Bisnis dan Ekonomi
Dipublikasikan oleh Hansel pada 22 September 2025
Mengapa Sebuah Universitas di Kazakhstan Bisa Mengubah Cara Kita Berpikir tentang Insinyur?
Di jantung Asia Tengah, sebuah proyek ambisius di Kazakhstan sedang berlangsung, yang mungkin akan mengubah paradigma global tentang bagaimana kita melatih para insinyur masa depan. Industri modern tidak lagi hanya menuntut kecakapan teknis yang mumpuni. Lebih dari itu, mereka mencari profesional yang mampu berkomunikasi, berkolaborasi lintas budaya, dan memecahkan masalah dengan pemikiran yang kritis dan kreatif. Namun, di banyak tempat, termasuk di sistem pendidikan tinggi teknik di Kazakhstan, keterampilan-keterampilan krusial ini masih menjadi titik lemah yang menahan laju inovasi.
Kesenjangan inilah yang mendorong tim peneliti di Abylkas Saginov Technical University (STU) untuk meluncurkan proyek yang didanai oleh Komite Sains Kementerian Pendidikan dan Sains Republik Kazakhstan dengan nomor hibah AR09260338.1 Tujuan mereka sederhana namun radikal: membangun kapasitas bagi para insinyur inovatif melalui adopsi pendekatan STEAM. STEAM, yang merupakan akronim dari Science, Technology, Engineering, Arts, dan Mathematics, dianggap sebagai jembatan untuk mengatasi persoalan yang ada. Melalui sebuah penelitian komprehensif, para ahli berupaya merancang sebuah kerangka pendidikan yang berkelanjutan, yang dapat melahirkan para profesional dengan kompetensi yang dibutuhkan oleh industri kreatif dan ekonomi berbasis pengetahuan.
Laporan ini akan membawa Anda menyusuri perjalanan penelitian yang mendalam, mulai dari diagnosis masalah, studi banding global, hingga perumusan sebuah cetak biru revolusioner. Pertanyaan besarnya adalah: bisakah sebuah universitas di Kazakhstan menemukan formula universal untuk melahirkan insinyur yang tidak hanya menguasai rumus fisika, tetapi juga memiliki "percikan" kreativitas yang sangat dibutuhkan dunia?
Mengapa Insinyur Kazakhstan 'Kurang' Kreatif? Sebuah Potret dari Lapangan
Untuk memahami pentingnya penelitian ini, kita harus terlebih dahulu melihat potret pendidikan teknik di Kazakhstan. Para peneliti dari STU mengidentifikasi beberapa masalah mendasar yang membatasi efektivitas pendidikan insinyur saat ini. Salah satu masalah paling akut adalah lemahnya kemampuan komunikasi antarbudaya dan keterampilan kolaborasi, baik di kalangan dosen maupun mahasiswa. Selain itu, pemikiran kritis dan kreatif, serta pendekatan inovatif dalam memecahkan masalah profesional, juga masih jauh dari memuaskan.1
Masalah ini bukan sekadar persoalan akademis, melainkan memiliki dampak langsung pada denyut nadi ekonomi regional. STU adalah universitas teknis regional yang sangat besar, menyediakan pelatihan dalam total 83 program studi—termasuk 46 program sarjana, 29 master, dan 8 program PhD.1 Universitas ini berada di wilayah Karaganda, sebuah pusat industri yang memiliki lebih dari 200 perusahaan. Mayoritas Produk Domestik Regional Bruto (GRP) di wilayah ini berasal dari sektor pertambangan dan manufaktur (31,4%), serta pasokan listrik dan gas (13,1%).1 Dengan demikian, para insinyur yang dilatih oleh STU akan menjadi tulang punggung ekonomi yang sangat bergantung pada inovasi dan efisiensi. Kesenjangan dalam keterampilan kreatif dan kolaboratif di kalangan lulusan secara langsung menghambat kemampuan wilayah tersebut untuk bertransisi ke ekonomi berbasis pengetahuan yang lebih modern.
Sebuah pengamatan menarik yang dibuat oleh para peneliti adalah adanya kontradiksi yang mencolok. Meskipun sekolah-sekolah menengah di Kazakhstan telah gencar mengadopsi pendidikan STEM (Science, Technology, Engineering, Mathematics), dengan dibukanya pusat-pusat robotika dan desain komputer di seluruh Republik, institusi pendidikan tinggi justru tertinggal jauh dalam mengintegrasikan elemen "A" (Art) ke dalam kurikulum mereka.1 Hal ini menunjukkan bahwa titik transisi dari sekolah ke universitas merupakan momen kritis di mana para insinyur potensial kehilangan "percikan" kreativitas yang telah dipupuk sejak dini.
