Ketenagakerjaan
Dipublikasikan oleh Sirattul Istid'raj pada 20 Mei 2025
Pendahuluan: Mengapa Produktivitas di Proyek Konstruksi Itu Kunci
Produktivitas tenaga kerja merupakan salah satu indikator utama dalam keberhasilan proyek konstruksi. Dalam dunia konstruksi yang kompetitif, ketepatan waktu dan efisiensi biaya menjadi prioritas utama. Namun, sering kali terdapat perbedaan mencolok antara data produktivitas yang ditetapkan secara normatif dalam standar nasional (seperti SNI dan Permen PUPR) dengan realita di lapangan.
Studi yang dilakukan oleh Arif Fadillah, Firdasari, dan Lely Masthura dari Universitas Samudra menyoroti hal ini dengan tajam melalui pengamatan langsung terhadap proyek pembangunan Gedung Staf Kodim 0104 di Aceh Timur. Penelitian ini tidak hanya mengukur produktivitas aktual dalam pekerjaan pasangan bata dan plasteran dinding, tetapi juga membandingkannya dengan parameter dari Permen PUPR No. 1 Tahun 2022. Hasilnya memberikan wawasan yang menarik dan sangat relevan untuk para pelaku industri konstruksi.
Metode Work Study: Pendekatan Observasional yang Akurat
Penelitian ini menggunakan metode work study, yaitu pendekatan observasional yang memungkinkan pengukuran langsung terhadap kinerja pekerja di lapangan. Observasi dilakukan selama tujuh hari kerja pada jam kerja normal (08.00–17.00) dengan satuan produktivitas dalam m²/hari.
Data Primer & Sekunder
Primer: Observasi langsung dan wawancara dengan tenaga kerja (tukang, pekerja, mandor).
Sekunder: Gambar kerja proyek, harga satuan upah daerah Langsa 2023, dan Permen PUPR No. 1 Tahun 2022.
Mengapa Ini Penting?
Pendekatan langsung ini sangat efektif dalam menangkap dinamika sebenarnya di lapangan, termasuk pengaruh pengalaman kerja, ketersediaan material, manajemen proyek, dan koordinasi antar pekerja—faktor yang sering tidak tercermin dalam dokumen regulatif.
Hasil Utama: Produktivitas Nyata vs Standar Pemerintah
Pekerjaan Pasangan Bata
Rata-rata produktivitas di lapangan: 9,94 m²/hari
Standar Permen PUPR: 8,33 m²/hari
Selisih: +1,61 m²/hari
Rasio perbandingan produktivitas: 1,19 : 1
Pekerjaan Plasteran Dinding
Rata-rata produktivitas di lapangan: 13,54 m²/hari
Standar Permen PUPR: 6,67 m²/hari
Selisih: +6,87 m²/hari
Rasio perbandingan produktivitas: 2,03 : 1
Interpretasi:
Produktivitas di lapangan secara signifikan lebih tinggi dibandingkan dengan standar nasional. Ini menunjukkan bahwa faktor-faktor lokal seperti keterampilan pekerja, efektivitas manajemen material, dan sistem kerja overlapping (bertumpukan) mampu mendorong efisiensi lebih besar dari yang diperkirakan.
Biaya Upah: Apakah Produktivitas Tinggi Selalu Lebih Mahal?
Salah satu temuan menarik dari studi ini adalah bahwa peningkatan produktivitas tidak selalu berbanding lurus dengan peningkatan biaya.
Biaya Upah Pasangan Bata
Lapangan: Rp 39.979/m²
Permen PUPR: Rp 46.015/m²
Efisiensi biaya: 13% lebih murah
Biaya Upah Plasteran Dinding
Lapangan: Rp 29.350/m²
Permen PUPR: Rp 53.160/m²
Efisiensi biaya: 44% lebih murah
Penilaian Kritis:
Temuan ini menantang asumsi konvensional bahwa efisiensi kerja selalu memerlukan biaya lebih tinggi. Faktanya, dengan perencanaan kerja yang matang dan pengawasan ketat, hasil kerja dapat lebih optimal dengan biaya yang relatif lebih rendah.
