Farmasi

Inovasi Formulasi Tablet Antidiabetik Herbal Berbasis QbD: Integrasi Ilmu Tradisional dan Pendekatan Ilmiah Modern

Dipublikasikan oleh Muhammad Reynaldo Saputra pada 02 Agustus 2025


Pendahuluan: Menggagas Kualitas dari Awal dalam Formulasi Obat Herbal

Formulasi obat berbasis tanaman sering kali dihadapkan pada tantangan besar terkait konsistensi, efektivitas, dan standarisasi mutu. Paper ini menunjukkan bahwa mengadopsi pendekatan Quality by Design (QbD)—yang sebelumnya lebih sering diterapkan dalam farmasi modern—dapat memperkuat kredibilitas dan kualitas produk herbal.

Penelitian ini tidak hanya berfokus pada formulasi tablet herbal antidiabetik, tetapi secara konseptual menunjukkan bagaimana QbD dapat membentuk struktur sistematis untuk mengidentifikasi dan mengontrol variabel kritis dalam pengembangan produk alami. Dengan pendekatan reflektif dan kuantitatif, penulis berhasil membangun model formulasi yang memenuhi ekspektasi kualitas, stabilitas, dan efektivitas.

Kerangka Teori: Quality by Design sebagai Pilar Rancangan Mutu Farmasi

QbD merupakan pendekatan ilmiah terstruktur untuk mengembangkan produk dan proses manufaktur yang konsisten terhadap kualitas. Dalam konteks paper ini, QbD digunakan untuk:

  • Mengidentifikasi parameter kritis dalam pembuatan tablet herbal

  • Menetapkan atribut mutu penting atau Critical Quality Attributes (CQAs)

  • Mengembangkan design space sebagai batas aman proses produksi

QTPP (Quality Target Product Profile) dari tablet ini mengacu pada sifat-sifat seperti kemudahan dikonsumsi, kecepatan disintegrasi, kekerasan, dan stabilitas penyimpanan. Dengan memperjelas QTPP sejak awal, formulasi dapat dirancang untuk mengantisipasi tantangan sejak tingkat molekuler hingga kompresi tablet.

Komposisi dan Rasionalisasi Formula

Formulasi terdiri atas ekstrak tanaman dengan efek antidiabetik, yakni:

  • Gymnema sylvestre

  • Momordica charantia

  • Salacia reticulata

  • Pterocarpus marsupium

  • Trigonella foenum-graecum

Kelima bahan herbal ini diformulasikan dalam berbagai konsentrasi menggunakan metode wet granulation. Evaluasi menyeluruh mencakup uji pre-kompresi (alur serbuk, kepadatan), pasca-kompresi (kekerasan, kerapuhan, waktu disintegrasi), serta uji aktivitas antidiabetik in vivo.

Desain Eksperimen dan Optimasi Statistik

Peneliti menerapkan pendekatan Design of Experiments (DoE) menggunakan Design Expert software versi 11.0 dengan model Simplex Lattice Design, menilai tiga bahan utama (ekstrak herbal) sebagai variabel bebas (X₁, X₂, X₃) terhadap respon kualitas (Y₁ hingga Y₄) seperti:

  • Kekerasan tablet

  • Waktu disintegrasi

  • Aktivitas hipoglikemik

  • Rendemen produksi

Hasil DoE menunjukkan model statistik yang signifikan dengan F-value tinggi dan p-value <0,05, membuktikan hubungan linear antara komposisi ekstrak dan atribut kualitas.

Hasil Penelitian dan Refleksi Teoretis

1. Evaluasi Pre-Kompresi

Serbuk menunjukkan properti alir baik dengan sudut istirahat (angle of repose) berkisar 28,13°–30,21°, rasio Hausner di bawah 1,25, dan indeks kompresibilitas dalam batas optimal.

🔍 Refleksi: Stabilitas alir serbuk yang baik sangat penting dalam formulasi berbasis granulat basah karena berdampak langsung pada homogenitas campuran dan pengisian cetakan secara seragam.

2. Evaluasi Post-Kompresi

Tablet memiliki kekerasan 4,1–4,7 kg/cm², waktu disintegrasi 3–6 menit, dan kerapuhan kurang dari 0,8%. Hasil ini mendekati standar optimal tablet oral.

🔍 Interpretasi: Nilai-nilai ini mencerminkan keberhasilan dalam mengoptimalkan parameter proses seperti ukuran granula, jumlah pengikat, dan tekanan kompresi. Dengan mempertahankan waktu disintegrasi di bawah 6 menit, tablet tetap efektif tanpa kehilangan kekuatan mekanik.

3. Aktivitas Antidiabetik In Vivo

Uji hipoglikemik pada tikus diabetes menunjukkan penurunan kadar glukosa darah signifikan dalam 6 jam setelah pemberian tablet. Formulasi terpilih menghasilkan penurunan 36–44% kadar glukosa, menyamai efek standar glibenklamid.

🔍 Makna teoritis: Hal ini menunjukkan bahwa sinergi bahan herbal dalam formulasi berhasil dipertahankan dalam bentuk tablet tanpa menurunkan bioaktivitas. Ini mendukung asumsi bahwa QbD mampu mempertahankan integritas farmakologi zat aktif herbal.

4. Optimasi Statistik dan Validasi Model

Model DoE menghasilkan formula optimal dengan proporsi bahan aktif sebagai berikut:

  • Momordica charantia – 0,2

  • Gymnema sylvestre – 0,3

  • Salacia reticulata – 0,5

Model menghasilkan prediksi kekerasan tablet 4,36 kg/cm², waktu disintegrasi 4,2 menit, dan aktivitas hipoglikemik 43,9%. Eksperimen aktual menunjukkan deviasi <5% dari prediksi.

