Sustainability

Membangun Masa Depan Ramah Lingkungan: Laterit sebagai Solusi Bahan Bangunan Berkelanjutan

Dipublikasikan oleh Izura Ramadhani Fauziyah pada 09 Mei 2025


Mencari Bahan Bangunan yang Lebih Bijak dan Terjangkau

Di tengah perubahan iklim global, tingginya harga bahan bangunan, dan meningkatnya kebutuhan akan perumahan yang terjangkau, industri konstruksi ditantang untuk lebih bijak dalam memilih material. Pilihan ideal seharusnya tidak hanya kuat dan tahan lama, tetapi juga murah, mudah diakses, serta memiliki dampak lingkungan yang rendah.

Salah satu jawabannya mungkin selama ini terabaikan: laterit. Tanah merah yang banyak ditemukan di wilayah tropis ini ternyata punya potensi luar biasa sebagai bahan bangunan yang ramah lingkungan dan hemat biaya. Dalam penelitian berjudul “Sustainable Environment: Laterite as Sustainable Building Materials in Construction Industry” oleh Muntari Mudi Yar’Adua dan Abbas Usman Kakale, dijelaskan secara rinci bagaimana laterit bisa menjadi tulang punggung pembangunan berkelanjutan, khususnya di negara berkembang seperti Nigeria.

Mengenal Laterit dan Keunggulannya

Laterit adalah jenis tanah yang terbentuk dari pelapukan batuan di daerah tropis, kaya akan kandungan besi dan aluminium. Warna merah kecokelatannya khas, dan sifat fisiknya cukup kuat jika diproses dengan benar. Salah satu daya tarik utama laterit adalah keberadaannya yang melimpah di berbagai daerah, terutama di Afrika dan Asia. Artinya, laterit bisa diperoleh secara lokal tanpa perlu biaya transportasi yang besar.

Keunggulan utama laterit terletak pada sifat termalnya yang baik. Di siang hari, bangunan dari laterit tetap sejuk, dan saat malam hari atau musim dingin, ia membantu menjaga kehangatan ruangan. Ini menjadikannya sangat cocok untuk iklim tropis atau subtropis yang panas dan lembap. Selain itu, material ini tahan terhadap serangan serangga dan jamur, serta tahan api.

Studi Kasus: Penggunaan Laterit di Nigeria

Penelitian ini dilakukan di tiga negara bagian di Nigeria: Katsina, Kano, dan Kaduna. Wilayah ini dipilih karena memiliki aktivitas konstruksi yang aktif serta ketersediaan sumber laterit yang melimpah. Berdasarkan hasil wawancara dan kuesioner yang disebarkan kepada pelaku industri konstruksi, ditemukan bahwa sebagian besar responden menganggap penggunaan laterit sangat penting dari segi ekonomi.

Rata-rata tanggapan menunjukkan bahwa faktor ekonomi adalah alasan paling kuat dalam pemanfaatan laterit, dengan skor signifikan 4,25 dari skala Likert lima poin. Artinya, dari sudut pandang praktisi konstruksi lokal, laterit bukan hanya solusi alternatif, tapi justru bisa menjadi pilihan utama dalam menurunkan biaya pembangunan.

Energi dan Dampak Lingkungan

Salah satu argumen terkuat dalam mendukung penggunaan laterit adalah efisiensi energinya. Untuk memproduksi satu meter kubik batu bata laterit, hanya dibutuhkan sekitar lima kilowatt-jam energi. Bandingkan dengan bata bakar yang membutuhkan sekitar seribu kilowatt-jam, atau blok beton yang memerlukan antara empat ratus hingga lima ratus kilowatt-jam. Perbedaannya sangat mencolok.

Dalam konteks keberlanjutan, semakin sedikit energi yang digunakan dalam produksi material, semakin kecil pula jejak karbon yang dihasilkan. Ini membuat laterit menjadi pilihan logis dalam mendukung pembangunan yang ramah lingkungan.

Manfaat Sosial dan Budaya

Selain manfaat ekonomi dan lingkungan, laterit juga membawa dampak sosial yang positif. Karena mudah diproses dan tidak membutuhkan teknologi tinggi, laterit membuka peluang kerja bagi tenaga kerja lokal yang tidak memiliki keterampilan formal tinggi. Proyek pembangunan yang menggunakan laterit lebih mungkin melibatkan masyarakat setempat secara langsung, baik dalam penggalian, pencetakan, maupun pembangunan.

Ada pula nilai budaya yang melekat pada penggunaan laterit. Di banyak wilayah di Nigeria dan Afrika Barat, rumah-rumah tradisional dari laterit telah berdiri selama ratusan tahun. Salah satu contohnya adalah Minaret Gobarau di Katsina, sebuah bangunan berusia lebih dari seribu tahun yang dibangun seluruhnya menggunakan laterit dan masih berdiri kokoh hingga kini.

Tantangan yang Masih Harus Diatasi

Meskipun potensinya besar, masih ada beberapa hambatan dalam pemanfaatan laterit secara luas. Salah satu yang paling mencolok adalah ketiadaan standar nasional mengenai kualitas dan teknik penggunaan laterit dalam konstruksi modern. Akibatnya, banyak proyek besar—terutama yang didanai pemerintah atau sektor swasta—enggan menggunakan laterit karena dianggap tidak memenuhi standar teknis.

Selain itu, ada persepsi bahwa laterit adalah material kelas dua, cocok hanya untuk proyek kecil di pedesaan. Persepsi ini perlu diubah melalui edukasi dan kampanye yang menunjukkan bahwa laterit bisa setara atau bahkan lebih baik dari bahan konvensional dalam kondisi tertentu.

Karakteristik Bahan Bangunan Berkelanjutan

Sebuah material bisa dikategorikan sebagai bahan bangunan berkelanjutan jika memenuhi beberapa kriteria utama. Pertama, material tersebut sebaiknya tersedia secara lokal untuk mengurangi emisi dari transportasi. Kedua, proses produksinya harus rendah energi dan tidak menghasilkan limbah berbahaya. Ketiga, material tersebut sebaiknya bisa didaur ulang atau digunakan ulang, serta aman bagi kesehatan penghuni bangunan.

Laterit memenuhi semua kriteria tersebut. Ia tersedia di banyak wilayah, tidak beracun, dan bisa digunakan ulang dalam berbagai bentuk. Bahkan, dalam beberapa komunitas tradisional, laterit digunakan kembali dari bangunan lama yang dibongkar dan dibentuk menjadi blok atau bata baru.

