Riset dan Inovasi
Dipublikasikan oleh Dewi Sulistiowati pada 18 Februari 2025
Bahasa Saparua merupakan bahasa daerah yang termasuk dalam kategori terancam punah yang dituturkan di Pulau Saparua, Provinsi Maluku. Berdasarkan data Ethnologue, diperkirakan jumlah penutur bahasa telah berkurang hingga 8500 penutur dan saat ini hanya menyisakan sekitar 1500 penutur. Sebagai upaya pendokumentasian bahasa terancam punah tersebut, Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) melalui Pusat Preservasi Bahasa dan Sastra (PR PBS) menggelar kegiatan webinar bertajuk Dokumentasi Bahasa Saparua, Jumat (8/3).
Kepala Organisasi Riset Arkeologi, Bahasa, dan Sastra BRIN, Herry Jogaswara dalam sambutannya menjelaskan bahwa kegiatan ini memiliki keunikan tersendiri. Karena ini merupakan wadah diseminasi riset, saling berbagi pengalaman, dan belajar dari suatu program riset kolaborasi dari Endangeres Languages Documentation Programme (ELDP) Jerman untuk mendokumentasikan bahasa di Saparua.
"Kolaborasinya melibatkan periset BRIN, scholar dari Amerika, dan juga yang paling penting adalah melibatkan masyarakat melalui kolaborasi dengan masyarakat penutur atau masyarakat adat. Dalam kegiatan ini juga tim akan menceritakan pengalamannya secara rinci mengenai tahapan kegiatan riset mulai dari pembuatan proposal," jelasnya.
Peneliti PR PBS BRIN, Khairunnisa memerinci penyebab kepunahan Bahasa Saparua. Di antaranya pengaruh dari masa penjajahan Belanda selama 350 tahun di Maluku yang melakukan Kristenisasi. Hal ini cukup berdampak lantaran Bahasa Saparua dituturkan di desa dengan mayoritas masyarakat yang memeluk agama Islam.
"Terjadinya konflik Maluku di tahun 1998-2001 juga berdampak terhadap kepunahan bahasa Saparua, selain juga pengaruh migrasi, globalisasi, dan juga kebijakan wajib berbahasa Indonesia," urainya.
Secara garis besar, ia menjelaskan upaya preservasi Bahasa Saparua melalui program riset kolaborasi ELDP. Misinya mendorong dokumentasi dan penelitian lapangan, menciptakan sumber pustaka linguistik, ilmu-ilmu sosial, komunitas mengenai bahasa terancam punah, serta membuat koleksi dokumenter yang tersedia secara bebas.
Hal senada juga diungkapkan oleh peneliti PR PBS BRIN lainnya, Erniati. Ia mengungkapkan berbagai tahapan teknis terkait riset yang akan dilakukan dalam upaya preservasi bahasa. Mulai dari proposal, bentuk dokumentasi, pelatihan dokumentasi bahasa, pengambilan data, pengolahan data, pengarsipan di repository The Endangered Languages Archive (ELAR), dan terakhir adalah publikasi.
Sementara itu, Peneliti dari Bennington College, Leah Pappas mengatakan bahwa masyarakat penutur sering kali tidak menyadari sikap terhadap bahasa mereka sendiri. Oleh karena itu, menurutnya, riset tentang sikap bahasa dalam hal ini Bahasa Saparua merupakan hal yang penting.
"Riset sikap bahasa dapat memberikan gambaran mendalam terhadap kondisi bahasa dan penutur yang mempengaruhi vitalitas bahasa. Di samping itu bahasa adalah milik penutur sehingga sikap mereka sangat mempengaruhi keberlangsungan bahasa," katanya.
Dalam salam penutupnya, Kepala PR PBS BRIN, Katubi menuturkan banyaknya bahasa yang terancam punah khususnya bahasa-bahasa daerah di Papua. "Beberapa tim PR PBS BRIN telah melakukan pendokumentasian bahasa dan sastra di Papua namun karena saking banyaknya hal tersebut tidak bisa dilakukan dalam 1-2 tahun selesai," tuturnya.
"Kita semua bisa saling berkolaborasi, dari manapun. Memang kerja kolaborasi itu menjadi penting terutama yang saling menopang, saling mendukung kompetensinya," pungkasnya.
Sumber: https://brin.go.id/
Properti dan Arsitektur
Dipublikasikan oleh Dewi Sulistiowati pada 18 Februari 2025
Masjid Agung Banten adalah sebuah masjid bersejarah di Banten Lama, 10 km sebelah utara Serang, Indonesia. Masjid yang dibangun pada abad ke-16 ini merupakan salah satu dari sedikit peninggalan yang masih ada dari kota pelabuhan Banten, pusat perdagangan paling makmur di nusantara setelah runtuhnya Kesultanan Demak pada pertengahan abad ke-16.
Sejarah
Masjid Agung Banten menunjukkan desain eklektik, sebuah bukti pengaruh internasional di Banten pada saat pembangunannya pada tahun 1552. Masjid ini dibangun dengan gaya Jawa pada masa pemerintahan Sultan Maulana Yusuf, Sultan ketiga Kesultanan Banten, pada bulan Dzulhijjah 966 (1566 M).
