidentifikasi, diklasifikasikan ke dalam 5 kelompok besar:

1. Risiko Lingkungan

  • Cuaca ekstrem seperti hujan deras (tingkat probabilitas tinggi, dampak sedang).

  • Gangguan dari lingkungan sekitar kampus (akses terbatas, lalu lintas padat).

2. Risiko Finansial

  • Keterlambatan pembayaran oleh pemilik proyek.

  • Kenaikan harga bahan baku akibat fluktuasi pasar (termasuk semen, baja, dan pasir).

3. Risiko Personalia

  • Kurangnya tenaga kerja terampil di lokasi proyek.

  • Kecelakaan kerja yang tidak terduga.

4. Risiko Manajemen

  • Keterlambatan dalam pengambilan keputusan oleh manajemen proyek.

  • Kesalahan dalam perencanaan awal yang berdampak pada pelaksanaan di lapangan.

5. Risiko Teknis

  • Kegagalan alat berat di tengah proyek.

  • Ketidaksesuaian desain dengan kondisi lapangan.

Dari semua risiko tersebut, 10 risiko dikategorikan sebagai prioritas tinggi berdasarkan Risk Matrix. Misalnya, cuaca ekstrem dan keterlambatan pembayaran menjadi faktor dominan yang mampu menghambat keseluruhan timeline proyek secara signifikan.

Studi Banding: Perbandingan dengan Penelitian Sebelumnya

Penelitian ini memperkuat temuan dari studi serupa oleh Dewi et al. (2020) dalam proyek gedung pendidikan di Makassar, yang juga menempatkan keterlambatan pembayaran dan cuaca sebagai risiko dominan. Namun, keunggulan studi ini terletak pada pendekatan lebih rinci dalam klasifikasi risiko serta fokus pada konteks kampus negeri yang memiliki dinamika tersendiri seperti birokrasi dan ketergantungan dana APBN.

Implikasi Praktis: Apa yang Bisa Dipelajari oleh Praktisi?

Beberapa implikasi penting dari penelitian ini bagi dunia konstruksi adalah:

  • Perlu adanya manajemen risiko proaktif sejak tahap perencanaan, bukan reaktif saat proyek sudah berjalan.

  • Penyusunan contingency plan (rencana darurat) untuk cuaca dan finansial menjadi prioritas dalam proyek sejenis.

  • Perbaikan sistem komunikasi internal, khususnya antara pemilik proyek dan kontraktor utama, untuk mempercepat pengambilan keputusan.

Dengan begitu, proyek tidak hanya berjalan sesuai jadwal tetapi juga menghindari pemborosan anggaran.

Kelebihan dan Keterbatasan Penelitian

Kelebihan:

  • Menggunakan pendekatan kombinasi antara wawancara dan analisis kuantitatif, sehingga menghasilkan hasil yang komprehensif.

  • Fokus pada proyek nyata memberi bobot praktikalitas yang tinggi.

Keterbatasan:

  • Studi ini terbatas pada satu proyek dan konteks universitas negeri, sehingga hasilnya belum tentu bisa digeneralisasi ke proyek swasta atau skala nasional.

  • Tidak membahas lebih jauh strategi mitigasi setelah risiko diidentifikasi.

Kritik Konstruktif dan Saran Pengembangan

Penulis belum banyak mengelaborasi langkah konkret mitigasi atas risiko-risiko prioritas tinggi. Padahal, inilah titik yang sangat penting dalam manajemen risiko. Ke depan, akan lebih bermanfaat jika studi lanjutan mencakup:

  • Evaluasi efektivitas strategi mitigasi yang telah diterapkan di proyek.

  • Simulasi manajemen risiko berbasis software seperti Primavera Risk Analysis atau @RISK.

  • Pembahasan tentang penanganan risiko dalam proyek multiyears dengan dana dari anggaran pemerintah.

Relevansi dengan Industri Saat Ini

Dalam konteks saat ini, di mana proyek infrastruktur pendidikan terus digenjot pasca pandemi COVID-19, studi seperti ini menjadi panduan penting. Dengan alokasi APBN yang terus meningkat untuk sektor pendidikan, maka semakin banyak proyek gedung kampus akan dibangun. Maka itu, manajemen risiko yang adaptif dan berbasis data lapangan akan menjadi kebutuhan mutlak.

Kesimpulan: Risiko Bisa Dikelola, Bukan Dihindari

Penelitian ini menegaskan bahwa risiko dalam konstruksi bukanlah sesuatu yang harus dihindari, melainkan dikelola secara strategis. Lewat pendekatan sistematis seperti RBS dan Risk Matrix, tim proyek dapat lebih siap menghadapi tantangan dan mengoptimalkan sumber daya yang ada.

Bagi para pelaku industri, hasil studi ini bukan hanya refleksi akademik, melainkan juga panduan praktis yang bisa diterapkan langsung dalam proyek-proyek nyata.