Penggunaan Laterit di Negara Berkembang dan Maju

Meskipun lebih umum di negara berkembang, beberapa proyek di negara maju juga mulai memanfaatkan laterit karena nilai keberlanjutannya. Di wilayah tropis Prancis dan Amerika Selatan, laterit digunakan dalam pembangunan rumah rendah energi dan proyek infrastruktur pedesaan. Di Sri Lanka dan India, laterit banyak digunakan untuk perumahan skala kecil dan bangunan umum seperti sekolah atau puskesmas.

Ini menunjukkan bahwa laterit bukan hanya solusi darurat untuk daerah miskin, tetapi juga material masa depan yang relevan secara global.

Rekomendasi dari Hasil Penelitian

Para penulis artikel menyarankan beberapa langkah penting untuk mengoptimalkan pemanfaatan laterit. Pertama, dibutuhkan pengembangan standar nasional yang mengatur kekuatan, ketahanan, dan aplikasi laterit secara teknis. Kedua, perlu ada pelatihan bagi tukang dan kontraktor lokal agar bisa mengolah laterit secara efisien dan estetis. Ketiga, pemerintah dan organisasi profesi sebaiknya mendorong penggunaan laterit dalam proyek-proyek perumahan berkelanjutan sebagai bagian dari kebijakan pembangunan nasional.

Kesimpulan: Saatnya Beralih ke Bahan Lokal yang Lebih Bijak

Laterit adalah bukti nyata bahwa solusi untuk tantangan besar bisa datang dari hal yang sederhana dan lokal. Dengan harga yang murah, ketersediaan yang luas, dan dampak lingkungan yang rendah, laterit layak dipertimbangkan sebagai bahan utama dalam pembangunan masa depan, khususnya di daerah tropis dan berkembang.

Namun, untuk mewujudkannya, perlu ada kolaborasi antara pemerintah, sektor swasta, akademisi, dan komunitas lokal. Jika semua pihak bekerja sama, tidak mustahil kita bisa melihat transformasi besar dalam industri konstruksi—dari yang bergantung pada bahan impor mahal, menjadi sistem yang mengandalkan bahan lokal berkelanjutan seperti laterit.

Sumber asli

Yar’Adua, M. M., & Kakale, A. U. (2016). Sustainable Environment: Laterite as Sustainable Building Materials in Construction Industry. International Journal of Advances in Mechanical and Civil Engineering, 3(2), 70–73.

Selengkapnya
Membangun Masa Depan Ramah Lingkungan: Laterit sebagai Solusi Bahan Bangunan Berkelanjutan

BUMN

Ketahanan Finansial BUMN Konstruksi Indonesia Saat Krisis: Pelajaran dari Pandemi Covid-19

Dipublikasikan oleh Izura Ramadhani Fauziyah pada 09 Mei 2025


Pandemi Covid-19 telah mengguncang hampir seluruh sendi kehidupan, termasuk sektor konstruksi yang sangat bergantung pada investasi jangka panjang dan proyek-proyek pemerintah. Di Indonesia, dampak pandemi sangat terasa pada tahun 2020 ketika ekonomi resmi memasuki resesi setelah dua kuartal berturut-turut mencatatkan pertumbuhan negatif. Pada kuartal kedua 2020, PDB turun sebesar 5,32 persen dan di kuartal ketiga, penurunan masih terjadi sebesar 3,49 persen.

Sektor konstruksi mengalami kontraksi signifikan dengan penurunan pendapatan hingga 87,94 persen menurut data BPS. Hal ini terjadi karena anggaran pembangunan dialihkan untuk penanganan pandemi, menyebabkan banyak proyek ditunda atau dibatalkan. Empat BUMN yang tercatat di Bursa Efek Indonesia—PT Adhi Karya (ADHI), PT Pembangunan Perumahan (PTPP), PT Waskita Karya (WSKT), dan PT Wijaya Karya (WIKA)—menjadi representasi bagaimana sektor ini menghadapi badai ekonomi yang belum pernah terjadi sebelumnya.

Fokus Penelitian: Mengukur Ketahanan dan Potensi Kebangkrutan

Penelitian ini bertujuan menilai kinerja keuangan keempat BUMN konstruksi dan memprediksi potensi kebangkrutan menggunakan dua pendekatan utama:

  1. Analisis rasio keuangan berdasarkan Keputusan Menteri BUMN No. KEP-100/MBU/2002, yang meliputi rasio profitabilitas, likuiditas, aktivitas, dan solvabilitas.
  2. Metode Altman Z-Score, untuk memprediksi kondisi finansial perusahaan: aman, rawan, atau kritis (distress).

Penelitian mencakup data dari laporan keuangan tahunan 2019, 2020, dan 2021 untuk menangkap dampak sebelum dan selama krisis.

ADHI: Terpuruk, Tapi Mulai Bangkit

Kinerja keuangan PT Adhi Karya mencerminkan tekanan berat dari pandemi. Pada 2019, Return on Equity (ROE) perusahaan berada di angka sehat 9,73 persen. Namun, angka ini anjlok menjadi 0,43 persen pada 2020, sebelum sedikit membaik menjadi 1,53 persen di 2021.

Pendapatan ADHI turun 29 persen dari Rp 15,31 triliun pada 2019 menjadi Rp 10,83 triliun pada 2020, dan naik sedikit ke Rp 11,53 triliun pada 2021. Namun laba bersih mengalami penurunan ekstrem sebesar 96 persen pada 2020, dari Rp 665 miliar ke Rp 23,7 miliar.

Likuiditas pun tergerus. Rasio lancar turun dari 123 persen pada 2019 menjadi 101 persen pada 2021. Tingkat hutang semakin tinggi, ditunjukkan dengan menurunnya rasio ekuitas terhadap total aset dari 18,7 persen ke 14,1 persen. Altman Z-Score ADHI juga menunjukkan gejala mengkhawatirkan, merosot dari 1,82 (zona abu-abu) menjadi 0,56 (zona distress) pada 2021.

PTPP: Stabil Tapi Belum Pulih

Kinerja PT Pembangunan Perumahan menunjukkan pola fluktuasi yang khas. ROE PTPP menurun dari 6,97 persen pada 2019 menjadi 1,9 persen pada 2020, kemudian naik tipis ke 2,52 persen di 2021. Pendapatan perusahaan sempat jatuh 35,8 persen di tahun pertama pandemi, dari Rp 24,66 triliun menjadi Rp 15,83 triliun, dan naik sedikit di 2021.

