Edukasi & Kebijakan Publik
Dipublikasikan oleh Timothy Rumoko pada 25 November 2025
Latar Belakang Teoretis
Program Citizen Outreach in Explaining/Engagement of SCM with Children – Chacha Chaudhary Books lahir dari kesadaran bahwa transformasi kota cerdas tidak hanya membutuhkan pembangunan infrastruktur digital, tetapi juga pembangunan budaya warga yang memahami perannya dalam ekosistem perkotaan modern. Teori governance kontemporer menekankan bahwa warga adalah komponen inti smart city; partisipasi, literasi, dan perilaku mereka menentukan keberhasilan implementasi teknologi dan kebijakan yang diterapkan pemerintah kota. Dalam konteks ini, anak-anak merupakan kelompok yang sering terlewatkan, padahal mereka adalah pengguna ruang kota yang aktif dan generasi yang akan mengelola kota tersebut di masa depan.
India, dengan keragaman bahasa dan tingkat literasi yang beragam, membutuhkan pendekatan yang tidak hanya informatif tetapi juga menyenangkan, sederhana, dan dapat beradaptasi dengan berbagai konteks sosial. Karakter komik legendaris Chacha Chaudhary dipilih karena memiliki kedekatan historis dengan imajinasi kolektif masyarakat India. Tokoh ini digambarkan sebagai sosok bijaksana, mampu memecahkan masalah sehari-hari dengan humor dan kecerdasan. Dari sudut pandang visual pedagogy, karakter yang familiar mempercepat proses pemahaman, karena anak tidak perlu menyesuaikan diri dengan figur baru dan dapat langsung memasuki narasi pembelajaran.
Pendekatan ini juga sejalan dengan teori edutainment, yang menggabungkan pendidikan dan hiburan untuk memperkuat retensi pengetahuan. Teknologi dan konsep smart city sering kali sulit dicerna oleh anak-anak karena abstraksi tinggi—misalnya konsep energi cerdas, sensor kota, keberlanjutan, dan pengelolaan sampah. Penggunaan komik menurunkan tingkat abstraksi tersebut melalui ilustrasi dan cerita berurutan yang membantu anak memvisualisasikan permasalahan dan solusi yang ditawarkan smart city.
Dengan demikian, program ini mencerminkan perpaduan antara kebijakan publik, budaya populer, dan strategi literasi yang inklusif. Dalam kerangka teori yang lebih luas, program ini berada pada titik temu antara urban learning, children’s civic education, dan behavioural design yang menargetkan pembentukan kebiasaan warga masa depan agar lebih sadar lingkungan, patuh aturan, dan kritis terhadap penggunaan ruang publik.
Metodologi dan Kebaruan
Meskipun bukan proyek penelitian akademik formal, bab ini menggambarkan metodologi penyusunan program yang terstruktur. Pendekatan yang digunakan dapat dipahami melalui beberapa langkah:
1. Identifikasi kesenjangan pemahaman anak tentang smart city
Analisis awal menunjukkan bahwa narasi smart city belum banyak menjangkau kelompok anak. Materi sosialisasi biasanya ditujukan untuk orang dewasa, pelajar tingkat tinggi, atau komunitas profesional. SCM kemudian mengidentifikasi kebutuhan untuk menyederhanakan konsep teknis agar bisa dipahami sejak usia dini.
2. Penentuan medium edukasi paling efektif dan inklusif
Komik dipilih bukan hanya karena populer, tetapi karena memiliki beberapa keunggulan:
mudah diterima lintas bahasa
dapat menjelaskan konsep rumit melalui ilustrasi
mampu menggabungkan humor dan pesan moral
memiliki daya tarik kuat bagi kelompok usia 7–14 tahun
Tokoh Chacha Chaudhary dipilih karena kredibilitas budaya yang kuat sebagai sosok problem-solver, sehingga perannya sebagai “duta smart city” terasa alami.
3. Produksi konten visual-naratif
Isi buku dirancang untuk memuat tema-tema inti smart city, misalnya:
kebersihan dan manajemen sampah
disiplin lalu lintas
penggunaan ruang publik
keberlanjutan lingkungan
perilaku warga yang bertanggung jawab
pentingnya energi terbarukan
literasi digital
Preview dokumen menunjukkan bahwa buku-buku ini telah didigitalkan dalam berbagai bahasa daerah untuk meningkatkan aksesibilitas bagi anak di berbagai wilayah India.
2863-min
4. Distribusi melalui jaringan Smart Cities Mission
Komik disebarkan melalui:
sekolah
perpustakaan kota
pusat komunitas
acara kampanye SCM
platform digital yang dapat diakses gratis
Beberapa kota juga menggunakannya dalam sesi membaca bersama, kegiatan kuis, serta workshop anak.