Sumber

Rizal, M., Rahim, R., & Rahman, A. (2019). Analisis Risiko pada Pekerjaan Konstruksi Gedung Studi Kasus: Proyek Pembangunan Gedung Perkuliahan Terpadu Universitas Halu Oleo. Jurnal Media Ilmiah Teknik Sipil, 17(3). Tersedia di: https://jurnal.unsrat.ac.id/index.php/jmts/article/view/4829

Selengkapnya
Mengurai Risiko Konstruksi Gedung: Studi Kasus Proyek UHO

Industri Kontruksi

Menelusuri Peta Riset Produktivitas Tenaga Kerja Konstruksi Global: Analisis Bibliometrik dan Implikasinya bagi Industri

Dipublikasikan oleh Sirattul Istid'raj pada 30 April 2025


Pendahuluan

Produktivitas tenaga kerja konstruksi (Construction Labour Productivity/CLP) telah menjadi isu sentral dalam sektor konstruksi global. Dibandingkan dengan industri lain, pertumbuhan produktivitas di sektor ini justru mengalami stagnasi atau bahkan penurunan dalam beberapa dekade terakhir. Artikel yang diulas ini menawarkan pendekatan ilmiah berbasis bibliometrik dan scientometrik untuk memetakan arah, tren, dan kesenjangan dalam riset CLP selama sepuluh tahun terakhir (2012–2021), berdasarkan data dari basis Scopus.

Penelitian ini tidak hanya penting secara akademis, tetapi juga memiliki dampak langsung pada efisiensi proyek, strategi perusahaan konstruksi, hingga kebijakan nasional yang menyangkut pembangunan infrastruktur.

Metodologi: Analisis Bibliometrik dan Scientometrik sebagai Alat Strategis

Penulis memanfaatkan perangkat lunak VOSviewer untuk mengidentifikasi pola, jaringan kolaborasi, kata kunci dominan, dan publikasi yang paling berpengaruh dalam bidang CLP. Sebanyak 528 artikel awalnya ditemukan, namun setelah disaring sesuai kriteria inklusi (artikel jurnal dan prosiding, berbahasa Inggris, relevan dengan topik), 460 artikel dianalisis lebih lanjut.

Langkah ini penting karena memperbaiki kelemahan pada pendekatan review tradisional yang bersifat subjektif. Dengan pendekatan visualisasi jaringan ilmiah, pembaca dapat memahami bagaimana riset berkembang, siapa yang paling aktif, dan area mana yang masih kurang tersentuh.

Temuan Utama: Dimensi Ilmiah dan Praktis

1. Dominasi Negara dan Institusi

Amerika Serikat, Australia, dan Kanada adalah tiga negara dengan kontribusi artikel terbanyak. Namun, dari segi average citations, Hong Kong menempati posisi tertinggi, menunjukkan bahwa kualitas dan pengaruh publikasinya lebih tinggi secara relatif.

2. Penulis dan Kolaborator Kunci

  • P.M. Goodrum adalah penulis paling produktif (24 artikel; 1.321 sitasi).

  • Kolaborasi kuat terlihat antara Goodrum, Caldas, dan Zhai, yang memengaruhi diskursus global mengenai CLP.

3. Jurnal Paling Berpengaruh

  • Journal of Construction Engineering and Management memimpin dari segi jumlah publikasi.

  • Automation in Construction menjadi rujukan utama terkait inovasi dan teknologi.

4. Tren Kata Kunci dan Area Baru

Dari analisis ko-occurence kata kunci, tren terbaru mencakup:

  • Lean construction

  • Variabilitas produktivitas

  • Inovasi dan prefabrikasi

  • Total factor productivity

  • Motivasi tenaga kerja

Ini menunjukkan bahwa riset CLP mulai beralih dari sekadar identifikasi faktor penghambat ke arah pemodelan prediktif, teknologi digital, dan pendekatan sistemik.

Studi Kasus & Data Penting

Beberapa publikasi dengan dampak tinggi dalam 5 tahun terakhir yang dikaji:

  • De Soto et al. (2018): Menganalisis efisiensi pembangunan dinding beton menggunakan robotik – hasilnya menunjukkan bahwa metode fabrikasi digital memberikan efisiensi waktu dan biaya signifikan (157 sitasi).

  • Hwang et al. (2017): Mengkaji proyek gedung hijau di Singapura – faktor seperti pengalaman pekerja dan perubahan desain menjadi hambatan produktivitas utama.

  • Yi & Chan (2017): Menghubungkan heat stress dengan produktivitas pekerja baja di Hong Kong – temuan menunjukkan bahwa suhu kerja tinggi menurunkan efisiensi kerja secara drastis.

Nilai Tambah & Opini Kritis

1. Kritik terhadap Pendekatan Penelitian

Mayoritas studi CLP menggunakan pendekatan kuantitatif, seperti survei kuesioner. Padahal, faktor-faktor produktivitas bersifat kontekstual dan seharusnya diselidiki terlebih dahulu secara kualitatif, sesuai kondisi proyek dan wilayah. Ketergantungan pada faktor dari literatur bisa membuat temuan menjadi repetitif dan tidak aplikatif.