Dari sisi perputaran aset dan inventori, efisiensi perusahaan menurun. Jumlah hari penyimpanan inventaris naik lebih dari dua kali lipat dalam dua tahun. Meskipun demikian, PTPP menunjukkan peningkatan dalam waktu penagihan piutang, menunjukkan bahwa pengelolaan arus kas sedikit membaik.

Rasio ekuitas terhadap total aset PTPP pun mengalami penurunan, dari 29,28 persen ke 25,79 persen. Dengan Altman Z-Score yang menurun dan tetap berada di zona risiko, perusahaan ini masih berada di bawah ancaman tekanan finansial.

WSKT: Jatuh ke Titik Terendah

PT Waskita Karya menjadi BUMN dengan dampak paling parah. ROE anjlok menjadi -57 persen pada 2020, menandakan kerugian besar. Bahkan hingga 2021, ROE masih negatif, meskipun membaik di angka -11,89 persen. Laba bersih negatif mencapai Rp 9,5 triliun pada 2020, sebelum “hanya” minus Rp 1,8 triliun di 2021.

Pendapatan menurun drastis dari Rp 31,39 triliun pada 2019 menjadi hanya Rp 12,22 triliun di 2021. Rasio kas dan aset lancar juga sempat jatuh, sebelum pulih drastis pada 2021, menandakan adanya intervensi keuangan atau efisiensi darurat.

Sayangnya, peningkatan likuiditas tidak diiringi dengan efisiensi. Jumlah hari penagihan piutang dan rotasi inventaris justru semakin memburuk. Z-Score WSKT sempat jatuh ke zona paling kritis namun menunjukkan perbaikan di tahun ketiga.

WIKA: Dari Paling Sehat Menjadi Kurang Sehat

PT Wijaya Karya menjadi BUMN dengan kondisi awal terbaik. Pada 2019, rasio keuangannya tergolong kuat dengan ROE 13,6 persen dan ROI hampir 9 persen. Namun pandemi menyebabkan penurunan tajam. ROE merosot ke 1,23 persen pada 2021, sementara laba bersih turun dari Rp 2,62 triliun menjadi hanya Rp 210 miliar.

Perusahaan tetap mampu menjaga rasio likuiditas di atas ambang aman, meski menurun dari 139 persen ke 100 persen. Rasio ekuitas terhadap aset WIKA menurun dari 30,9 persen ke 25,1 persen, menunjukkan kecenderungan pembiayaan utang yang meningkat.

Meskipun terjadi kemunduran, Z-Score WIKA tetap lebih baik dibandingkan BUMN lain, dan hanya sempat memasuki zona rawan tanpa terperosok ke zona distress.

Refleksi Umum: Apa yang Bisa Kita Pelajari?

Dari keempat perusahaan, terlihat pola umum dampak pandemi terhadap BUMN konstruksi:

  • Semua perusahaan mengalami penurunan laba bersih, ROI, dan ROE secara drastis pada 2020.
  • Rasio likuiditas menurun karena peningkatan kewajiban jangka pendek tanpa diimbangi kenaikan kas atau aset lancar.
  • Semakin kecil proporsi ekuitas dalam struktur modal, semakin besar tekanan terhadap solvabilitas perusahaan.
  • Prediksi Altman Z-Score menunjukkan bahwa seluruh BUMN konstruksi berada di zona rawan atau distress pada 2020 dan sebagian besar belum keluar dari kondisi tersebut hingga 2021.

Hal ini menandakan bahwa pandemi bukan hanya menghantam pendapatan, tapi juga melemahkan struktur keuangan secara mendalam.

Opini Kritis dan Rekomendasi

Penelitian ini sangat komprehensif dalam mengevaluasi kesehatan keuangan BUMN konstruksi. Namun ada beberapa catatan penting:

  1. Penelitian ini bisa dilengkapi dengan wawancara mendalam terhadap manajemen untuk memahami strategi pemulihan.
  2. Akan lebih kuat jika ada pembandingan dengan perusahaan swasta di sektor serupa untuk melihat apakah tekanan yang dirasakan eksklusif pada BUMN.
  3. Disarankan agar BUMN memiliki dana cadangan atau protokol mitigasi risiko yang lebih terstruktur menghadapi krisis masa depan.

Untuk pemangku kebijakan, riset ini memberi sinyal jelas bahwa reformasi manajemen keuangan BUMN konstruksi perlu dilakukan segera. Transparansi, efisiensi, dan diversifikasi proyek menjadi kunci keberlangsungan keuangan mereka.

Kesimpulan: Mengukur Kesehatan Finansial untuk Membangun Masa Depan

Pandemi menjadi ujian ketahanan sistem keuangan korporasi, dan BUMN konstruksi Indonesia menghadapi tantangan besar. Dengan menelaah laporan keuangan secara mendalam dan memanfaatkan alat prediktif seperti Altman Z-Score, kita dapat melihat dengan lebih jernih risiko dan peluang dari sisi keuangan.

Langkah selanjutnya harus fokus pada penguatan struktur modal, efisiensi operasional, dan pengembangan strategi pendanaan yang berkelanjutan. Karena hanya dengan kesehatan finansial yang kuat, pembangunan nasional bisa terus berjalan tanpa terhenti oleh krisis berikutnya.

Sumber asli:

Rachmadiosi Muhammad & Raden Aswin Rahadi (2023). Financial Performance Analysis and Financial Distress Prediction of Indonesia State-Owned Enterprises in The Construction Industry Listed on IDX Before and During Economic Crisis in the Covid-19 Pandemic Era (Period 2019 - 2021). International Journal of Current Science Research and Review, Vol. 6(1), pp. 158–180. DOI: 10.47191/ijcsrr/V6-i1-18

 

Selengkapnya
Ketahanan Finansial BUMN Konstruksi Indonesia Saat Krisis: Pelajaran dari Pandemi Covid-19

Industri Kontruksi

Revolusi Konstruksi di UEA: Menerapkan Last Planner System untuk Proyek yang Lebih Tertata

Dipublikasikan oleh Izura Ramadhani Fauziyah pada 09 Mei 2025


Di tengah kompleksitas proyek konstruksi di Timur Tengah, banyak kontraktor di Uni Emirat Arab masih bergantung pada sistem perencanaan tradisional seperti Critical Path Method (CPM). Meskipun metode ini telah lama digunakan, banyak bukti menunjukkan bahwa CPM sering kali tidak mampu mengelola ketidakpastian proyek, tidak mengakomodasi perubahan dinamis, dan gagal menciptakan aliran kerja yang lancar.

