Arsitektur Berbasis Kearifan Lokal

Mengurai Tantangan Sertifikasi Tukang Lokal: Studi Kasus Sumatera Barat dalam Meningkatkan Kompetensi Konstruksi Nasional

Dipublikasikan oleh Sirattul Istid'raj pada 26 Mei 2025


Pendahuluan

Seiring pertumbuhan signifikan industri konstruksi di Indonesia—dengan kontribusi terhadap PDB mencapai 10,38% pada 2016—tuntutan terhadap tenaga kerja yang kompeten dan tersertifikasi pun meningkat. Dalam konteks ini, tukang bangunan atau tenaga terampil lokal menjadi ujung tombak eksekusi fisik proyek konstruksi. Namun, bagaimana status sertifikasi mereka? Penelitian oleh Gusni Vitri dan Deni Irda Mazni (2018) berjudul "Deskripsi Sertifikasi Kompetensi Tukang Lokal di Provinsi Sumatera Barat" menyajikan gambaran konkret tentang pelaksanaan sertifikasi tenaga terampil di wilayah tersebut. Artikel ini akan membahas hasil penelitian secara kritis, menyajikan analisis tambahan, serta mengaitkannya dengan tantangan aktual di industri konstruksi nasional.

Latar Belakang dan Urgensi Sertifikasi

Sertifikasi sebagai Syarat Hukum dan Standar Kompetensi

UU Jasa Konstruksi No. 2 Tahun 2017 secara tegas mewajibkan bahwa semua tenaga kerja di sektor konstruksi, termasuk tukang, harus memiliki Sertifikat Kompetensi Kerja. Ini diperkuat oleh target nasional pemerintah yang menargetkan 750.000 tenaga kerja tersertifikasi hingga tahun 2019.

Kesenjangan Fakta di Lapangan

Meski target besar telah ditetapkan, realita menunjukkan hanya sekitar 500.000 dari 2 juta tukang yang memiliki sertifikat per tahun 2017. Salah satu penyebab adalah belum meratanya pelatihan dan akses terhadap uji kompetensi, terutama di daerah.

Metodologi Penelitian

Studi ini menggunakan pendekatan kuantitatif deskriptif, dengan data primer dan sekunder dari LPJK dan Dinas PUPR Provinsi Sumatera Barat. Fokus penelitian adalah tukang pada bidang arsitektur, sipil, dan tata lingkungan, dengan rentang data dari 2014 hingga Oktober 2017.

Temuan Utama Penelitian

Jumlah dan Komposisi Peserta Sertifikasi

  • Total sertifikat kompetensi yang diterbitkan: 3.286.

  • Hanya 16,71% tukang bersertifikat yang berdomisili di Sumatera Barat; 83,29% berasal dari luar daerah.

  • Penerbitan sertifikat terbanyak terjadi pada tahun 2015.
     

Distribusi Berdasarkan Keahlian

  • Kode TS-012 (Tukang Besi Beton) menjadi keahlian yang paling banyak disertifikasi (559 orang).

  • Kode TA-012 (Tukang Pasang Dinding Gypsum) merupakan yang paling sedikit (5 orang).
     

Tren Pendaftaran Tahunan

  • Tahun 2014: Pendaftaran minim karena belum ada kewajiban sertifikasi untuk mengikuti tender.

  • Tahun 2015: Lonjakan tajam karena mulai diberlakukannya syarat sertifikasi untuk proyek pemerintah.

  • Tahun 2016–2017: Tren stabil dengan kecenderungan pendaftaran di awal tahun.
     

Analisis dan Interpretasi

Dominasi Tukang Non-Lokal

Persentase 83,29% tukang bersertifikasi berasal dari luar Sumatera Barat menunjukkan rendahnya keterlibatan tukang lokal. Ini bisa disebabkan:

  • Kurangnya sosialisasi dan pelatihan lokal.

  • Rendahnya minat atau kemampuan tukang lokal untuk mengikuti sertifikasi.

  • Perusahaan konstruksi lebih memilih membawa tenaga kerja dari daerah lain.
     

