Membedah Efektivitas Hukum Konstruksi dalam Proyek Strategis Nasional—Studi Kasus Jalan Tol Trans Sumatra Ruas Lampung – Palembang

Dipublikasikan oleh Izura Ramadhani Fauziyah

02 Juni 2025, 13.04

pixabay.com

Pembangunan infrastruktur menjadi tulang punggung dalam upaya percepatan pertumbuhan ekonomi nasional. Salah satu proyek terbesar yang sedang digarap pemerintah Indonesia adalah Jalan Tol Trans Sumatra (JTTS), sebuah jaringan jalan bebas hambatan sepanjang lebih dari 2.800 km yang menghubungkan wilayah-wilayah utama di Pulau Sumatra. Salah satu ruas kunci dari proyek ini adalah ruas Lampung–Palembang yang terbentang sepanjang 361 kilometer dan mendapat perhatian khusus karena kompleksitas tantangan hukum dan teknis yang dihadapinya. Artikel karya Angga Dwian Prakoso, Sami’an, dan Sarwono Hardjomuljadi ini mengulas secara mendalam penerapan hukum konstruksi dalam proyek JTTS, terutama pada aspek legal, administratif, serta risiko hukum yang muncul dalam pelaksanaan proyek.

Studi ini menggunakan pendekatan deskriptif-kualitatif dengan fokus utama pada regulasi nasional, penerapan standar internasional seperti FIDIC, dan mekanisme penyelesaian sengketa. Hasil dari kajian ini tidak hanya memberi gambaran tentang masalah di lapangan tetapi juga menyajikan rekomendasi konkret untuk meningkatkan efektivitas pelaksanaan proyek infrastruktur ke depan.

Salah satu temuan penting dalam artikel ini adalah pengaruh besar masalah pembebasan lahan terhadap keterlambatan proyek. Meski pemerintah telah menetapkan dasar hukum melalui Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2012 tentang Pengadaan Tanah untuk Kepentingan Umum, pada praktiknya proyek JTTS menghadapi penolakan dari masyarakat terkait nilai kompensasi. Penundaan ini memicu domino efek terhadap tahapan konstruksi, mengingat pembebasan lahan seharusnya diselesaikan sebelum kegiatan fisik dimulai. Contohnya, kelambatan pada beberapa seksi menyebabkan molornya waktu konstruksi hingga berbulan-bulan dari target awal.

Di sisi lain, pendanaan juga menjadi tantangan besar. Meski proyek ini mendapatkan suntikan dana dari negara melalui Penyertaan Modal Negara (PMN) sebesar Rp28,8 triliun pada 2023 dan Rp18,6 triliun pada 2024, namun proses pencairannya tidak selalu lancar. Keterlambatan ini menyebabkan terhambatnya progres proyek dan memicu konflik antar pihak pelaksana, termasuk kontraktor dan subkontraktor. Sebagai contoh, sengketa pembayaran antara kontraktor utama dan subkontraktor terjadi karena perbedaan klaim volume pekerjaan dan ketidaksesuaian progres pembayaran, menunjukkan lemahnya pengawasan terhadap kontrak kerja yang berlaku.

Terkait aspek lingkungan, proyek ini juga menjadi sorotan karena dugaan pelanggaran terhadap dokumen Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (AMDAL). Keluhan masyarakat terhadap pencemaran sungai akibat limbah konstruksi menjadi isu yang harus segera ditangani. Hal ini memperlihatkan adanya celah dalam sistem pengawasan lingkungan oleh instansi terkait. Diperlukan peningkatan kapasitas pemantauan serta implementasi sistem pelaporan digital untuk memastikan setiap kegiatan proyek ramah lingkungan.

Penerapan hukum konstruksi dalam proyek ini tidak lepas dari peran Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2017 tentang Jasa Konstruksi serta peraturan turunannya. Peraturan ini mengharuskan adanya kepastian hukum dalam setiap aspek proyek, mulai dari penyusunan kontrak, kepatuhan teknis, hingga manajemen risiko. Dalam proyek JTTS, penggunaan kontrak lumpsum dan multiyears dipilih sebagai strategi mitigasi terhadap fluktuasi harga material dan jadwal kerja. Penggunaan standar internasional seperti FIDIC juga membantu dalam pengelolaan risiko hukum dan teknis karena memberikan kejelasan hak dan kewajiban setiap pihak serta menyederhanakan penyelesaian sengketa.

Namun demikian, efektivitas penerapan peraturan ini masih dipertanyakan. Salah satu indikatornya adalah masih tingginya kasus kecelakaan kerja di lapangan yang menunjukkan kurangnya pelatihan keselamatan kerja (K3). Meskipun telah ada Peraturan Menteri PUPR Nomor 10 Tahun 2021 yang mengatur tentang Pedoman Sistem Manajemen Keselamatan Konstruksi, namun pelaksanaannya belum optimal. Laporan dari Badan Pengawas Konstruksi menunjukkan bahwa banyak pekerja lapangan belum dibekali pelatihan K3 yang memadai, sehingga risiko kecelakaan masih tinggi.