2. Kurangnya Pendekatan Sistemik

Faktor-faktor CLP tidak berdiri sendiri. Ketiadaan pendekatan sistem berpikir (system thinking) menyebabkan banyak solusi yang ditawarkan bersifat parsial. Penulis menyarankan penggunaan Causal Layered Analysis (CLA) dan integrasi BIM, VR/AR untuk menjawab tantangan kompleks ini.

3. Tantangan Nyata di Industri

Studi ini sangat relevan dalam konteks Indonesia. Di tengah percepatan pembangunan infrastruktur, isu rendahnya produktivitas pekerja tetap menjadi masalah klasik. Faktor seperti upah rendah, pelatihan minim, hingga manajemen proyek yang kurang adaptif terhadap teknologi perlu diatasi secara menyeluruh.

Implikasi Praktis bagi Industri

Bagi kontraktor, arsitek, dan manajer proyek, studi ini menegaskan bahwa:

  • Efisiensi tenaga kerja adalah refleksi langsung dari manajemen proyek.

  • Variabilitas produktivitas harus dimonitor bukan hanya sebagai angka, tetapi sebagai indikator kesehatan sistem kerja.

  • Motivasi pekerja melalui insentif berbasis kinerja, lingkungan kerja layak, dan keterlibatan dalam pengambilan keputusan perlu ditingkatkan.
     

Studi ini juga menjadi panduan bagi pemerintah untuk menyusun regulasi tenaga kerja konstruksi berbasis data ilmiah, bukan asumsi.

Rekomendasi Penelitian Lanjutan

Penulis menyarankan lima arah penelitian baru:

  1. Menyelidiki akar penyebab (bukan hanya gejala) dari penurunan produktivitas.

  2. Menggunakan pendekatan metodologi inovatif seperti CLA.

  3. Mendahulukan riset kualitatif sebelum survei kuantitatif.

  4. Mengadopsi teknologi digital seperti BIM dan sensor lapangan untuk monitoring.

  5. Eksplorasi lanjutan terhadap emerging themes seperti prefabrikasi dan benchmarking.

Penutup: Refleksi Strategis

Artikel ini layak diapresiasi karena menyatukan berbagai potongan besar dari puzzle penelitian produktivitas konstruksi menjadi satu peta utuh. Pendekatan bibliometrik memberikan perspektif objektif, sementara pembahasan kualitatif di akhir memperkaya pemahaman kita terhadap konteks.

Sebagai bangsa yang tengah giat membangun, Indonesia bisa mengambil pelajaran besar dari riset ini: tanpa reformasi dalam pengelolaan produktivitas tenaga kerja, percepatan pembangunan hanya akan menjadi beban, bukan kemajuan.

Sumber:

Adebowale, O.J., & Agumba, J.N. (2023). A scientometric analysis and review of construction labour productivity research. International Journal of Productivity and Performance Management, 72(7), 1903–1923. https://doi.org/10.1108/IJPPM-09-2021-0505

Selengkapnya
Menelusuri Peta Riset Produktivitas Tenaga Kerja Konstruksi Global: Analisis Bibliometrik dan Implikasinya bagi Industri

Industri Kontruksi

Dinamika Industri Konstruksi di Indonesia: Peluang, Tantangan, dan Masa Depan yang Berkelanjutan

Dipublikasikan oleh Anisa pada 30 April 2025


Pendahuluan: Mengapa Industri Konstruksi Adalah Kunci Masa Depan Indonesia

Industri konstruksi di Indonesia bukan hanya soal bangunan dan infrastruktur. Ia adalah motor ekonomi, penyerap tenaga kerja besar-besaran, dan cermin dari kemajuan teknologi serta tata kelola pemerintahan. Dalam buku “Dinamika Industri Konstruksi di Indonesia” yang diterbitkan oleh Tohar Media (2024), tim penulis dari berbagai latar belakang menyajikan analisis komprehensif yang mencakup aspek teknis, sosial, ekonomi, hingga etika dalam industri ini.

Dengan pendekatan multidisipliner, buku ini tidak hanya menyuguhkan teori, tetapi juga menawarkan studi kasus, sejarah perkembangan, hingga kritik terhadap peran pemerintah dan swasta. Dalam resensi ini, kita akan menggali isi buku secara mendalam, menambah konteks dari praktik industri terkini, serta memberikan interpretasi kritis untuk menjadikannya lebih relevan bagi pembaca masa kini.