Kebaruan Program
Keunikan program ini terletak pada:
penggunaan karakter budaya populer sebagai alat kebijakan publik
penerapan komik sebagai sarana literasi smart city
strategi digitalisasi untuk inklusi linguistik dan geografis
penekanan pada literasi anak sebagai bagian dari transformasi kota
Dalam konteks India, kebaruan ini penting karena menghubungkan budaya lokal dengan konsep urban modern yang sebelumnya terkesan elitis dan teknokratis.
Temuan Utama dengan Kontekstualisasi
1. Peningkatan jangkauan melalui digitalisasi
Digitalisasi buku memungkinkan penyebaran lebih luas tanpa batasan fisik. Ini penting karena variasi infrastruktur pendidikan antarwilayah di India cukup signifikan. Anak-anak di kota kelas-II dan kelas-III, yang mungkin tidak memiliki akses ke perpustakaan lengkap, tetap dapat mengakses buku ini melalui platform daring.
2. Efektivitas komik dalam menyederhanakan konsep teknis
Pendekatan visual membuat ide-ide kota cerdas lebih konkret. Anak-anak dilaporkan lebih mudah memahami:
mengapa sampah harus dibuang terpisah
mengapa trotoar harus digunakan untuk berjalan
apa itu ruang publik dan bagaimana cara menjaganya
mengapa disiplin lalu lintas penting untuk keselamatan
Komik membantu mengubah pengetahuan abstrak menjadi aksi sehari-hari.
3. Pembentukan nilai warga cerdas sejak dini
Komik tidak hanya menjelaskan konsep, tetapi juga membangun etika warga, seperti:
tidak membuang sampah sembarangan
merawat fasilitas umum
menghormati pengguna jalan lain
memahami pentingnya energi bersih
Dengan cara ini, komik berfungsi sebagai alat pembentukan karakter bukan hanya alat informasi.
4. Dampak pembelajaran dua arah
Banyak anak membawa buku ini pulang dan menceritakan ulang isinya kepada keluarga, menciptakan efek reverse awareness yang meningkatkan pemahaman warga dewasa.
5. Dialog budaya sebagai alat penyatuan konteks lokal dan modernisasi
Menggunakan karakter familiar membantu menjembatani jarak antara teknologi perkotaan modern dan keseharian masyarakat India. Chacha Chaudhary menjadi “mediator budaya” yang membuat smart city terasa dekat, tidak mengancam, dan relevan dengan kehidupan sehari-hari.
Keterbatasan dan Refleksi Kritis
1. Tidak adanya data kuantitatif
Bab ini tidak menyertakan data empiris mengenai:
jumlah pembaca
dampak jangka panjang pada perilaku
tingkat pemahaman yang dicapai
Ketiadaan indikator evaluatif membatasi generalisasi temuan.
2. Potensi penyederhanaan yang berlebihan
Konsep smart city memiliki dimensi kompleks seperti privasi data, kebijakan keamanan digital, atau tata ruang partisipatif. Komik dapat menghilangkan aspek kritis tersebut, sehingga hanya menyampaikan lapisan permukaan dari konsep sebenarnya.
3. Ketimpangan akses digital
Walaupun didigitalkan, tidak semua anak memiliki gawai atau jaringan internet memadai. Hal ini bisa memperlebar kesenjangan urban-rural.
4. Minimnya integrasi dengan kurikulum formal
Program ini masih tergantung pada inisiatif lokal di bawah SCM. Tanpa masuk ke kurikulum sekolah, dampaknya berpotensi tidak berkelanjutan.
5. Tidak semua anak responsif terhadap media visual
Sebagian anak membutuhkan pendekatan kinestetik atau interaktif langsung. Komik mungkin tidak sepenuhnya efektif untuk gaya belajar semacam itu.
Implikasi Ilmiah di Masa Depan
Program Chacha Chaudhary membuka jalan bagi berbagai arah pengembangan:
1. Pendidikan smart city berbasis kurikulum sekolah
Modul pembelajaran dapat dikembangkan untuk tingkat dasar agar literasi warga dimulai lebih awal.
2. Pengembangan evaluasi berbasis data
Perlu penelitian sistematis terkait:
perubahan perilaku anak
cara anak mengomunikasikan materi ke keluarga
dampak terhadap kesadaran publik
3. Ekspansi medium ke animasi, gim, atau AR
Versi digital interaktif dapat memperluas kedalaman pembelajaran.
4. Replikasi internasional
Model ini berpotensi diadaptasi oleh negara lain dengan memanfaatkan karakter budaya masing-masing.
5. Penguatan partisipasi anak dalam perencanaan kota
Setelah mengenal konsep smart city, anak dapat terlibat dalam kegiatan seperti survei lingkungan sekolah atau lokakarya tata ruang ramah anak.