Dalam konteks ini, Last Planner System® (LPS) hadir sebagai pendekatan baru yang berbasis pada prinsip Lean Construction. LPS dirancang untuk mengatasi pemborosan, meningkatkan keandalan perencanaan, dan membangun kolaborasi nyata di antara semua pihak proyek.

Penelitian oleh Warid dan Hamani menjadi salah satu studi awal yang mengevaluasi penerapan LPS dalam lingkungan proyek konstruksi di UEA secara praktis dan kontekstual.

Apa Itu Last Planner System?

LPS merupakan sistem perencanaan berbasis kolaborasi dan komitmen, yang membagi proses menjadi beberapa tahapan:

  • Perencanaan awal: mengidentifikasi tujuan dan rencana global proyek
  • Perencanaan jangka pendek (look-ahead): merinci aktivitas realistis dalam jangka waktu 6–8 minggu
  • Perencanaan mingguan (Weekly Work Plan): aktivitas yang benar-benar akan dikerjakan dan dijanjikan pelaksanaannya
  • Analisis performa (PPC - Percent Plan Complete): mengukur akurasi pelaksanaan terhadap rencana

LPS tidak hanya mendorong perencanaan yang realistis tetapi juga membangun budaya tanggung jawab di antara para pelaku proyek.

Studi Kasus: Proyek Percontohan di Dubai

Peneliti menguji penerapan LPS pada proyek konstruksi 44 vila pracetak di Dubai, senilai 115 juta AED. Fokus utama studi adalah pada satu vila contoh (mock-up villa) yang semula dijadwalkan selesai dalam 44 hari. LPS diterapkan pada tahap pembangunan struktur atas dan aktivitas mingguan dipantau secara ketat.

Selama implementasi, beberapa komponen kunci seperti jadwal master, penjadwalan mundur (reverse phase scheduling), dan rencana kerja mingguan diterapkan dengan baik. Namun, indikator PPC dan analisis penyebab deviasi belum bisa dijalankan secara penuh karena keterbatasan waktu dan resistensi internal.

Beberapa hasil penting dari studi ini meliputi:

  • Koordinasi antar tim meningkat signifikan
  • Komunikasi antara kontraktor dan konsultan membaik
  • Motivasi pekerja meningkat karena perencanaan lebih terfokus

Namun juga ditemukan tantangan besar dalam keterlibatan tim lapangan dan resistensi manajemen terhadap pendekatan baru.

Hambatan Penerapan LPS di UEA

Berdasarkan observasi lapangan dan wawancara dengan 20 profesional proyek, penelitian ini mengidentifikasi berbagai hambatan di tiga level:

Level Organisasi

  • Rendahnya kesadaran terhadap LPS
  • Ketergantungan pada sistem perencanaan lama
  • Minimnya pelatihan dan sosialisasi

Level Proyek

  • Kurangnya komitmen dari pihak manajemen dan pelaksana
  • Budaya kerja individualis
  • Kontrak proyek (misalnya FIDIC 1999) yang tidak mendorong kolaborasi

Level Operasional

  • Keterbatasan waktu untuk pertemuan mingguan
  • Informasi teknis yang tidak lengkap
  • Tantangan logistik seperti keterlambatan material (misalnya keramik untuk pelapis lantai)

Salah satu hambatan unik di UEA adalah dominasi gaya kerja otoriter dan rendahnya partisipasi tim proyek dalam proses perencanaan, terutama karena keterbatasan waktu atau hierarki organisasi.

Analisis Wawancara: Apa Kata Profesional Proyek?

Peneliti mewawancarai 18 profesional konstruksi dari berbagai latar belakang: kontraktor, konsultan, dan klien. Mayoritas memiliki pengalaman 10–25 tahun. Temuan menarik dari wawancara ini antara lain:

  • Sebanyak 11 dari 18 responden tidak mengetahui secara utuh konsep LPS, meskipun sebagian besar telah menggunakan praktik serupa seperti micro-planning dan perencanaan mingguan
  • Semua responden setuju bahwa pendekatan seperti LPS sangat potensial diterapkan di UEA, meski dengan kondisi tertentu
  • Hanya 3 dari 18 yang mendukung penuh kolaborasi dalam perencanaan, sementara 9 responden secara terbuka menyatakan lebih suka bekerja sendiri

Ini menunjukkan bahwa meski secara teknis LPS cocok diterapkan, aspek budaya organisasi dan perilaku kerja menjadi tantangan terbesar.

Manfaat Penerapan LPS Berdasarkan Studi Ini

Beberapa keuntungan nyata yang diamati selama studi kasus meliputi:

  • Penurunan ketidakpastian dalam pelaksanaan proyek
  • Identifikasi lebih awal terhadap hambatan kerja (misalnya material belum tersedia)
  • Meningkatkan keterlibatan tim pelaksana dalam proses perencanaan
  • Mendorong peningkatan akurasi penjadwalan aktivitas

Namun, keberhasilan implementasi LPS sangat bergantung pada faktor manusia: kesediaan berkolaborasi, keterbukaan komunikasi, dan keterlibatan aktif semua pihak proyek.

Rekomendasi untuk Meningkatkan Adopsi LPS

Penelitian ini menyarankan beberapa langkah strategis untuk meningkatkan adopsi LPS di UEA:

Level Organisasi

  • Masukkan LPS sebagai kriteria dalam tender proyek
  • Sertakan klausul LPS dalam kontrak kerja
  • Adakan pelatihan LPS untuk manajer proyek dan site engineer

Level Proyek

  • Jadwalkan pertemuan mingguan secara konsisten
  • Pastikan keterlibatan semua pihak sejak awal proyek
  • Kembangkan sistem dokumentasi yang efisien untuk melacak hasil dan akar masalah

Level Operasional

  • Gunakan alat bantu sederhana (misalnya spreadsheet) sebelum beralih ke software canggih
  • Hubungkan hasil PPC ke indikator performa proyek
  • Bangun budaya berbagi informasi dan belajar dari kesalahan

Opini Kritis: LPS Lebih dari Sekadar Alat, Ini Soal Pola Pikir

Salah satu poin kuat dari penelitian ini adalah penekanan bahwa LPS bukan hanya sekadar metode atau alat perencanaan, melainkan pola pikir kolaboratif. Banyak organisasi gagal bukan karena alatnya buruk, tapi karena pola kerja lama yang tidak berubah. LPS menuntut perubahan mendasar dalam cara proyek dijalankan—dari yang berbasis kontrol ke yang berbasis komitmen.