Ketimpangan Antar Keahlian

Ketimpangan sertifikasi antara tukang besi beton dan bidang lain mencerminkan fokus kebutuhan proyek yang lebih besar pada pekerjaan struktur. Namun, rendahnya angka pada bidang seperti gypsum atau lanskap menunjukkan perlunya edukasi dan insentif untuk bidang non-struktural.

Perbandingan dengan Studi Sebelumnya

  • Warman (2008): Banyak sertifikat keahlian (SKA) hanya digunakan untuk syarat administrasi, bukan peningkatan kompetensi.

  • Wardhana & Sutikno (2015): Tukang besi bersertifikat di Surabaya rata-rata memiliki keterampilan baik (>76%), mengindikasikan bahwa sertifikasi berdampak positif bila disertai pelatihan memadai.

  • Ervianto (2008): Produktivitas tukang dapat ditingkatkan melalui standar kerja, insentif, dan sertifikasi yang jelas.
     

Kritik terhadap Penelitian

Kelebihan:

  • Menggunakan data LPJK resmi dan spesifik wilayah.

  • Mengungkap disparitas geografis dan sektoral secara kuantitatif.

Kelemahan:

  • Tidak menjelaskan alasan rendahnya partisipasi tukang lokal.

  • Tidak menyertakan data wawancara atau persepsi tukang.

  • Hanya mencakup periode 2014–2017 tanpa pembaruan pasca-2018.
     

Rekomendasi Strategis

  1. Pelatihan dan Sosialisasi Lokal: Gandeng balai latihan kerja dan pemerintah kabupaten/kota untuk memperluas akses.

  2. Insentif untuk Tukang Lokal: Subsidi biaya sertifikasi atau insentif proyek bagi perusahaan yang memakai tenaga lokal.

  3. Integrasi dengan Sistem Upah: Sertifikasi harus dikaitkan langsung dengan kenaikan upah dan peluang karier.

  4. Monitoring Pasca-Sertifikasi: Evaluasi berkelanjutan terhadap performa tukang bersertifikat.

  5. Digitalisasi Proses Sertifikasi: Untuk mempercepat, memudahkan, dan memperluas jangkauan.
     

Dampak Makro dan Relevansi Nasional

Jika praktik di Sumatera Barat mencerminkan kondisi di provinsi lain, maka Indonesia menghadapi tantangan ganda:

  • Ketergantungan pada tukang luar daerah.

  • Lemahnya kapasitas SDM konstruksi lokal.

  • Ketidakseimbangan pengembangan antar daerah.
     

Dalam era Masyarakat Ekonomi ASEAN, hanya tenaga kerja konstruksi bersertifikat yang bisa bersaing. Sertifikasi bukan sekadar kewajiban administratif, tetapi menjadi simbol profesionalisme dan daya saing global.

Kesimpulan

Penelitian ini menunjukkan bahwa meskipun sertifikasi tukang di Sumatera Barat telah dilakukan, partisipasi tukang lokal masih minim. Sertifikasi cenderung didorong oleh kewajiban administratif proyek daripada kebutuhan peningkatan kompetensi. Dibutuhkan kebijakan strategis lintas sektor untuk memastikan bahwa sertifikasi benar-benar menjadi alat peningkatan mutu, bukan sekadar formalitas.

Sumber Referensi

Selengkapnya
Mengurai Tantangan Sertifikasi Tukang Lokal: Studi Kasus Sumatera Barat dalam Meningkatkan Kompetensi Konstruksi Nasional

Arsitektur Berbasis Kearifan Lokal

Perencanaan dan Perancangan Tanjung Lesung Eco Resort Kabupaten Pandeglang, Provinsi Banten dengan Pendekatan Arsitektur Tradisional Sunda

Dipublikasikan oleh Afridha Nu’ma Khoiriyah pada 21 Mei 2025


Pendahuluan

Ketika industri pariwisata berkembang pesat, muncul kebutuhan mendesak untuk mengintegrasikan nilai-nilai lokal dalam perencanaan kawasan wisata. Artikel karya Michella Elizabeth Reifiana ini mengambil langkah strategis dengan menghadirkan pendekatan arsitektur tradisional Sunda dalam perencanaan Tanjung Lesung Eco Resort di Kabupaten Pandeglang, Provinsi Banten. Pendekatan ini tidak hanya menawarkan diferensiasi estetika, tetapi juga membangun identitas kultural yang otentik.