Perjalanan Sejarah: Dari Batu ke Plastik, dari Ritual ke Real Estat

Evolusi Material Bangunan sebagai Cermin Peradaban

Bab pertama buku ini menyajikan kilas balik sejarah perkembangan industri konstruksi, dimulai dari penggunaan batu di masa megalitikum, kayu pada era kerajaan Asia Timur, hingga besi, beton, kaca, dan plastik pada era modern. Setiap era bukan hanya menunjukkan perubahan material, tetapi juga filosofi bangunan dan teknologi yang digunakan. Misalnya:

  • Zaman batu: Bangunan dirancang untuk kebutuhan spiritual seperti pemujaan leluhur dan ibadah. Konstruksi bersifat statis dan monumental.
     

  • Zaman besi dan beton: Era revolusi industri menggeser fokus ke efisiensi dan kekuatan struktural.
     

  • Era plastik dan WPC (Wood Plastic Composite): Menunjukkan kesadaran baru terhadap isu keberlanjutan dan ekonomi sirkular.
     

Analisis tambahan: Perkembangan bahan bangunan secara global kini menekankan pada net zero building materials, seperti beton karbon-negatif dan panel kaca fotovoltaik. Hal ini menunjukkan bahwa industri konstruksi tidak bisa lagi hanya bicara kekuatan struktural, tetapi juga efisiensi energi dan emisi karbon.

Peran Pemerintah: Antara Regulasi dan Eksekusi

Kebijakan sebagai Enabler atau Penghambat?

Bab dua buku ini membahas peran pemerintah dalam mengatur industri konstruksi. Penulis menyoroti bahwa meskipun pemerintah telah menerbitkan berbagai kebijakan—seperti RPJMN dan insentif fiskal—realitanya masih banyak kendala dalam implementasi di lapangan, seperti birokrasi panjang, regulasi tumpang tindih, dan korupsi.

Studi Kasus – Jalan Tol dan Investasi InfrastrukturProgram pembangunan jalan tol Trans Jawa menjadi contoh nyata bagaiman

Statistik pendukung:

  • Menurut Bappenas (2023), lebih dari 70% proyek infrastruktur strategis masih terpusat di Pulau Jawa.
     

  • Biaya konstruksi meningkat 8–12% karena lambatnya pengurusan izin dan pembebasan lahan​.
     

Faktor Penggerak Industri: Manusia, Teknologi, dan Kebijakan

Lima Pilar Pendorong dan Penghambat Konstruksi

Buku ini mengidentifikasi berbagai faktor yang memengaruhi industri konstruksi, yang dapat kita rangkum menjadi lima pilar utama:

  1. Ekonomi – Pertumbuhan PDB dan inflasi mempengaruhi jumlah proyek yang berjalan.
     

  2. Kebijakan Pemerintah – Perizinan dan tata ruang menjadi penghambat utama jika tidak reformis.
     

  3. Teknologi – BIM, drone, dan modular construction mendorong efisiensi.
     

  4. Tenaga Kerja – Kualitas dan kuantitas SDM konstruksi masih menjadi tantangan.
     

  5. Inovasi Material – Bahan baru seperti self-healing concrete dan panel surya membuka arah baru.
     

Tantangan Global – Dampak Pandemi dan Krisis Iklim

Industri konstruksi Indonesia juga tidak terlepas dari tantangan global seperti pandemi COVID-19 yang menghentikan sebagian besar proyek fisik selama 2020–2021. Selain itu, perubahan iklim telah memaksa proyek-proyek besar memasukkan aspek climate resilience dalam desainnya.

Teknologi dan Inovasi: Lebih dari Sekadar Alat, Ini Soal Paradigma

BIM dan Digitalisasi dalam Praktik

Salah satu kontribusi buku ini adalah sorotan terhadap teknologi seperti Building Information Modeling (BIM) yang semakin digunakan di proyek-proyek besar. Dalam laporan Kementerian PUPR (2022), BIM mampu menekan cost overrun hingga 30% dan mempercepat waktu pengerjaan hingga 20%.

Namun, tantangan terbesar bukan pada adopsi teknologi, melainkan kesiapan SDM. Banyak kontraktor lokal belum terbiasa dengan ekosistem digital dalam manajemen proyek.

Transformasi ke Konstruksi Modular

Tren global menunjukkan pergeseran ke konstruksi modular dan prefabrikasi. Indonesia mulai mengejar tren ini, terutama untuk proyek perumahan massal dan sekolah darurat di daerah bencana.

Keberlanjutan: Industri Konstruksi di Persimpangan Jalan

Green Building dan Proyek Ramah Lingkungan

Buku ini juga menyoroti pentingnya pembangunan berkelanjutan. Industri konstruksi menyumbang lebih dari 38% emisi karbon global (IEA, 2022), sehingga perubahan paradigma mutlak diperlukan.

Contoh penerapan:

  • Gedung kantor Kementerian PUPR dirancang dengan green roof dan solar panel.
     

  • Proyek IKN Nusantara menargetkan 100% penggunaan material ramah lingkungan dan smart city integration.
     

Namun, penerapan masih sporadis dan tergantung pada komitmen pengembang.

