Bencana Alam
Dipublikasikan oleh Izura Ramadhani Fauziyah pada 23 Juli 2025
Mengapa Transisi Kekeringan ke Banjir Jadi Sorotan Global?
Dalam beberapa tahun terakhir, dunia menyaksikan semakin banyak fenomena cuaca ekstrem yang melampaui aturan normal. Salah satu yang kian sering terjadi adalah transisi atau perubahan cepat dari kekeringan parah ke banjir besar, yang dikenal sebagai drought-to-flood transition. Dampaknya sangat kompleks: dari kerugian ekonomi, rusaknya ekosistem, hingga korban jiwa.
Hal ini tak hanya menjadi isu global, tapi juga berdampak lokal di banyak tempat, mulai dari Eropa, Amerika, hingga Asia Tenggara. Sebuah studi penting yang dirilis oleh Anderson dkk. pada tahun 2025 mencoba menjawab pertanyaan mendasar: bagaimana kita mendefinisikan dan mendeteksi fenomena seperti ini secara akurat?
Artikel ini membahas secara mendalam temuan penting dari studi Anderson dkk., dan mengaitkannya dengan kondisi nyata, termasuk studi kasus dengan angka-angka relevan, serta menyertakan perspektif kritis untuk membuatnya berguna bagi perencana, ilmuwan, dan masyarakat umum.
Banjir Besar Setelah Kemarau Panjang: Realitas yang Mengerikan
Transisi dari kekeringan ke banjir bukan sekadar perubahan cuaca biasa. Di banyak wilayah, kejadian ini justru menjadi pemicu krisis besar. Misalnya, Italia mengalami periode kekeringan dari awal 2022 hingga Mei 2023. Pada saat itu, Sungai Po menyusut drastis dan banyak lahan pertanian gagal panen. Dampaknya, Italia mengalami kerugian ekonomi lebih dari 6 miliar euro hanya dari sektor pertanian dan industri air.
Namun belum usai pulih dari krisis air, wilayah Emilia-Romagna justru dihantam banjir besar pada awal Mei 2023. Hujan ekstrem menyebabkan sungai meluap dan menewaskan sedikitnya 17 orang, serta memicu lebih dari 400 tanah longsor. Transisi ini memperlihatkan betapa cepat dan destruktif satu peristiwa dapat berubah menjadi yang lainnya, ketika sistem alami tak lagi bisa meredam tekanan ekstrem akibat perubahan iklim.
Contoh serupa juga terjadi di Texas, Amerika Serikat. Awal tahun 2023, daerah Sungai Llano menghadapi kekeringan ekstrem selama berbulan-bulan. Tanah mengering, permintaan air melonjak, dan sistem irigasi kolaps. Namun pada akhir Oktober 2023, badai besar datang dan menyebabkan banjir bandang. Air meluap hingga ke jalan raya dan menenggelamkan sejumlah permukiman pinggiran. Transisi tersebut terjadi hanya dalam hitungan hari.
Masalah Utama: Sulitnya Mendeteksi dan Mendefinisikan Transisi
Salah satu kontribusi utama dari studi Anderson dkk. adalah menunjukkan bahwa definisi dan metode deteksi drought-to-flood transition saat ini masih bermasalah. Meski kasus-kasus transisi ekstrem sering terjadi, metode formal sering gagal mendeteksinya atau bahkan salah mengidentifikasi kejadian.
Masalahnya terletak pada tiga hal utama:
Studi Kasus Lintas Negara dan Penemuan Penting
Penulis menyertakan delapan kasus nyata di Eropa, Amerika, hingga Australia dan Chili. Beberapa contohnya menunjukkan hasil-hasil menarik:
Studi ini menunjukkan bahwa tidak ada satu pun metode deteksi yang bekerja optimal di semua jenis sungai atau iklim. Sebaliknya, pendekatan harus kontekstual, disesuaikan dengan karakter hidrologi lokal dan kebutuhan aplikasi (misalnya keperluan pengelolaan air, cuaca ekstrem, atau pertanian).