Pada tahun 1632, menara setinggi 24 meter ditambahkan ke dalam kompleks masjid. Menara ini dirancang oleh seorang Cina bernama Cek-ban-cut. Sekitar periode yang sama, tiyamah bergaya Belanda ditambahkan ke masjid mengikuti desain Hendrik Lucaasz Cardeel, seorang Belanda yang masuk Islam.
Elemen-elemen desain Masjid Agung Banten memiliki pengaruh agama dan budaya dari Islam, Hindu, Budha, Tionghoa dan Belanda. Budaya-budaya ini telah menanamkan nilai-nilai dan gaya mereka pada arsitektur Masjid Agung Banten, tetapi juga telah berpadu dengan baik dengan budaya Jawa di Indonesia. Sebagai contoh, terdapat perpaduan elemen arsitektur Hindu dan Jawa yang terdiri dari konstruksi bata Belanda. Cardeel menggabungkan fitur arsitektur Barok Eropa awal dalam desain masjidnya, yang terutama dapat dilihat pada menara, bangunan tiyamah, dan dinding masjid. Hal ini membuat Masjid Agung Banten berbeda dengan masjid-masjid tradisional lainnya di Indonesia, karena terdapat perpaduan budaya yang berbeda yang tertanam dalam desain dan elemen arsitekturnya.
Arsitektur
Struktur keseluruhan masjid sering dianggap mengacu pada tubuh manusia sesuai dengan konsep yang berkaitan dengan tubuh manusia dalam budaya tradisional Jawa. Menurut konsep tersebut, bangunan dapat dibagi menjadi tiga bagian: kepala, badan, dan kaki. Masing-masing, atap Masjid Agung Banten mewakili kepala, dinding mewakili tubuh dan tunggul mewakili kaki.
Atap masjid dibangun dengan gaya joglo, gaya atap tradisional Jawa. Atapnya terdiri dari tingkat-tingkat yang bertingkat, yang mewakili karakteristik yang berbeda dari kepercayaan Islam. Tingkat-tingkat atap yang bertingkat, dari bawah ke atas, mewakili: semua umat Islam, Orang Beriman, Dermawan, Tulus, dan Berhati-hati. Atapnya berbentuk segitiga, dengan ujung atap yang melambangkan Sang Pencipta, Allah, pada titik tertinggi dalam iman Islam. Gaya segitiga ini mirip dengan bentuk rebung, mengikuti gaya atap limas tradisional masjid khas Jawa.
Badan masjid terdiri dari 24 tiang (tiang soko) yang berbentuk segi delapan dan ditempatkan di tengah-tengah masjid untuk menopang atap. Terdapat empat tiang utama dan 20 tiang penyangga, mengikuti budaya khas Jawa. Setiap tiang memiliki bentuk seperti labu dan desain bunga teratai di bagian atas dan bawahnya. Desain teratai ini melambangkan kehadiran dan kebangkitan Islam di Indonesia dan juga merupakan simbol kekuatan bagi para mualaf saat mereka menjalani gaya hidup baru. Bentuk labu sangat penting karena pentingnya labu sebagai sumber makanan selama musim kemarau di Indonesia. Bentuk melingkar dari kolom berasal dari pengaruh agama Buddha, karena melambangkan keseimbangan kekuatan dari berbagai arah dan fokus energi di dalam masjid. Keberadaan hal ini dianalogikan dengan pengaruh yang berbeda dari Islam, Hindu, dan Budha yang bekerja sama dalam gaya arsitektur Masjid Agung Banten.
Kaki (umpak) masjid menopang 24 tiang dan melambangkan hubungan antara tanah dan Allah. Dengan demikian, umpak masjid bertindak sebagai fondasi, menghidupkan masjid dengan menopangnya.
Sebagai kota pelabuhan, Masjid Agung Banten menampilkan elemen eklektik, yang tampak pada keseluruhan ruang tertutup masjid, menara, dan bangunan tiyamah. Menara adalah ikon populer Masjid Agung Banten. Menara ini terbuat dari batu bata setinggi 24 meter, dengan dasar segi delapan berdiameter 10 meter. Bentuknya mengingatkan kita pada mercusuar. Arsitekturnya menampilkan perpaduan antara pola Mughal India dan dekorasi candi kuno.
Di samping masjid terdapat sebuah bangunan berlantai dua yang dibangun dengan gaya Belanda abad ke-17. Bangunan yang dikenal dengan nama tiyamah ini didirikan atas perintah Sultan Haji dari Banten dan dirancang oleh seorang Belanda, Hendrik Lucaasz Cardeel. Cardeel memeluk agama Islam, menjadi anggota kerajaan Banten dengan gelar Pangeran Wiraguna, dan merancang bangunan yang sekarang berdiri di sisi barat daya Masjid Agung ini. Bangunan ini masih digunakan sebagai pusat studi Islam. Bangunan tiyamah adalah tempat pertemuan sosial diadakan, dan merupakan satu-satunya masjid tradisional di Indonesia yang memiliki bangunan seperti itu di sebelahnya. Bangunan tiyamah dibangun untuk mengakomodasi iklim tropis Indonesia, yang terlihat melalui denah lantai terbuka dengan ventilasi dan pencahayaan maksimum dan melalui fitur-fitur yang melindungi bangunan seperti atap dengan sudut lancip untuk mengatasi hujan lebat. Bahan konstruksi yang digunakan adalah kayu, batu bata, dan ubin. Jendela dan pintu memiliki desain simetris dengan garis horizontal dan vertikal.
