Dalam lanskap industri konstruksi yang terus berevolusi, peran seorang juru ukur kuantitas (quantity surveyor) telah mengalami transformasi fundamental. Jika di masa lalu mereka dikenal sebagai "penghitung" yang berfokus pada pengukuran dan penaksiran biaya, kini peran mereka telah meluas secara signifikan. Di era modern, mereka tidak hanya mengelola biaya, tetapi juga menjadi konsultan ekonomi bangunan yang esensial, terlibat dalam manajemen keuangan dan kontrak di seluruh tahapan proyek. Pentingnya peran ini semakin terasa di tengah tantangan ekonomi global, di mana margin keuntungan yang tipis menuntut setiap detail biaya dioptimalkan secara maksimal.1
Namun, di balik peran yang krusial ini, muncul tantangan serius terkait kesiapan tenaga kerja di masa depan. Sebuah penelitian mendalam yang diterbitkan dalam jurnal Sustainability pada April 2024, berjudul "Investigating the Gaps between Engineering Graduates and Quantity Surveyors of Construction Enterprises," menyoroti adanya kesenjangan signifikan antara kompetensi yang dimiliki lulusan teknik dengan kompetensi yang dibutuhkan oleh para juru ukur kuantitas berpengalaman.1 Laporan ini bukan sekadar menyajikan data statistik, melainkan menguak cerita di balik angka-angka tersebut: apa yang mengejutkan para peneliti, siapa yang paling terdampak, dan mengapa temuan ini menjadi panggilan kritis bagi dunia pendidikan dan industri saat ini.
Studi ini dirancang dengan metodologi yang kredibel, melibatkan 262 responden dari dua kelompok berbeda di Tiongkok: 165 juru ukur kuantitas senior yang memiliki pengalaman lebih dari lima tahun, dan 97 lulusan teknik yang baru lulus atau memiliki pengalaman kurang dari dua tahun.1 Melalui tinjauan literatur, wawancara, dan survei kuesioner, para peneliti menganalisis lima dimensi kompetensi utama: kompetensi berkelanjutan (sustainable competency), kompetensi anggaran (budget competency), kompetensi manajemen lapangan (site management competency), etika rekayasa (engineering ethics), dan kompetensi penyelesaian proyek (settlement competency). Hasilnya memberikan gambaran yang jelas mengenai disparitas keahlian yang ada di pasar kerja.1
Mengapa Temuan Ini Menjadi Panggilan Kritis bagi Dunia Pendidikan?
Secara keseluruhan, temuan dari penelitian ini menunjukkan kesenjangan yang tidak bisa diabaikan. Rata-rata nilai untuk semua kompetensi pribadi yang diukur, tanpa terkecuali, jauh lebih tinggi pada kelompok juru ukur kuantitas yang berpengalaman dibandingkan dengan lulusan teknik.1 Perbedaan rata-rata totalnya mencapai 6,03%. Angka ini mungkin terlihat kecil, tetapi dalam skala industri konstruksi, di mana setiap persen efisiensi dapat berdampak pada jutaan dolar, perbedaan ini setara dengan kerugian operasional yang substansial. Ini adalah tantangan nyata yang dihadapi oleh perusahaan konstruksi setiap kali mereka merekrut talenta baru yang memerlukan investasi besar untuk pelatihan ulang.1
Hasil ini secara terang-terangan membuktikan bahwa sistem pendidikan tinggi saat ini tidak sepenuhnya selaras dengan dinamika dan kebutuhan riil di lapangan. Kurikulum yang ada seringkali masih berfokus pada teori, kurang memberikan eksposur yang cukup pada praktik dan tantangan yang kompleks di dunia profesional. Fenomena ini menciptakan 'jurang' keahlian yang harus dijembatani oleh para profesional sendiri setelah mereka memasuki dunia kerja.