Bagaimana Seharusnya Kita Merespons? Rekomendasi Praktis dari Studi
Penulis menyarankan sejumlah langkah konkrit bagi peneliti, praktisi, dan pengambil kebijakan untuk memahami dan menghadapi fenomena ini secara lebih efektif:
Kritik dan Pandangan Tambahan
Salah satu kekuatan besar studi ini adalah keberaniannya untuk tidak mengklaim “solusi final”. Alih-alih, penulis justru mengungkap kerumitan definisi dan pentingnya penyesuaian metode secara dinamis. Namun, beberapa kekurangan tetap layak dicatat:
Apa Relevansinya Untuk Indonesia?
Dengan lokasi di zona tropis dan curah hujan yang tak menentu akibat perubahan iklim, Indonesia berisiko tinggi mengalami transisi jenis ini. Contoh tahun 2019 dan 2020 menunjukkan fluktuasi ekstrem dari musim kemarau panjang ke banjir mendadak. Kota-kota seperti Jakarta, Bandung, dan Makassar sudah punya pengalaman pahit soal curah hujan ekstrem setelah musim panas yang berkepanjangan.
Sayangnya, Indonesia masih kurang dalam hal data hidrologi resolusi tinggi dan sistem peringatan dini yang mampu mendeteksi dua ekstrem secara berurutan. Kajian seperti ini memberi landasan ilmiah yang kuat bagi Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB), BMKG, dan pemerintah daerah untuk membentuk sistem deteksi dan respons bencana yang lebih holistik.
Penutup dan Kesimpulan
Fenomena drought-to-flood transition bukan hanya istilah teknis, tetapi nyata di kehidupan sehari-hari. Ketika hujan ekstrem menggantikan kemarau panjang, masyarakat rentan terjebak dalam krisis beruntun tanpa jeda pemulihan. Studi Anderson dkk. memperingatkan bahwa tanpa pemahaman metodologis yang tepat, kita berisiko mengabaikan peringatan dini dan gagal mengelola kedua ekstrem ini secara terintegrasi.
Masa depan perencanaan bencana dan perubahan iklim menuntut pendekatan baru — yang tidak hanya fokus pada satu bencana dalam satu waktu, tetapi pada transisi di antara keduanya. Indonesia dan dunia perlu segera merespons, sebelum siklus ekstrem ini menjadi norma yang menyakitkan.
Sumber:
Anderson, B. J., Muñoz-Castro, E., Tallaksen, L. M., Matano, A., Götte, J., Armitage, R., Magee, E., & Brunner, M. I. (2025). What is a drought-to-flood transition? Pitfalls and recommendations for defining consecutive hydrological extreme events.
Bencana Alam
Dipublikasikan oleh Izura Ramadhani Fauziyah pada 08 Juli 2025
Bencana Alam, Tantangan Global, dan Urgensi Transformasi
Amerika Latin dan Karibia adalah kawasan yang kerap menjadi “laboratorium” bencana alam dunia—mulai dari gempa bumi, letusan gunung api, tsunami, hingga badai tropis dan banjir. Namun, di balik rentetan tragedi, kawasan ini juga menjadi pionir dalam transformasi manajemen risiko bencana. Paper “A World Safe from Natural Disasters: The Journey of Latin America and the Caribbean” terbitan Pan American Health Organization (PAHO) ini mengupas perjalanan panjang, data, studi kasus, serta inovasi kebijakan yang relevan bagi dunia, termasuk Indonesia yang juga rawan bencana.
Dari Respons Ad Hoc ke Era Mitigasi dan Pencegahan
Evolusi Paradigma Penanggulangan Bencana
Data dan Tren: Kenapa Amerika Latin & Karibia Sangat Rentan?