Etika dan Profesionalisme: Isu Krusial yang Sering Diabaikan

Masalah Moral di Lapangan

Bab tentang etika dalam buku ini membuka fakta bahwa pelanggaran etika seperti mark up, penyuapan, hingga proyek fiktif masih marak terjadi. Bahkan, data Transparency International menunjukkan Indonesia mencetak skor 34/100 dalam Indeks Persepsi Korupsi 2023, menandakan masih lemahnya tata kelola proyek.

Penulis menekankan pentingnya kode etik profesi dan audit independen dalam setiap proyek besar.

UMKM dan Konstruksi: Kolaborasi Menuju Pemerataan

Konstruksi sebagai Penggerak UMKM dan Ekonomi Daerah

Industri konstruksi bukan hanya milik perusahaan besar. Buku ini memberi ruang bagi peran UMKM, terutama dalam pengadaan barang, jasa pendukung, dan pengolahan material lokal.

Studi menunjukkan bahwa setiap proyek infrastruktur bernilai Rp 1 triliun dapat menciptakan hingga 14.000 lapangan kerja baru secara langsung dan tidak langsung​. Oleh karena itu, pemberdayaan lokal dan pelibatan masyarakat mutlak dilakukan.

Rekomendasi Kritis: Apa yang Bisa Kita Lakukan?

Strategi Menuju Industri Konstruksi yang Modern dan Adil

Berdasarkan analisis buku dan pengamatan terhadap tren industri, berikut beberapa rekomendasi praktis:

  1. Reformasi birokrasi perizinan menjadi satu pintu digital nasional.
     

  2. Inovasi pembiayaan proyek seperti green bonds dan infrastructure trust fund.
     

  3. Insentif bagi kontraktor lokal dan inovator material baru.
     

  4. Pelatihan massal tenaga kerja dalam teknologi digital konstruksi.
     

  5. Penguatan regulasi keberlanjutan melalui sertifikasi bangunan hijau.
     

Kesimpulan: Industri Konstruksi sebagai Barometer Pembangunan Nasional

Buku “Dinamika Industri Konstruksi di Indonesia” adalah kontribusi penting dalam memahami kompleksitas, peluang, dan tantangan sektor konstruksi di tanah air. Ia menyentuh dimensi teknis, politis, ekologis, dan sosial secara terpadu.

Namun, untuk mewujudkan industri konstruksi yang efisien, berkelanjutan, dan beretika, kolaborasi lintas sektor diperlukan. Pemerintah, swasta, akademisi, dan masyarakat harus duduk bersama, dengan satu visi: membangun Indonesia bukan hanya secara fisik, tetapi juga secara moral dan ekologis.

Sumber

Buku asli dapat diakses melalui:

Masdiana, dkk. (2024). Dinamika Industri Konstruksi di Indonesia. Makassar: Tohar Media. ISBN: 978-623-8421-92-3
https://toharmedia.co.id

Selengkapnya
Dinamika Industri Konstruksi di Indonesia: Peluang, Tantangan, dan Masa Depan yang Berkelanjutan

Industri Kontruksi

Evaluasi Kompetensi Pekerja Konstruksi: Studi Kasus Proyek Kantor Camat Pasarwajo

Dipublikasikan oleh Sirattul Istid'raj pada 30 April 2025


Pendahuluan: Kompetensi sebagai Pilar Kualitas Proyek Konstruksi

Di tengah masifnya pembangunan infrastruktur di Indonesia, kualitas hasil konstruksi tidak hanya bergantung pada desain dan material, tetapi juga pada faktor yang kerap terabaikan: kompetensi tenaga kerja. Artikel ilmiah oleh Asril dan rekan-rekannya yang diterbitkan di Shell Civil Engineering Journal (SCEJ) Volume 9 No. 1 (2024), menyuguhkan kajian yang sangat relevan terhadap hal ini. Mereka mengevaluasi penerapan Standar Kompetensi Kerja Nasional Indonesia (SKKNI) terhadap tukang batu pada proyek pembangunan Kantor Camat Pasarwajo, Buton, tahun 2020.

Berangkat dari realitas bahwa mayoritas tenaga kerja di sektor konstruksi Indonesia berasal dari latar belakang pendidikan rendah dan memperoleh keahlian melalui pengalaman langsung, penelitian ini menyoroti tiga komponen utama kompetensi menurut SKKNI:

  • Kemampuan dalam tugas

  • Kemampuan mengatasi masalah

  • Kemampuan menyesuaikan diri dengan lingkungan kerja

Metode Penelitian: Kualitatif Deskriptif yang Kontekstual

Penelitian menggunakan pendekatan kualitatif deskriptif, yang memungkinkan pemahaman holistik terhadap fenomena di lapangan. Responden terdiri dari tujuh tukang batu yang terlibat langsung dalam pembangunan pondasi dan plasteran. Meskipun jumlah responden terbatas, kedalaman data cukup terakomodasi melalui wawancara, observasi, dan kuesioner terstruktur berdasarkan indikator SKKNI.