Di dalam Masjid Agung Banten juga terdapat ruang salat wanita, yang disebut pewastren, dan beberapa makam di dalam kompleks masjid, seperti makam Sultan Maulana Hasanuddin dan istrinya, Sultan Ageng Tirtayasa, dan makam Sultan Abu Nasir Abdul Qohhar. Karena makam-makam tersebut termasuk dalam tata letak masjid, 24 tiang masjid tidak terletak di tengah ruangan, seperti biasanya. Tidak seperti kebanyakan masjid tradisional yang memiliki dasar persegi, Masjid Agung Banten dibangun dengan dasar persegi panjang. Hal ini terutama karena adanya pewastren dan makam.
Dengan arsitektur khas masjid Jawa, Masjid Agung Banten terdiri dari ruang sholat utama dan beranda tertutup (serambi). Serambi adalah struktur seperti teras semi-menyatu yang menyediakan pintu masuk ke ruang sholat utama. Ruang salat utama memiliki atap bertingkat lima yang ditopang oleh empat tiang utama (saka guru). Tiga tingkat paling atas disusun agak unik, tampak lebih mirip pagoda Cina daripada atap bertingkat biasa dari arsitektur Jawa. Ada perselisihan mengenai jumlah asli dari tingkatan ruang sembahyang utama; sketsa kota pada tahun 1596, 1624, 1661 dan 1726 menunjukkan jumlah tingkat tidak lebih dari tiga tingkat, sementara Valentijn (1858) menyebutkan jumlah tingkat adalah lima seperti sekarang. Serambi-serambi tertutup ditambahkan pada bangunan utama masjid, dibangun di sisi utara dan selatan masjid.
Interior Masjid Agung Banten tidak terlalu dekoratif atau rumit karena tidak ada kaligrafi atau bentuk seni hias. Satu-satunya elemen dekoratif dapat ditemukan pada bukaan ventilasi udara yang memiliki pola geometris. Gaya desain interior minimalis ini mirip dengan Masjid Pecinan Tinggi, sebuah masjid untuk komunitas Tionghoa di Indonesia.
Terdapat pengaruh Buddha yang besar pada tunggul kolom masjid. Bentuk melingkar dan bentuk motif teratai yang mendetail di bagian atas dan bawah setiap kolom berasal dari pendekatan budaya Tionghoa, yang memiliki pengaruh Buddha. Bentuk bundar melingkar ini membawa keseimbangan pada masjid, karena melambangkan keseimbangan semua kekuatan dan kekuatan. Selain itu, ditemukan bahwa motif teratai yang terperinci ini sesuai dengan lapisan mediasi Buddha, yang dikenal sebagai enam puluh tingkat. Kesesuaian ini terlihat dari tiang-tiang yang menjadi titik fokus dari doa-doa yang dilakukan di dalam masjid, energinya mengalir melalui tiang-tiang tersebut hingga ke titik tertinggi masjid.
Ada tiga area utama di kompleks Masjid Agung Banten: Masjid Agung, bangunan tiyamah, dan area pemakaman. Bangunan tiyamah berfungsi sebagai ruang untuk pertemuan sosial, sementara pemakaman tetap menjadi tradisi budaya yang menjadi tempat makam keluarga kerajaan. Pemakaman memiliki pengaruh paling besar terhadap kegiatan sosial dan budaya yang terjadi di dalam kompleks Masjid. Banyak pengunjung kompleks Masjid Agung yang datang ke sana dengan tujuan untuk mengunjungi makam Sultan Maulana Hasanuddin dan anggota keluarganya. Hal ini mempengaruhi jenis kegiatan tradisional yang dilakukan di area tersebut.
Masjid Agung Banten pada awalnya dibangun untuk berfungsi sebagai lokasi bagi umat Islam untuk memenuhi kebutuhan religius mereka dan melakukan kegiatan keagamaan. Sejalan dengan kebutuhan untuk belajar lebih banyak tentang Islam, Indonesia juga memiliki populasi mualaf yang terus meningkat. Keragaman dan koeksistensi bentuk arsitektur yang mengacu pada pertukaran budaya dengan agama lain termasuk Buddha dan Hindu yang terlihat di Masjid Agung Banten dimaksudkan untuk melambangkan konvergensi ini.
Disadur dari: https://en.wikipedia.org/
Riset dan Inovasi
Dipublikasikan oleh Dewi Sulistiowati pada 18 Februari 2025
Kecerdasan Artifisial telah menyentuh seluruh aspek kehidupan manusia, tak terkecuali di bidang pertahanan dan keamanan (Hankam). Kepala Pusat Riset Kecerdasan Artifisial dan Keamanan Siber (PRKAKS) BRIN, Anto Satriyo Nugroho mengatakan, berbagai teknologi AI diperlukan untuk riset di bidang Hankam misalnya Computer Vision, Machine Learning (ML), Cyber Security, Natural Language Processing (NLP) dan berbagai teknologi lainnya.