Kesimpulan dan Refleksi Relevansi
Program ini menunjukkan bahwa smart city bukan hanya proyek infrastruktur, tetapi juga proyek budaya. Dengan memanfaatkan komik, pemerintah berhasil membuka saluran komunikasi baru dengan kelompok anak-anak dan menanamkan nilai-nilai perkotaan modern secara menyenangkan. Meskipun belum memiliki sistem evaluasi yang kuat, inisiatif ini menawarkan model yang inovatif bagi pendidikan perkotaan.
Dalam konteks transformasi kota India, pendekatan berbasis narasi populer seperti ini dapat membantu masyarakat memahami bahwa kota cerdas tidak hanya tentang kecanggihan teknologi, tetapi tentang perilaku warga yang bertanggung jawab. Program Chacha Chaudhary layak dipandang sebagai langkah awal yang kuat menuju literasi publik yang lebih inklusif, adaptif, dan berbasis budaya lokal.
Sumber
Semua informasi dalam resensi ini berasal dari bab studi kasus “Citizen outreach in explaining/engagement of SCM with Children – Chacha Chaudhary Books” pada dokumen SAAR: Smart Cities and Academia towards Action and Research (Urban Infrastructure).
Edukasi & Kebijakan Publik
Dipublikasikan oleh Guard Ganesia Wahyuwidayat pada 08 Oktober 2025
Pendahuluan: Urgensi Evaluasi Pendidikan Tinggi di Bali
Dalam konteks pembangunan nasional, pendidikan tinggi tidak hanya menjadi wahana peningkatan kualitas SDM, tetapi juga cerminan kesiapan daerah dalam menghadapi kompetisi global. Provinsi Bali, dengan segala keunggulan geokulturalnya, ternyata masih menyimpan persoalan mendasar dalam sektor pendidikan tinggi, terutama dalam aspek pemerataan dan mutu. Artikel ilmiah karya Ida Kintamani Dewi Hermawan ini menganalisis secara mendalam kondisi pendidikan tinggi di Bali berdasarkan dua pilar strategis: pemerataan akses dan peningkatan mutu, sebagaimana tertuang dalam Rencana Strategis Pendidikan Nasional 2005–2009.
Metodologi & Sumber Data: Integrasi Data Pendidikan dan Non-Pendidikan
Studi ini menggunakan data dari tahun akademik 2008/2009 dan mengombinasikannya dengan data non-pendidikan (demografi, geografi, dan sosial ekonomi). Melalui pendekatan kuantitatif-deskriptif, penelitian ini menganalisis berbagai indikator kinerja pendidikan tinggi seperti Angka Partisipasi Kasar (APK), rasio mahasiswa terhadap dosen, animo masuk perguruan tinggi, serta persentase dosen layak mengajar untuk menilai capaian daerah dibandingkan dengan standar nasional dan ideal.
Profil Wilayah dan Kondisi Pendidikan Tinggi di Bali
Gambaran Umum Non-Pendidikan
Bali terbagi atas 8 kabupaten dan 1 kota, dengan populasi usia kuliah (19–24 tahun) sebanyak 333.300 jiwa. Wilayah ini memiliki topografi pegunungan dan karakter geografis yang memengaruhi distribusi akses ke fasilitas pendidikan tinggi, terutama di wilayah perbukitan dan kepulauan kecil seperti Nusa Penida dan Nusa Lembongan.
Lembaga Pendidikan Tinggi dan Distribusinya
Bali memiliki 36 institusi pendidikan tinggi: 11 universitas, 3 institut, 15 sekolah tinggi, 4 akademi, dan 3 politeknik. Dari total ini, hanya 4 institusi berstatus negeri, sisanya swasta. Mahasiswa terbanyak berada di universitas (70,88%), diikuti sekolah tinggi (18,83%), dan paling sedikit di akademi (1,72%).
Pilar 1: Pemerataan dan Perluasan Akses Pendidikan Tinggi
1. APK Masih di Bawah Nasional
Angka Partisipasi Kasar di Bali hanya 11,22%, lebih rendah dibanding APK nasional sebesar 12,9% dan jauh dari standar ideal 100%. APK laki-laki (11,74%) sedikit lebih tinggi dari perempuan (10,67%), mengindikasikan ketimpangan gender dengan indeks paritas gender (IPG) 0,91 (idealnya = 1).
2. Rasio Mahasiswa terhadap Dosen dan Lembaga
Rasio Mahasiswa per Dosen (R-M/D) di Bali sebesar 13, yang berarti satu dosen melayani 13 mahasiswa. Namun, terjadi kesenjangan ekstrem:
PT Negeri: 1 dosen melayani 6 mahasiswa.
PT Swasta: 1 dosen melayani hingga 47 mahasiswa.
Rasio Mahasiswa per Lembaga (R-M/Lbg) sebesar 1.039. Angka ini lebih rendah dari rerata nasional (1.342), menandakan ketimpangan kapasitas antar lembaga.