Mengintip Laboratorium Inovasi Global: Belajar dari Pengalaman Internasional
Sebelum merumuskan solusi lokal, tim peneliti melakukan studi komparatif mendalam terhadap praktik pendidikan STEAM internasional, terutama di pusat-pusat inovasi seperti Amerika Serikat, Eropa, dan Asia.1 Analisis ini mengungkapkan bahwa ada fitur-fitur umum yang mendasari keberhasilan pendidikan STEAM di seluruh dunia, antara lain: fokus pada metode proyek dan pemikiran desain, pengembangan komunikasi dan kolaborasi, pembelajaran berbasis masalah, pemikiran interdisipliner dan kritis, serta peleburan batas-batas antar bidang studi.1
Hasil analisis ini kemudian diklasifikasikan ke dalam beberapa model pembelajaran yang dinarasikan secara hidup.
Untuk memberikan skala perbandingan global, penelitian ini juga mencatat ambisi negara-negara maju. Misalnya, sebuah laporan European Schoolnet pada tahun 2016 yang meneliti 30 negara menunjukkan bahwa 80% dari mereka telah menggarisbawahi pendidikan STEAM sebagai prioritas.1 Di Amerika Serikat, rencana strategis STEAM menargetkan pelatihan 100.000 guru STEAM baru dan peningkatan 1 juta lulusan spesialisasi STEAM di tingkat universitas.1 Ini menunjukkan bahwa tren global telah bergerak ke arah yang sama, menjadikan temuan ini relevan tidak hanya untuk Kazakhstan, tetapi untuk dunia secara keseluruhan.
Sebuah Diagnosa Strategis: Analisis SWOT yang Menguak Kekuatan dan Tantangan
Setelah mengidentifikasi praktik-praktik terbaik di dunia, tim peneliti yang terdiri dari para ahli di bidang teknik, IT, seni, komunikasi, pedagogi, dan manajemen melakukan "diagnosa" strategis terhadap STU melalui analisis SWOT multifaktor.1 Pendekatan holistik ini menjadi kunci, karena tidak hanya melihat data, tetapi juga menggabungkan beragam perspektif ahli untuk memahami dinamika internal dan eksternal universitas.
Penelitian ini menunjukkan bahwa STU memiliki sejumlah kekuatan internal. Sebagai contoh, ketersediaan ruang kelas yang dilengkapi dengan peralatan interaktif dan materi presentasi virtual, serta staf pengajar yang terlatih, menjadi modal berharga.1 Di sisi lain, ada kelemahan yang perlu diatasi, seperti format kuliah tradisional yang masih berpusat pada dosen, dan kurangnya keterampilan sebagian staf pengajar dalam mengelola kelas yang interaktif dan dialogis. Kekurangan ini diperburuk oleh ketidaktersediaan ruang kelas khusus untuk kelompok kecil, yang ideal untuk pembelajaran studio.1
Di tingkat eksternal, para peneliti mengidentifikasi peluang yang signifikan. Universitas memiliki potensi untuk menarik dosen dari universitas terkemuka dunia dan memanfaatkan akses terbuka ke materi edukasi daring (MOOCs) dari platform internasional. Peluang ini sangat penting untuk meningkatkan kualitas staf pengajar secara daring, yang dapat menetralkan kelemahan internal.1 Namun, ada juga ancaman yang membayangi, seperti minimnya program STEAM komprehensif dari pemerintah yang dapat menghambat adopsi metode ini secara luas di tingkat nasional.
Dengan menyusun matriks solusi, para peneliti secara proaktif merumuskan strategi untuk mengubah keterbatasan menjadi katalisator. Strategi W-O (Kelemahan-Peluang) misalnya, fokus pada cara menetralkan kekurangan staf pengajar yang tidak siap dengan memanfaatkan peluang eksternal. Solusinya, yang dirumuskan tanpa menggunakan tabel, adalah dengan menyelenggarakan kursus peningkatan kualifikasi bagi staf pengajar dan menciptakan pusat sumber daya digital untuk pengembangan MOOCs.1 Pendekatan strategis ini menunjukkan sebuah institusi yang tidak hanya pasif menghadapi masalah, tetapi juga secara aktif merancang masa depannya.