“Intinya teknologi AI membuat sistem lebih cerdas dan dapat dimanfaatkan untuk berbagai keperluan,” tegas Anto saat membuka Webinar PRKAKS seri 1 bertajuk Kecerdasan Artifisial dan Aplikasinya di bidang Pertahanan dan Keamanan pada Kamis, (7/3) di Bandung.
Menurut Anto, di Pusat Riset Kecerdasan Artifisial dan Keamanan Siber terdapat beberapa peneliti yang menekuni kecerdasan artifisial dan penerapannya di bidang Hankam. Ia berpesan bahwa pemanfaatan teknologi Kecerdasan Artifisial dan Keamanan Siber harus dibarengi dengan penguasaan teknologi tersebut secara nasional, melalui kegiatan penelitian terhadap teknologi utama dan penggunaannya di berbagai bidang pembangunan yang bertanggung jawab.
Perekayasa Ahli Madya PRKAKS - BRIN, Achmad Farid Wadjdi memberikan reviu terhadap riset berjudul meningkatkan ketahanan siber melalui praktik terbaik Internet of Battlefield Things (IoBT). IoBT merupakan sebutan pengelompokan pengaplikasian Internet of things atau IoT untuk operasi pertempuran modern dan peperangan cerdas. Achmad menuturkan penting untuk memahami terlebih dahulu tentang konsep pertahanan negara yaitu militer dan nirmiliter.
“Jadi ketika bicara IoT itu banyak menyebutkan Internet of Military Things (IoMT) atau Internet of Defense Things (IoMT) dan Internet of Battlefield Things (IoBT) maka kalau kita membahas ini kita akan lebih banyak membahas bagaimana security di militer itu diterapkan,” paparnya.
Eddy Maruli Tua Sianturi, sebagai pemateri kedua pada webinar tersebut menjelaskan tentang konseptualisasi pengukuran Indeks Bela Negara (IBN) sebagai gambaran seberapa penting Konsep Bela Negara perlu diukur untuk rekomendasi operasionalisasi pembinaan Bela Negara yang lebih baik. Eddy berpendapat, pengukuran IBN bukan hanya mengukur rasa bangga warga berupa patriotisme dan nasionalisme tetapi juga mengukur kekuatan niat warga untuk membela negara.
“Pengukuran IBN memungkinkan pendekatan yang lebih luas, mendalam dan responsif terhadap dinamika sosial politik saat ini. Namun penting juga untuk mempertimbangkan tantangan seperti bias data, privasi dan keamanan data dalam konseptualisasi IBN,” tegas Perekayasa Ahli Madya PRKAKS- BRIN tersebut.
Sementara itu, Perekayasa Ahli Madya PRKAKS - BRIN Jemie Muliadi, menyampaikan metode sistem kendali cerdas atau Intelligent Control System dalam penegakan hukum dan kedaulatan Negara. Jemie mengatakan metode tersebut mampu mengatasi sistem non linear yang sulit untuk disederhanakan lalu sistem dengan kopling silang yang sulit dipisahkan dan sistem yang perubahan parameternya signifikan terhadap waktu.
“Metode sistem kendali cerdas memberikan pengendalian yang akurat sesuai sinyal referensi atau input yang diberikan. Metode ini dapat berperan dalam aspek penegakan hukum dan kedaulatan Negara, khususnya pada kondisi yang membutuhkan pergerakan cepat dan penuh ketidakpastian,” pungkasnya.
Sumber: https://brin.go.id/
Properti dan Arsitektur
Dipublikasikan oleh Dewi Sulistiowati pada 18 Februari 2025
Kasunanan Surakarta (bahasa Indonesia: Kasunanan Surakarta; bahasa Jawa: ꦟꦒꦫꦶꦑꦱꦸꦤꦤ꧀ꦤꦤ꧀ꦯꦸꦫꦏꦂꦠꦲꦢꦶꦤꦶꦁꦫꦠ꧀, diromanisasi: Kasunanan/Kraton Surakarta Hadiningrat) adalah sebuah kerajaan Jawa yang berpusat di kota Surakarta, di provinsi Jawa Tengah, Indonesia.
Keraton Surakarta didirikan pada tahun 1745 oleh Pakubuwono II. Kasunanan Surakarta dan Kasultanan Yogyakarta merupakan penerus Kesultanan Mataram. Tidak seperti rekan-rekan mereka di Yogyakarta, yang menggunakan gelar sultan, penguasa Surakarta menggunakan gelar sunan. Nama Belanda digunakan selama masa pemerintahan kolonial Belanda hingga tahun 1940-an. Gelar ini terkadang diindonesiakan menjadi Kerajaan Solo, dari lokasi istana mereka.