3. Tingginya Animo tapi Keterbatasan Daya Tampung
Meskipun animo ke PT di Bali sebesar 147,67%, banyak pendaftar gagal masuk karena daya tampung terbatas. PT Negeri menjadi primadona dengan animo mencapai 192,59%, sementara PT Swasta hanya 113,05%.
Pilar 2: Mutu, Relevansi, dan Daya Saing Pendidikan Tinggi
1. Rendahnya Dosen Berkualifikasi Layak
Hanya 50,55% dosen di Bali yang layak mengajar (memiliki S2 atau S3), masih jauh dari ideal 100%. PT Negeri memiliki persentase yang lebih baik (55,49%) dibandingkan PT Swasta (27,83%). Ketimpangan gender juga muncul: dosen perempuan memiliki kualifikasi lebih rendah dengan IPG sebesar 0,90.
2. Produktivitas Lulusan yang Rendah
Angka Produktivitas (jumlah lulusan dibanding jumlah mahasiswa aktif) hanya mencapai 7,04% — di bawah target ideal 25%. Institut memang menonjol (19,58%), namun politeknik dan akademi masih sangat rendah (masing-masing 3,43% dan 5,13%).
3. Rasio Dosen per Lembaga: Ketimpangan Ekstrem
Rata-rata nasional rasio dosen per lembaga adalah 78. Namun, di PT Negeri Bali, angkanya mencapai 578. Sebaliknya, PT Swasta hanya mencatat 16, menunjukkan kekurangan tenaga pengajar berkualitas secara akut.
Kinerja Pendidikan Tinggi: Kombinasi Pemerataan dan Mutu
Berdasarkan konversi nilai dan pembobotan indikator:
Nilai Pemerataan: 54,59%
Nilai Mutu: 43,92%
Nilai Kinerja Total: 49,25% (jauh dari standar ideal 100%)
Namun jika dibandingkan dengan standar nasional, Bali justru mencatat nilai baik:
Pemerataan: 80,51%
Mutu: 100,11%
Kinerja total: 88,21%
Ini menandakan bahwa standar nasional masih terlalu rendah dibandingkan ekspektasi ideal, dan Bali baru unggul relatif terhadap provinsi lain, bukan mutlak.
Kritik dan Analisis Tambahan
1. Keterbatasan Infrastruktur dan Keberpihakan terhadap PT Swasta
Kesenjangan sumber daya antara PT Negeri dan Swasta harus menjadi perhatian. Swasta menyumbang 88% jumlah lembaga, tetapi kekurangan dosen berkualitas dan beban pengajaran tidak proporsional. Kebijakan afirmatif dan insentif tenaga pengajar untuk PT Swasta perlu dipertimbangkan.
2. Kebutuhan Pemerataan Akses di Kawasan Terpencil
Wilayah seperti Nusa Penida dan Karangasem cenderung tertinggal secara akses. Pembangunan PT berbasis satelit atau kelas jauh bisa menjadi solusi.
3. Ketimpangan Gender sebagai Isu Strategis
IPG yang masih di bawah 1 pada indikator mahasiswa dan dosen mengindikasikan perlunya pendekatan berbasis gender dalam perencanaan pendidikan tinggi, termasuk beasiswa khusus dan program mentoring untuk perempuan.
Rekomendasi Strategis
Peningkatan APK hingga menyamai nasional (≥13%) melalui subsidi, beasiswa, dan penyebaran informasi ke pelosok.
Peningkatan rasio dosen layak mengajar, khususnya di PT Swasta, dengan rekruitmen terencana dan pelatihan.
Peningkatan rasio produktivitas lulusan melalui penguatan sistem akademik dan monitoring kelulusan.
Kebijakan penguatan kelembagaan PT Swasta termasuk peningkatan pendanaan operasional dan akreditasi.
Evaluasi animo mahasiswa secara komprehensif agar sejalan dengan daya tampung dan distribusi bidang keilmuan.
Kesimpulan
Studi ini membuka mata bahwa indikator makro seperti APK dan mutu dosen masih menunjukkan tantangan serius di Bali. Meskipun sudah cukup baik menurut ukuran nasional, pencapaian ideal masih jauh dari tuntas. Pemerintah pusat dan daerah harus berjalan seiring dalam memastikan pendidikan tinggi tidak sekadar mudah diakses, tetapi juga bermutu dan relevan dengan tantangan lokal serta dinamika global.
Sumber
Hermawan, Ida Kintamani Dewi. Analisis Profil Pendidikan Tinggi Menurut Pilar Kebijakan: Kasus Provinsi Bali Tahun 2008/2009. Jurnal Pendidikan dan Kebudayaan, Vol. 16, No. 6, 2010.
Tautan: https://jurnaldikbud.kemdikbud.go.id/index.php/jurnaldikbud/article/view/1671