Resensi ini bertujuan untuk menelaah kontribusi paper secara menyeluruh, mengupas pendekatan desain yang digunakan, relevansinya terhadap isu lingkungan dan budaya, serta menilai efektivitas konsep dalam menjawab kebutuhan wisata berkelanjutan masa kini.

Latar Belakang: Konteks Lokal dan Arsitektur Tradisional

Tanjung Lesung telah ditetapkan sebagai Kawasan Ekonomi Khusus (KEK) pariwisata berdasarkan Peraturan Pemerintah No. 26 Tahun 2012. Wilayah ini memiliki kekayaan ekosistem pesisir, potensi budaya, dan lokasi strategis di Selat Sunda. Namun, pengembangan wisata di kawasan ini masih menghadapi tantangan seperti belum optimalnya infrastruktur, kurangnya konsep berbasis lokal, serta kebutuhan akan pariwisata berkelanjutan.

Dalam konteks ini, pendekatan arsitektur tradisional Sunda menjadi jawaban kreatif terhadap kebutuhan fungsional, ekologis, sekaligus pelestarian nilai-nilai lokal. Paper ini memperlihatkan bahwa tradisi bukan sekadar warisan, melainkan sumber inspirasi desain yang hidup.

Tujuan dan Metodologi Perancangan

Tujuan utama penelitian ini adalah merancang kawasan eco resort yang harmonis dengan lingkungan dan budaya lokal. Penulis menggunakan pendekatan arsitektural yang responsif terhadap alam (ekologis), sosial (budaya), dan ekonomi (daya tarik wisata).

Metode perancangan dilakukan dengan beberapa tahapan:

  • Studi literatur arsitektur Sunda

  • Analisis tapak dan potensi lahan

  • Pengumpulan data primer dan sekunder

  • Perancangan makro dan mikro ruang

  • Penyesuaian bentuk dan material bangunan

Rancangan yang dihasilkan adalah sebuah eco resort dengan karakter lokal kuat, namun tetap memenuhi kenyamanan dan standar internasional.

Analisis Tapak dan Konsep Zonasi

Penulis menyajikan peta analisis tapak yang komprehensif, mempertimbangkan aspek:

  • Arah angin dan cahaya matahari

  • Kontur tanah dan potensi banjir

  • Vegetasi lokal dan konservasi

  • Aksesibilitas dan konektivitas jalan

Dari hasil analisis, kawasan dibagi menjadi beberapa zona:

  • Zona Penginapan (Villa dan Bungalow): Mengadopsi bentuk rumah panggung dan material kayu lokal.

  • Zona Publik (Restoran, Galeri, Pusat Kebudayaan): Menonjolkan atap pelana dan elemen terbuka khas Sunda.

  • Zona Konservasi dan Edukasi: Untuk mendukung wisata alam dan pelestarian lingkungan.

  • Zona Komersial dan Servis: Dirancang seminimal mungkin untuk menjaga harmoni kawasan.

Konsep zonasi ini mencerminkan prinsip-prinsip keberlanjutan (sustainable development) dan keharmonisan spasial yang menjadi fondasi arsitektur Nusantara.

Arsitektur Sunda: Implementasi Konsep Lokal

Paper ini tidak hanya menampilkan elemen arsitektur Sunda secara visual, tapi juga menyerap nilai-nilai filosofisnya, seperti:

  • Tri Tangtu di Buana: Konsep pembagian ruang menjadi buana nyungcung (atas), buana tengah, dan buana larang (bawah).

  • Tatali Paranti Karuhun: Prinsip menghormati leluhur yang diterjemahkan dalam struktur dan ornamen bangunan.

  • Material alami: Pemanfaatan bambu, kayu, ijuk, dan batu lokal sebagai bahan utama.