Cetak Biru Revolusi STEAM: Solusi Multilayer untuk Pendidikan Teknik
Semua analisis yang dilakukan—diagnosis masalah, perbandingan global, dan analisis SWOT—pada akhirnya bermuara pada perumusan sebuah "cetak biru" yang revolusioner. Cetak biru ini tidak sekadar mengusulkan kurikulum baru, melainkan sebuah transformasi institusional total yang menyentuh enam proses utama di universitas.1
1. Proses Akademik: Transformasi dimulai dari inti kurikulum. Para peneliti mengusulkan pengembangan disiplin ilmu baru yang secara khusus berfokus pada metodologi STEAM, serta penyesuaian konten disiplin ilmu yang sudah ada untuk memperkuat hubungan interdisipliner. Tujuannya adalah untuk memastikan bahwa program-program ini memenuhi kebutuhan industri modern akan fleksibilitas dan pendekatan kreatif.1 Selain itu, diusulkan juga perancangan jalur pembelajaran dan program minor baru yang berfokus pada kolaborasi lintas disiplin, mengintegrasikan bidang teknik dengan komponen seni.1
2. Proses Metodologis: Untuk memastikan perubahan kurikulum berhasil, staf pengajar harus dipersenjatai dengan keterampilan baru. Cetak biru ini merekomendasikan pengembangan panduan pengajaran yang berfokus pada pembelajaran berbasis proyek dan studio. Selain itu, perlu ada pengakuan terhadap program mikrokualifikasi dan nanodegree untuk memberikan akses kepada mahasiswa pada keterampilan tingkat lanjut.1
3. Kerja Penelitian Mahasiswa: Salah satu inovasi paling signifikan dari cetak biru ini adalah konsep Sekolah Industri Kreatif (CrIS). CrIS akan berfungsi sebagai pusat daya tarik bagi kaum muda kreatif, menjadi "titik panas" untuk menganalisis masalah-masalah industri dan menghasilkan ide-ide produktif.1 Konsep ini memungkinkan penelitian mahasiswa menjadi lebih praktis dan dapat dimonetisasi. Ini adalah wujud nyata dari kemitraan "Universitas-Perusahaan," di mana penelitian akademik secara langsung melayani kebutuhan industri dan sosial.
4. Kegiatan Ekstrakurikuler: Cetak biru ini mengakui bahwa pembelajaran tidak hanya terjadi di ruang kelas. Kegiatan ekstrakurikuler akan didesain ulang untuk membangun keterampilan personal dan sosial, seperti pemikiran kritis dan kesiapan untuk berkolaborasi. Kebijakan pendidikan universitas akan diubah untuk mengembangkan keterlibatan kewarganegaraan dan pemahaman terhadap proses sosiokultural.1
5. Manajemen Lingkungan Pembelajaran dan Kemitraan Sosial: Pada tingkat strategis, rencana universitas akan dimodifikasi untuk mengintegrasikan pendekatan STEAM di semua tingkatan. Kualitas konten digital akan ditingkatkan, dan pelatihan akan diberikan kepada staf pengajar mengenai metodologi pembelajaran daring dan kolaborasi lintas budaya. Hal ini juga mencakup pengembangan mekanisme untuk meningkatkan motivasi staf pengajar dan memastikan diferensiasi dalam proses pembelajaran.1
6. Peningkatan Infrastruktur: Lingkungan fisik kampus juga harus mengalami transformasi. Cetak biru ini merekomendasikan perubahan pada dana ruang kelas untuk menciptakan "titik cerdas" (smart points) dan zona coworking yang dapat meningkatkan kreativitas. Selain itu, ekosistem digital universitas akan dikembangkan untuk mendukung metode peleburan horizontal dan meningkatkan pemikiran kritis.1
Secara keseluruhan, temuan ini menunjukkan bahwa adopsi STEAM yang efektif membutuhkan lebih dari sekadar perubahan kurikulum. Ia menuntut sebuah transformasi institusional yang menyeluruh, menyentuh setiap aspek dari pendidikan: mulai dari cara mengajar, cara mahasiswa belajar, cara berinteraksi dengan industri, hingga arsitektur fisik kampus. Peran CrIS sebagai integrator adalah benang merah yang menghubungkan semua proses ini, menjadi model holistik untuk masa depan pendidikan.
