Budaya Air
Dipublikasikan oleh Dewi Sulistiowati pada 29 Juli 2025
Pendahuluan:
Mengelola air bukan sekadar urusan teknis atau ekonomi. Di balik setiap keputusan, terdapat nilai budaya dan sosial yang memengaruhi cara kita memaknai, menggunakan, dan melestarikan air. Dalam artikel “Cultural Values in Water Management and Governance: Where Do We Stand?” oleh Danielle H. Heinrichs dan Rodrigo Rojas (2022), dilakukan tinjauan sistematis terhadap teori-teori budaya yang relevan untuk pengelolaan dan tata kelola air, serta bagaimana nilai-nilai ini (termasuk nilai-nilai lokal dan adat) mulai mendapat tempat dalam kebijakan dan praktik.
Pentingnya Nilai Budaya dalam Pengelolaan Air:
Air adalah sumber kehidupan, namun cara manusia mengelolanya berbeda-beda tergantung nilai dan budaya yang dianut. Misalnya, masyarakat adat di Australia melihat sungai sebagai entitas spiritual yang hidup dan diwariskan dari leluhur. Ini sangat berbeda dengan pendekatan teknokratis modern yang berfokus pada efisiensi dan output ekonomi.
Teori Budaya yang Dominan:
Cultural Theory oleh Mary Douglas adalah teori paling sering digunakan dalam kajian tata kelola air. Teori ini membagi pendekatan budaya menjadi empat kategori:
Dalam penelitian ini, empat kategori itu menjadi kata paling sering muncul dalam literatur, menunjukkan betapa dominannya kerangka berpikir ini dalam proyek manajemen air secara global.
Nilai Budaya yang Muncul dari Studi Kasus:
Analisis dari 52 studi yang dikaji menunjukkan perbedaan nilai yang signifikan antara pengelolaan dan tata kelola air:
Contoh studi kasus:
Disiplin Ilmu yang Menopang Kajian Nilai Budaya:
Kajian dalam artikel ini berasal dari lintas disiplin:
Namun, dominasi antropologi juga menunjukkan keterbatasan: hanya beberapa pendekatan psikologis atau bisnis seperti teori nilai Schwartz yang masuk, padahal bisa memperkaya pemahaman nilai-nilai masyarakat modern urban maupun tradisional.
Tantangan Implementasi Nilai Budaya:
Meski telah banyak dibahas, implementasi nilai budaya masih minim dalam praktik:
Usulan Solusi: Pendekatan Teori Schwartz:
Sebagai alternatif yang lebih inklusif dan operasional, penulis merekomendasikan teori nilai dari Shalom Schwartz, yang mencakup nilai-nilai seperti:
Model ini bersifat lintas budaya dan fleksibel, serta telah divalidasi dalam banyak studi global. Ini menjadikannya tepat untuk modeling keputusan air berbasis budaya, terutama di konteks multinasional dan masyarakat yang heterogen.
Relevansi untuk Masa Depan:
Artikel ini membuka jalan untuk pendekatan tata kelola air yang:
Dengan pendekatan ini, krisis air bukan hanya dilihat dari sisi teknis, tetapi juga dari sisi kemanusiaan dan keberlanjutan sosial.
Kesimpulan:
Mengelola air secara berkelanjutan berarti menghargai nilai-nilai budaya yang mengiringinya. Baik melalui teori Douglas, kearifan lokal masyarakat adat, maupun pendekatan Schwartz, integrasi nilai budaya dapat menjadi solusi efektif dan adil bagi pengelolaan air masa depan. Penelitian ini memperlihatkan bahwa tanpa memahami budaya, setiap solusi teknis bisa kehilangan relevansi dan keadilan.
Sumber:
Heinrichs, D.H., & Rojas, R. (2022). Cultural Values in Water Management and Governance: Where Do We Stand? Water, 14(803).
Budaya Air
Dipublikasikan oleh Dewi Sulistiowati pada 29 Juli 2025
Pengantar: Sungai sebagai Entitas Sosial-Ekologis
Artikel “Understanding Rivers and their Social Relations” mendorong perubahan besar dalam paradigma pengelolaan air: dari pendekatan teknokratik ke pendekatan relasional dan kontekstual. Sungai dipahami bukan hanya sebagai objek hidrologis, tapi juga sebagai entitas hidup yang terkait dengan identitas, spiritualitas, dan kesejahteraan masyarakat.