Dalam penggambaran denah dan tampak bangunan, penggunaan atap tinggi, ventilasi silang, dan ruang terbuka menunjukkan kesadaran ekologis dalam desain.

Keberlanjutan dan Efisiensi Energi

Salah satu kekuatan utama dari perancangan ini adalah komitmen terhadap prinsip ramah lingkungan:

  • Desain pasif untuk penghematan energi (ventilasi alami, pencahayaan maksimal).

  • Pengelolaan air limbah dengan sistem biopori dan daur ulang air.

  • Konservasi vegetasi asli di sekitar bangunan tanpa eksploitasi berlebihan.

  • Konsep bangunan modular yang mempermudah perluasan tanpa merusak lingkungan.

Langkah-langkah ini memperlihatkan bahwa pembangunan wisata tidak harus merusak alam, justru bisa menjadi bagian dari pelestariannya.

Studi Banding: Praktik Serupa di Destinasi Lain

Sebagai perbandingan, konsep serupa juga diterapkan di beberapa destinasi unggulan seperti:

  • Ubud, Bali dengan villa bernuansa tradisional Bali dan sistem irigasi subak.

  • Desa Wisata Nglanggeran, Yogyakarta yang berbasis komunitas dan konservasi alam.

  • Green Village Bali yang sepenuhnya menggunakan bambu sebagai material utama.

Namun, perbedaan mencolok dari perancangan Tanjung Lesung adalah fokus kuat pada identitas Sunda, yang relatif jarang diangkat dalam industri pariwisata arsitektural nasional.

Kelebihan dan Kritik

Kelebihan:

  • Kuatnya narasi lokalitas dalam desain, bukan sekadar dekoratif.

  • Keseimbangan antara estetika dan fungsi dalam penataan ruang.

  • Pendekatan ekologis yang konkret, bukan sekadar jargon.

  • Potensi edukatif terhadap pengunjung mengenai budaya Sunda.

Kritik:

  • Belum cukup penekanan pada keterlibatan masyarakat lokal dalam perencanaan.

  • Perlu kajian keberlanjutan finansial jangka panjang jika ingin direalisasikan secara nyata.

  • Kurang dibahas potensi mitigasi terhadap bencana alam seperti tsunami atau gempa yang menjadi risiko kawasan pesisir Banten.

Dampak dan Implikasi Nyata

Jika direalisasikan, rancangan ini tidak hanya menjadi destinasi wisata, tetapi juga bisa berfungsi sebagai:

  • Model desain arsitektur lokal kontemporer yang bisa direplikasi.

  • Sarana pelestarian budaya Sunda dalam wujud fisik dan pengalaman wisata.

  • Simbol pariwisata hijau yang bisa mendorong daya saing KEK Tanjung Lesung secara global.

Dalam jangka panjang, pendekatan semacam ini juga berpotensi mendukung green investment dan memperluas peluang kerja masyarakat sekitar.

Kesimpulan

Paper karya Michella Elizabeth Reifiana ini berhasil membuktikan bahwa pendekatan arsitektur tradisional Sunda bukanlah hambatan modernisasi, melainkan solusi autentik untuk pariwisata berkelanjutan. Melalui riset tapak yang cermat, desain ruang yang kontekstual, serta komitmen pada pelestarian budaya dan lingkungan, rancangan Tanjung Lesung Eco Resort memberikan blueprint konkret untuk pengembangan wisata lokal yang berkelas dunia.

Penelitian ini memperkaya wacana arsitektur Indonesia kontemporer dan menginspirasi pendekatan serupa di wilayah lain. Kelemahan minor yang ada tidak menutupi kualitas metodologis dan inovatif dari studi ini.

Sumber

Reifiana, Michella Elizabeth. Perencanaan dan Perancangan Tanjung Lesung Eco Resort Kabupaten Pandeglang, Provinsi Banten dengan Pendekatan Arsitektur Tradisional Sunda.

Selengkapnya
Perencanaan dan Perancangan Tanjung Lesung Eco Resort Kabupaten Pandeglang, Provinsi Banten dengan Pendekatan Arsitektur Tradisional Sunda
page 1 of 1