Batasan Studi dan Pandangan ke Depan: Sebuah Kritik Realistis
Meskipun laporan ini menyajikan cetak biru yang komprehensif, penting untuk mengakui bahwa studi ini memiliki batasan. Penelitian ini berfokus pada satu universitas teknis di satu wilayah spesifik di Kazakhstan, yaitu STU di Karaganda. Oleh karena itu, penerapan dan dampak temuan ini mungkin tidak dapat digeneralisasi secara langsung ke seluruh institusi pendidikan di Kazakhstan atau di negara lain tanpa modifikasi.1
Namun, hal ini tidak mengurangi nilai studi. Sebaliknya, hal ini membuka jalan bagi penelitian lebih lanjut. Studi di masa depan dapat memperluas analisis ke universitas lain dengan spesialisasi yang berbeda atau membandingkan implementasi cetak biru ini di berbagai wilayah. Dengan demikian, penelitian ini berfungsi sebagai fondasi yang kuat, bukan sebagai kata terakhir dalam adopsi pendidikan STEAM.
Kesimpulan: Dampak Nyata dan Visi Masa Depan Kazakhstan
Proyek "Membangun Kapasitas untuk Pelatihan Insinyur Inovatif melalui Pendidikan STEAM" telah membuktikan bahwa pendekatan terstruktur dapat mengatasi kelemahan mendasar dalam pendidikan teknik di Kazakhstan. Dengan studi komprehensif terhadap pengalaman global dan analisis SWOT yang cermat, para peneliti berhasil membentuk serangkaian pendekatan STEAM yang adaptif dan revolusioner.1
Jika diterapkan, temuan ini dapat mengurangi kesenjangan antara pendidikan dan industri, meningkatkan daya saing lulusan, dan mempercepat transisi Kazakhstan menuju ekonomi berbasis pengetahuan dan industri kreatif. Peningkatan kualitas insinyur yang kompetitif dan memiliki keterampilan STEAM akan menciptakan prasyarat untuk mengurangi pengangguran struktural dan meningkatkan mobilitas profesional.
Lebih dari sekadar perbaikan akademis, cetak biru ini adalah sebuah investasi strategis untuk masa depan ekonomi Kazakhstan. Institusi pendidikan lain di seluruh dunia dapat melihat model ini sebagai contoh konkret tentang bagaimana adopsi STEAM yang efektif menuntut lebih dari sekadar perubahan kurikulum—tetapi sebuah transformasi total dari proses dan filosofi pendidikan.
Sumber Artikel:
Bisnis dan Ekonomi
Dipublikasikan oleh Hansel pada 17 September 2025
Dalam lanskap industri konstruksi yang terus berevolusi, peran seorang juru ukur kuantitas (quantity surveyor) telah mengalami transformasi fundamental. Jika di masa lalu mereka dikenal sebagai "penghitung" yang berfokus pada pengukuran dan penaksiran biaya, kini peran mereka telah meluas secara signifikan. Di era modern, mereka tidak hanya mengelola biaya, tetapi juga menjadi konsultan ekonomi bangunan yang esensial, terlibat dalam manajemen keuangan dan kontrak di seluruh tahapan proyek. Pentingnya peran ini semakin terasa di tengah tantangan ekonomi global, di mana margin keuntungan yang tipis menuntut setiap detail biaya dioptimalkan secara maksimal.1
Namun, di balik peran yang krusial ini, muncul tantangan serius terkait kesiapan tenaga kerja di masa depan. Sebuah penelitian mendalam yang diterbitkan dalam jurnal Sustainability pada April 2024, berjudul "Investigating the Gaps between Engineering Graduates and Quantity Surveyors of Construction Enterprises," menyoroti adanya kesenjangan signifikan antara kompetensi yang dimiliki lulusan teknik dengan kompetensi yang dibutuhkan oleh para juru ukur kuantitas berpengalaman.1 Laporan ini bukan sekadar menyajikan data statistik, melainkan menguak cerita di balik angka-angka tersebut: apa yang mengejutkan para peneliti, siapa yang paling terdampak, dan mengapa temuan ini menjadi panggilan kritis bagi dunia pendidikan dan industri saat ini.