✅ Refleksi teoretis: Ini membuktikan bahwa QbD tidak hanya bersifat teoritik, tetapi dapat memprediksi dengan akurat kinerja produk akhir dalam batas variasi yang sangat rendah.

Narasi Argumentatif Penulis: QbD sebagai Transformasi Praktik Formulasi Herbal

Penulis menyusun argumen bahwa formulasi herbal memerlukan validasi ilmiah yang setara dengan obat sintetik. QbD menyediakan jembatan antara kearifan tradisional dan teknologi modern dengan:

  • Menetapkan sistem kontrol kualitas sejak awal

  • Meningkatkan efisiensi eksperimental melalui desain statistik

  • Memastikan replikasi dan kestabilan produk di tingkat manufaktur

Dalam konteks ini, penulis menghapus batas antara produk “alami” dan “ilmiah,” mengusulkan bahwa semua formulasi—herbal sekalipun—harus tunduk pada prinsip validasi berbasis data.

Kekuatan dan Kritik terhadap Pendekatan Metodologi

Kekuatan:

  • Aplikasi penuh dari framework QbD dalam formulasi herbal

  • Integrasi DoE dalam mendesain, menguji, dan mengoptimalkan variabel

  • Validasi in vivo yang memperkuat klaim bioaktivitas

Kelemahan:

  1. Variasi tanaman tidak dijelaskan secara mendalam — faktor geografis, musim, dan teknik ekstraksi bisa memengaruhi konsistensi bahan baku.

  2. Skalabilitas belum diuji secara industri — formula terbukti di laboratorium, tetapi tidak dibahas dalam konteks batch besar.

  3. Hanya tiga ekstrak utama dalam DoE — tidak melibatkan semua lima tanaman yang digunakan, sehingga potensi sinergi total belum sepenuhnya dieksplorasi.

📌 Saran: Studi lanjutan dapat fokus pada:

  • Standardisasi bahan baku (misal melalui marker compound)

  • Simulasi skala pilot

  • Penambahan variabel organoleptik atau stabilitas jangka panjang

Implikasi Ilmiah dan Potensi Pengembangan

Paper ini menunjukkan bahwa produk herbal dapat ditingkatkan secara ilmiah dengan:

  • Validasi statistik dalam desain dan evaluasi

  • Kemampuan prediktif terhadap atribut mutu

  • Standarisasi proses sebagai bagian dari compliance industri farmasi

Penelitian ini dapat menjadi model awal bagi pengembangan fitofarmaka yang tidak hanya efektif tetapi juga stabil, reproducible, dan memenuhi standar regulasi. Ini mempercepat adopsi terapi alami dalam sistem kesehatan arus utama.

Kesimpulan: Mengintegrasikan Tradisi dan Inovasi melalui QbD

Formulasi tablet antidiabetik herbal dalam studi ini menunjukkan bahwa ketika sains formulasi digabungkan dengan prinsip QbD, hasilnya bukan hanya produk yang efektif, tapi juga dapat diandalkan dan dikendalikan. Dengan mengutamakan prediksi, konsistensi, dan kontrol dari awal, penelitian ini menegaskan bahwa pendekatan berbasis desain bukan hanya masa depan farmasi modern, tetapi juga jembatan antara ilmu tradisional dan teknologi kontemporer.

📎 Link resmi paper (jurnal):
https://www.ijper.org/article/2021/55/4/1207-1215

Selengkapnya
Inovasi Formulasi Tablet Antidiabetik Herbal Berbasis QbD: Integrasi Ilmu Tradisional dan Pendekatan Ilmiah Modern

Farmasi

Inovasi Pelapisan Kering dalam Formulasi Farmasi: Optimalisasi Proses melalui Pendekatan Quality by Design (QbD)

Dipublikasikan oleh Muhammad Reynaldo Saputra pada 02 Agustus 2025


Pendahuluan: Transformasi Pendekatan Kualitas dalam Sains Farmasi

Industri farmasi telah lama didominasi oleh paradigma Quality by Testing (QbT), di mana kualitas produk diuji pasca-produksi. Namun, pendekatan ini terbukti tidak efisien dalam menjamin kualitas secara konsisten. Paper ini menandai pergeseran penting menuju Quality by Design (QbD)—sebuah pendekatan sistematis berbasis risiko yang menekankan pentingnya membangun kualitas sejak awal tahap pengembangan.

Penelitian ini menawarkan sebuah studi mendalam mengenai pengembangan partikel fungsional (functionalised particles, FPs) menggunakan teknik pelapisan kering (dry coating), tanpa pelarut atau panas, yang menjadi solusi alternatif terhadap metode konvensional. Dengan mengadopsi kerangka kerja QbD, penulis menjelaskan bagaimana kualitas produk dapat diintegrasikan ke dalam proses itu sendiri, bukan hanya diuji pada akhir.

Kerangka Konseptual: Quality by Design sebagai Dasar Ilmiah

QbD mendasarkan pengembangan produk pada prinsip bahwa kualitas harus dirancang dan tidak sekadar diuji. Dalam konteks ini, penulis memetakan Quality Target Product Profile (QTPP) untuk memastikan pelepasan obat yang terkendali, dan kemudian menetapkan Critical Quality Attributes (CQAs) yang mencerminkan parameter utama produk:

  • Homogenitas kandungan (RSD)

  • Laju disolusi ibuprofen

  • Distribusi ukuran partikel (X10)

  • Interaksi molekuler melalui spektrum FTIR

Proses produksi dikaji melalui empat Critical Process Parameters (CPPs):

  • Kecepatan pengaduk

  • Tekanan udara

  • Waktu pemrosesan

  • Ukuran batch

Dengan demikian, paper ini membangun struktur hubungan sebab-akibat antara variabel proses dan atribut mutu akhir.