Karakteristik penting dari responden:

  • 100% berjenis kelamin laki-laki

  • 75% berusia antara 36–60 tahun

  • 50% hanya tamatan SD

  • 75% memiliki pengalaman kerja 7–10 tahun

Statistik ini menggambarkan tipikal tenaga kerja konstruksi di daerah: berpengalaman, namun minim pendidikan formal atau pelatihan teknis yang terstruktur.

Hasil dan Analisis: Potret Kompetensi di Lapangan

🔹 1. Kemampuan dalam Tugas

Kompetensi teknis para tukang batu dinilai relatif baik. Sebanyak 85% responden mengaku memahami teori pekerjaan mereka. Lebih penting lagi, 100% merasa mampu bekerja dengan alat seadanya dan memiliki keahlian walau tidak bersertifikat. Ini menegaskan pentingnya pengalaman lapangan sebagai bentuk “pendidikan informal.”

Namun, hanya 60% yang mampu menyelesaikan pondasi dua meter dalam 30 menit. Artinya, masih ada ruang perbaikan dalam efisiensi teknis.

Analisis tambahan:

  • Masalah krusial muncul pada aspek ketelitian. Beberapa kerusakan pondasi, meski minor, berpotensi menimbulkan efek domino jika tidak diatasi.
     

  • Dalam konteks industri, rework akibat kesalahan manusia bisa menghabiskan hingga 5% dari total biaya proyek (menurut McGraw-Hill Construction, 2019).
     

🔹 2. Kemampuan Mengatasi Masalah

Sebanyak 75% responden menyatakan mampu menyelesaikan masalah pekerjaan secara cepat, seperti menangani kerusakan pondasi dan situasi darurat seperti kecelakaan kerja.

Namun, kemampuan dalam pengambilan keputusan masih lemah, di mana hanya 25% responden merasa percaya diri. Ini adalah kelemahan mendasar yang bisa menghambat kelancaran pekerjaan.

Nilai tambah dan kritik:

  • Dalam proyek konstruksi modern, respon cepat terhadap kendala teknis merupakan kunci. Penerapan lean construction menuntut pekerja untuk terlibat dalam problem solving aktif. Oleh karena itu, pelatihan keterampilan kognitif harus ditingkatkan.
     

  • Penulis tidak menyertakan perbandingan dengan proyek lain—misalnya proyek bersertifikasi ISO yang menuntut lebih tinggi aspek dokumentasi dan pengambilan keputusan.
     

🔹 3. Kemampuan Menyesuaikan Diri

Seluruh responden mampu bekerja di lingkungan bising, dan 70% merasa mampu berkomunikasi dengan baik. Namun, partisipasi lintas fungsi masih kurang. Hanya 55% yang sangat setuju bahwa mereka aktif dalam kerja tim.

Studi tambahan:

  • Berdasarkan studi oleh Ogunseiju (2023), proyek konstruksi di Asia Tenggara mengalami efisiensi 20% lebih tinggi ketika tenaga kerja dilatih dalam interpersonal skill.
     

  • Budaya kerja kolaboratif akan makin dibutuhkan seiring berkembangnya proyek berskala besar berbasis teknologi (misalnya BIM atau modular construction).

Pembahasan Lanjutan: Faktor yang Mempengaruhi Kompetensi

Penelitian ini juga mengidentifikasi faktor eksternal yang memengaruhi penerapan kompetensi:

  • Kesadaran perusahaan untuk menerapkan SKKNI

  • Latar belakang pendidikan pekerja

  • Pengawasan proyek

  • Sikap dan usia pekerja
     

Menariknya, usia tua tidak selalu menjadi hambatan. Justru kombinasi pekerja senior dan junior dapat menciptakan transfer knowledge yang ideal, asalkan didukung budaya mentoring yang sehat.

Relevansi industri:

  • Dunia konstruksi sedang mengalami gelombang digitalisasi. Tenaga kerja adaptif menjadi tuntutan utama, bukan hanya terampil secara manual.
     

  • Sayangnya, penelitian belum mengkaji bagaimana kesiapan pekerja terhadap teknologi baru seperti drone site monitoring atau augmented reality (AR) dalam pelatihan.
     

Studi Banding: Bagaimana Negara Lain Mengelola Kompetensi?

Sebagai perbandingan, negara-negara seperti Malaysia dan Singapura telah menerapkan sistem sertifikasi tenaga kerja berbasis modul dengan asesmen kompetensi setiap 2 tahun (Zabidin et al., 2021). Di Indonesia, sistem sertifikasi seperti SKTK masih bersifat opsional dan tidak merata.

Rekomendasi:

  • Pemerintah dan asosiasi kontraktor perlu membuat sertifikasi wajib dan berkala untuk semua pekerja.
     

  • Perlu integrasi antara sistem pelatihan informal di lapangan dengan sertifikasi kompetensi resmi, agar pengalaman bisa divalidasi secara legal.