Di balik kesenjangan kompetensi praktis ini, terdapat satu temuan yang paling menarik dan bahkan berpotensi mengkhawatirkan. Ketika menganalisis dimensi etika rekayasa, para peneliti menemukan sebuah hasil yang kontra-intuitif. Lulusan teknik justru menunjukkan kesadaran dan skor yang lebih tinggi dalam aspek integritas, kepatuhan hukum, dan etika profesional dibandingkan dengan para juru ukur kuantitas yang lebih senior.1 Temuan ini, meskipun perbedaan pada beberapa item tidak signifikan secara statistik, memberikan sinyal yang kuat tentang isu yang jauh lebih kompleks dan akan dikupas lebih dalam di bagian selanjutnya.1
Mengupas Kesenjangan Kunci: Cerita di Balik Angka-angka Penelitian
Untuk memahami secara lebih dalam, analisis data per dimensi mengungkapkan empat area kompetensi yang memiliki kesenjangan paling signifikan.1
Kompetensi Anggaran: Titik Kesenjangan Terbesar
Kesenjangan terbesar ditemukan pada dimensi kompetensi anggaran, dengan perbedaan mencapai 7,20%. Dimensi ini mencakup kemampuan esensial seorang juru ukur kuantitas, seperti menyiapkan anggaran konstruksi, meninjau anggaran, membuat dokumen tender, dan menghitung volume pekerjaan (quantity takeoffs).1
Untuk membuat angka ini lebih hidup, bayangkan Anda mengisi daya baterai ponsel. Jika seorang juru ukur kuantitas berpengalaman dapat mengisi baterai hingga 70% dalam satu kali pengisian, seorang lulusan teknik mungkin hanya dapat mengisi hingga 20% dalam waktu yang sama. Kesenjangan ini setara dengan lompatan efisiensi sebesar 43% dari 20% ke 70% dalam satu kali proses. Perbedaan dramatis ini menggarisbawahi kegagalan sistem pendidikan dalam melatih keterampilan inti yang paling dibutuhkan di pasar. Perusahaan-perusahaan konstruksi terpaksa harus mengeluarkan biaya dan waktu yang tidak sedikit untuk melatih kembali talenta baru agar mereka dapat mencapai tingkat keahlian yang dibutuhkan untuk pekerjaan sehari-hari.1
Kompetensi Penyelesaian Proyek: Titik Buta yang Vital
Meskipun kesenjangan pada dimensi kompetensi penyelesaian proyek cukup besar (7,04%), ada satu temuan yang lebih mengejutkan: nilai rata-rata kompetensi ini merupakan yang terendah di antara semua dimensi untuk kedua kelompok responden, baik lulusan maupun juru ukur kuantitas berpengalaman. Ini menunjukkan adanya "titik buta" kolektif dalam profesi ini.1
Laporan ini mengindikasikan bahwa para profesional, baik yang senior maupun yang junior, cenderung meremehkan pentingnya tahap akhir proyek ini. Padahal, paper ini secara eksplisit menjelaskan bahwa kompetensi ini sangat vital untuk mencegah sengketa hukum, melakukan audit, dan memastikan biaya akhir proyek tidak membengkak secara tak terkendali.1 Keterbatasan pemahaman dan minimnya penekanan pada kompetensi ini adalah sebuah peluang yang terlewatkan untuk menambah nilai signifikan pada proyek dan mengamankan profitabilitas. Ini merupakan kritik realistis terhadap persepsi yang masih ada dalam profesi, yang menganggap penyelesaian sebagai pekerjaan "rutin" ketimbang sebagai area strategis untuk optimasi.
Kompetensi Manajemen Lapangan: Bergeser dari Teknisi ke Manajer
Dimensi manajemen lapangan menunjukkan kesenjangan yang juga signifikan (6,67%). Kompetensi ini mencakup kemampuan mengelola perubahan, biaya, dan jadwal di lokasi proyek, serta memproses klaim dan merespons situasi di lapangan.1 Studi ini secara khusus mencatat perbedaan mencolok pada item "kemampuan memproses klaim" (13,45%) dan "kemampuan manajemen perubahan" (11,03%).
Kesenjangan ini adalah bukti nyata pergeseran peran dari juru ukur kuantitas. Mereka tidak lagi hanya bekerja di belakang meja, tetapi harus mampu menjadi manajer teknis yang menguasai dinamika kompleks di lapangan, berinteraksi dengan berbagai pihak, dan mengambil keputusan cepat untuk mengendalikan biaya. Lulusan teknik yang terbiasa dengan lingkungan akademis seringkali tidak siap menghadapi tuntutan manajerial dan real-time ini.1
Kompetensi Berkelanjutan: Soft Skill Era Digital
Kesenjangan pada dimensi kompetensi berkelanjutan (6,33%) menyoroti pentingnya soft skill di era digital. Dimensi ini mencakup kemampuan non-teknis seperti manajemen tim, komunikasi, inovasi, dan pemecahan masalah.1 Meskipun lulusan teknik dikenal memiliki ketangkasan dalam adaptasi teknologi, kesenjangan terbesar dalam dimensi ini justru ada pada item "kompetensi inovasi" dengan perbedaan mencapai 15,19%.
Temuan ini sangatlah penting. Industri konstruksi saat ini giat mengadopsi teknologi digital canggih seperti Building Information Modeling (BIM), Big Data (BD), dan Artificial Intelligence (AI) untuk meningkatkan produktivitas.1 Namun, data ini menunjukkan bahwa masalahnya bukan hanya pada ketersediaan teknologi, tetapi pada ketidaksiapan talenta untuk berpikir secara inovatif dan kolaboratif guna memaksimalkan potensi teknologi tersebut. Untuk menjadi juru ukur kuantitas di masa depan, seorang profesional tidak cukup hanya tahu cara mengoperasikan perangkat lunak, tetapi harus mampu menggunakan teknologi tersebut sebagai alat untuk memecahkan masalah yang kompleks dan mendorong efisiensi proyek.1
Kritis dan Kontra-Intuitif: Mengapa Lulusan Lebih Beretika?