Studi Kasus: Bencana Besar dan Transformasi Kebijakan
1. Gempa Peru 1970 & Guatemala 1976
2. Gempa Mexico City 1985
3. Letusan Nevado del Ruiz, Kolombia 1985
4. Badai Tropis dan Banjir di Karibia
5. Fenomena El Niño 1982–1983
Analisis Data: Angka-Angka Kunci Bencana di Amerika Latin & Karibia
Transformasi Manajemen Risiko: Dari Respons ke Pencegahan
1. Kesiapsiagaan Multisektor
2. Mitigasi dan Pencegahan Berbasis Data
3. Pelibatan Komunitas dan Kolaborasi Regional
4. Integrasi Mitigasi dalam Pembangunan Berkelanjutan
Studi Kasus: Inovasi dan Pembelajaran Penting
1. SUMA—Supply Management Project
2. Mitigasi Banjir di Paraguay
3. Modernisasi Infrastruktur Air dan Sanitasi
4. Penguatan Rumah Sakit dan Sekolah
5. Manizales, Kolombia: Mitigasi Longsor
Analisis Kritis: Tantangan, Peluang, dan Rekomendasi
Tantangan
Peluang dan Solusi
Perbandingan dengan Tren Global
Internal & External Linking
Artikel ini sangat relevan untuk dikaitkan dengan topik:
Opini dan Rekomendasi: Menuju Ekosistem Ketahanan Bencana yang Berkelanjutan
Kesimpulan: Menuju Dunia Lebih Aman dari Bencana Alam
Perjalanan Amerika Latin dan Karibia membuktikan bahwa investasi berkelanjutan dalam mitigasi, kesiapsiagaan, dan pencegahan menghasilkan manfaat nyata—menyelamatkan nyawa, melindungi ekonomi, dan memperkuat ketahanan sosial. Transformasi dari respons ad hoc menuju manajemen risiko terintegrasi adalah proses panjang, namun kini menjadi kebutuhan mendesak di era perubahan iklim dan urbanisasi global.
Indonesia dan negara-negara rawan bencana lainnya dapat belajar banyak dari pengalaman ini: pentingnya data, kolaborasi, inovasi, dan pelibatan komunitas. Dengan komitmen bersama, dunia yang lebih aman dari bencana bukan sekadar utopia, melainkan tujuan yang dapat dicapai.
Sumber asli:
Pan American Health Organization. “A World Safe from Natural Disasters: The Journey of Latin America and the Caribbean.” Pan American Sanitary Bureau, Regional Office of the World Health Organization, 1994.
Bencana Alam
Dipublikasikan oleh Izura Ramadhani Fauziyah pada 01 Juli 2025
Mengapa Kesiapsiagaan Tsunami di Destinasi Wisata Semakin Penting?
Pantai-pantai Indonesia, khususnya di selatan Pulau Jawa, menjadi magnet utama wisatawan domestik dan mancanegara. Namun, di balik pesona “3S—sand, sea, sun”, kawasan ini menyimpan risiko bencana tsunami yang nyata. Kejadian tsunami besar di Aceh (2004), Pangandaran (2006), dan Banten (2018) menjadi pengingat bahwa wisata bahari harus diimbangi dengan manajemen risiko bencana yang kuat. Paper oleh Ikhwan Amri, Sri Rum Giyarsih, dan Dina Ruslanjari (2024) mengupas tuntas kesiapsiagaan pengguna pantai di Bantul, DIY, dalam menghadapi ancaman tsunami—sebuah studi yang sangat relevan di tengah tren pertumbuhan pesat pariwisata pesisir.
Latar Belakang: Bantul, Pariwisata, dan Ancaman Tsunami
Bantul, bagian dari Daerah Istimewa Yogyakarta, memiliki garis pantai yang menjadi destinasi favorit jutaan wisatawan setiap tahun. Tiga pantai utama—Parangtritis, Depok, dan Baru—menjadi lokasi penelitian karena karakteristiknya yang unik, baik dari sisi wisata maupun potensi bencana. Secara geologis, pesisir selatan Bantul berhadapan langsung dengan zona subduksi Sunda Megathrust, sumber utama gempa dan tsunami besar di Indonesia. Meski catatan tsunami di Bantul tidak sebanyak di daerah lain, potensi bencana tetap tinggi, apalagi dengan prediksi probabilitas tsunami besar (>3 meter) sebesar 2,1% per tahun di wilayah ini.
Metode: Survei Kesiapsiagaan Pengguna Pantai
Penelitian ini menggunakan survei kuantitatif dengan wawancara langsung terhadap 221 pengguna pantai (wisatawan dan warga lokal) di tiga pantai utama. Survei dilakukan pada akhir pekan, saat kunjungan wisata memuncak, agar hasilnya merepresentasikan berbagai segmen pengunjung. Kuesioner meliputi profil demografi, karakteristik perjalanan, kesadaran risiko, pengetahuan tentang peringatan bahaya, dan perilaku evakuasi yang direncanakan.