Studi Kasus Aceh Timur: Kombinasi Efisien Tenaga Kerja
Kombinasi optimal dalam studi ini adalah 1 tukang, 1 pekerja, 1 mandor, dan 1 kepala tukang. Kombinasi ini menunjukkan produktivitas yang tinggi dengan biaya yang tetap rasional.
Faktor Penentu Keberhasilan Kombinasi Ini:
Pengalaman kerja yang tinggi dari tenaga kerja lokal
Penempatan material yang efisien
Koordinasi kerja yang baik di lapangan
Pengawasan langsung dan berkelanjutan
Perbandingan dengan Studi Sebelumnya
Beberapa studi sebelumnya, seperti yang dilakukan oleh Handayani et al. (2021) di Jambi, menunjukkan bahwa tenaga kerja lokal cenderung lebih produktif daripada pekerja luar daerah karena lebih terbiasa dengan kondisi setempat. Hasil ini konsisten dengan temuan dari Aceh Timur, yang memperkuat argumen bahwa pendekatan berbasis konteks lokal sangat penting dalam konstruksi.
Implikasi Praktis bagi Dunia Konstruksi
1. Revisi Kebijakan Nasional
Standar nasional seperti Permen PUPR sebaiknya lebih fleksibel terhadap dinamika lokal. Evaluasi berbasis daerah dapat menghasilkan indeks produktivitas yang lebih realistis.
2. Perencanaan Tenaga Kerja yang Lebih Adaptif
Penggunaan tenaga kerja dengan pengalaman lokal serta penerapan sistem kerja bertumpukan dapat secara nyata meningkatkan produktivitas tanpa menambah biaya signifikan.
3. Optimalisasi Manajemen Material
Penempatan dan distribusi material yang tepat menjadi kunci utama efisiensi pekerjaan. Manajemen material yang buruk sering kali menjadi penyebab keterlambatan dan pemborosan biaya.
Kritik & Saran Pengembangan Penelitian
Kritik:
Studi terbatas pada dua jenis pekerjaan (bata dan plaster).
Tidak melibatkan variasi jenis proyek (residensial, komersial, dll.).
Tidak membahas kualitas hasil pekerjaan sebagai penyeimbang produktivitas.
Saran:
Penelitian lanjutan dapat mencakup pekerjaan struktural dan finishing lain seperti pengecatan atau pemasangan plafon.
Perlu dilakukan kajian lintas daerah untuk membandingkan produktivitas antar provinsi.
Kombinasikan dengan pendekatan BIM (Building Information Modeling) untuk analisis digital produktivitas.
Sumber Resmi:
Fadillah, A., Firdasari, & Masthura, L. (2024). Analisis Produktivitas Tenaga Kerja pada Proyek Konstruksi Gedung: Studi Kasus Pembangunan Gedung Staf Kodim 0104, Aceh Timur. Jurnal Ilmiah TELSINAS, Volume 7, No. 1.
DOI: https://doi.org/10.38043/telsinas.v6i2.5110
Failure
Dipublikasikan oleh Ririn Khoiriyah Ardianti pada 20 Mei 2025
Mengapa Risiko Kompleks Butuh Alat Analisis Canggih?
Di tengah semakin rumitnya teknologi dan globalisasi, industri kini menghadapi tantangan serius dalam menjaga keandalan sistem yang bersifat multidimensi dan saling terhubung. Mulai dari kendaraan hibrida yang menggabungkan mesin bensin dan motor listrik, hingga rantai pasokan global yang sangat bergantung pada banyak pemasok, gangguan kecil saja bisa merambat menjadi kegagalan sistemik.
Dalam konteks itulah tesis Xue Lei menjadi sangat relevan. Ia mengusulkan pendekatan sistematis menggunakan metode Static Fault Tree Analysis (FTA) dan Dynamic Fault Tree Analysis (DFTA) untuk memetakan, memahami, dan mengantisipasi risiko dalam sistem teknik kompleks. Penelitiannya menjadi penting karena menunjukkan bahwa risiko tidak hanya bisa diukur dari statistik historis, tetapi juga dari logika urutan kejadian dan ketergantungan antar komponen.