Studi ini dirancang dengan metodologi yang kredibel, melibatkan 262 responden dari dua kelompok berbeda di Tiongkok: 165 juru ukur kuantitas senior yang memiliki pengalaman lebih dari lima tahun, dan 97 lulusan teknik yang baru lulus atau memiliki pengalaman kurang dari dua tahun.1 Melalui tinjauan literatur, wawancara, dan survei kuesioner, para peneliti menganalisis lima dimensi kompetensi utama: kompetensi berkelanjutan (sustainable competency), kompetensi anggaran (budget competency), kompetensi manajemen lapangan (site management competency), etika rekayasa (engineering ethics), dan kompetensi penyelesaian proyek (settlement competency). Hasilnya memberikan gambaran yang jelas mengenai disparitas keahlian yang ada di pasar kerja.1
Mengapa Temuan Ini Menjadi Panggilan Kritis bagi Dunia Pendidikan?
Secara keseluruhan, temuan dari penelitian ini menunjukkan kesenjangan yang tidak bisa diabaikan. Rata-rata nilai untuk semua kompetensi pribadi yang diukur, tanpa terkecuali, jauh lebih tinggi pada kelompok juru ukur kuantitas yang berpengalaman dibandingkan dengan lulusan teknik.1 Perbedaan rata-rata totalnya mencapai 6,03%. Angka ini mungkin terlihat kecil, tetapi dalam skala industri konstruksi, di mana setiap persen efisiensi dapat berdampak pada jutaan dolar, perbedaan ini setara dengan kerugian operasional yang substansial. Ini adalah tantangan nyata yang dihadapi oleh perusahaan konstruksi setiap kali mereka merekrut talenta baru yang memerlukan investasi besar untuk pelatihan ulang.1
Hasil ini secara terang-terangan membuktikan bahwa sistem pendidikan tinggi saat ini tidak sepenuhnya selaras dengan dinamika dan kebutuhan riil di lapangan. Kurikulum yang ada seringkali masih berfokus pada teori, kurang memberikan eksposur yang cukup pada praktik dan tantangan yang kompleks di dunia profesional. Fenomena ini menciptakan 'jurang' keahlian yang harus dijembatani oleh para profesional sendiri setelah mereka memasuki dunia kerja.
Di balik kesenjangan kompetensi praktis ini, terdapat satu temuan yang paling menarik dan bahkan berpotensi mengkhawatirkan. Ketika menganalisis dimensi etika rekayasa, para peneliti menemukan sebuah hasil yang kontra-intuitif. Lulusan teknik justru menunjukkan kesadaran dan skor yang lebih tinggi dalam aspek integritas, kepatuhan hukum, dan etika profesional dibandingkan dengan para juru ukur kuantitas yang lebih senior.1 Temuan ini, meskipun perbedaan pada beberapa item tidak signifikan secara statistik, memberikan sinyal yang kuat tentang isu yang jauh lebih kompleks dan akan dikupas lebih dalam di bagian selanjutnya.1
Mengupas Kesenjangan Kunci: Cerita di Balik Angka-angka Penelitian
Untuk memahami secara lebih dalam, analisis data per dimensi mengungkapkan empat area kompetensi yang memiliki kesenjangan paling signifikan.1
Kompetensi Anggaran: Titik Kesenjangan Terbesar
Kesenjangan terbesar ditemukan pada dimensi kompetensi anggaran, dengan perbedaan mencapai 7,20%. Dimensi ini mencakup kemampuan esensial seorang juru ukur kuantitas, seperti menyiapkan anggaran konstruksi, meninjau anggaran, membuat dokumen tender, dan menghitung volume pekerjaan (quantity takeoffs).1
Untuk membuat angka ini lebih hidup, bayangkan Anda mengisi daya baterai ponsel. Jika seorang juru ukur kuantitas berpengalaman dapat mengisi baterai hingga 70% dalam satu kali pengisian, seorang lulusan teknik mungkin hanya dapat mengisi hingga 20% dalam waktu yang sama. Kesenjangan ini setara dengan lompatan efisiensi sebesar 43% dari 20% ke 70% dalam satu kali proses. Perbedaan dramatis ini menggarisbawahi kegagalan sistem pendidikan dalam melatih keterampilan inti yang paling dibutuhkan di pasar. Perusahaan-perusahaan konstruksi terpaksa harus mengeluarkan biaya dan waktu yang tidak sedikit untuk melatih kembali talenta baru agar mereka dapat mencapai tingkat keahlian yang dibutuhkan untuk pekerjaan sehari-hari.1
Kompetensi Penyelesaian Proyek: Titik Buta yang Vital
Meskipun kesenjangan pada dimensi kompetensi penyelesaian proyek cukup besar (7,04%), ada satu temuan yang lebih mengejutkan: nilai rata-rata kompetensi ini merupakan yang terendah di antara semua dimensi untuk kedua kelompok responden, baik lulusan maupun juru ukur kuantitas berpengalaman. Ini menunjukkan adanya "titik buta" kolektif dalam profesi ini.1
Laporan ini mengindikasikan bahwa para profesional, baik yang senior maupun yang junior, cenderung meremehkan pentingnya tahap akhir proyek ini. Padahal, paper ini secara eksplisit menjelaskan bahwa kompetensi ini sangat vital untuk mencegah sengketa hukum, melakukan audit, dan memastikan biaya akhir proyek tidak membengkak secara tak terkendali.1 Keterbatasan pemahaman dan minimnya penekanan pada kompetensi ini adalah sebuah peluang yang terlewatkan untuk menambah nilai signifikan pada proyek dan mengamankan profitabilitas. Ini merupakan kritik realistis terhadap persepsi yang masih ada dalam profesi, yang menganggap penyelesaian sebagai pekerjaan "rutin" ketimbang sebagai area strategis untuk optimasi.