Metodologi: Integrasi DoE dan Penilaian Risiko

Perancangan Eksperimen:

Desain eksperimen menggunakan pendekatan D-optimal, menghasilkan 26 kombinasi eksperimental (termasuk 4 replikasi) untuk mengevaluasi pengaruh CPP terhadap CQAs.

Penilaian Risiko Awal:

Analisis awal menunjukkan keempat CPP memiliki tingkat risiko sedang hingga tinggi terhadap keseluruhan CQAs, memperkuat urgensi optimasi sistematis.

Hasil Eksperimen dan Refleksi Konseptual

1. Kandungan Homogen (RSD)

Nilai RSD terbaik (2,08%) diperoleh pada kecepatan tinggi (≥1200 rpm), tekanan tinggi (40 psi), waktu singkat (15 menit), dan batch kecil (6 g).

Refleksi teoretis: Ini menunjukkan bahwa gaya mekanis yang optimal memungkinkan partikel ibuprofen terdistribusi merata di permukaan pembawa (MCC), menghindari aglomerasi atau segregasi.

2. Laju Disolusi Ibuprofen

Laju disolusi menurun pada kondisi pelapisan efektif. Campuran fisik menunjukkan 99% pelarutan dalam 60 menit, sedangkan partikel berpelapis hanya 84%—mengindikasikan keberhasilan pembentukan lapisan yang memperlambat pelepasan.

Makna teoritis: Keberhasilan pelapisan mencerminkan modifikasi permukaan yang membatasi kelarutan instan, selaras dengan QTPP pelepasan lambat.

3. Distribusi Ukuran Partikel (X10)

Nilai X10 lebih tinggi tercapai pada kecepatan rendah dan waktu proses panjang, mengindikasikan pembentukan aglomerat. Sebaliknya, batch kecil dan kecepatan tinggi menghasilkan distribusi lebih seragam.

Interpretasi konseptual: Hal ini menunjukkan bahwa kontrol kinetik dan mekanik mendukung pencapaian ukuran partikel target tanpa menciptakan gumpalan tidak diinginkan.

4. Validasi Interaksi Molekuler dengan FTIR

Spektrum FTIR menunjukkan penurunan intensitas pita C=O pada 1708 cm⁻¹ pada partikel berlapis dibandingkan campuran fisik, menandakan terbentuknya ikatan hidrogen antara ibuprofen dan MCC.

Refleksi konseptual: Penurunan ini bukan sekadar data analitik, melainkan representasi molekuler dari terbentuknya interaksi yang mengatur pelepasan obat. Ini memperluas definisi CQA menjadi sesuatu yang juga bersifat kimiawi, bukan hanya fisik.

Visualisasi Desain Ruang Proses (Design Space)

Peta desain mengidentifikasi zona proses optimal:

  • Kecepatan: 850–1500 rpm

  • Waktu: 15–60 menit

  • Tekanan: 40 psi

  • Ukuran batch: 6 g

Model prediktif menghasilkan R² ≥ 0,85 untuk semua CQAs, membuktikan kekuatan desain DoE dalam memodelkan hasil. Verifikasi kondisi optimal menunjukkan hasil aktual berada dalam deviasi <10% dari prediksi.

Argumentasi Penulis: Dari Eksperimen Menuju Sistem Mutu

Penulis membangun narasi bahwa teknik pelapisan kering, jika diintegrasikan dengan prinsip QbD, mampu menghasilkan produk dengan kualitas yang tidak hanya terukur, tetapi juga terprediksi. Alih-alih memperbaiki kualitas di akhir, proses ini mengarahkan desain sejak awal agar sesuai dengan profil produk target.

Daftar Poin: Kontribusi Ilmiah Utama Paper Ini

  • Inovasi teknik: Penggunaan pelapisan kering tanpa pelarut sebagai alternatif ramah lingkungan dan hemat energi.

  • Validasi molekuler: Integrasi FTIR sebagai CQA menambah dimensi kimia dalam pengendalian mutu.

  • Prediktivitas proses: Desain eksperimen memungkinkan pencapaian design space yang stabil dan direplikasi.

  • Penerapan penuh QbD: Dari QTPP hingga verifikasi eksperimental dilakukan secara menyeluruh.

Kritik dan Refleksi Metodologis

Kekuatan:

  • Pendekatan sistematis dan menyeluruh terhadap prinsip QbD.

  • Model statistik robust dengan validasi eksperimental aktual.

  • Integrasi pengukuran molekuler (FTIR) memperkaya dimensi evaluasi.

Kelemahan:

  1. Skalabilitas: Ukuran batch maksimum hanya 20 g, belum mencerminkan kondisi industri.

  2. Model API tunggal: Hanya menggunakan ibuprofen, sehingga generalisasi masih terbatas.

  3. Ketergantungan pada alat prototipe: Implementasi komersial bisa terhambat tanpa spesifikasi peralatan terbuka.

Saran:

Studi lanjutan sebaiknya mencakup skala pilot dan bahan aktif yang memiliki sifat kelarutan berbeda untuk menguji generalisasi metode ini secara lebih luas.

Implikasi dan Potensi Ilmiah

Penelitian ini membuka cakrawala baru dalam formulasi farmasi, terutama dalam:

  • Menyederhanakan proses manufaktur tanpa kehilangan kontrol mutu.

  • Mengurangi dampak lingkungan dengan menghilangkan pelarut.

  • Meningkatkan efisiensi validasi regulasi dengan model yang dapat dijustifikasi secara statistik dan molekuler.

Secara konseptual, studi ini memperlihatkan bagaimana QbD bukan hanya alat manajemen mutu, tetapi kerangka kerja ilmiah untuk memahami dan mengendalikan proses formulasi secara menyeluruh.