Peralihan Paradigma: Dari Aliran Minimum ke Aliran Relasional
Konsep environmental flows awalnya dikembangkan untuk melestarikan fungsi ekologis sungai melalui penetapan debit minimum. Namun pendekatan ini kerap mengabaikan hubungan sosial-budaya antara masyarakat dan sungai.
Deklarasi Brisbane 2018 merevisi definisi ini menjadi lebih inklusif:
"...kuantitas, kualitas, dan waktu dari aliran air tawar yang diperlukan untuk mendukung ekosistem, budaya, ekonomi, dan kesejahteraan manusia."
Studi Kasus: Menyatukan Pengetahuan Lokal dan Kebijakan Air
1. Sungai Patuca, Honduras
Masyarakat adat Miskito dan Tawahka mengidentifikasi aliran ideal untuk transportasi, pertanian banjir, dan pemijahan ikan melalui pemetaan partisipatif dan wawancara lokal. Hasilnya: pemerintah menetapkan debit minimum musim kering berdasarkan rata-rata keluaran bendungan.
2. Sungai Ganga, India
Ganga bukan hanya sungai fisik, melainkan sungai spiritual. Kajian WWF India di Kumbh Mela 2013 memperkirakan debit optimal untuk ritual mandi dan kremasi: 200–300 m³/s. Pemerintah Uttar Pradesh akhirnya mengalokasikan debit tersebut sebagai bentuk penghormatan pada kebutuhan spiritual masyarakat.
3. Sungai Athabasca, Kanada
Suku ACFN dan Mikisew Cree memformulasikan konsep Aboriginal Base Flow (ABF) dan Aboriginal Extreme Flow (AXF) untuk mempertahankan aktivitas tradisional seperti memancing, berkebun, dan beribadah. Mereka menyatakan bahwa sungai adalah makhluk hidup dengan hak dan relasi dengan manusia.
4. Murray-Darling Basin, Australia
Konsep Cultural Flows menjadi platform masyarakat adat untuk menuntut hak legal atas aliran air demi kelangsungan budaya. Studi di Werai Forest menunjukkan pentingnya konektivitas antara air dan situs spiritual, yang tidak bisa dicapai hanya dengan analisis hidrologi konvensional.
5. Sungai Kakaunui dan Orari, Aotearoa (Selandia Baru)
Suku Māori menilai sungai menggunakan indikator budaya seperti mahinga kai (makanan tradisional), Wai Māori (air murni), dan hauora (kesejahteraan). Debit di bawah 350 L/s di Kakaunui dan 900 L/s di Orari dinilai merusak kualitas hubungan spiritual.
Kritik dan Refleksi: Keterbatasan Pendekatan Barat
Walau progresif, sebagian pendekatan masih mengandalkan metode teknis Barat dan pemisahan antara manusia dan alam. Banyak studi tetap menilai sungai dari perspektif jasa ekosistem, padahal bagi masyarakat adat seperti suku Lumbee (Amerika), sungai adalah kerabat dan identitas kolektif, bukan hanya penyedia air.
Mengapa Personifikasi Sungai Penting?
Gerakan memberi status hukum pada sungai, seperti Sungai Whanganui (NZ) dan Ganga (India), mengubah logika pengelolaan:
Kesimpulan: Merancang Ulang Tata Kelola Air Secara Holistik
Artikel ini menyerukan agar tata kelola air lebih dari sekadar sains dan kebijakan ia juga harus mencakup spiritualitas, identitas, dan sejarah masyarakat. Dalam dunia yang kian terdampak krisis air, pengakuan terhadap nilai lokal dan relasi sosial dengan sungai menjadi kunci keberlanjutan dan keadilan.
Sumber Asli :
Boelens, R., Zwarteveen, M., Rusca, M., et al. (2022). Understanding rivers and their social relations: A critical step to advance environmental water management. WIREs Water, 9(1), e1381.