Ekonomi Regional
Dipublikasikan oleh Afridha Nu’ma Khoiriyah pada 26 Mei 2025
Pendahuluan: Bali, Pertumbuhan Ekonomi dan Paradoks Kesenjangan
Provinsi Bali kerap diasosiasikan dengan pertumbuhan ekonomi yang impresif, terutama berkat sektor pariwisata. Namun, di balik pertumbuhan Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) yang pesat dan meningkatnya investasi, terdapat fakta yang mencemaskan: ketimpangan distribusi pendapatan tetap tinggi.
Penelitian skripsi karya Alfiatus Sholihah ini berjudul "Pengaruh Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) Per Kapita dan Investasi terhadap Ketimpangan Pendapatan di Provinsi Bali Tahun 2010–2014". Studi ini menggali hubungan antara pertumbuhan ekonomi dan distribusi pendapatan, dengan pendekatan kuantitatif berbasis regresi linier berganda.
Latar Belakang: Kesenjangan dalam Bayang-Bayang Pertumbuhan
Pertumbuhan ekonomi Bali selama dekade terakhir banyak disokong oleh geliat pariwisata, perdagangan, dan infrastruktur. Hal ini tercermin dari PDRB per kapita yang terus naik setiap tahun. Begitu pula dengan arus investasi, baik dari dalam maupun luar negeri, yang membanjiri sektor properti, perhotelan, dan UMKM.
Namun, ketika diukur menggunakan indeks Gini, yang menggambarkan ketimpangan pendapatan antarindividu atau wilayah, hasilnya tidak seindah grafik PDRB. Terdapat ketimpangan mencolok antara kawasan pariwisata seperti Badung dan Denpasar, dengan daerah seperti Bangli atau Karangasem.
Rumusan Masalah dan Tujuan Penelitian
Masalah Utama:
Apakah PDRB per kapita berpengaruh signifikan terhadap ketimpangan pendapatan di Bali?
Bagaimana pengaruh investasi terhadap distribusi pendapatan?
Tujuan:
Menganalisis pengaruh kuantitatif antara PDRB dan investasi terhadap ketimpangan
Memberi masukan kebijakan berdasarkan hasil empiris
Metodologi: Analisis Data Panel
Penelitian ini menggunakan data sekunder dari Badan Pusat Statistik (BPS) Provinsi Bali. Rentang waktu adalah tahun 2010–2014, dengan unit observasi seluruh kabupaten/kota di Bali (9 daerah).
Teknik Analisis:
Regresi linier berganda
Uji asumsi klasik (normalitas, multikolinearitas, heteroskedastisitas)
Uji t (parsial) dan uji F (simultan)
Uji koefisien determinasi (R²)
Variabel:
Y (Ketimpangan Pendapatan): Indeks Gini
X1: PDRB per kapita (Rp)
X2: Investasi (Rp)
Hasil dan Temuan Penelitian
Hasil Uji Regresi:
Persamaan regresi: Y = 0,491 + 6,342E-8 X1 + 3,242E-8 X2
Nilai R² = 0,798 → Artinya 79,8% variasi ketimpangan pendapatan dijelaskan oleh PDRB per kapita dan investasi.
Uji t (Parsial):
PDRB per kapita (X1) memiliki t hitung > t tabel → berpengaruh positif signifikan terhadap ketimpangan.
Investasi (X2) juga berpengaruh signifikan secara positif.
Uji F (Simultan):
F hitung = 17,778 > F tabel → Kedua variabel berpengaruh bersama terhadap ketimpangan.
Interpretasi:
PDRB yang meningkat tidak menjamin pemerataan pendapatan. Ini bisa terjadi karena pertumbuhan ekonomi terpusat di wilayah tertentu (Denpasar–Badung), tidak merata ke daerah lain.
Investasi pun cenderung terkonsentrasi, terutama pada infrastruktur wisata, properti, dan bisnis berbasis jasa.