Dalam konteks UEA, LPS bisa menjadi solusi jangka panjang bagi proyek-proyek berskala besar dan kompleks. Namun agar berhasil, pendekatan ini harus dilihat sebagai proses pembelajaran, bukan sebagai instruksi yang langsung bisa dijalankan.

Penutup: Waktu yang Tepat untuk Transformasi Perencanaan Proyek

Penerapan LPS dalam proyek konstruksi di UEA masih dalam tahap awal. Namun, studi ini menunjukkan bahwa potensi dan penerimaan terhadap pendekatan lean sangat besar. Kolaborasi lebih erat, perencanaan yang realistis, dan pelaksanaan yang lebih terukur bisa mendorong efisiensi jangka panjang.

Dibutuhkan komitmen dari seluruh pihak—manajemen, konsultan, hingga pelaksana lapangan—untuk menjadikan LPS bukan sekadar eksperimen, melainkan standar baru dalam industri konstruksi.

Sumber asli:

Warid, O., & Hamani, K. (2023). Lean Construction in the UAE: Implementation of Last Planner System®. Lean Construction Journal, Vol. 2023, pp. 1–20.

Selengkapnya
Revolusi Konstruksi di UEA: Menerapkan Last Planner System untuk Proyek yang Lebih Tertata

Building Information Modeling

Model Pendukung Implementasi Building Information Modeling (BIM) melalui Evaluasi Kematangan dan Manajemen Faktor Keberhasilan Kritis

Dipublikasikan oleh Izura Ramadhani Fauziyah pada 09 Mei 2025


Dalam era transformasi digital industri konstruksi, Building Information Modeling (BIM) menjadi pusat perhatian karena potensinya dalam meningkatkan efisiensi, mengurangi kesalahan, dan menyatukan berbagai pemangku kepentingan dalam satu platform terintegrasi. Artikel “Building Information Modeling Implementation through Maturity Evaluation and Critical Success Factors Management” karya Romain Morlhon, Robert Pellerin, dan Mario Bourgault dari École Polytechnique de Montréal memberikan panduan sistematis tentang bagaimana mengimplementasikan BIM secara efektif dengan mempertimbangkan tingkat kematangan organisasi dan faktor keberhasilan kritis (Critical Success Factors atau CSF).

Artikel ini merupakan salah satu yang paling komprehensif dalam menawarkan model praktis bagi organisasi yang ingin mengadopsi atau meningkatkan penerapan BIM dalam proses kerja mereka.

Konteks dan Tantangan Penerapan BIM

Meskipun BIM telah banyak dikenal sejak awal tahun 2000-an, penetrasinya dalam industri konstruksi masih tergolong lambat. Salah satu alasannya adalah resistensi terhadap perubahan, minimnya standar adopsi, dan kurangnya pemahaman tentang bagaimana mengintegrasikan BIM ke dalam proses yang sudah ada. Bahkan, laporan menyebutkan bahwa kekurangan interoperabilitas dalam industri konstruksi AS menambah biaya sebesar USD 6,12 per kaki persegi. Ini menunjukkan adanya potensi kerugian besar akibat rendahnya adopsi sistem informasi terintegrasi seperti BIM.

Studi ini mengidentifikasi bahwa kendala dalam implementasi BIM tidak hanya berasal dari aspek teknis, tetapi juga dari sisi manajemen, budaya organisasi, pelatihan SDM, hingga koordinasi antar pemangku kepentingan.

Tujuan Penelitian

Tujuan utama dari artikel ini adalah mengembangkan sebuah model bantuan bagi organisasi yang ingin mengimplementasikan BIM. Model ini memadukan tiga komponen:

  1. Evaluasi tingkat kematangan organisasi menggunakan Capability Maturity Model (CMM) dari NBIMS.
  2. Identifikasi faktor-faktor keberhasilan kritis (CSF) yang memengaruhi keberhasilan implementasi dan pemanfaatan BIM.
  3. Daftar tindakan nyata yang dikaitkan langsung dengan tiap CSF untuk membantu organisasi memperbaiki area tertentu.

Tiga Pilar Pendekatan Model: CMM, CSF, dan Tindakan

1. Capability Maturity Model (CMM)

CMM digunakan untuk menilai sejauh mana BIM telah diterapkan dalam suatu organisasi. Penilaian dilakukan terhadap 11 kategori seperti:

  • Kekayaan data (Data Richness)
  • Pandangan siklus hidup proyek
  • Manajemen perubahan
  • Proses bisnis
  • Ketepatan informasi
  • Interoperabilitas sistem

Masing-masing aspek dinilai dari level 1 hingga 10. Misalnya, dalam kategori Data Richness, level 1 berarti hanya data dasar yang tersedia, sedangkan level 10 menunjukkan bahwa data sepenuhnya terintegrasi dengan manajemen pengetahuan (knowledge management).

Penilaian ini memberikan gambaran umum bagi organisasi tentang di mana mereka berada dan area mana yang perlu diperkuat.

2. Critical Success Factors (CSFs)

Berdasarkan kajian literatur dan studi kasus, penulis mengidentifikasi beberapa CSF utama yang berpengaruh langsung terhadap implementasi dan pemanfaatan BIM, antara lain:

  • Business Process Reengineering (reka ulang proses bisnis)
  • Standardization (standarisasi informasi dan metadata)
  • Keterlibatan pihak eksternal (subkontraktor, vendor)
  • Edukasi tentang manajemen informasi
  • Pelatihan teknis terkait alat BIM
  • Proses pemilihan sistem dan perangkat lunak yang tepat

CSF ini tidak hanya penting saat implementasi, tetapi juga berdampak jangka panjang terhadap keberhasilan penggunaan BIM.

3. Tindakan Praktis

Setiap CSF dikaitkan dengan beberapa tindakan nyata. Misalnya:

  • Untuk Business Process Reengineering: membuat model proses bisnis “as-is” dan “to-be” agar transisi ke BIM lebih terstruktur.
  • Untuk Standardization: memperkenalkan metadata dan standar model bangunan agar data lebih mudah dikelola dan diakses.
  • Untuk pelatihan teknis: membuat daftar kebutuhan pelatihan dan menetapkan program onboarding untuk anggota baru tim.

