Menyelamatkan Masa Depan: Strategi Mitigasi Bencana Alam di Era Perubahan Iklim

Dipublikasikan oleh Izura Ramadhani Fauziyah

13 Mei 2025, 08.30

freepik.com

Bencana Bukan Takdir, Tapi Risiko yang Bisa Dikelola

Indonesia dikenal sebagai negeri rawan bencana: gempa bumi, banjir, tanah longsor, hingga letusan gunung api seolah menjadi bagian dari realitas geografis dan ekologis negara ini. Namun, apakah bencana harus selalu berarti kehancuran? Buku Bencana Alam dan Manajemen Risiko Bencana karya kolektif dari 13 akademisi ini memberikan jawaban: tidak. Bencana bisa dikelola. Dan kuncinya ada pada pengetahuan, kolaborasi, dan tindakan terstruktur.

Dalam buku ini, bencana dipahami sebagai kombinasi antara bahaya (hazard), kerentanan (vulnerability), dan kapasitas mitigasi. Artinya, yang membuat bencana menjadi destruktif bukan semata karena fenomena alam, tetapi karena manusia gagal mengelolanya. Buku ini membedah berbagai strategi mitigasi bencana dalam kerangka pembangunan berkelanjutan yang inklusif dan berbasis komunitas.

Studi Kasus: Banjir, Tanah Longsor, dan Ekstrem Cuaca di Indonesia

Data dari BNPB pada 2022 mencatat bahwa Indonesia mengalami lebih dari 1.800 kejadian bencana, dengan tiga besar penyebab adalah:

  • Cuaca ekstrem: 694 kejadian
  • Banjir: 756 kejadian
  • Tanah longsor: 377 kejadian

Dampaknya sangat nyata: lebih dari 2,4 juta orang terdampak dan mengungsi, dengan 104 orang meninggal dunia dan 692 mengalami luka-luka. Fakta ini menegaskan bahwa bencana bukan sekadar insiden alam, tapi masalah struktural yang mengancam keberlanjutan hidup masyarakat.

Ibu Kota Nusantara dan Konsep Sponge City: Harapan Baru?

Salah satu highlight dalam buku ini adalah pengangkatan konsep Sponge City sebagai strategi adaptif menghadapi banjir di kawasan perkotaan. China dan Australia telah mengaplikasikan pendekatan ini dengan prinsip dasar: kota harus mampu menyerap dan mengelola air layaknya spons alami.

Indonesia pun mulai menerapkan pendekatan ini di proyek ambisiusnya: Ibu Kota Nusantara (IKN). Kota ini dirancang agar mampu menyerap air hujan, mencegah limpasan permukaan, dan mengurangi banjir melalui integrasi ruang hijau, infrastruktur berpori, serta konservasi DAS. Konsep ini menjadi representasi konkret dari transformasi penanggulangan bencana ke arah yang berkelanjutan.

Pilar-Pilar Manajemen Risiko Bencana yang Efektif

1. Pencegahan dan Mitigasi

Pencegahan dan mitigasi ditekankan sebagai fase kunci dalam siklus manajemen bencana. Misalnya:

  • Penataan ruang berbasis risiko bencana
  • Pembangunan infrastruktur tahan gempa atau tahan banjir
  • Reboisasi dan konservasi DAS untuk mencegah longsor dan kekeringan
  • Sistem peringatan dini dan edukasi publik

Upaya ini bukan hanya tugas pemerintah, tetapi juga memerlukan keterlibatan aktif masyarakat. Misalnya, InaTEWS (Indonesia Tsunami Early Warning System) telah menjadi model peringatan dini yang dikenal dunia.

2. Penanggulangan Berbasis Komunitas

Penulis menyoroti pentingnya pendekatan lokal. Desa Siaga Bencana dan Kampung Siaga Bencana adalah contoh nyata dari pemberdayaan masyarakat sebagai garda depan mitigasi. Pendekatan ini terbukti lebih efektif karena masyarakat lokal memiliki pengetahuan kontekstual dan respon yang lebih cepat saat bencana datang.

3. Kesiapsiagaan dan Respons Cepat

Respons bencana memerlukan koordinasi lintas sektor. Buku ini menekankan pentingnya:

  • Pelatihan rutin dan simulasi
  • Rencana evakuasi yang jelas
  • Sistem informasi darurat yang terintegrasi
  • Logistik bantuan yang terorganisir

Respons yang lambat atau tidak terkoordinasi, seperti yang sering terjadi dalam bencana banjir di Jabodetabek, justru memperparah kerugian.