Permasalahan lainnya adalah ketidakpastian regulasi yang berubah di tengah pelaksanaan proyek. Misalnya, kebijakan baru dalam hal pajak dan pengadaan tanah mengharuskan kontraktor menyesuaikan biaya operasional, yang kemudian berdampak pada keseluruhan rencana proyek. Ketidaksesuaian ini menimbulkan potensi sengketa yang berujung pada mediasi, arbitrase, bahkan litigasi, sebagaimana beberapa kasus yang disebutkan dalam artikel.

Untuk menangani berbagai konflik yang timbul, proyek ini mengandalkan mekanisme penyelesaian sengketa melalui tiga jalur utama, yaitu mediasi, arbitrase, dan litigasi. Dalam banyak kasus, seperti konflik pembayaran, mediasi menjadi metode yang paling sering digunakan karena lebih cepat dan murah. Namun, dalam konflik yang melibatkan mitra internasional, arbitrase dianggap lebih tepat karena memberikan keputusan final dalam waktu yang lebih singkat dibanding proses pengadilan biasa.

Artikel ini juga menyampaikan bahwa akar dari berbagai persoalan hukum di proyek ini berasal dari perencanaan yang kurang matang, lemahnya koordinasi antar pihak, dan pengawasan yang belum maksimal. Studi kelayakan dan analisis risiko yang dangkal menyebabkan penyesuaian besar-besaran harus dilakukan saat proyek berjalan. Kelemahan koordinasi antara kontraktor, pemilik proyek, dan instansi pemerintah memperburuk pengambilan keputusan, sedangkan lemahnya pengawasan membuat pelanggaran regulasi tidak segera tertangani.

Sebagai solusi, artikel ini menawarkan beberapa rekomendasi strategis. Pertama, optimalisasi perencanaan proyek dengan memperkuat studi kelayakan dan menyusun regulasi teknis yang lebih ringkas dan sinkron. Kedua, peningkatan kapasitas sumber daya manusia melalui pelatihan hukum konstruksi dan standar teknis secara rutin. Ketiga, pemanfaatan teknologi seperti Building Information Modeling (BIM) untuk meminimalkan konflik teknis dan meningkatkan akurasi perencanaan. Terakhir, penerapan sistem pengawasan digital berbasis blockchain untuk memastikan transparansi dan akuntabilitas dalam setiap tahapan proyek.

Jika dilihat dari perspektif luas, studi ini sangat relevan dengan tantangan pembangunan infrastruktur di Indonesia saat ini, di mana proyek-proyek besar sering kali terhambat bukan oleh aspek teknis, tetapi karena konflik hukum dan kelemahan regulasi. Artikel ini memberikan gambaran konkret bagaimana hukum konstruksi dapat dan seharusnya menjadi alat kontrol, bukan justru menjadi sumber masalah baru.

Dalam konteks tren global, penerapan prinsip-prinsip keberlanjutan dan transparansi dalam proyek infrastruktur mulai menjadi syarat mutlak. Dengan demikian, upaya integrasi antara hukum konstruksi, teknologi informasi, dan tata kelola proyek modern seperti yang disarankan dalam studi ini dapat menjadi model rujukan untuk proyek lain di Indonesia maupun negara berkembang lainnya.

Secara keseluruhan, artikel ini sangat kaya informasi dan analisis kritis. Dengan menyertakan data konkret seperti panjang ruas tol (361 km), nilai investasi (Rp22 triliun), serta detail masalah dan solusi hukum yang dihadapi, artikel ini tidak hanya bermanfaat secara akademis tetapi juga praktis. Penggunaan pendekatan multidisipliner antara hukum, manajemen proyek, dan teknologi menjadi kekuatan utama dari tulisan ini. Di saat pembangunan infrastruktur nasional semakin dipacu, kajian seperti ini sangat dibutuhkan untuk memastikan bahwa setiap proyek tidak hanya selesai tepat waktu, tetapi juga berjalan dalam koridor hukum yang sehat, efisien, dan berkelanjutan.

Sumber Artikel Asli
Angga Dwian Prakoso, Sami’an, & Sarwono Hardjomuljadi. (2025). Efektivitas Penerapan Hukum Konstruksi pada Proyek Infrastrukstur Nasional: Studi Kasus Ruas Jalan Tol Lampung-Palembang. Jurnal Ilmiah Hukum dan Hak Publik, Vol. 5, No. 3, Januari 2025.