Studi Kasus Lapangan: Ketimpangan Bali Utara vs Selatan
Bali bagian selatan (Denpasar, Badung) menjadi magnet utama pertumbuhan dan investasi. Sementara itu, Bali bagian utara dan timur—seperti Buleleng, Karangasem, dan Bangli—relatif tertinggal.
Contoh Data:
Tahun 2014, kontribusi PDRB Badung mencapai lebih dari 40% terhadap PDRB Provinsi Bali.
Namun, angka kemiskinan dan pengangguran tertinggi justru ditemukan di kabupaten seperti Bangli dan Karangasem.
Konklusi parsial: pertumbuhan ekonomi tidak menyentuh semua wilayah secara proporsional.
Perbandingan dengan Penelitian Lain
Penelitian ini sejalan dengan studi Nasution (2011) yang menyebutkan bahwa di banyak negara berkembang, pertumbuhan PDRB seringkali disertai ketimpangan yang meningkat. Fenomena ini dikenal sebagai "paradoks pertumbuhan".
Namun, hasil ini berbeda dari temuan Wahyuni (2012) di Jawa Tengah, di mana investasi justru memiliki pengaruh negatif terhadap ketimpangan—menunjukkan bahwa efektivitas investasi sangat bergantung pada sektor dan wilayah tujuan.
Kritik dan Evaluasi Penelitian
Kelebihan:
Data panel yang kuat dan komprehensif
Pendekatan kuantitatif yang presisi
Memberi gambaran nyata kondisi sosial ekonomi Bali
Kekurangan:
Tidak memperhitungkan variabel kontrol seperti pendidikan, urbanisasi, atau migrasi
Periode data terbatas hanya 5 tahun
Implikasi Kebijakan
Distribusi Investasi Lebih Merata: Pemerintah provinsi harus mendorong investor menanamkan modal di luar kawasan pariwisata utama.
Diversifikasi Ekonomi Daerah: Daerah seperti Bangli dan Karangasem perlu dorongan di sektor pertanian modern, UMKM, dan pariwisata berbasis komunitas.
Intervensi Fiskal Terarah: Alokasi Dana Desa dan Dana Transfer Daerah bisa diprioritaskan untuk wilayah dengan indeks Gini tinggi.
Pembangunan Infrastruktur Terpadu: Akses jalan, internet, dan transportasi ke wilayah tertinggal penting untuk memancing aktivitas ekonomi.
Kesimpulan: Pertumbuhan Tak Cukup, Pemerataan Itu Kunci
Penelitian ini mengungkapkan bahwa PDRB per kapita dan investasi memang mendorong pertumbuhan ekonomi, tetapi tidak otomatis menyelesaikan masalah ketimpangan pendapatan. Dalam konteks Bali, kebijakan yang hanya berfokus pada pertumbuhan makro tanpa memperhatikan aspek distribusi akan memperparah ketimpangan regional.
Oleh karena itu, pemerintah daerah, akademisi, dan investor harus mulai memikirkan ulang strategi pembangunan dengan pendekatan inklusif dan merata.
Sumber
Alfiatus Sholihah. (2016). Pengaruh Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) Per Kapita dan Investasi terhadap Ketimpangan Pendapatan di Provinsi Bali Tahun 2010–2014. Skripsi Sarjana Ekonomi Pembangunan, Universitas Jember. (Tersedia di repositori kampus Universitas Jember).
Ekonomi Regional
Dipublikasikan oleh pada 19 Mei 2025
Pendahuluan
Paper ilmiah yang berjudul "Efek Limpahan Pertumbuhan Antar-Kabupaten/Kota di Provinsi Jawa Timur Tahun 2001–2013" menyajikan penelitian tentang analisis efek limpahan pertumbuhan ekonomi di berbagai kabupaten/kota di Jawa Timur. Paper ini ditulis oleh Pristiawan Wibisono dan Mudrajad Kuncoro dari Universitas Gadjah Mada, diterbitkan dalam Jurnal Ekonomi dan Pembangunan Indonesia (JEPI), Vol. 16 No. 1 Juli 2015. Fokus utama penelitian ini adalah mengidentifikasi pola pertumbuhan ekonomi dan efek limpahan antar-daerah untuk memahami kontribusi kabupaten/kota dalam mendorong ekonomi regional.