Perubahan Iklim: Akar Masalah dan Ancaman Masa Depan

Perubahan iklim bukan lagi isu masa depan—ia telah menjadi pemicu utama meningkatnya frekuensi dan intensitas bencana. Buku ini secara eksplisit menghubungkan pemanasan global dengan meningkatnya risiko:

  • Banjir dan tanah longsor akibat curah hujan ekstrem
  • Kekeringan panjang karena musim kering berkepanjangan
  • Badai dan topan yang lebih kuat
  • Naiknya muka air laut yang mengancam wilayah pesisir seperti Jakarta dan Pesisir Utara Jawa

Indonesia menyumbang emisi CO₂ yang signifikan melalui deforestasi dan pembakaran lahan. Dalam delapan tahun terakhir, lebih dari 8,6 juta hektar hutan di Kalimantan terbakar, menyamai 62% luas Pulau Jawa. Dampaknya bukan hanya lingkungan, tapi juga kesehatan, perekonomian, dan migrasi ekologis.

Perspektif Multidisipliner: Kekuatan Utama Buku Ini

Salah satu nilai tambah buku ini adalah pendekatannya yang multidisipliner dan holistik. Bencana dianalisis dari berbagai sudut pandang:

  • Geografis dan geologis: memahami pola gempa, tanah rawan longsor, dan siklus hidrometeorologis
  • Sosiologis dan psikologis: memahami trauma korban, relasi sosial, dan budaya lokal
  • Ekonomi: menilai kerugian akibat bencana dan pentingnya investasi dalam mitigasi
  • Teknologi dan hukum: menekankan pentingnya regulasi, teknologi peringatan dini, dan keterbukaan informasi

Hal ini membuat buku ini relevan bagi pembuat kebijakan, akademisi, praktisi, dan masyarakat umum.

Studi Kasus Internasional: Belajar dari Dunia

Buku ini juga menyinggung praktik internasional yang bisa menjadi acuan Indonesia, di antaranya:

  • Kebijakan zonasi berbasis risiko bencana di Jepang, yang memungkinkan pembangunan hanya di zona aman
  • Pemulihan ekonomi cepat di Selandia Baru pasca gempa Christchurch melalui subsidi dan kolaborasi publik-swasta
  • Konsep green infrastructure di Belanda, di mana taman kota berfungsi ganda sebagai penampung air hujan

Dengan belajar dari pengalaman global, Indonesia dapat memperkaya strategi domestiknya dalam menghadapi risiko yang terus berkembang.

Kolaborasi: Kunci Ketahanan Bencana

Manajemen bencana bukan urusan satu pihak. Buku ini berulang kali menegaskan perlunya kolaborasi multipihak, yaitu:

  • Pemerintah pusat dan daerah sebagai pengarah kebijakan dan eksekutor infrastruktur
  • Lembaga pendidikan dan riset sebagai penyedia data dan inovasi
  • Masyarakat sipil sebagai pelaku kesiapsiagaan dan edukator akar rumput
  • Sektor swasta sebagai mitra investasi, penyedia teknologi, dan donatur bantuan darurat

Sinergi ini terbukti ampuh dalam berbagai pengalaman tanggap darurat, seperti saat erupsi Merapi 2010 dan gempa Lombok 2018.

Menuju Masa Depan yang Lebih Tangguh: Rekomendasi Kunci

  1. Integrasikan manajemen risiko dalam perencanaan tata ruang di semua level pemerintahan.
  2. Dorong pendidikan kebencanaan sejak usia dini melalui kurikulum dan kegiatan sekolah.
  3. Tingkatkan investasi dalam sistem peringatan dini, termasuk penguatan jaringan informasi di daerah 3T (tertinggal, terdepan, terluar).
  4. Perkuat peran komunitas lokal, termasuk pengakuan terhadap kearifan lokal dalam mitigasi risiko.
  5. Dorong transisi ke ekonomi hijau dan energi bersih untuk mengurangi emisi yang memicu bencana iklim.
  6. Bangun sistem data bencana nasional yang terbuka, akurat, dan mudah diakses publik.

Penutup: Dari Risiko Menjadi Resiliensi

Buku Bencana Alam dan Manajemen Risiko Bencana adalah seruan sekaligus panduan untuk Indonesia agar berpindah dari paradigma reaktif menjadi proaktif. Bahwa bencana bisa dan harus dikelola dengan sistematis, ilmiah, dan inklusif. Di tengah krisis iklim global, negara seperti Indonesia tak lagi bisa mengandalkan keberuntungan geografis atau kekuatan spiritual semata. Kita butuh kebijakan yang terukur, teknologi yang adaptif, dan masyarakat yang sadar akan risiko.

Dengan mengedepankan pengetahuan, partisipasi, dan keberlanjutan, Indonesia dapat membangun masa depan yang lebih tangguh dan berdaya tahan terhadap bencana.

Referensi Asli:

Ahmad Yauri Yunus, Siti Nurjanah Ahmad, Rudi Latief, Mansyur, Dewi Mulfiyanti, Burhanuddin Badrun, Muhammad Syarif, Ranno Marlany Rachman, Abdul Rahim Sya’ban, Indriaty Wulansari, Armin Aryadi, Sri Gusty. Bencana Alam dan Manajemen Risiko Bencana. Penerbit Tohar Media, Juli 2024. ISBN: 978-623-8421-90-9.