Sejarah
Setelah Sultan Agung I, kekuasaan dan prestise Kesultanan Mataram menurun karena perebutan kekuasaan dan konflik suksesi di dalam keluarga kerajaan. VOC (Perusahaan Dagang Hindia Timur Belanda) mengeksploitasi perebutan kekuasaan tersebut untuk meningkatkan kekuasaannya di Jawa, dan berhasil mendapatkan konsesi dari bekas jajahan Mataram di Priangan dan Semarang. Pusat pemerintahan Mataram di Plered dekat Kotagede runtuh setelah pemberontakan Trunojoyo pada tahun 1677. Sunan Amral (Amangkurat II) memindahkan istana ke Kartasura. Pada masa pemerintahan Sunan Pakubuwono II, pada tahun 1742 Raden Mas Garendi (Sunan Kuning) memimpin tentara bayaran dari Cina dan melancarkan pemberontakan terhadap kerajaan dan juga VOC. Raden Mas Garendi adalah putra dari Pangeran Teposono dan juga cucu dari Amangkurat II.
Para pemberontak berhasil menguasai ibukota Kartasura dan menggulingkan Pakubuwono II yang kemudian melarikan diri dan mengungsi ke Ponorogo. Dengan bantuan Adipati Cakraningrat IV, penguasa Madura bagian barat, Pakubuwono II berhasil merebut kembali ibukota dan menumpas pemberontakan. Namun istana Kartasura dihancurkan dan dianggap tidak menguntungkan karena pertumpahan darah terjadi di sana. Pakubuwono II memutuskan untuk membangun istana dan ibu kota baru di desa Sala (Solo). Pemindahan ibu kota ke desa Sala diperingati dalam babad Sengkala "Kombuling Pudya Kepyarsihing Nata" yang bertepatan dengan hari Rabu tanggal 12 Sura 1670 tahun Jawa (17 Februari 1745). Tanggal tersebut dianggap sebagai hari berdirinya Kasunanan Surakarta.
Pakubuwono II menghadapi banyak pemberontakan, antara lain dari Raden Mas Said, dan kemudian dari adiknya sendiri, Pangeran Mangkubumi yang bergabung dengan pemberontakan Mas Said pada tahun 1746. Pakubuwono II meninggal karena sakit pada tahun 1749, namun sebelum meninggal, ia mempercayakan urusan kerajaan Surakarta kepada pelindung kepercayaannya, Baron von Hohendorff, seorang perwira VOC. Atas nama penerus Pakubuwono II, Pakubuwono III, VOC berhasil menengahi perundingan damai dengan Pangeran Mangkubumi. Kesepakatan damai tercapai dengan Kesultanan Mataram dibagi menjadi dua berdasarkan Perjanjian Giyanti tanggal 13 Februari 1755: Kesultanan Yogyakarta di bawah kekuasaan Pangeran Mangkubumi yang kemudian bergelar Hamengku Buwono I dan Kasunanan Surakarta di bawah kepemimpinan Pakubuwono III.
Perjanjian Giyanti mengangkat Pangeran Mangkubumi sebagai Sultan Yogyakarta. Pada masa pemerintahan Belanda, ada dua kerajaan utama di Vorstenlanden Mataram yang diakui, yaitu Kasunanan Surakarta dan Kesultanan Yogyakarta. Kemudian beberapa tahun kemudian, Surakarta dibagi lagi dengan berdirinya Praja Mangkunegaran setelah Perjanjian Salatiga (17 Maret 1757). Praja Mangkunegaran dipimpin oleh seorang pemberontak terkenal Raden Mas Said yang bergelar Mangkunegara I. Wilayah Kasunanan Surakarta semakin berkurang setelah terjadinya Perang Jawa (1825-1830) yang dipimpin oleh Pangeran Diponegoro. Susuhunan Pakubuwono VI dituduh secara diam-diam mendukung pemberontakan Diponegoro, dan sebagai hukuman setelah Perang Jawa, Kasunanan diwajibkan untuk menyerahkan sebagian besar wilayahnya kepada Belanda.
Selama era Hindia Belanda, Kasunanan Surakarta menikmati status otonom di bawah pengaturan Vorstenlanden Mataram. Bersama dengan Kasultanan Yogyakarta, Kasunanan Surakarta dianggap sebagai negara bawahan Kerajaan Belanda di bawah perlindungan kerajaan di bawah mahkota Belanda. Puncak kejayaan dan kekuasaan Kasunanan Surakarta terjadi pada masa pemerintahan Pakubuwono X (1893-1939), dimana Sunan merenovasi dan memperbesar Keraton Surakarta serta membangun berbagai proyek infrastruktur dan gedung-gedung di kota Surakarta. Kerajaan ini menghadapi era perselisihan dan ketidakpastian selama Perang Dunia II dan pendudukan Jepang di Hindia Belanda.
Setelah deklarasi kemerdekaan Republik Indonesia pada tanggal 17 Agustus 1945, yang diikuti oleh Revolusi Nasional Indonesia, Kasunanan Surakarta dengan Praja Mangkunegaran mengirimkan surat kepercayaan kepada Sukarno untuk menunjukkan dukungan mereka terhadap Republik Indonesia. Sebagai imbalannya, Republik Indonesia memberikan status Daerah Istimewa (Daerah Istimewa, mirip dengan Kesultanan Yogyakarta saat ini) dalam Republik Indonesia. Namun, karena agitasi politik dan oposisi dari komunis Indonesia yang mengarah pada gerakan anti-monarki dan pemberontakan pada awal 1946, pada tanggal 16 Juni 1946, Republik Indonesia membatalkan status daerah istimewa; status Surakarta dan Mangkunegaran diturunkan menjadi hanya sebuah tempat tinggal dan kemudian digabungkan ke dalam provinsi Jawa Tengah.