Kompetensi Manajemen Lapangan: Bergeser dari Teknisi ke Manajer
Dimensi manajemen lapangan menunjukkan kesenjangan yang juga signifikan (6,67%). Kompetensi ini mencakup kemampuan mengelola perubahan, biaya, dan jadwal di lokasi proyek, serta memproses klaim dan merespons situasi di lapangan.1 Studi ini secara khusus mencatat perbedaan mencolok pada item "kemampuan memproses klaim" (13,45%) dan "kemampuan manajemen perubahan" (11,03%).
Kesenjangan ini adalah bukti nyata pergeseran peran dari juru ukur kuantitas. Mereka tidak lagi hanya bekerja di belakang meja, tetapi harus mampu menjadi manajer teknis yang menguasai dinamika kompleks di lapangan, berinteraksi dengan berbagai pihak, dan mengambil keputusan cepat untuk mengendalikan biaya. Lulusan teknik yang terbiasa dengan lingkungan akademis seringkali tidak siap menghadapi tuntutan manajerial dan real-time ini.1
Kompetensi Berkelanjutan: Soft Skill Era Digital
Kesenjangan pada dimensi kompetensi berkelanjutan (6,33%) menyoroti pentingnya soft skill di era digital. Dimensi ini mencakup kemampuan non-teknis seperti manajemen tim, komunikasi, inovasi, dan pemecahan masalah.1 Meskipun lulusan teknik dikenal memiliki ketangkasan dalam adaptasi teknologi, kesenjangan terbesar dalam dimensi ini justru ada pada item "kompetensi inovasi" dengan perbedaan mencapai 15,19%.
Temuan ini sangatlah penting. Industri konstruksi saat ini giat mengadopsi teknologi digital canggih seperti Building Information Modeling (BIM), Big Data (BD), dan Artificial Intelligence (AI) untuk meningkatkan produktivitas.1 Namun, data ini menunjukkan bahwa masalahnya bukan hanya pada ketersediaan teknologi, tetapi pada ketidaksiapan talenta untuk berpikir secara inovatif dan kolaboratif guna memaksimalkan potensi teknologi tersebut. Untuk menjadi juru ukur kuantitas di masa depan, seorang profesional tidak cukup hanya tahu cara mengoperasikan perangkat lunak, tetapi harus mampu menggunakan teknologi tersebut sebagai alat untuk memecahkan masalah yang kompleks dan mendorong efisiensi proyek.1
Kritis dan Kontra-Intuitif: Mengapa Lulusan Lebih Beretika?