Kesimpulan: Memformulasikan Ulang Definisi Kualitas dalam Farmasi

Dengan menyandingkan teknik pelapisan kering dan kerangka kerja QbD, paper ini menunjukkan bahwa kualitas adalah hasil desain yang cermat, bukan sekadar hasil akhir yang diperiksa. Dengan memvalidasi seluruh proses melalui data dan pemahaman molekuler, pendekatan ini membuktikan bahwa masa depan formulasi farmasi terletak pada interseksi antara inovasi proses dan sains mutu.

📎 Link resmi paper (DOI):
https://doi.org/10.1371/journal.pone.0206651

Selengkapnya
Inovasi Pelapisan Kering dalam Formulasi Farmasi: Optimalisasi Proses melalui Pendekatan Quality by Design (QbD)

Farmasi

Optimalisasi Partikel Fungsional Berbasis Quality by Design: Refleksi atas Inovasi Pelapisan Kering dalam Formulasi Farmasi

Dipublikasikan oleh Muhammad Reynaldo Saputra pada 02 Agustus 2025


Pendahuluan: Evolusi Pendekatan Kualitas dalam Pengembangan Obat

Di tengah kompleksitas formulasi farmasi, kontrol kualitas yang efektif bukan lagi cukup dilakukan di akhir proses. Paradigma baru yang ditawarkan oleh pendekatan Quality by Design (QbD) menuntut integrasi kualitas ke dalam seluruh siklus pengembangan produk, dimulai dari pemahaman mendalam terhadap bahan, proses, hingga karakteristik produk akhir.

Penelitian ini secara komprehensif mengimplementasikan prinsip QbD dalam rangka mengembangkan partikel fungsional (functionalised particles/FPs) menggunakan metode pelapisan kering yang inovatif. Tanpa menggunakan pelarut atau panas, teknik ini mengandalkan pengikatan partikel aktif ke permukaan pembawa menggunakan energi mekanik, menawarkan jalur baru dalam formulasi padat farmasi yang lebih efisien dan ramah lingkungan.

Konsep Inti dan Tujuan Penelitian

Penelitian ini bertujuan merancang dan mengoptimalkan proses pelapisan kering untuk membentuk FPs dengan memanfaatkan model sistem ibuprofen–MCC (microcrystalline cellulose), menggunakan pendekatan QbD secara menyeluruh. Dalam pendekatan ini, setiap variabel proses dikaitkan secara langsung dengan Critical Quality Attributes (CQAs) dari produk akhir, melalui penilaian risikoperancangan eksperimen (DoE), dan validasi statistik.

Kerangka Teoretis: Quality by Design sebagai Fondasi Strategis

QbD dilandaskan pada pemahaman bahwa kualitas tidak bisa "diperiksa masuk", melainkan harus "dirancang sejak awal." Pendekatan ini dimulai dari penentuan Quality Target Product Profile (QTPP), penetapan Critical Material Attributes (CMAs) dan Critical Process Parameters (CPPs), serta penyusunan Design Space.

Dalam penelitian ini, QTPP difokuskan pada pelepasan terkendali ibuprofen dari sistem padat. Untuk mencapai ini, beberapa CQAs ditentukan:

  • Keseragaman kandungan (RSD)

  • Laju disolusi obat

  • Ukuran partikel

  • Interaksi molekuler (melalui FTIR)

Metodologi Eksperimental dan Pemetaan Risiko

Desain Eksperimen:

Penelitian menggunakan desain D-optimal untuk menguji efek dari 4 CPP:

  • Kecepatan pengaduk (300–1500 rpm)

  • Tekanan udara (0–40 psi)

  • Waktu proses (15–60 menit)

  • Ukuran batch (6–20 gram)

Sebanyak 26 run dilakukan, termasuk 4 replikasi untuk menilai variabilitas.

Pemetaan Risiko:

Dari hasil penilaian awal, ditemukan bahwa keempat parameter proses memiliki tingkat risiko sedang hingga tinggi terhadap seluruh CQAs. Oleh karena itu, keempatnya dimasukkan dalam perancangan eksperimen untuk evaluasi lebih lanjut.

Temuan dan Interpretasi Konseptual

1. Kandungan Homogen (RSD)

Hasil menunjukkan RSD terendah (2,08%) diperoleh pada kecepatan tinggi (1200–1500 rpm), tekanan tinggi (40 psi), waktu pendek (15–30 menit), dan batch kecil (6–10 g).

🔍 Refleksi Teoretis: RSD sebagai indikator homogenitas distribusi partikel aktif menegaskan bahwa gaya mekanik optimal dibutuhkan agar partikel ibuprofen terdistribusi merata tanpa aglomerasi atau segregasi.

2. Laju Disolusi Ibuprofen

Laju disolusi menurun signifikan pada kecepatan tinggi dan batch kecil. Pada kondisi optimal, hanya 84% ibuprofen larut dalam 60 menit, dibandingkan dengan >99% pada campuran fisik.

🔍 Makna Teoritis: Penurunan ini mengindikasikan keberhasilan pelapisan fungsional, di mana partikel ibuprofen tidak langsung tersedia, melainkan dilepaskan secara bertahap dari permukaan MCC.

3. Ukuran Partikel (X10)

Nilai X10 meningkat seiring dengan penurunan kecepatan dan peningkatan waktu proses, mengindikasikan pertumbuhan agregat. Pada kondisi optimal, distribusi partikel menjadi lebih seragam dan tidak menunjukkan aglomerasi besar.

🔍 Interpretasi: Hasil ini mencerminkan keberhasilan dalam menciptakan FPs yang stabil secara morfologis, serta mendukung hipotesis bahwa parameter proses mekanik menentukan karakteristik fisik akhir.

4. Spektrum FTIR: Validasi Interaksi Molekuler

Pengamatan melalui FTIR menunjukkan penurunan intensitas puncak C=O (1708 cm⁻¹) pada campuran pelapisan kering dibandingkan campuran fisik. Ini menandakan terbentuknya ikatan hidrogen antara ibuprofen dan MCC.