Temuan Utama: Tingkat Kesadaran, Pengetahuan, dan Perilaku Evakuasi
1. Profil Responden dan Karakteristik Kunjungan
2. Kesadaran Risiko Bencana
3. Pengetahuan Sejarah Tsunami
4. Pengetahuan Tanda Peringatan Bahaya
5. Pengetahuan Waktu Datangnya Tsunami
6. Perilaku Evakuasi yang Direncanakan
Analisis Studi Kasus: Tantangan dan Peluang di Bantul
Tantangan
Peluang dan Rekomendasi
Perbandingan dengan Studi Lain dan Tren Global
Penelitian ini sejalan dengan temuan di Jepang, Norwegia, dan Bali, di mana wisatawan cenderung memiliki pengetahuan lebih rendah tentang risiko tsunami dibanding penduduk lokal. Studi di Kamakura, Jepang, dan Bali, Indonesia, juga menyoroti pentingnya edukasi tanda bahaya dan rute evakuasi bagi wisatawan. Di negara-negara maju sekalipun, tantangan utama adalah memastikan semua pengunjung paham sistem peringatan dan rute penyelamatan.
Tren global menunjukkan bahwa manajemen risiko bencana di destinasi wisata harus adaptif, berbasis komunitas, dan mengintegrasikan teknologi (aplikasi peringatan dini, peta digital rute evakuasi) dengan pendekatan sosial-budaya setempat.
Opini dan Kritik
Studi ini sangat relevan untuk konteks Indonesia yang sedang menggenjot sektor pariwisata pesisir. Namun, ada beberapa catatan penting:
Implikasi untuk Industri Pariwisata dan Pemerintah
Kesimpulan
Kesiapsiagaan tsunami di kawasan wisata pantai Bantul masih menghadapi tantangan utama pada aspek pengetahuan sejarah bencana, pemahaman tanda peringatan, dan penguasaan rute evakuasi—terutama di kalangan pengunjung luar daerah. Meski kesadaran risiko cukup tinggi, kesiapan praktis masih perlu ditingkatkan. Upaya edukasi, penguatan infrastruktur, dan pelibatan multi-pihak menjadi kunci membangun destinasi wisata yang benar-benar tangguh bencana.
Sumber asli:
Ikhwan Amri, Sri Rum Giyarsih, Dina Ruslanjari (2024). Tsunami risk awareness, hazard warning knowledge, and intended evacuation behavior among beach users in Bantul, Indonesia. International Journal of Disaster Risk Reduction, 109.
Bencana Alam
Dipublikasikan oleh Wafa Nailul Izza pada 19 Mei 2025
Pendahuluan: Bencana Alam Bukan Sekadar Fenomena Alam
Selama ini, kajian teknis mengenai longsor di kawasan urban cenderung menitikberatkan pada faktor geologis dan infrastruktur fisik. Namun, penelitian terbaru dari MacAfee dkk. menyuguhkan pendekatan yang lebih holistik dan kontekstual: mengintegrasikan pengetahuan lokal (local knowledge/LK) ke dalam strategi pengurangan risiko bencana (disaster risk reduction/DRR), khususnya di permukiman informal Kota Manado. Artikel ini menyuarakan urgensi pengakuan terhadap LK sebagai sumber informasi penting, yang sering kali diabaikan dalam kebijakan dan praktik DRR konvensional.
Metodologi: Dari Wawancara ke Pemahaman Kontekstual
Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif melalui wawancara mendalam dengan 19 partisipan, transect walks, observasi etnografis, dan diskusi umpan balik. Fokus utama diarahkan pada satu permukiman di Kecamatan Singkil, Manado, yang dikenal rawan longsor. Warga yang diwawancarai terdiri dari individu yang tinggal di atas, di tengah, dan di bawah lereng, menciptakan gambaran utuh mengenai risiko dan dampaknya dari berbagai sudut pandang spasial.
Temuan Utama: Sampah sebagai Ancaman Longsor yang Terabaikan
Salah satu hasil paling signifikan dari studi ini adalah pengungkapan keterkaitan antara pengelolaan sampah padat (solid waste management/SWM) yang buruk dan meningkatnya risiko longsor. Warga mengidentifikasi bahwa tumpukan sampah di lereng tidak hanya mengganggu aliran air hujan, tetapi juga menambah beban dan melemahkan struktur tanah. Anehnya, faktor ini nyaris tidak diakomodasi dalam klasifikasi ilmiah mainstream seperti Varnes Classification, yang cenderung mengabaikan kontribusi aktivitas antropogenik secara spesifik.