Sebaliknya, Kesultanan Yogyakarta berhasil mempertahankan status istimewa. Dukungan historis dan hubungan erat Yogyakarta dengan para pendiri Republik Indonesia selama perang kemerdekaan dan revolusi nasional Indonesia. Kasunanan Surakarta tidak memiliki kekuatan politik yang nyata. Kekuatannya terbatas pada prestise kerajaan dan posisi khusus dalam mempertahankan budaya tradisional Jawa. Gengsi ini masih tetap ada, yang membuat banyak pemimpin dan tokoh politik di Indonesia mencari afiliasi dengan Kasunanan.
Tempat tinggal
Tempat tinggal utama para sunan adalah kraton (istana), yang kadang-kadang disebut Kraton Surakarta atau Kraton Solo, namun secara formal dikenal sebagai Karaton Surakarta Hadiningrat. Seperti halnya dengan sejumlah keraton lain di berbagai kota di Jawa, Karaton Surakarta telah menjadi cukup terabaikan selama bertahun-tahun. Sedikit sekali dana yang tersedia untuk pemeliharaan, banyak bagian dari keraton yang sudah dalam kondisi rusak parah.
Disadur dari: https://en.wikipedia.org/
Properti dan Arsitektur
Dipublikasikan oleh Dewi Sulistiowati pada 18 Februari 2025
Pura Mangkunegaran (Pura Mangkunegaran, ꦥꦸꦫꦩꦁꦏꦸꦤꦒꦫꦤ꧀) adalah sebuah kompleks istana di kota Surakarta, Jawa Tengah, Indonesia. Ini adalah istana resmi dan tempat tinggal Adipati Mangkunegara dan keluarganya. Kompleks istana ini merupakan salah satu pusat kebudayaan Jawa dan memiliki museum yang memamerkan artefak kerajaan Mangkunegaran.
Sejarah
Kompleks istana ini dibangun pada tahun 1757 (AJ 1690) dengan mengikuti gaya keraton atas perintah Mangkunegara I, Adipati Mangkunegaran yang pertama.
Istana ini dibangun setelah Perjanjian Salatiga ditandatangani oleh Mangkunegara I, Hamengkubuwana I, Pakubuwana III, dan VOC pada bulan Maret 1757. Perjanjian ini mengawali pembentukan Kadipaten Mangkunegaran dan penobatan Mangkunegara I sebagai penguasa pertama.
Seperti istana-istana lain di Jawa, Pura Mangkunegaran telah mengalami beberapa kali renovasi, peremajaan, perubahan pada bagian dan strukturnya, dan juga penambahan gaya Eropa yang populer pada arsitekturnya selama masa penjajahan Belanda.
Arsitektur
Arsitektur Pura Mangkunegaran memiliki ciri-ciri yang mirip dengan istana-istana lain di Surakarta dan Yogyakarta, memiliki berbagai fitur seperti halaman (pamédan), aula (pendapa), ruang depan atau ruang depan (pringgitan), rumah utama (dalem), dan harem atau apartemen pribadi (keputrèn). Hampir seluruh kompleks Pura Mangkunegaran dikelilingi oleh tembok, kecuali halaman (pamédan) yang hanya dikelilingi oleh pagar besi. Halaman itu sendiri dulunya dan sekarang masih digunakan sebagai tempat latihan pasukan Legiun Mangkunegaran. Di sebelah timur halaman terdapat markas pasukan infanteri dan kavaleri Legiun Mangkunegaran yang memiliki bangunan seperti benteng.
Gerbang kedua Pura Mangkunegaran mengarah ke halaman dalam dan Pendopo Ageng yang berukuran 3.500 m2 (37.673,69 kaki persegi). Pendopo Agung Pura Mangkunegaran dapat menampung lima hingga sepuluh ribu orang, dan dianggap sebagai pendopo terbesar di Indonesia. Pilar-pilar kayu di Pendopo Agung berbentuk persegi dan terbuat dari kayu yang berasal dari pohon-pohon Hutan Kethu (Alas Kethu) yang terletak di Wonogiri dan merupakan salah satu wilayah yang dimiliki oleh Kadipaten Mangkunegaran. Seluruh bagian bangunan Pura Mangkunegaran dibangun tanpa menggunakan paku sebagai pengikatnya.
Warna utama dari pendopo ini adalah hijau, kuning, dan merah tua (pareanom) yang merupakan warna kebesaran Kadipaten Mangkunegaran. Warna cerah pada langit-langit Pura Mangkunegaran melambangkan astrologi Hindu-Jawa yang lekat dengan budaya dinasti Mataram. Langit-langit Pura Mangkunegaran juga memiliki beberapa lampu gantung antik. Pada era awal Kadipaten Mangkunegaran, orang-orang yang hadir di Pura Mangkunegaran biasanya duduk bersila di lantai. Kemudian pada masa pemerintahan Mangkunegara VI, penggunaan kursi mulai diperkenalkan. Di dalam Pura Mangkunegaran terdapat beberapa gamelan keramat, yaitu gamelan Kyai Seton, gamelan Kyai Kanyut Mesem, dan gamelan Lipur Sari, masing-masing gamelan tersebut hanya dimainkan pada acara-acara khusus atau tertentu.