🔍 Refleksi: Validasi kimia ini menegaskan bahwa efek pelapisan tidak sekadar mekanis, tetapi mencakup perubahan tingkat molekuler yang berkontribusi terhadap profil pelepasan obat.

Visualisasi Ruang Desain (Design Space) dan Validasi Statistik

Model statistik yang dihasilkan menunjukkan koefisien determinasi tinggi untuk semua respon (R² > 0,85), menunjukkan kecocokan antara prediksi dan hasil aktual.

Peta Design Space menampilkan area proses optimal pada:

  • Kecepatan: 850–1500 rpm

  • Waktu: 15–60 menit

  • Batch size: 6 g

  • Tekanan: 40 psi

✅ Validasi model dilakukan dengan menjalankan formulasi pada kondisi optimal dan membandingkan hasil aktual dengan prediksi. Perbedaan relatifnya <10%, membuktikan kekuatan prediktif model DoE.

Narasi Argumentatif Penulis: Integrasi QbD sebagai Strategi Efisiensi

Penulis menyusun argumen bahwa metode pelapisan kering dapat menggantikan pendekatan konvensional (wet coating) dengan menggabungkan efisiensi proses dan kontrol kualitas berbasis data. Mereka memperlihatkan bagaimana QbD bukan hanya kerangka teoritis, tetapi instrumen praktis untuk desain formulasi yang robust, repeatable, dan terukur.

Kritik terhadap Pendekatan dan Logika Penelitian

Kelebihan:

  • Penerapan QbD dilakukan secara utuh, mencakup QTPP hingga verifikasi ruang desain.

  • Integrasi data kualitatif (FTIR) dan kuantitatif (disolusi, RSD, PSA) memperkuat narasi ilmiah.

  • Pendekatan eksperimental dirancang dengan validasi statistik yang memadai.

Keterbatasan:

  1. Generalisasi: Hanya menggunakan satu model bahan aktif (ibuprofen), membatasi aplikasi ke formulasi lain.

  2. Rentang parameter sempit: Tidak menguji kondisi ekstrem, membuat model kurang robust terhadap deviasi luar biasa.

  3. Ketergantungan pada alat internal (prototype): Menantang untuk replikasi di skala industri tanpa spesifikasi peralatan terbuka.

📌 Saran perbaikan: Studi lanjutan bisa menilai validitas model dengan bahan aktif berbeda dan pada skala manufaktur yang lebih besar untuk mendekati kondisi komersial.

Potensi Ilmiah dan Implikasi Jangka Panjang

Penelitian ini membuka ruang baru dalam pengembangan formulasi padat farmasi dengan beberapa implikasi penting:

  • Efisiensi produksi: Mengurangi kebutuhan pelarut dan waktu proses.

  • Ramah lingkungan: Menghilangkan penggunaan bahan kimia pelapis.

  • Presisi formulasi: Mengandalkan desain berbasis data untuk menghasilkan produk yang dapat direplikasi.

Secara teoretis, riset ini memperluas cakupan CQAs tidak hanya sebagai indikator fisik, tetapi juga kimia dan fungsional. Dengan pendekatan QbD, pengembangan formulasi menjadi lebih terstruktur, memungkinkan proses validasi dan perizinan yang lebih cepat dan terpercaya.

Kesimpulan: Mendorong Transformasi Formulasi Farmasi Berbasis Sains

Paper ini bukan hanya sebuah studi teknis, melainkan manifestasi filosofi QbD sebagai strategi ilmiah yang dapat meningkatkan efisiensi, efektivitas, dan keberlanjutan dalam pengembangan produk farmasi. Melalui penggabungan eksplorasi eksperimental, validasi statistik, dan pemahaman konseptual, penulis memberikan contoh nyata bagaimana ilmu dapat menginformasikan teknologi dalam dunia nyata.

📎 Link resmi paper:
https://doi.org/10.1371/journal.pone.0206651

Selengkapnya
Optimalisasi Partikel Fungsional Berbasis Quality by Design: Refleksi atas Inovasi Pelapisan Kering dalam Formulasi Farmasi

Farmasi

Mengenal Cabang Ilmu Biomolekul

Dipublikasikan oleh Anisa pada 29 April 2025


Biologi dan subdisiplinnya, biokimia dan biologi molekuler, menyelidiki biomolekul dan reaksi mereka. Sebagian besar biomolekul adalah senyawa organik, terdiri dari hanya empat unsur: nitrogen, hidrogen, karbon, dan oksigen. Meskipun demikian, sejumlah bahan tambahan, seperti berbagai biometal, ditemukan dalam jumlah kecil.

Dengan demikian, biomolekul dan lintasan metabolisme ini disebut sebagai "universal biokimia" atau "teori kesatuan material makhluk hidup", sebuah konsep yang menggabungkan teori sel dan teori evolusi dalam biologi. Keane

Istilah "biomolekul" atau "molekul biologis" digunakan secara longgar untuk menyebut molekul di dalam tubuh yang melakukan fungsi penting dalam proses biologis tertentu, seperti morfogenesis, perkembangan, dan pembelahan sel. Biomolekul terdiri dari molekul kecil seperti metabolit primer, metabolit sekunder, dan produk alami, serta makromolekul besar (atau polianion) seperti protein, karbohidrat, lipid, dan asam nukleat. Materi biologis adalah nama yang lebih umum untuk kelompok ini. Biomolekul, yang biasanya berasal dari organisme itu sendiri atau dibuat di dalamnya, adalah komponen penting bagi organisme hidup. Meskipun demikian, organisme biasanya membutuhkan biomolekul eksogen, seperti nutrisi tertentu, untuk bertahan hidup.

karagaman jenis biomolekul dan lintasan metabolisme ini merupakan ciri khas dari keanekaragaman bentuk kehidupan.