Implikasi Praktis dan Rekomendasi Kebijakan

Penelitian ini menyimpulkan bahwa meskipun kompetensi pekerja sudah mencukupi, tetap diperlukan:

  1. Pelatihan formal dan informal yang berkelanjutan

  2. Peningkatan pengawasan kualitas kerja

  3. Sertifikasi massal bagi pekerja berpengalaman

  4. Peningkatan komunikasi dan kerja tim

Dampak praktis:

  • Penerapan standar kompetensi tidak hanya meningkatkan kualitas bangunan, tetapi juga mengurangi biaya rework dan meningkatkan keselamatan kerja.

  • Proyek yang menggunakan tenaga kerja tersertifikasi akan lebih dipercaya oleh investor dan pemilik proyek.

Kesimpulan Resensi: Antara Kompeten dan Tersertifikasi

Artikel ini merupakan kontribusi penting dalam mendorong penguatan kapasitas SDM di sektor konstruksi. Evaluasi terhadap kompetensi tukang batu bukan hanya soal keterampilan teknis, tetapi juga mencerminkan kesiapan Indonesia dalam bersaing secara global di sektor infrastruktur.

Namun, untuk benar-benar melompat ke level berikutnya, perlu reformasi menyeluruh dalam sistem pelatihan dan sertifikasi tenaga kerja konstruksi di Indonesia. Masa depan konstruksi bukan hanya soal membangun gedung, tetapi juga membangun manusia yang membangunnya.

Referensi Sumber Asli

Penelitian ini diterbitkan dalam:
Asril, M. Chaiddir Hajia, M. Abdu, H. Kundrad SR. (2024). Evaluasi Kompetensi Pekerja pada Proyek Pembangunan Kantor Camat Pasarwajo Tahun 2020. Shell Civil Engineering Journal, Vol. 9 No. 1, hlm. 27–34.
Akses resmi: https://doi.org/10.35326/scej.v9i1.6142

Selengkapnya
Evaluasi Kompetensi Pekerja Konstruksi: Studi Kasus Proyek Kantor Camat Pasarwajo

Industri Kontruksi

Resensi Kritis: Memahami Nilai Kerja dan Harapan Karier Profesional Konstruksi Generasi Baru

Dipublikasikan oleh Sirattul Istid'raj pada 30 April 2025


Pendahuluan: Tantangan SDM di Industri Konstruksi

Industri konstruksi adalah salah satu sektor paling dinamis dan menantang dalam perekonomian global. Di balik gemerlap gedung pencakar langit dan proyek infrastruktur megah, terdapat tantangan serius terkait sumber daya manusia (SDM), terutama dalam merekrut dan mempertahankan tenaga kerja profesional. Dalam konteks inilah, tesis Jennifer Dawn Moore memberikan kontribusi penting: menelaah nilai kerja dan ekspektasi karier mahasiswa jurusan manajemen konstruksi yang akan memasuki dunia kerja.

Studi ini tidak hanya relevan untuk kalangan akademik, tetapi juga bagi perusahaan yang ingin menyesuaikan strategi HR mereka agar sesuai dengan nilai dan harapan generasi baru. Dengan pendekatan kuantitatif berbasis survei dan interpretasi mendalam, penelitian ini menguak dimensi psikologis dan sosiologis dari calon profesional konstruksi masa depan.

Metodologi dan Kerangka Teoretis

Moore menggunakan pendekatan non-eksperimental dan survei deskriptif terhadap mahasiswa tingkat akhir program sarjana Manajemen Konstruksi di universitas terbesar yang diakreditasi oleh American Council for Construction Education (ACCE). Peneliti mengidentifikasi korelasi antara karakteristik pribadi seperti gender, usia, latar belakang ekonomi keluarga, hingga afiliasi politik, dengan nilai kehidupan, perilaku, dan nilai kerja.

Secara teoretis, penelitian ini bertumpu pada model nilai yang dikembangkan oleh Milton Rokeach dan teori pembangunan karier dari Brown (2002), yang menekankan bahwa nilai—baik nilai hidup maupun kerja—merupakan kompas utama dalam pengambilan keputusan karier seseorang.

Temuan Utama: Potret Nilai dan Harapan Generasi Muda

1. Nilai Hidup dan Perilaku: Lebih Individualis, Kurang Sosial

Penelitian menemukan bahwa nilai yang bersifat self-centered seperti ambisi pribadi, pengakuan, dan prestasi menempati peringkat tertinggi. Sementara nilai social-centered seperti pelayanan publik dan keterlibatan sosial justru mendapat peringkat rendah. Ini mengindikasikan pergeseran nilai generasi baru yang lebih fokus pada pencapaian pribadi daripada kontribusi sosial.

Data ini diperkuat oleh tabel peringkat nilai terminal dan instrumental yang menunjukkan kecenderungan peserta menilai tinggi nilai-nilai kompetensi dan moral, namun tetap menempatkan kenyamanan pribadi dan status di atas nilai sosial.

