Mengurai Tantangan Sertifikasi Tukang Lokal: Studi Kasus Sumatera Barat dalam Meningkatkan Kompetensi Konstruksi Nasional

Dipublikasikan oleh Sirattul Istid'raj

26 Mei 2025, 12.43

pexels.com

Pendahuluan

Seiring pertumbuhan signifikan industri konstruksi di Indonesia—dengan kontribusi terhadap PDB mencapai 10,38% pada 2016—tuntutan terhadap tenaga kerja yang kompeten dan tersertifikasi pun meningkat. Dalam konteks ini, tukang bangunan atau tenaga terampil lokal menjadi ujung tombak eksekusi fisik proyek konstruksi. Namun, bagaimana status sertifikasi mereka? Penelitian oleh Gusni Vitri dan Deni Irda Mazni (2018) berjudul "Deskripsi Sertifikasi Kompetensi Tukang Lokal di Provinsi Sumatera Barat" menyajikan gambaran konkret tentang pelaksanaan sertifikasi tenaga terampil di wilayah tersebut. Artikel ini akan membahas hasil penelitian secara kritis, menyajikan analisis tambahan, serta mengaitkannya dengan tantangan aktual di industri konstruksi nasional.

Latar Belakang dan Urgensi Sertifikasi

Sertifikasi sebagai Syarat Hukum dan Standar Kompetensi

UU Jasa Konstruksi No. 2 Tahun 2017 secara tegas mewajibkan bahwa semua tenaga kerja di sektor konstruksi, termasuk tukang, harus memiliki Sertifikat Kompetensi Kerja. Ini diperkuat oleh target nasional pemerintah yang menargetkan 750.000 tenaga kerja tersertifikasi hingga tahun 2019.

Kesenjangan Fakta di Lapangan

Meski target besar telah ditetapkan, realita menunjukkan hanya sekitar 500.000 dari 2 juta tukang yang memiliki sertifikat per tahun 2017. Salah satu penyebab adalah belum meratanya pelatihan dan akses terhadap uji kompetensi, terutama di daerah.

Metodologi Penelitian

Studi ini menggunakan pendekatan kuantitatif deskriptif, dengan data primer dan sekunder dari LPJK dan Dinas PUPR Provinsi Sumatera Barat. Fokus penelitian adalah tukang pada bidang arsitektur, sipil, dan tata lingkungan, dengan rentang data dari 2014 hingga Oktober 2017.

Temuan Utama Penelitian

Jumlah dan Komposisi Peserta Sertifikasi

  • Total sertifikat kompetensi yang diterbitkan: 3.286.

  • Hanya 16,71% tukang bersertifikat yang berdomisili di Sumatera Barat; 83,29% berasal dari luar daerah.

  • Penerbitan sertifikat terbanyak terjadi pada tahun 2015.
     

Distribusi Berdasarkan Keahlian

  • Kode TS-012 (Tukang Besi Beton) menjadi keahlian yang paling banyak disertifikasi (559 orang).

  • Kode TA-012 (Tukang Pasang Dinding Gypsum) merupakan yang paling sedikit (5 orang).
     

Tren Pendaftaran Tahunan

  • Tahun 2014: Pendaftaran minim karena belum ada kewajiban sertifikasi untuk mengikuti tender.

  • Tahun 2015: Lonjakan tajam karena mulai diberlakukannya syarat sertifikasi untuk proyek pemerintah.

  • Tahun 2016–2017: Tren stabil dengan kecenderungan pendaftaran di awal tahun.
     

Analisis dan Interpretasi

Dominasi Tukang Non-Lokal

Persentase 83,29% tukang bersertifikasi berasal dari luar Sumatera Barat menunjukkan rendahnya keterlibatan tukang lokal. Ini bisa disebabkan:

  • Kurangnya sosialisasi dan pelatihan lokal.

  • Rendahnya minat atau kemampuan tukang lokal untuk mengikuti sertifikasi.

  • Perusahaan konstruksi lebih memilih membawa tenaga kerja dari daerah lain.
     

Ketimpangan Antar Keahlian

Ketimpangan sertifikasi antara tukang besi beton dan bidang lain mencerminkan fokus kebutuhan proyek yang lebih besar pada pekerjaan struktur. Namun, rendahnya angka pada bidang seperti gypsum atau lanskap menunjukkan perlunya edukasi dan insentif untuk bidang non-struktural.

Perbandingan dengan Studi Sebelumnya

  • Warman (2008): Banyak sertifikat keahlian (SKA) hanya digunakan untuk syarat administrasi, bukan peningkatan kompetensi.

  • Wardhana & Sutikno (2015): Tukang besi bersertifikat di Surabaya rata-rata memiliki keterampilan baik (>76%), mengindikasikan bahwa sertifikasi berdampak positif bila disertai pelatihan memadai.

  • Ervianto (2008): Produktivitas tukang dapat ditingkatkan melalui standar kerja, insentif, dan sertifikasi yang jelas.
     

Kritik terhadap Penelitian

Kelebihan:

  • Menggunakan data LPJK resmi dan spesifik wilayah.

  • Mengungkap disparitas geografis dan sektoral secara kuantitatif.

Kelemahan:

  • Tidak menjelaskan alasan rendahnya partisipasi tukang lokal.

  • Tidak menyertakan data wawancara atau persepsi tukang.

  • Hanya mencakup periode 2014–2017 tanpa pembaruan pasca-2018.
     

Rekomendasi Strategis

  1. Pelatihan dan Sosialisasi Lokal: Gandeng balai latihan kerja dan pemerintah kabupaten/kota untuk memperluas akses.

  2. Insentif untuk Tukang Lokal: Subsidi biaya sertifikasi atau insentif proyek bagi perusahaan yang memakai tenaga lokal.

  3. Integrasi dengan Sistem Upah: Sertifikasi harus dikaitkan langsung dengan kenaikan upah dan peluang karier.

  4. Monitoring Pasca-Sertifikasi: Evaluasi berkelanjutan terhadap performa tukang bersertifikat.

  5. Digitalisasi Proses Sertifikasi: Untuk mempercepat, memudahkan, dan memperluas jangkauan.
     

Dampak Makro dan Relevansi Nasional

Jika praktik di Sumatera Barat mencerminkan kondisi di provinsi lain, maka Indonesia menghadapi tantangan ganda:

  • Ketergantungan pada tukang luar daerah.

  • Lemahnya kapasitas SDM konstruksi lokal.

  • Ketidakseimbangan pengembangan antar daerah.
     

Dalam era Masyarakat Ekonomi ASEAN, hanya tenaga kerja konstruksi bersertifikat yang bisa bersaing. Sertifikasi bukan sekadar kewajiban administratif, tetapi menjadi simbol profesionalisme dan daya saing global.

Kesimpulan

Penelitian ini menunjukkan bahwa meskipun sertifikasi tukang di Sumatera Barat telah dilakukan, partisipasi tukang lokal masih minim. Sertifikasi cenderung didorong oleh kewajiban administratif proyek daripada kebutuhan peningkatan kompetensi. Dibutuhkan kebijakan strategis lintas sektor untuk memastikan bahwa sertifikasi benar-benar menjadi alat peningkatan mutu, bukan sekadar formalitas.

Sumber Referensi