Sakarida

Monosakarida, yang namanya berasal dari kata "mono" yang berarti "satu" dan "sakarida" yang berarti "gula", adalah jenis karbohidrat paling sederhana yang terdiri dari satu gula. Dalam strukturnya, monosakarida mengandung gugus aldehida (disebut aldosa) atau gugus keton (disebut ketosa). Monosakarida yang terdiri dari tiga atom karbon disebut triosa; monosakarida dengan empat atom karbon disebut tetrosa, lima atom karbon disebut pentosa, enam atom karbon disebut heksosa, dan seterusnya. Contoh monosakarida adalah glukosa, fruktosa, galaktosa, ribosa, dan deoksiribosa. Ketika dikonsumsi, glukosa dan fruktosa memiliki tingkat pengosongan lambung yang berbeda, diserap dengan cara yang berbeda, dan menjalani kehidupan metabolik yang berbeda. Ini memberi banyak peluang bagi dua jenis sakarida untuk memengaruhi jumlah makanan yang dikonsumsi seseorang. Respirasi seluler menghasilkan sebagian besar sakarida. Disakarida terbentuk ketika dua monosakarida membentuk ikatan glikosidik dengan menghilangkan molekul air. Selain itu, satu molekul disakarida dapat dihidrolisis menjadi dua molekul monosakarida. Sukrosa, maltosa, dan laktosa adalah contoh disakarida.

Monosakarida yang terpolimerisasi menjadi karbohidrat kompleks, seperti pati, selulosa, dan glikogen, dikenal sebagai polisakarida. Molekul polisakarida biasanya berukuran besar dan sering memiliki konektivitas bercabang yang kompleks. Oligosakarida adalah polisakarida yang lebih pendek yang terdiri dari tiga hingga sepuluh monomer.

Jenis-jenis

Lipid

Lipid, yang merupakan ester asam lemak, membangun membran biologis dan menyimpan energi (seperti trigliserida). Sebagian besar lipid terdiri dari kepala yang bersifat polar atau hidrofilik (biasanya terdiri dari gliserol), dan ekor yang terdiri dari satu hingga tiga molekul asam lemak yang bersifat nonpolar atau hidrofobik. Lipit disebut sebagai molekul amfifilik karena kedua sifat ini. Rantai atom karbon tidak bercabang asam lemak biasanya terdiri dari empat belas hingga dua puluh empat kelompok karbon, dengan rentang antara empat belas dan dua puluh empat kelompok karbon dalam jenis asam lemak jenuh dan asam lemak tak jenuh. Kepala hidrofilik lipid di membran biologis berasal dari salah satu dari tiga kelompok: (1) glikolipid, yang kepalanya terdiri dari oligosakarida dengan residu sakarida antara satu hingga lima belas; (2) fosfolipid, yang kepalanya terdiri dari gugus fosfat bermuatan positif yang dihubungkan ke ekornya oleh gugus fosfat bermuatan negatif; atau (3) sterol, yang kepalanya terdiri dari cincin steroid planar, seperti kolesterol. Lipid lain termasuk prostaglandin dan leukotrien, yang keduanya dibuat dari salah satu jenis asam lemak, asam arakidonat.

  • Asam Amino

Asam amino adalah biomolekul yang mengandung gugus fungsi amina (–NH2) dan karboksil (–COOH), serta rantai samping (gugus "R" yang unik untuk masing-masing jenis asam amino. Molekul ini adalah monomer yang dapat bergabung untuk membentuk protein dan peptida (baik polipeptida maupun oligopeptida). Asam amino proteinogenik adalah dua puluh dua asam amino yang memiliki kemampuan untuk membentuk protein. 20 asam amino dari kumpulan ini disandi oleh kode genetik standar, dan dua asam amino terakhir dimasukkan ke dalam protein melalui mekanisme translasi tertentu yang dilakukan oleh beberapa organisme. Misalnya, selenosistein dimasukkan ke dalam beberapa protein pada kodon UGA, yang biasanya merupakan kodon akhir, dan pirolisin dimasukkan ke dalam beberapa protein pada kodon UAG, yang terjadi dalam beberapa organisme metanogen dalam enzim Asam amino lainnya yang penting untuk proses biologi termasuk taurin, ornitin, GABA, dan karnitin (digunakan untuk mengangkut lipid dalam sel).

  • Nukleosida dan nukleotida

Nukleosida dibuat dengan menempelkan nukleobasa ke cincin gula pentosa yang terdiri dari ribosa atau deoksiribosa. Contohnya adalah sitidin (C), uridin (U), timidin (T), guanosin (G), dan adenosin (A). Untuk menghasilkan nukleotida, nukleosida dapat difosforilasi, yaitu ditambahkan gugus fosfat. Namun, baik DNA maupun RNA terdiri dari polimer yang terdiri dari molekul linier panjang yang dirakit oleh enzim polimerase dari unit struktural berulang atau monomer, yang terdiri dari nukleotida tunggal. DNA menggunakan deoksinukleotida C, G, A, dan T, sedangkan RNA menggunakan ribonukleotida C, G, A, dan U. Basa termodifikasi (seperti gugus metil pada dasar cincin) sering ditemukan, seperti yang ditemukan dalam RNA ribosomal atau RNA transfer, atau untuk membedakan unting DNA baru dari unting DNA lama setelah replikasi.

  • Lignin

Lignin adalah makromolekul polifenol kompleks yang terutama terdiri dari hubungan beta-O4-aril. Ini adalah biopolimer kedua yang paling banyak ditemukan setelah selulosa dan merupakan komponen struktural utama sebagian besar tumbuhan. Subunit molekul ini berasal dari alkohol parakoumaril, alkohol koniferil, dan alkohol sinapil, dan karena tergolong rasemat, mereka tidak biasa di antara biomolekul lainnya.