Faktor-faktor Risiko yang Dikenali oleh Warga:
Analisis Tambahan: Ketimpangan Sosial dan "Politik Pengetahuan"
Penelitian ini menggarisbawahi bagaimana stigmatisasi terhadap warga permukiman informal mempengaruhi akses mereka terhadap infrastruktur dasar seperti pengelolaan sampah. Pemerintah kota Manado tidak mengakui kawasan tersebut sebagai daerah kumuh dalam peraturan resmi, sehingga mereka tidak menerima bantuan seperti sistem drainase atau dinding penahan tanah.
Warga pun kerap disalahkan atas kondisi lingkungan dengan asumsi bahwa “kebiasaan buruk” mereka menjadi penyebab masalah. Padahal, mereka telah menunjukkan kesadaran tinggi terhadap risiko dan bahkan memiliki solusi lokal seperti membangun dinding dari karung pasir atau menanam kembali lereng yang gundul.
Studi Kasus: Longsor Akibat Sampah di Singkil
Salah satu narasumber yang rumahnya hancur akibat longsor tahun 2020 menjelaskan bahwa tanah yang dipenuhi sampah menjadi lebih rentan terhadap erosi. Air hujan membawa sampah ke bawah, memicu longsoran kecil yang berulang. Hal ini menunjukkan bahwa interaksi antara air, tanah yang gembur, dan sampah organik maupun plastik menciptakan kondisi kritis yang belum dijelaskan dalam literatur teknis secara komprehensif.
Perbandingan dan Relevansi Global
Fenomena ini tidak hanya terjadi di Manado. Tragedi longsor sampah di Quezon City (Filipina, 2000) dan Ghazipur (India, 2017) menunjukkan bahwa “garbage landslides” merupakan bencana antropogenik yang nyata dan mematikan. Namun, kebanyakan riset masih berfokus pada landfill besar, bukan permukiman informal yang secara fungsional berperan seperti landfill tak resmi.
Studi ini memperlihatkan bahwa situasi di Manado memiliki kesamaan dengan area rentan di Brasil dan Kolombia, di mana warga juga menunjukkan kapasitas luar biasa dalam mengidentifikasi dan merespons risiko. Di Indonesia sendiri, praktik lokal seperti Mapalus (di Tomohon) atau Smong (di Simeulue) membuktikan kekuatan LK dalam merespons bencana.
Implikasi Praktis: Aksi Nyata dan Rekomendasi
Rekomendasi Praktis:
Rekomendasi Kebijakan:
Rekomendasi Riset Lanjutan:
Kritik dan Batasan Penelitian
Meskipun sangat kaya secara naratif, studi ini terbatas dari sisi ukuran sampel dan cakupan geografis. Penelitian lanjutan bisa memperluas pendekatan ke wilayah lain yang memiliki topografi serupa, serta mengembangkan metode pengukuran kuantitatif untuk memperkuat validitas temuan kualitatif ini.
Kesimpulan: Pengetahuan Lokal Bukan Pelengkap, Tapi Kebutuhan
Artikel ini bukan hanya menyoroti kekuatan pengetahuan lokal, tetapi juga menantang pendekatan DRR konvensional yang menempatkan teknokrat sebagai pusat pengambilan keputusan. Warga permukiman informal di Manado terbukti memiliki pemahaman mendalam terhadap dinamika risiko di lingkungan mereka. Pengabaian terhadap pengetahuan ini bukan hanya kelalaian, melainkan sebuah kegagalan struktural dalam membangun kota yang tangguh dan inklusif.
Oleh karena itu, pengintegrasian pengetahuan lokal bukanlah opsi tambahan, melainkan bagian esensial dari strategi DRR masa depan, terutama di wilayah yang menghadapi tekanan urbanisasi dan krisis iklim secara bersamaan.
Sumber Paper:
MacAfee, E., Lohr, A. J., & de Jong, E. (2024). Leveraging local knowledge for landslide disaster risk reduction in an urban informal settlement in Manado, Indonesia. International Journal of Disaster Risk Reduction, 111, 104710.