Di belakang Bangsal Agung, terdapat beranda terbuka yang disebut Pringgitan yang memiliki tangga menuju ke rumah utama (Dalem Ageng). Beranda ini berukuran 1.000 m² dan digunakan sebagai tempat pertunjukan wayang kulit.
Pringgitan mengarah ke rumah utama (Dalem Ageng), merupakan bangunan berbentuk limas dengan luas ± 1.000 m2 (10.763,91 kaki persegi). Secara tradisional, rumah utama ini digunakan sebagai kamar pengantin adipati dan bangsawan, namun saat ini bangunan ini telah difungsikan sebagai museum yang memamerkan beberapa artefak kerajaan Mangkunegaran, foto-foto adipati Mangkunegaran, pakaian dan pakaian kerajaan, medali, perhiasan kerajaan, peralatan wayang kulit, uang logam, petanen (tempat bersemayamnya Dewi Sri), dan masih banyak lagi.
Di belakang rumah utama (Dalem Ageng), terdapat Keputrèn yang secara kasar diterjemahkan sebagai harem. Secara tradisional, tempat ini digunakan sebagai tempat tinggal permaisuri dan putri kerajaan. Namun sekarang, Keputrèn digunakan sebagai apartemen atau tempat tinggal pribadi untuk adipati dan keluarganya. Bagian dari Pura Mangkunegaran ini memiliki taman dengan berbagai macam tanaman, bunga, semak hias, sangkar burung, kolam air mancur, dan beberapa patung bergaya Eropa klasik.
Menghadap ke arah taman, terdapat pula Pracimoyasa, sebuah ruang tamu dengan bentuk segi delapan yang difungsikan sebagai ruang pertemuan. Di dalam ruangan ini terdapat beberapa perabotan Eropa dan cermin berbingkai emas di dindingnya.
Kompleks Pura Mangkunagaran juga memiliki sebuah perpustakaan yang disebut Perpustakaan Rekso Pustoko yang dibangun pada tahun 1867 oleh Mangkunegara IV. Perpustakaan ini terletak di lantai dua Kantor Urusan Istana yang terletak di sebelah kiri halaman (pamèdan). Perpustakaan ini memiliki beberapa peninggalan sejarah yang berharga seperti naskah bersampul kulit, buku-buku yang ditulis dalam bahasa dan aksara Jawa, koleksi gambar-gambar bersejarah, foto-foto, dan berkas-berkas arsip perkebunan dan harta benda yang dimiliki Kadipaten Mangkunegaran.
Disadur dari: https://en.wikipedia.org/
Properti dan Arsitektur
Dipublikasikan oleh Dewi Sulistiowati pada 18 Februari 2025
Rumah Melayu (bahasa Melayu: Rumah Melayu; bahasa Jawi: رومه ملايو) merujuk pada tempat tinggal vernakular orang Melayu, sebuah kelompok etno-linguistik yang mendiami Sumatera, pesisir Kalimantan dan Semenanjung Malaya.
Bentuk arsitektur tradisional, seperti atap yang sesuai dengan iklim tropis dan proporsi yang harmonis dengan elemen dekoratif dianggap masih memiliki nilai budaya yang tinggi oleh banyak orang di wilayah ini. Namun, bangunan-bangunan ini membutuhkan perawatan yang signifikan dibandingkan dengan konstruksi modern; seperti tantangan dalam melestarikan bahan utamanya, kayu, dari efek pembusukan cuaca tropis serta serangan rayap. Keterampilan konstruksi vernakular ini berangsur-angsur hilang seiring dengan proses industrialisasi yang terus berlanjut di Malaysia, sementara di Indonesia, tempat tinggal tradisional semacam ini masih bertahan di daerah pedesaan. Meskipun transformasi perkotaan di Singapura telah menghilangkan hampir semua lingkungan perkotaan Melayu, beberapa rumah yang menampilkan arsitektur vernakular ini masih bertahan, terutama terkonsentrasi di pulau lepas pantai Pulau Ubin. [Upaya untuk melestarikan gaya arsitektur asli nusantara telah dilakukan melalui dokumentasi dan pembuatan replika di anjungan provinsi di Taman Mini Indonesia Indah, Jakarta.
Konstruksi
Menggunakan bahan alami yang dapat diperbarui termasuk kayu dan bambu, rumah-rumah di sini sering kali dibangun tanpa menggunakan logam, termasuk paku. Sebagai gantinya, lubang dan alur yang telah dipotong sebelumnya digunakan untuk menyesuaikan elemen kayu satu sama lain, yang secara efektif menjadikannya 'rumah prefabrikasi'.
Meskipun paku telah ditemukan dan di rumah-rumah selanjutnya digunakan secara minimal untuk elemen non-struktural (misalnya, jendela atau panel), fleksibilitas struktural adalah manfaat yang dihambat oleh paku. Tanpa paku, rumah kayu dapat dibongkar dan dibangun kembali di lokasi yang baru. Sebagian besar masyarakat Melayu kuno di Asia Tenggara mempertahankan suatu bentuk budaya lingkungan yang dapat beregenerasi sendiri.