Sumber:

https://id.wikipedia.org

Selengkapnya
Mengenal Cabang Ilmu Biomolekul

Farmasi

Sejarah Ilmu Farmakognosi

Dipublikasikan oleh Anisa pada 24 Maret 2025


Menurut American Society of Pharmacognosy, farmakognosi adalah "ilmu yang mempelajari sifat fisik, kimia, biokimia, dan biologi suatu obat, zat obat, atau potensi obat, atau zat obat yang berasal dari alam serta pencarian obat baru dari sumber alam.". Dokter Jerman Johann Adam Schmidt (1759–1809) pertama kali menggunakan istilah "farmakognosi" dalam bukunya yang diterbitkan pada tahun 1811, Lehrbuch der Materia Medica, dan sekali lagi oleh Anotheus Seydler pada tahun 1815, dalam bukunya Analecta Pharmacognostica.

Awalnya—selama abad ke-19 dan awal abad ke-20—"farmakognosi" digunakan untuk mendefinisikan cabang ilmu kedokteran atau ilmu komoditas (Warenkunde dalam bahasa Jerman) yang menangani obat-obatan dalam bentuk mentah atau belum siap. Obat kasar adalah bahan asal tumbuhan, hewan, atau mineral yang dikeringkan dan belum diolah, yang digunakan untuk pengobatan. Studi tentang bahan-bahan ini dengan nama Pharmakognosie pertama kali dikembangkan di wilayah berbahasa Jerman di Eropa, sedangkan wilayah bahasa lainnya sering menggunakan istilah lama materia medica yang diambil dari karya Galen dan Dioscorides. Di Jerman, istilah Drogenkunde ("ilmu obat-obatan mentah") juga digunakan secara sinonim.

Selain definisi yang disebutkan sebelumnya, American Society of Pharmacognosy mendefinisikan farmakognosi sebagai "studi tentang molekul produk alami (biasanya metabolit sekunder) yang berguna untuk sifat obat, ekologi, pengecapan, atau sifat fungsional lainnya." Demikian pula, misi Institut Farmakognosi di Universitas Illinois di Chicago melibatkan produk kesehatan nabati dan yang berhubungan dengan tumbuhan untuk kepentingan kesehatan manusia. Definisi lain lebih mencakup, menggambarkan spektrum subjek biologi yang luas, termasuk botani, etnobotani, biologi kelautan, mikrobiologi, pengobatan herbal, kimia, bioteknologi, fitokimia, farmakologi, farmasi, farmasi klinis, dan praktik farmasi.

Awalnya—selama tahun 1800-an dan awal 1900-an—istilah "farmakognosi" digunakan untuk mendefinisikan cabang ilmu kedokteran atau ilmu komoditas (Warenkunde dalam bahasa Jerman) yang menangani obat-obatan dalam bentuk mentah atau belum siap. Obat kasar adalah bahan asal tumbuhan, hewan, atau mineral yang dikeringkan dan belum diolah yang digunakan untuk pengobatan. Studi tentang bahan-bahan ini dengan nama "pharmacognosie" pertama kali dikembangkan di wilayah Eropa yang berbahasa Jerman, sementara negara-negara lain

Pada awal abad ke-20, subjek telah berkembang terutama pada sisi botani, terutama berkaitan dengan deskripsi dan identifikasi obat baik dalam bentuk utuh maupun dalam bentuk bubuk. Cabang-cabang farmakognosi ini masih penting, khususnya untuk produk botani (yang banyak tersedia sebagai suplemen makanan di AS dan Kanada), kendali mutu, protokol farmakope, dan regulator kesehatan terkait.

Farmakognosi didefinisikan oleh American Society of Pharmacognosy sebagai "studi tentang molekul produk alami (biasanya metabolit sekunder) yang berguna untuk sifat obat, ekologi, pengecapan, atau fungsi lainnya", sesuai dengan definisi yang telah disebutkan. Demikian pula, Institut Farmakognosi di Universitas Illinois di Chicago bertujuan untuk mempromosikan produk kesehatan nabati dan yang berhubungan dengan tumbuhan untuk kepentingan kesehatan manusia. Definisi lainnya lebih luas, mencakup berbagai subjek biologi, seperti botani, etnobotani, biologi kelautan, mikrobiologi, pengobatan herbal, kimia, bioteknologi, fitokimia, farmakologi, farmasi, farmasi klinis, dan praktik farmasi.

Dalam proses metabolisme mereka secara alami, setiap tanaman menghasilkan fitokimia. Fitokimia ini dibagi menjadi (1) metabolit primer, seperti gula dan lemak, yang ditemukan di setiap tanaman; dan (2) metabolit sekunder, yaitu senyawa yang mempunyai fungsi lebih spesifik pada jumlah tumbuhan yang lebih sedikit. Misalnya, metabolit sekunder, seperti racun yang digunakan oleh tanaman untuk mencegah predasi, dan feromon yang digunakan oleh serangga untuk penyerbukan, dapat diubah menjadi obat. Contohnya termasuk inulin dari wortel dahlia, quinine dari cinchona, THC dan CBD dari bunga ganja, morfin dan kodein dari poppy, dan digoxin dari foxglove.

Disadur dari:

https://en.wikipedia.org

Selengkapnya
Sejarah Ilmu Farmakognosi

Farmasi

Pengaplikasian Teknik Keamanan Pangan

Dipublikasikan oleh Anisa pada 20 Maret 2025


Teknik keamanan pangan adalah cabang ilmu teknik yang mengkhususkan diri pada penerapan prinsip ilmu teknik untuk mengatasi masalah keamanan mikrobial dan kimia pada produk pangan. Di sisi lain, keamanan pangan adalah disiplin ilmu yang menangani, menyajikan, dan menyimpan bahan pangan dengan cara yang mencegah penyakit yang bersumber dari bahan pangan. Prinsip ini dapat digunakan dalam pembuatan solusi teknologi untuk dekontaminasi dan pengawetan makanan. Ilmu teknik bersama dengan ide mikrobiologi dan kimia memiliki potensi yang sangat besar untuk membangun solusi non-konvensional untuk masalah keamanan pangan yang berbahaya. Teknik keamanan pangan merupakan bagian integral dari teknik pengolahan pangan dan hasil pertanian, ilmu pangan, dan teknologi pangan karena semuanya bertanggung jawab atas pemrosesan bahan pangan sejak dipanen hingga siap dipasarkan. Pelanggaran keamanan pangan dapat terjadi selama proses pemrosesan bahan pangan, baik itu berupa proses maupun alat yang digunakan.