Temuan bahwa lulusan teknik memiliki skor etika dan kepatuhan hukum yang lebih tinggi dari para juru ukur kuantitas berpengalaman adalah poin yang paling menarik dan kritis dari seluruh laporan ini.1 Mengapa hal ini terjadi? Penelitian menyiratkan adanya korelasi antara penurunan standar etika dan tekanan berlebihan di tempat kerja.1
Di tengah industri yang rawan korupsi, tuntutan untuk mencapai target keuntungan, dan lingkungan yang kompetitif dapat secara bertahap mengikis idealisme yang dimiliki oleh para lulusan yang baru memasuki dunia kerja. Kondisi ini menciptakan dilema moral di mana seorang profesional mungkin dihadapkan pada pilihan sulit antara mematuhi kode etik atau memenuhi ekspektasi manajemen untuk memberikan hasil finansial yang menguntungkan. Temuan ini merupakan cerminan dari masalah sistemik yang mengkhawatirkan dalam budaya industri, di mana tekanan pekerjaan dapat menggerus nilai-nilai integritas dan kejujuran yang vital. Ini adalah kritik realistis terhadap kondisi industri itu sendiri, yang harus mampu menciptakan lingkungan kerja yang tidak hanya menuntut kompetensi, tetapi juga menjunjung tinggi etika dan integritas.1
Jalan ke Depan: Kolaborasi Kampus dan Industri sebagai Solusi
Kesenjangan kompetensi yang telah teridentifikasi, baik pada aspek praktis maupun etika, berakar pada model pendidikan tradisional yang belum sepenuhnya responsif terhadap kebutuhan pasar yang terus berubah.1 Oleh karena itu, studi ini merekomendasikan sebuah solusi transformasional yang berpusat pada kolaborasi erat antara institusi pendidikan dan industri.
Salah satu rekomendasi utama adalah memperkenalkan mekanisme berorientasi pasar dan membangun model bakat teknik yang dinamis melalui kemitraan sekolah-perusahaan.1 Alih-alih hanya mengandalkan pembelajaran di kelas, universitas harus secara aktif menjalin kerja sama dengan perusahaan konstruksi. Model ini dapat diwujudkan dalam berbagai cara, seperti mendelegasikan sebagian pekerjaan riil kepada departemen bisnis di kampus, atau mengirim mahasiswa terbaik untuk magang di perusahaan.1
Selain itu, pembelajaran aktif melalui proyek-proyek nyata dan kompetisi profesional sangat ditekankan. Menggunakan proyek rekayasa praktis sebagai media pembelajaran, mahasiswa tidak hanya akan menguasai keterampilan teknis tetapi juga terbiasa dengan dinamika manajemen proyek dan tantangan yang tak terduga di lapangan. Kompetisi profesional, seperti kompetisi biaya konstruksi atau kewirausahaan, juga dapat menanamkan pola pikir bisnis dan mendorong mahasiswa untuk mencari solusi inovatif terhadap masalah industri. Pendekatan ini akan mempercepat adaptasi lulusan, mengurangi masa transisi kerja, dan meningkatkan daya saing mereka secara signifikan.1
Penutup: Dampak Nyata dan Visi Jangka Panjang
Secara keseluruhan, penelitian ini secara tegas mengonfirmasi adanya kesenjangan kompetensi yang signifikan antara lulusan teknik dan juru ukur kuantitas berpengalaman, terutama dalam hal keterampilan praktis dan manajerial. Namun, temuan ini juga membuka peluang besar bagi transformasi.
Jika rekomendasi untuk memperkuat kolaborasi antara kampus dan industri diterapkan secara luas, dampaknya akan sangat nyata. Lulusan teknik yang dihasilkan tidak hanya akan memiliki pengetahuan teknis yang mumpuni, tetapi juga keterampilan praktis yang sangat dibutuhkan oleh pasar. Hal ini berpotensi mengurangi biaya rekrutmen dan pelatihan bagi perusahaan, serta meningkatkan efisiensi operasional proyek. Diperkirakan, jika model ini menjadi cetak biru pendidikan teknik di masa depan, industri konstruksi dapat mengurangi biaya proyek dan mengefisienkan proses hingga 7% dalam waktu lima tahun, sambil menghasilkan talenta yang tidak hanya ahli tetapi juga memiliki integritas tinggi.1
Ini adalah seruan bagi semua pemangku kepentingan—pendidik, pemimpin industri, dan mahasiswa—untuk bekerja sama menciptakan sinergi yang berkelanjutan, di mana pendidikan dan industri tidak lagi berjalan di jalur yang terpisah, melainkan bersatu untuk membangun masa depan konstruksi yang lebih inovatif, efisien, dan berintegritas tinggi.
Sumber Artikel:
Zhang, P., Ma, S. G., Sun, Y., & Zhao, Y. N. (2024). Investigating the gaps between engineering graduates and quantity surveyors of construction enterprises. Sustainability, 16(7), 2984.