Tindakan-tindakan ini didasarkan pada pengalaman nyata di proyek-proyek sebelumnya dan diturunkan dari rekomendasi para ahli.

Studi Kasus: Proyeksi Implementasi Model dalam Proyek Nyata

Meskipun artikel ini tidak menyebutkan satu studi kasus spesifik secara rinci, model yang ditawarkan memungkinkan penerapannya di berbagai jenis proyek konstruksi—baik gedung komersial, rumah sakit, hingga infrastruktur publik.

Sebagai contoh, dalam proyek rumah sakit skala besar, BIM digunakan untuk mendeteksi konflik antar komponen desain (clash detection). Namun, proyek tersebut menemui kendala karena sebagian besar subkontraktor belum terbiasa dengan BIM. Dengan menggunakan model dari artikel ini, organisasi dapat menilai bahwa aspek “pelatihan teknis” dan “keterlibatan pihak eksternal” mendapat skor rendah dalam CMM. Maka fokus tindakan difokuskan pada pelatihan dan adaptasi kontrak kerja yang menyertakan persyaratan keterampilan BIM.

Keunggulan Model Ini

  • Modular dan fleksibel: Organisasi dapat menggunakan sebagian atau seluruh bagian model sesuai dengan kebutuhan dan sumber daya mereka.
  • Terkoneksi langsung dengan tindakan: Model ini tidak hanya memberikan diagnosis masalah, tetapi juga solusi berbasis bukti.
  • Memadukan aspek teknis dan manajerial: Inilah yang sering kali diabaikan dalam pendekatan lain yang hanya fokus pada perangkat lunak.

Kritik dan Rekomendasi

Penulis mengakui bahwa model ini belum sepenuhnya tervalidasi oleh para praktisi industri. Oleh karena itu, mereka merancang rencana validasi menggunakan metode Delphi, yakni konsultasi berulang dengan para ahli untuk menguji relevansi tiap CSF dan tindakan.

Selain itu, penulis menyarankan adanya:

  • Penambahan tingkat kesulitan pada tiap tindakan untuk membantu organisasi memprioritaskan.
  • Pembaruan model sesuai perkembangan versi CMM terbaru dari NBIMS, yakni I-CMM yang lebih interaktif.

Relevansi Global dan Implikasi untuk Indonesia

Meskipun penelitian ini berbasis di Kanada, temuan dan modelnya sangat relevan untuk industri konstruksi di negara berkembang seperti Indonesia. Dengan banyaknya proyek infrastruktur skala besar dan meningkatnya adopsi digital, adopsi BIM menjadi keniscayaan.

Namun, rendahnya kesiapan SDM dan infrastruktur TI menjadi tantangan. Di sinilah model dari Morlhon dkk. bisa menjadi alat bantu strategis dalam menyusun roadmap BIM nasional, dimulai dari evaluasi kematangan hingga pelatihan terstruktur.

Kesimpulan

Artikel ini memberikan kontribusi nyata dalam menjawab tantangan klasik implementasi BIM—yakni ketidakjelasan panduan langkah demi langkah. Dengan menggabungkan Capability Maturity Model, daftar Critical Success Factors, dan tindakan konkret, penulis menawarkan pendekatan sistematis yang bisa diadopsi dan disesuaikan oleh berbagai organisasi konstruksi.

Model ini ideal tidak hanya bagi perusahaan besar yang sudah menggunakan BIM, tetapi juga bagi kontraktor menengah yang baru memulai. Ia menjembatani kesenjangan antara teori dan praktik serta menekankan pentingnya kombinasi kesiapan teknis dan manajerial dalam suksesnya implementasi BIM.

Sumber artikel asli:
Romain Morlhon, Robert Pellerin, Mario Bourgault. Building Information Modeling Implementation through Maturity Evaluation and Critical Success Factors Management. Procedia Technology 16 (2014) 1126–1134.

 

Selengkapnya
Model Pendukung Implementasi Building Information Modeling (BIM) melalui Evaluasi Kematangan dan Manajemen Faktor Keberhasilan Kritis

Manajemen Konstruksi

Visual Management dalam Lean Construction — Meningkatkan Transparansi dan Efisiensi Proyek Konstruksi

Dipublikasikan oleh Izura Ramadhani Fauziyah pada 09 Mei 2025


Dalam dunia konstruksi yang penuh dengan dinamika dan banyak pihak terlibat, komunikasi visual menjadi kunci utama keberhasilan proyek. Artikel ini menyoroti betapa pentingnya penggunaan Visual Management (VM) sebagai bagian dari pendekatan Lean Construction. Diadaptasi dari kesuksesan lean manufacturing milik Toyota, pendekatan lean dalam konstruksi bertujuan mengurangi limbah dan meningkatkan nilai proyek. VM menjadi alat bantu yang sangat efektif dalam mendukung tujuan tersebut karena menyederhanakan komunikasi dan pengambilan keputusan langsung di lapangan.

Tujuan Penelitian dan Metodologi

Penelitian ini bertujuan menganalisis penggunaan dan efektivitas 12 alat visual dalam proyek konstruksi di India. Data dikumpulkan melalui survei terhadap 725 profesional konstruksi (kontraktor, konsultan, akademisi, dan lembaga pemerintah), yang menghasilkan 153 tanggapan valid. Metode analisis yang digunakan meliputi:

  • Reliability analysis (nilai Cronbach’s alpha: 0,869)
  • Relative Importance Index (RII)
  • Two-step cluster analysis dengan perangkat lunak SPSS 23

Pendekatan kuantitatif dan kualitatif dikombinasikan untuk memberikan gambaran menyeluruh.