DOI: https://doi.org/10.1016/j.ijdrr.2024.104710
Bencana Alam
Dipublikasikan oleh Izura Ramadhani Fauziyah pada 13 Mei 2025
Bencana Bukan Takdir, Tapi Risiko yang Bisa Dikelola
Indonesia dikenal sebagai negeri rawan bencana: gempa bumi, banjir, tanah longsor, hingga letusan gunung api seolah menjadi bagian dari realitas geografis dan ekologis negara ini. Namun, apakah bencana harus selalu berarti kehancuran? Buku Bencana Alam dan Manajemen Risiko Bencana karya kolektif dari 13 akademisi ini memberikan jawaban: tidak. Bencana bisa dikelola. Dan kuncinya ada pada pengetahuan, kolaborasi, dan tindakan terstruktur.
Dalam buku ini, bencana dipahami sebagai kombinasi antara bahaya (hazard), kerentanan (vulnerability), dan kapasitas mitigasi. Artinya, yang membuat bencana menjadi destruktif bukan semata karena fenomena alam, tetapi karena manusia gagal mengelolanya. Buku ini membedah berbagai strategi mitigasi bencana dalam kerangka pembangunan berkelanjutan yang inklusif dan berbasis komunitas.
Studi Kasus: Banjir, Tanah Longsor, dan Ekstrem Cuaca di Indonesia
Data dari BNPB pada 2022 mencatat bahwa Indonesia mengalami lebih dari 1.800 kejadian bencana, dengan tiga besar penyebab adalah:
Dampaknya sangat nyata: lebih dari 2,4 juta orang terdampak dan mengungsi, dengan 104 orang meninggal dunia dan 692 mengalami luka-luka. Fakta ini menegaskan bahwa bencana bukan sekadar insiden alam, tapi masalah struktural yang mengancam keberlanjutan hidup masyarakat.
Ibu Kota Nusantara dan Konsep Sponge City: Harapan Baru?
Salah satu highlight dalam buku ini adalah pengangkatan konsep Sponge City sebagai strategi adaptif menghadapi banjir di kawasan perkotaan. China dan Australia telah mengaplikasikan pendekatan ini dengan prinsip dasar: kota harus mampu menyerap dan mengelola air layaknya spons alami.
Indonesia pun mulai menerapkan pendekatan ini di proyek ambisiusnya: Ibu Kota Nusantara (IKN). Kota ini dirancang agar mampu menyerap air hujan, mencegah limpasan permukaan, dan mengurangi banjir melalui integrasi ruang hijau, infrastruktur berpori, serta konservasi DAS. Konsep ini menjadi representasi konkret dari transformasi penanggulangan bencana ke arah yang berkelanjutan.
Pilar-Pilar Manajemen Risiko Bencana yang Efektif
1. Pencegahan dan Mitigasi
Pencegahan dan mitigasi ditekankan sebagai fase kunci dalam siklus manajemen bencana. Misalnya:
Upaya ini bukan hanya tugas pemerintah, tetapi juga memerlukan keterlibatan aktif masyarakat. Misalnya, InaTEWS (Indonesia Tsunami Early Warning System) telah menjadi model peringatan dini yang dikenal dunia.
2. Penanggulangan Berbasis Komunitas
Penulis menyoroti pentingnya pendekatan lokal. Desa Siaga Bencana dan Kampung Siaga Bencana adalah contoh nyata dari pemberdayaan masyarakat sebagai garda depan mitigasi. Pendekatan ini terbukti lebih efektif karena masyarakat lokal memiliki pengetahuan kontekstual dan respon yang lebih cepat saat bencana datang.
3. Kesiapsiagaan dan Respons Cepat
Respons bencana memerlukan koordinasi lintas sektor. Buku ini menekankan pentingnya:
Respons yang lambat atau tidak terkoordinasi, seperti yang sering terjadi dalam bencana banjir di Jabodetabek, justru memperparah kerugian.
Perubahan Iklim: Akar Masalah dan Ancaman Masa Depan
Perubahan iklim bukan lagi isu masa depan—ia telah menjadi pemicu utama meningkatnya frekuensi dan intensitas bencana. Buku ini secara eksplisit menghubungkan pemanasan global dengan meningkatnya risiko:
Indonesia menyumbang emisi CO₂ yang signifikan melalui deforestasi dan pembakaran lahan. Dalam delapan tahun terakhir, lebih dari 8,6 juta hektar hutan di Kalimantan terbakar, menyamai 62% luas Pulau Jawa. Dampaknya bukan hanya lingkungan, tapi juga kesehatan, perekonomian, dan migrasi ekologis.