Latar Belakang
Pertumbuhan ekonomi di Jawa Timur mengalami dinamika selama periode 2001–2013, di mana terjadi kesenjangan PDRB per kapita antar-daerah. Kota Surabaya sebagai pusat pertumbuhan ekonomi menunjukkan performa tinggi, sedangkan beberapa kabupaten tertinggal seperti Pamekasan dan Sumenep masih berada pada level rendah. Penelitian ini bertujuan untuk memetakan efek limpahan pertumbuhan dan mengidentifikasi daerah-daerah yang berperan sebagai kutub pertumbuhan.
Metodologi Penelitian
Penelitian ini menggunakan analisis spasial dengan teknik Tipologi Klaassen dan pendekatan kutub pertumbuhan ala Richardson. Data yang digunakan meliputi PDRB per kapita dan pertumbuhan ekonomi kabupaten/kota di Jawa Timur selama periode 2001–2013. Analisis dilakukan dengan indeks lokal Moran dan Local Indicators of Spatial Association (LISA) untuk mendeteksi autokorelasi spasial.
Teknik Analisis
Teknik analisis yang digunakan meliputi identifikasi kutub pertumbuhan dengan klaifikasi kuantil serta perhitungan efek limpahan dengan rumus Capello (2009). Analisis spasial dilakukan menggunakan GeoDa untuk menghitung indeks Moran dan LISA Cluster Map untuk visualisasi pola limpahan.
Studi Kasus & Data
Hasil penelitian menunjukkan bahwa Kota Surabaya dan sekitarnya, seperti Sidoarjo dan Gresik, berperan sebagai kutub pertumbuhan dengan efek limpahan ekonomi yang signifikan. Sidoarjo mencatat efek limpahan tertinggi sebesar 9,95, diikuti oleh Gresik sebesar 8,28. Sebaliknya, kabupaten di Madura seperti Sumenep hanya menerima limpahan sebesar 0,08, menunjukkan adanya ketimpangan spasial.
Analisis dan Nilai Tambah
Penelitian ini mengungkapkan bahwa efek limpahan cenderung terpusat di kawasan tengah Jawa Timur, yang mengindikasikan adanya konsentrasi ekonomi pada pusat pertumbuhan. Namun, ada kelemahan dalam distribusi limpahan ke daerah terluar seperti Madura, yang tidak mendapat manfaat langsung dari pertumbuhan ekonomi Surabaya. Hal ini menuntut kebijakan yang lebih inklusif dan pemerataan infrastruktur.
Implikasi Praktis
Temuan ini penting bagi perencanaan pembangunan regional, terutama dalam merumuskan kebijakan yang mendorong distribusi efek limpahan secara lebih merata. Pemerintah daerah perlu mengembangkan strategi interkoneksi ekonomi agar daerah dengan potensi rendah dapat ikut menikmati pertumbuhan regional.
Perbandingan dengan Penelitian Lain
Berbeda dengan penelitian Pamungkas (2013) tentang koridor ekonomi di Sulawesi yang menunjukkan adanya limpahan pada daerah agraris, penelitian ini lebih fokus pada efek limpahan di kawasan industri dan perkotaan. Hal ini menunjukkan bahwa konteks geografis dan jenis ekonomi sangat memengaruhi pola limpahan pertumbuhan.
Kesimpulan
Paper ini memberikan wawasan penting mengenai efek limpahan pertumbuhan di Jawa Timur. Kota Surabaya terbukti menjadi kutub pertumbuhan utama, namun perlu strategi pemerataan agar dampak ekonominya dirasakan oleh daerah yang lebih luas. Dengan data yang lebih komprehensif, penelitian lanjutan dapat mengembangkan model prediksi limpahan yang lebih dinamis.
Sumber
Penelitian ini dapat diakses melalui Jurnal Ekonomi dan Pembangunan Indonesia (JEPI) melalui tautan: http://dx.doi.org/10.21002/jepi.v16i1.584.