Visual Management Tools: Alat yang Menyederhanakan Kompleksitas

Berikut ini beberapa alat visual yang dievaluasi dalam penelitian:

Big Room

Big Room adalah ruang kolaboratif yang dilengkapi dengan papan informasi, kode warna, dan jadwal kerja (LPS). Pertemuan harian 15 menit (disebut hurdle meeting) menjadi sarana untuk mengevaluasi status proyek, membahas kendala, dan menyelaraskan jadwal antar tim. RII Big Room: 92% (paling tinggi dalam survei)

5S (Sort, Set in Order, Shine, Standardize, Sustain)

Teknik manajemen lokasi kerja ini berasal dari Jepang dan bertujuan mengatur, membersihkan, dan menstandarkan lingkungan kerja agar lebih efisien. 5S memungkinkan pengurangan waktu pencarian alat dan meningkatkan disiplin visual. RII 5S: 91%

Last Planner System (LPS)

Sistem perencanaan kolaboratif lima tahap ini memungkinkan perencanaan jangka pendek yang realistis dan disepakati bersama, mengurangi ketidakpastian di lapangan. RII LPS: 90%

Building Information Modeling (BIM)

BIM digunakan untuk menyatukan semua informasi desain dan teknik dalam satu model digital. BIM membantu dalam clash detection dan memvisualisasikan hasil akhir proyek sejak awal. RII BIM: 88%

Augmented Construction Field Visualization

Teknologi realitas tertambah ini memproyeksikan desain 3D ke lokasi nyata, memudahkan stakeholder memahami hasil akhir dan melakukan revisi desain sebelum pekerjaan dimulai. RII: 85%

Temuan Utama: RII dan Cluster Analysis

Penelitian mengidentifikasi tiga kategori utama alat berdasarkan nilai RII:

  1. Paling signifikan:
    • Big Rooms (92%)
    • 5S (91%)
    • LPS (90%)
  2. Signifikan:
    • BIM (88%)
    • Display boards (86%)
    • Augmented reality (85%)
  3. Kurang signifikan:
    • Poka-Yoke (mistake proofing): 85%
    • Color coding: 84%
    • Kanban cards: 83%
    • Andon: 73%
    • Heijunka: 72%

Salah satu insight menarik dari cluster analysis adalah bahwa BIM, meskipun tidak mendapatkan RII tertinggi, menjadi predictor paling kuat dalam meningkatkan nilai proyek.

Studi Kasus: Praktik Visual Management di Lapangan

Salah satu studi kasus menampilkan pelaksanaan Big Room yang memperlihatkan manfaat besar dalam menyelaraskan komunikasi antar kontraktor dan subkontraktor. Misalnya, dengan memasang informasi status proyek secara visual, semua pekerja dari berbagai latar belakang bahasa dapat langsung memahami prioritas dan kendala tanpa harus melalui rapat panjang.

Sebagai contoh, ketika proyek mengalami keterlambatan dalam pengiriman beton pracetak, papan visual menampilkan status logistik real-time yang memungkinkan tim proyek segera mengatur ulang urutan pekerjaan. Ini menghindarkan biaya idle tinggi yang biasanya muncul karena informasi tidak tersebar dengan cepat.

Tantangan dan Hambatan

Meskipun manfaatnya jelas, masih banyak proyek yang belum menerapkan visual management. Alasan utamanya:

  • Minimnya pelatihan bagi pekerja dan manajer proyek
  • Ketergantungan pada metode komunikasi tradisional
  • Ketidaktahuan akan manfaat VM sebagai bagian dari strategi lean

Penggunaan alat seperti Heijunka masih sangat minim, padahal teknik ini dapat mengatur produksi secara merata dan menghindari kelebihan stok yang sering kali membebani lokasi proyek.

Rekomendasi Penulis

Penulis memberikan beberapa rekomendasi kunci:

  1. Pendidikan dan Pelatihan
    Semua stakeholder harus diberikan pelatihan tentang alat VM dan manfaatnya terhadap efisiensi proyek.
  2. Eksplorasi lebih lanjut terhadap Heijunka
    Meski RII rendah, Heijunka sangat bermanfaat untuk mengatur logistik dan pengadaan sesuai kebutuhan real-time.
  3. Integrasi Big Room secara luas
    Karena Big Room menggabungkan banyak alat visual dalam satu tempat, sangat disarankan untuk diterapkan di semua proyek berskala besar.
  4. Motivasi berbasis visual
    Menampilkan kinerja pekerja terbaik di papan informasi dapat menjadi pendorong budaya kerja yang lebih kompetitif dan produktif.

Opini Penulis Resensi: Visual Management sebagai Masa Depan Lean Konstruksi

Artikel ini menjadi jembatan penting antara teori lean dan praktik lapangan yang nyata. Visual Management tidak hanya sekadar alat komunikasi, tetapi juga platform koordinasi, pemantauan, hingga motivasi kerja. Dalam konteks proyek-proyek konstruksi di Indonesia yang juga memiliki masalah fragmentasi stakeholder dan keterlambatan logistik, pendekatan ini sangat relevan.

Dengan era digital yang terus berkembang dan adopsi teknologi seperti BIM semakin umum, visual management menjadi pilar utama dalam transformasi manajemen konstruksi yang lebih transparan, efisien, dan kolaboratif. Ini bukan sekadar tren, tapi kebutuhan.

Sumber asli artikel:
Subhav Singh & Kaushal Kumar. A study of lean construction and visual management tools through cluster analysis. Ain Shams Engineering Journal, 12 (2021), 1153–1162.

 

Selengkapnya
Visual Management dalam Lean Construction — Meningkatkan Transparansi dan Efisiensi Proyek Konstruksi

Industri Kontruksi

Transformasi Industri Konstruksi: Menggali Potensi Lean Construction melalui Otomatisasi Sistem Perencanaan

Dipublikasikan oleh Izura Ramadhani Fauziyah pada 09 Mei 2025


Industri konstruksi tengah mengalami transformasi besar, dari metode tradisional yang padat tenaga kerja ke pendekatan yang lebih ramping, efisien, dan berbasis teknologi. Salah satu paradigma penting dalam perubahan ini adalah penerapan Lean Construction, dengan Last Planner System (LPS) sebagai fondasinya. Artikel yang ditulis oleh Ajay Kumar Agrawal dan timnya menggali secara sistematis bagaimana otomatisasi dalam perencanaan dan pengendalian melalui LPS dapat mempercepat adopsi lean construction.

Apa itu Lean Construction dan LPS?

Lean construction merupakan adaptasi prinsip lean manufacturing dalam konteks konstruksi, yang bertujuan menghilangkan pemborosan dan meningkatkan nilai bagi pelanggan. Dalam praktiknya, LPS adalah alat utama lean construction yang memungkinkan para pelaku proyek melakukan perencanaan secara kolaboratif, akurat, dan berkelanjutan. Namun, tanpa dukungan teknologi, sistem ini masih sering bergantung pada pencatatan manual, sehingga rentan terhadap kesalahan, keterlambatan, dan inefisiensi.

Tujuan dan Metodologi Penelitian

Penelitian ini menggunakan metode systematic literature review (SLR) terhadap 84 publikasi antara 2001 hingga 2021 untuk mengidentifikasi:

  • Kategori dan tingkat otomatisasi dalam perencanaan dan pengendalian LPS.
  • Tren adopsi teknologi digital dalam lean construction.
  • Celah penelitian dan peluang pengembangan ke depan.