Teknik keamanan pangan tidak terfokus pada penyelidikan dan pengujian proses atau rantai produksi pangan. Sebaliknya, teknik ini digunakan untuk membuat proses dan rantai produksi pangan yang aman tanpa mengurangi standar masyarakat yang dibutuhkan untuk produk pangan.

Prinsip-prinsip ilmu teknik yang berkaitan dengan keamanan pangan dapat digunakan di:

  • Pengendalian mikroorganisme pada bahan pangan dan bahan mentah
  • Desain produk dan pengendalian proses
  • Penerapan praktik kebersihan dan pembuatan yang baik (GHPs/GMPs)
  • Penerapan sistem analisis bahaya dan titik kontrol kritis (HACCP) di seluruh rantai pengolahan pangan

Pengendalian terpadu diperlukan sepanjang rantai produksi dan konsumsi pangan untuk memastikan bahwa produk pangan aman diproduksi. Pengembangan teknologi pemrosesan yang terus berlanjut disebabkan oleh peningkatan kesadaran akan keamanan pangan teah. Para pakar dalam teknik, mikrobiologi, kimia, dan bidang ilmu lainnya telah melakukan kemajuan besar dalam kualitas dan keamanan makanan.

Teknik pengendalian, pemantauan, dan identifikasi

38% produk makanan yang ditarik oleh Food Safety and Inspection Service USDA pada tahun 2004 terkait dengan kontaminasi mikrob, serta 44% produk daging, daging ayam, dan telur.Selama dua puluh tahun terakhir, telah ditemukan Salmonella typhimurium, Listeria monocytogenes, dan Escherichia coli dalam 5000 produk yang ditarik dari pasar. Oleh karena itu, deteksi dan identifikasi patogen pada bahan pangan yang cepat, efektif, dan dapat diandalkan diperlukan.

Untuk menjamin keamanan pangan, patogen dan kontaminan mikrob lainnya harus diidentifikasi. Metode tradisional untuk mengidentifikasi patogen makanan memakan banyak waktu dan tenaga. Penemuan teknologi terbaru membuat deteksi dan identifikasi lebih cepat, nyaman, sensitif, dan spesifik dibandingkan dengan pengujian konvensional; seluruh fase pemeriksaan dibutuhkan 16 hingga 48 jam.

Dalam bidang keamanan pangan, ada banyak pendekatan yang digunakan untuk pengendalian, pemantauan, dan identifikasi.

  • Media mikrobiologis kromogenik

Piringan media kromogenik, salah satu penemuan yang terkenal dalam bidang mikrobiologi, memiliki kemampuan untuk membedakan spesies patogen yang berbahaya dari spesies lainnya. Media ini dibuat dengan menggunakan substansi kromogenik yang menghasilkan sekumpulan warna yang terkait dengan spesies patogen tertentu ketika substrat mengalami hidrolisis oleh enzim patogen. Media ini mudah digunakan dan spesifik terhadap spesies patogen dan strain tertentu, tergantung pada enzim yang digunakan untuk menghidrolisisnya. Selain itu, hasil biasanya dapat dilihat antara 18 dan 24 jam setelah inkubasi. Hal ini memungkinkan perusahaan makanan untuk mengurangi biaya dan waktu yang terpakai.

  • Pengujian molekuler dan imunologik

Dengan perkembangan sistem pengujian patogen, pendeteksian berbasis teknologi molekular atau DNA adalah salah satu bidang yang mengalami perkembangan yang cepat. Pengujian berbasis imunologi, seperti pengujian imunologik terkait enzim (ELISA), pengujian imunologik berlapis berbasis fluoresensi (FLISA), Western blot, dan aglutinasi, dapat digunakan untuk mengidentifikasi apakah ada mikrob di dalam makanan. Secara umum, kelemahan metode ini adalah ketidakmampuan untuk mengidentifikasi patogen dalam jumlah yang kecil, sensitivitas yang berbeda, dan kemampuan untuk mengisolasi satu organisme untuk pengkulturan.

  • Biosensor

Biosensor mendeteksi toksin dan mikroorganisme berbahaya. Biosensor menggunakan bioreseptor seperti biokatalis, bioafinitas, dan reseptor hibrida untuk mendeteksi tanda unik yang terikat dengan bioreseptor. Tanda-tanda ini termasuk enzim, antibodi, mikrob, protein, hormon, asam nukleat, dan sebagainya. Sinyal-sinyal ini kemudian diubah menjadi informasi analitik melalui transduser. Sederhananya, patogen dideteksi berdasarkan ciri-cirinya, seperti enzim yang dikeluarkannya. Enzim akan mengikat dengan protein yang memiliki kemampuan untuk melakukan fungsinya pada biosensor. Itu adalah apa yang dideteksi oleh biosensor. Selain itu, hasil kerja enzim yang ditargetkan biosensor menunjukkan berbagai nilai kuantitatif, seperti jumlah patogen dalam bahan pangan, tingkat keracunan enzim (jika enzim itu yang membuat bahan pangan beracun), dan sebagainya.

Disadur dari:

https://id.wikipedia.org
 

Selengkapnya
Pengaplikasian Teknik Keamanan Pangan
« First Previous page 4 of 15 Next Last »