2. Nilai Kerja: Status dan Independensi Lebih Dihargai

Dalam dimensi nilai kerja, aspek seperti status dan kemandirian (contohnya: posisi manajerial, fleksibilitas kerja, dan kontrol terhadap pekerjaan) dinilai lebih penting dibandingkan dengan aspek seperti pertumbuhan kompetensi atau keamanan kerja. Ini menunjukkan bahwa generasi baru mendambakan kontrol atas karier mereka, serta posisi yang memberi mereka pengaruh dan fleksibilitas.

Studi Kasus & Data Pendukung

Statistik Penting:

  • Hanya 2% anak muda usia 16-24 di Inggris yang tertarik berkarier di industri konstruksi (Mann, 2004).
  • Rata-rata 28% manajer HR di perusahaan konstruksi memiliki posisi strategis, jauh di bawah rata-rata 54% di sektor lain (Druker et al., 1996).
  • 75% perusahaan konstruksi tidak memiliki kebijakan pengembangan karier yang formal (Young, 1988).

Studi Kasus Nyata:

Beberapa kutipan dari studi oleh Dainty et al. (2000) memperkuat temuan Moore—banyak karyawan muda di industri konstruksi merasa tidak memiliki jalur karier yang jelas, kurang mendapatkan pelatihan, dan sering dipindahkan proyek tanpa pertimbangan kondisi keluarga atau preferensi pribadi.

Analisis Tambahan: Perbandingan dengan Penelitian Sejenis

Penelitian Moore senada dengan temuan Judge & Bretz (1992) yang menyatakan bahwa individu cenderung memilih pekerjaan yang sejalan dengan nilai pribadi mereka. Namun, Moore memperluas cakupan dengan menyertakan variabel demografis yang jarang disentuh dalam penelitian nilai kerja, seperti afiliasi politik dan ukuran kota asal.

Selain itu, Moore membedakan antara nilai terminal (tujuan akhir hidup) dan instrumental (cara atau perilaku untuk mencapai tujuan tersebut), yang memperkaya analisis karier dibanding studi nilai kerja konvensional.

Implikasi Praktis: Apa yang Harus Dilakukan Industri?

1. Perubahan Strategi HR

Industri konstruksi harus bergeser dari pendekatan HR tradisional yang reaktif menjadi Strategic Human Resource Management (SHRM) yang proaktif dan personal. Ini meliputi:

  • Penyusunan jalur karier yang jelas dan terstruktur.

  • Pelatihan berkelanjutan berbasis minat karyawan.

  • Sistem evaluasi kinerja yang transparan dan objektif.

2. Employer Branding yang Lebih Modern

Perusahaan konstruksi perlu memodernisasi citra mereka agar menarik bagi Generasi Z dan milenial. Ini termasuk menekankan aspek teknologi, inovasi hijau, dan dampak sosial positif dari proyek-proyek yang dikerjakan.

3. Fleksibilitas dan Keseimbangan Kerja-Hidup

Penempatan proyek dan sistem kerja harus lebih adaptif terhadap kebutuhan personal, termasuk pekerjaan jarak jauh (remote site management), sistem rotasi proyek yang terencana, dan pertimbangan situasi keluarga.

Kritik & Refleksi

Salah satu keterbatasan penelitian ini adalah cakupan geografis yang terbatas (hanya satu universitas besar di AS). Ini mungkin membatasi generalisasi temuan ke seluruh populasi calon profesional konstruksi global. Namun, pendekatan metodologis yang kuat dan kerangka teoretis yang jelas memberikan keandalan dalam konteks Amerika Utara.

Sisi lain, pendekatan Moore yang menggabungkan faktor-faktor seperti spiritualitas, status ekonomi masa kecil, dan orientasi politik dalam menganalisis nilai kerja menunjukkan keberanian metodologis dan wawasan yang mendalam.

Kesimpulan: Menyongsong Masa Depan Konstruksi dengan Memahami Manusia

Dalam dunia yang terus berubah, kunci keberhasilan perusahaan bukan hanya teknologi atau modal, melainkan manusia. Tesis Moore mengingatkan kita bahwa untuk merekrut dan mempertahankan talenta terbaik, perusahaan harus memahami apa yang mereka hargai, apa yang mereka cari dalam karier, dan bagaimana perusahaan bisa menjadi tempat bertumbuh, bukan sekadar bekerja.

Studi ini adalah panggilan bagi industri konstruksi untuk merombak pendekatan HR-nya dan menyambut generasi baru pekerja dengan strategi yang lebih manusiawi, fleksibel, dan strategis.

Sumber Asli:

Jennifer Dawn Moore (2011). Entering Construction Professionals: Survey of Work Values and Career Expectations. Colorado State University.

Selengkapnya
Resensi Kritis: Memahami Nilai Kerja dan Harapan Karier Profesional Konstruksi Generasi Baru
« First Previous page 7 of 8 Next Last »