Pendekatan SLR digunakan untuk memastikan tinjauan yang komprehensif dan objektif terhadap perkembangan terkini.

Temuan Utama: Otomatisasi sebagai Katalis Lean Construction

1. Pertumbuhan Publikasi yang Signifikan

Dalam 20 tahun terakhir, jumlah publikasi tentang otomatisasi dalam LPS meningkat tajam. Jika pada awal 2000-an hanya terdapat segelintir studi, maka pada tahun 2021 tercatat lebih dari 12 publikasi tahunan. Ini mencerminkan meningkatnya minat akademisi dan praktisi terhadap efisiensi digital dalam proyek konstruksi.

2. Area-Area Otomatisasi dalam LPS

Penelitian ini mengidentifikasi empat area utama dalam LPS yang paling sering diotomatisasi:

  • Perencanaan jangka pendek (lookahead planning).
  • Pembuatan dan pelacakan rencana mingguan (weekly work planning).
  • Analisis keterlambatan dan penyebab (constraints analysis).
  • Pelaporan dan dashboard manajemen visual.

Otomatisasi terbukti meningkatkan keterlibatan tim lapangan, mengurangi waktu pemrosesan data, dan membantu pengambilan keputusan secara real-time.

3. Teknologi yang Mendukung Otomatisasi

Beberapa teknologi utama yang mendukung implementasi otomatisasi LPS meliputi:

  • Building Information Modeling (BIM).
  • Mobile apps dan cloud-based platforms.
  • Artificial Intelligence dan Machine Learning untuk prediksi kendala dan risiko.
  • Internet of Things (IoT) untuk pelacakan lokasi dan status pekerjaan.

4. Studi Kasus Menarik

Salah satu studi yang dikaji adalah implementasi sistem LPS otomatis di proyek rumah sakit di Finlandia. Dalam proyek ini, penggunaan BIM 4D dan cloud planning tools menghasilkan peningkatan akurasi perencanaan mingguan sebesar 27% dan pengurangan waktu rapat koordinasi hingga 40%.

Contoh lain datang dari proyek infrastruktur jalan raya di Kanada, di mana penggunaan aplikasi seluler untuk pelaporan kemajuan harian memungkinkan pengumpulan data real-time dari lapangan dan integrasi otomatis ke dalam sistem pelaporan mingguan.

Analisis Kritis: Apakah Otomatisasi Selalu Efektif?

Meskipun manfaatnya signifikan, artikel ini juga menyoroti sejumlah tantangan dalam penerapan otomatisasi LPS:

  • Resistensi dari tim lapangan karena kurangnya literasi digital.
  • Tantangan interoperabilitas antar berbagai platform perangkat lunak.
  • Keterbatasan dalam adaptasi konteks lokal, khususnya di negara berkembang dengan infrastruktur digital yang belum matang.

Hal ini mengindikasikan bahwa teknologi bukanlah solusi tunggal. Diperlukan pendekatan holistik yang mencakup pelatihan, perubahan budaya organisasi, dan kebijakan pendukung.

Perbandingan dengan Penelitian Lain

Berbeda dengan studi sebelumnya yang berfokus pada pengembangan perangkat lunak perencanaan atau aspek manajerial LPS, artikel ini menyatukan kedua aspek tersebut melalui pendekatan sistematis. Agrawal et al. berhasil menghubungkan dimensi teknologi dan praktik manajerial dengan kuat.

Sebagai perbandingan, studi oleh Hamzeh (2012) menekankan pentingnya kolaborasi dalam LPS tetapi minim eksplorasi teknologi. Sementara itu, penelitian oleh Dave et al. (2018) mengulas integrasi BIM dalam lean construction, namun tidak secara spesifik mengulas otomatisasi pada tiap komponen LPS. Ini menjadikan artikel ini sebagai jembatan penting dalam literatur akademik.

Implikasi untuk Praktisi dan Industri

Artikel ini menyampaikan pesan penting bagi perusahaan konstruksi yang ingin meningkatkan daya saing di era digital:

  1. Mulailah dari integrasi sederhana, seperti penggunaan spreadsheet otomatis atau aplikasi mobile untuk pelaporan.
  2. Gunakan LPS sebagai pintu masuk transformasi lean, bukan hanya alat perencanaan.
  3. Investasikan pada pelatihan tim lapangan, karena keberhasilan teknologi bergantung pada penggunaannya di lapangan.
  4. Kembangkan kolaborasi lintas fungsi, terutama antara divisi IT, engineering, dan operasional proyek.

Menuju Masa Depan Lean Construction

Agrawal dan timnya menyarankan bahwa masa depan lean construction akan sangat bergantung pada penggabungan teknologi seperti:

  • AI berbasis data proyek historis untuk membantu perencanaan prediktif.
  • Integrasi IoT dengan sistem visualisasi BIM, untuk pemantauan real-time progres fisik proyek.
  • Sistem perencanaan berbasis blockchain yang transparan dan tidak dapat dimanipulasi.

Ini membuka peluang besar bagi pengembang perangkat lunak, konsultan manajemen konstruksi, dan institusi pelatihan untuk memperkuat kompetensi digital para profesional konstruksi.

Kesimpulan: Saatnya Beralih ke Perencanaan Cerdas

Resensi ini menegaskan bahwa artikel Agrawal et al. memberi kontribusi signifikan terhadap pemahaman kita tentang transformasi lean construction. Dengan menunjukkan bukti empiris dan analisis yang tajam, artikel ini menyarankan bahwa otomatisasi bukanlah tren sesaat, melainkan kebutuhan strategis.

Dalam dunia konstruksi yang semakin kompleks dan cepat berubah, mengandalkan metode manual tidak lagi cukup. Otomatisasi LPS membawa harapan baru untuk efisiensi, ketepatan, dan kolaborasi yang lebih baik—kunci sukses proyek-proyek masa depan.

Sumber artikel asli:
Agrawal, A. K., Singh, R. K., & Tiwari, M. K. (2024). Moving toward lean construction through automation of planning and control in last planner system: A systematic literature review. Journal of Building Engineering, Volume 96, 107369. Elsevier.

 

Selengkapnya
Transformasi Industri Konstruksi: Menggali Potensi Lean Construction melalui Otomatisasi Sistem Perencanaan
« First Previous page 399 of 1.301 Next Last »