Perspektif Multidisipliner: Kekuatan Utama Buku Ini
Salah satu nilai tambah buku ini adalah pendekatannya yang multidisipliner dan holistik. Bencana dianalisis dari berbagai sudut pandang:
Hal ini membuat buku ini relevan bagi pembuat kebijakan, akademisi, praktisi, dan masyarakat umum.
Studi Kasus Internasional: Belajar dari Dunia
Buku ini juga menyinggung praktik internasional yang bisa menjadi acuan Indonesia, di antaranya:
Dengan belajar dari pengalaman global, Indonesia dapat memperkaya strategi domestiknya dalam menghadapi risiko yang terus berkembang.
Kolaborasi: Kunci Ketahanan Bencana
Manajemen bencana bukan urusan satu pihak. Buku ini berulang kali menegaskan perlunya kolaborasi multipihak, yaitu:
Sinergi ini terbukti ampuh dalam berbagai pengalaman tanggap darurat, seperti saat erupsi Merapi 2010 dan gempa Lombok 2018.
Menuju Masa Depan yang Lebih Tangguh: Rekomendasi Kunci
Penutup: Dari Risiko Menjadi Resiliensi
Buku Bencana Alam dan Manajemen Risiko Bencana adalah seruan sekaligus panduan untuk Indonesia agar berpindah dari paradigma reaktif menjadi proaktif. Bahwa bencana bisa dan harus dikelola dengan sistematis, ilmiah, dan inklusif. Di tengah krisis iklim global, negara seperti Indonesia tak lagi bisa mengandalkan keberuntungan geografis atau kekuatan spiritual semata. Kita butuh kebijakan yang terukur, teknologi yang adaptif, dan masyarakat yang sadar akan risiko.
Dengan mengedepankan pengetahuan, partisipasi, dan keberlanjutan, Indonesia dapat membangun masa depan yang lebih tangguh dan berdaya tahan terhadap bencana.
Referensi Asli:
Ahmad Yauri Yunus, Siti Nurjanah Ahmad, Rudi Latief, Mansyur, Dewi Mulfiyanti, Burhanuddin Badrun, Muhammad Syarif, Ranno Marlany Rachman, Abdul Rahim Sya’ban, Indriaty Wulansari, Armin Aryadi, Sri Gusty. Bencana Alam dan Manajemen Risiko Bencana. Penerbit Tohar Media, Juli 2024. ISBN: 978-623-8421-90-9.
Bencana Alam
Dipublikasikan oleh Izura Ramadhani Fauziyah pada 10 Mei 2025
Indonesia merupakan negara kepulauan yang rentan terhadap bencana alam, terutama gempa bumi dan tsunami. Untuk mengurangi risiko korban jiwa, penyampaian peringatan dini tsunami menjadi hal yang sangat krusial. Paper "Legal and Business Study Stop Press Early Warning Tsunami at Prime Time on iNews" oleh Khoiri Akhmadi menyoroti dilema antara kepatuhan hukum dan strategi bisnis dalam penyiaran informasi darurat oleh media televisi, khususnya dalam konteks penayangan "Stop Press" di jam tayang utama (prime time).
Berdasarkan Peraturan Menteri Komunikasi dan Informatika No. 20/P/M.KOMINFO/8/2006, media televisi diwajibkan untuk menayangkan peringatan dini tsunami dalam bentuk "Stop Press" selama minimal 30 detik dengan nada suara tinggi setelah adanya gempa bermagnitudo ≥7.0 yang berpotensi tsunami. Regulasi ini diperkuat oleh Peraturan Pemerintah No. 50/2005 Pasal 17 Ayat 10 dan 11 yang mengharuskan lembaga penyiaran swasta untuk menginformasikan peringatan dini bencana kepada masyarakat tanpa penundaan.