Temuan bahwa lulusan teknik memiliki skor etika dan kepatuhan hukum yang lebih tinggi dari para juru ukur kuantitas berpengalaman adalah poin yang paling menarik dan kritis dari seluruh laporan ini.1 Mengapa hal ini terjadi? Penelitian menyiratkan adanya korelasi antara penurunan standar etika dan tekanan berlebihan di tempat kerja.1
Di tengah industri yang rawan korupsi, tuntutan untuk mencapai target keuntungan, dan lingkungan yang kompetitif dapat secara bertahap mengikis idealisme yang dimiliki oleh para lulusan yang baru memasuki dunia kerja. Kondisi ini menciptakan dilema moral di mana seorang profesional mungkin dihadapkan pada pilihan sulit antara mematuhi kode etik atau memenuhi ekspektasi manajemen untuk memberikan hasil finansial yang menguntungkan. Temuan ini merupakan cerminan dari masalah sistemik yang mengkhawatirkan dalam budaya industri, di mana tekanan pekerjaan dapat menggerus nilai-nilai integritas dan kejujuran yang vital. Ini adalah kritik realistis terhadap kondisi industri itu sendiri, yang harus mampu menciptakan lingkungan kerja yang tidak hanya menuntut kompetensi, tetapi juga menjunjung tinggi etika dan integritas.1
Jalan ke Depan: Kolaborasi Kampus dan Industri sebagai Solusi
Kesenjangan kompetensi yang telah teridentifikasi, baik pada aspek praktis maupun etika, berakar pada model pendidikan tradisional yang belum sepenuhnya responsif terhadap kebutuhan pasar yang terus berubah.1 Oleh karena itu, studi ini merekomendasikan sebuah solusi transformasional yang berpusat pada kolaborasi erat antara institusi pendidikan dan industri.
Salah satu rekomendasi utama adalah memperkenalkan mekanisme berorientasi pasar dan membangun model bakat teknik yang dinamis melalui kemitraan sekolah-perusahaan.1 Alih-alih hanya mengandalkan pembelajaran di kelas, universitas harus secara aktif menjalin kerja sama dengan perusahaan konstruksi. Model ini dapat diwujudkan dalam berbagai cara, seperti mendelegasikan sebagian pekerjaan riil kepada departemen bisnis di kampus, atau mengirim mahasiswa terbaik untuk magang di perusahaan.1
Selain itu, pembelajaran aktif melalui proyek-proyek nyata dan kompetisi profesional sangat ditekankan. Menggunakan proyek rekayasa praktis sebagai media pembelajaran, mahasiswa tidak hanya akan menguasai keterampilan teknis tetapi juga terbiasa dengan dinamika manajemen proyek dan tantangan yang tak terduga di lapangan. Kompetisi profesional, seperti kompetisi biaya konstruksi atau kewirausahaan, juga dapat menanamkan pola pikir bisnis dan mendorong mahasiswa untuk mencari solusi inovatif terhadap masalah industri. Pendekatan ini akan mempercepat adaptasi lulusan, mengurangi masa transisi kerja, dan meningkatkan daya saing mereka secara signifikan.1
Penutup: Dampak Nyata dan Visi Jangka Panjang
Secara keseluruhan, penelitian ini secara tegas mengonfirmasi adanya kesenjangan kompetensi yang signifikan antara lulusan teknik dan juru ukur kuantitas berpengalaman, terutama dalam hal keterampilan praktis dan manajerial. Namun, temuan ini juga membuka peluang besar bagi transformasi.
Jika rekomendasi untuk memperkuat kolaborasi antara kampus dan industri diterapkan secara luas, dampaknya akan sangat nyata. Lulusan teknik yang dihasilkan tidak hanya akan memiliki pengetahuan teknis yang mumpuni, tetapi juga keterampilan praktis yang sangat dibutuhkan oleh pasar. Hal ini berpotensi mengurangi biaya rekrutmen dan pelatihan bagi perusahaan, serta meningkatkan efisiensi operasional proyek. Diperkirakan, jika model ini menjadi cetak biru pendidikan teknik di masa depan, industri konstruksi dapat mengurangi biaya proyek dan mengefisienkan proses hingga 7% dalam waktu lima tahun, sambil menghasilkan talenta yang tidak hanya ahli tetapi juga memiliki integritas tinggi.1
Ini adalah seruan bagi semua pemangku kepentingan—pendidik, pemimpin industri, dan mahasiswa—untuk bekerja sama menciptakan sinergi yang berkelanjutan, di mana pendidikan dan industri tidak lagi berjalan di jalur yang terpisah, melainkan bersatu untuk membangun masa depan konstruksi yang lebih inovatif, efisien, dan berintegritas tinggi.
Sumber Artikel:
Zhang, P., Ma, S. G., Sun, Y., & Zhao, Y. N. (2024). Investigating the gaps between engineering graduates and quantity surveyors of construction enterprises. Sustainability, 16(7), 2984.