Desain
Rumah kayu tradisional menggabungkan prinsip-prinsip desain yang relevan dalam arsitektur kontemporer seperti peneduh dan ventilasi, kualitas yang ada pada fitur dasar rumah. Meskipun rumah-rumah Melayu memiliki keragaman gaya sesuai dengan masing-masing negara bagian, provinsi, dan sub-etnis, ada gaya umum dan kesamaan yang dimiliki di antara mereka:
Sebagian besar rumah Melayu dibangun sebagai Rumah Panggung, yaitu rumah yang dibangun di atas panggung. Karakteristik utama dari rumah kampung Melayu adalah bentuknya yang panggung atau bertingkat. Hal ini dilakukan untuk menghindari binatang buas dan banjir, untuk mencegah pencuri, dan untuk menambah ventilasi. Di Sumatera, rumah panggung tradisional dirancang untuk menghindari binatang buas yang berbahaya, seperti ular dan harimau. Sementara di daerah yang terletak dekat dengan sungai-sungai besar di Sumatra dan Kalimantan, rumah panggung membantu meninggikan rumah di atas permukaan banjir. Di beberapa bagian Sabah, jumlah kerbau mas kawin bahkan dapat bergantung pada jumlah rumah panggung yang ada di rumah keluarga pengantin.
Tangga
Rumah tradisional Melayu membutuhkan tangga untuk mencapai bagian dalam yang lebih tinggi. Biasanya tangga menghubungkan bagian depan rumah dengan serambi (teras atau beranda). Tangga tambahan dapat ditemukan di bagian belakang rumah. Tangga dapat terbuat dari kayu atau struktur batu bata yang dilapisi ubin. Sebagai contoh, di Melaka dan Riau, tangga selalu dihias dengan dekorasi dan ubin berwarna-warni.
Kamar
Bagian dalam rumah disekat-sekat untuk menciptakan ruangan seperti serambi, ruang tamu, dan kamar tidur. Rumah kayu tradisional Melayu biasanya terdiri dari dua bagian: rumah utama yang disebut Rumah Ibu untuk menghormati ibu dan Rumah Dapur yang lebih sederhana, yang dipisahkan dari rumah utama untuk perlindungan dari kebakaran. Proporsi ini penting untuk memberikan skala yang manusiawi pada rumah ini. Nama Rumah Ibu diambil dari jarak antar rumah panggung yang konon biasanya mengikuti lebar lengan istri dan ibu dalam keluarga yang membangun rumah tersebut. Setidaknya satu beranda yang ditinggikan (serambi) melekat pada rumah untuk tempat bekerja atau bersantai, atau di mana pengunjung yang tidak dikenal akan dijamu, sehingga menjaga privasi interior.
Atap
Atap rumah tradisional Melayu dirancang untuk memberikan keteduhan dan perlindungan dari panas dan hujan, serta menyediakan ventilasi. Desain dasar atap pada rumah Melayu adalah atap pelana, sebuah bingkai yang diperpanjang dengan ornamen di tepi atap. Atap vernakular Melayu paling cocok untuk iklim tropis yang panas dan lembab. Contoh atap runcing dapat ditemukan pada desain Rumah Lipat Kajang. Namun atap bernada limas juga dapat ditemukan pada rumah-rumah seperti Rumah Limas Palembang.
Di Riau dan Jambi terdapat beberapa gaya yang berbeda, terutama pada desain atapnya. Rumah Lancang atau Rumah Lontik memiliki atap melengkung dengan struktur seperti perahu di atas panggung. Desainnya mirip dengan Rumah Gadang Minang. Rumah Lipat Kajang memiliki struktur atap datar dengan ujung-ujungnya yang menyilang membentuk puncak "x" di sudut-sudut atap. Struktur yang lebih besar dengan atap bersudut menyilang serupa disebut Rumah Limas. Jenis atap dan struktur ini sering digunakan di istana raja-raja Melayu serta gedung-gedung pemerintahan. Rumah Limas juga dikenal sebagai rumah tradisional Sumatera Selatan dan Sunda Jawa Barat, meskipun keduanya memiliki nama yang sama "Rumah Limas", desainnya sedikit berbeda. Bangunan pemerintah dan bangunan publik modern sering kali didasarkan pada desain atap gaya Melayu, seperti gedung-gedung pemerintahan di Riau dan Jambi, serta desain atap Muzium Negara di Kuala Lumpur.
Dekorasi
Setiap daerah, negara bagian atau kelompok sub-etnis Melayu memiliki gaya rumah khas daerah atau kelompoknya sendiri dengan detail yang disukai. Namun sebagian besar rumah Melayu memiliki ornamen atap yang khas, yaitu struktur tepi atap yang menyilang membentuk ornamen puncak seperti huruf "x" di tepi atap. Ornamen semacam ini dapat ditemukan pada gaya Lontik, Lipat Kajang dan Limas. Di pantai timur Semenanjung Malaysia, banyak rumah memiliki atap pelana berukir yang khas seperti di Thailand dan Kamboja.
Jenis
Disadiur dari: https://en.wikipedia.org/