Dalam penelitian ini, iNews sebagai salah satu stasiun televisi nasional menunjukkan kepatuhan terhadap regulasi tersebut dengan menayangkan "Stop Press" meskipun berdampak pada hilangnya pendapatan dari iklan prime time yang sangat mahal. Jam tayang utama atau prime time (pukul 17.00–23.00 WIB) merupakan slot yang paling menguntungkan bagi industri pertelevisian karena jumlah penonton yang tinggi. Berdasarkan data Nielsen yang dikutip dalam penelitian ini:
Penayangan "Stop Press" pada jam tayang ini menimbulkan dilema antara kepentingan bisnis dan kewajiban hukum, karena mengganggu program yang sedang tayang dan mengorbankan pendapatan iklan.
Untuk mengatasi potensi kerugian finansial, iNews menerapkan strategi "standby commercial", yaitu perjanjian dengan klien iklan yang memungkinkan iklan tetap tayang meskipun ada "Stop Press". Selain itu, iNews juga mengombinasikan "Stop Press" dengan program Breaking News, yang memungkinkan informasi peringatan dini disampaikan dengan lebih panjang dan rinci tanpa kehilangan nilai komersial. Data dari penelitian ini menunjukkan bahwa dalam periode enam tahun terakhir, iNews berhasil menyampaikan "Stop Press" pada peristiwa besar seperti:
Kesalahan dalam penayangan peringatan dini di Mentawai memunculkan perdebatan mengenai pertanggungjawaban hukum media penyiaran jika gagal memenuhi kewajiban penyiaran informasi bencana.
Studi ini menyoroti bahwa media penyiaran dapat dikenakan sanksi jika tidak mematuhi regulasi. Berdasarkan KUHP Pasal 359 dan 360, kelalaian dalam menyampaikan informasi yang dapat menyelamatkan nyawa dapat dikategorikan sebagai kelalaian yang berujung pada pertanggungjawaban pidana. Namun, dalam kasus keterlambatan "Stop Press" di Mentawai, iNews tidak dikenakan sanksi karena tetap menyampaikan informasi melalui "Breaking News" dengan durasi lebih panjang.
Legal expert Satjipto Rahardjo menyatakan bahwa kepatuhan terhadap hukum berasal dari kesadaran hukum dan motivasi untuk bertindak, bukan hanya karena ketakutan terhadap sanksi. Dalam hal ini, iNews menunjukkan kepatuhan hukum dengan tetap memprioritaskan kepentingan masyarakat.
Analisis dan Kritik
1. Keseimbangan antara Bisnis dan Kepentingan Publik
Penelitian ini mengungkapkan bahwa industri penyiaran menghadapi tantangan besar dalam menyeimbangkan kewajiban hukum, tanggung jawab sosial, dan keberlanjutan bisnis. Meskipun regulasi mewajibkan "Stop Press", tidak semua stasiun televisi menerapkannya secara konsisten karena alasan ekonomi.
Studi ini menekankan pentingnya mekanisme kompensasi bagi stasiun televisi agar tetap dapat menjalankan kewajibannya tanpa mengalami kerugian finansial yang signifikan. Pemerintah dapat mempertimbangkan subsidi atau insentif pajak bagi media yang aktif menyebarkan peringatan dini bencana.
2. Perlunya Standardisasi dalam Penyiaran Peringatan Dini
Kasus keterlambatan "Stop Press" pada gempa Mentawai menunjukkan bahwa masih ada celah dalam mekanisme penyiaran informasi darurat. Diperlukan peningkatan standarisasi teknis, seperti penerapan sistem WRS secara merata di semua studio berita agar peringatan dini dapat disiarkan tepat waktu.
Selain itu, pelatihan bagi kru media dalam menangani situasi darurat juga perlu ditingkatkan agar tidak ada keterlambatan dalam penyampaian informasi yang krusial.
Kesimpulan dan Rekomendasi
Penelitian ini memberikan wawasan yang penting mengenai dilema antara kepatuhan hukum dan kepentingan bisnis dalam industri penyiaran. Beberapa rekomendasi yang dapat diambil dari studi ini antara lain:
Dengan menerapkan langkah-langkah tersebut, diharapkan media penyiaran dapat tetap menjalankan perannya sebagai penyedia informasi publik yang andal, tanpa mengorbankan keberlanjutan bisnisnya.
Sumber Artikel:
Khoiri Akhmadi. "Legal and Business Study Stop Press Early Warning Tsunami at Prime Time on iNews." UNTAG Law Review (ULREV), Volume 6, Issue 1, May 2022, PP 1 - 18.