Memahami Perbedaan FTA dan DFTA
Fault Tree Analysis secara umum adalah metode yang digunakan untuk mengevaluasi kemungkinan terjadinya kegagalan sistem berdasarkan hubungan logika antar komponen. Dalam FTA konvensional, analisis dilakukan dengan pendekatan statis, mengandalkan gerbang logika seperti AND dan OR. Metode ini cukup efektif untuk sistem linier dengan sedikit interaksi waktu atau dependensi fungsional.
Namun dalam sistem nyata, banyak kegagalan tidak hanya bergantung pada “apakah” suatu komponen rusak, tapi juga “kapan” dan “dalam urutan apa” kerusakan itu terjadi. Di sinilah DFTA menjadi penting. Dengan menambahkan elemen waktu dan prioritas, seperti Priority AND (PAND) dan Functional Dependency (FDEP), DFTA bisa memodelkan skenario kegagalan berurutan, redundansi aktif/pasif, hingga efek domino antar komponen.
Studi Kasus 1: Menyisir Risiko dalam Sistem Kendaraan Hibrida
Latar Belakang
Kendaraan hibrida, seperti Toyota Prius, merupakan sistem teknis yang sangat kompleks. Di dalamnya terdapat interaksi antara mesin pembakaran dalam, baterai HV, sistem penggerak listrik, power control unit (PCU), serta berbagai transmisi dan pengontrol. Xue Lei memilih model Toyota Prius 2004 sebagai objek penelitian karena kompleksitas sistemnya yang mewakili teknologi hybrid generasi awal.
Pendekatan yang Digunakan
Untuk mengevaluasi keandalan kendaraan ini, Lei membangun model fault tree berdasarkan lima skenario operasi utama: mulai berjalan, berkendara normal, akselerasi mendadak, pengereman/deselerasi, dan pengisian ulang baterai. Masing-masing skenario dimodelkan dengan diagram logika yang kemudian dikonversi ke dalam fault tree.
Menariknya, Lei tidak hanya mengandalkan distribusi eksponensial umum untuk memodelkan waktu kegagalan komponen, tetapi juga menerapkan analisis Bayesian berbasis data survei untuk memperkirakan keandalan baterai HV, yang pada saat itu masih minim data empiris.
Temuan Utama
Hasilnya cukup mengejutkan. Dari simulasi menggunakan data mean time to failure (MTTF), Lei menemukan bahwa Power Control Unit (PCU) justru memiliki kemungkinan gagal paling tinggi dibanding komponen lain. Hal ini masuk akal karena PCU terdiri dari konverter dan inverter yang sangat sensitif terhadap gangguan suhu, kelembapan, dan getaran.
Namun, model awal menunjukkan bahwa sistem hibrida Toyota Prius memiliki probabilitas hampir 100% untuk mengalami kegagalan total dalam 5 tahun pertama. Ini terlihat terlalu pesimis. Maka, Lei menyederhanakan model hanya pada dua komponen utama: baterai HV dan mesin. Dalam pendekatan ini, probabilitas kegagalan turun signifikan dan memberikan estimasi lebih realistis—sekitar 42% dalam lima tahun.
Yang menarik, hasil analisis Bayesian terhadap baterai HV menunjukkan bahwa mayoritas baterai memiliki masa pakai antara 12 hingga 15 tahun, dengan kemungkinan sangat kecil untuk bertahan lebih dari 20 tahun. Ini menjadi temuan penting bagi industri otomotif dalam merancang jadwal perawatan dan garansi baterai.
Studi Kasus 2: Mengantisipasi Risiko dalam Rantai Pasokan Global
Kompleksitas Rantai Pasokan Modern
Rantai pasokan adalah salah satu struktur bisnis paling rentan terhadap guncangan eksternal. Tsunami Jepang 2011, kebakaran pabrik Philips pada tahun 2000, hingga krisis chip semikonduktor global adalah contoh nyata betapa gangguan kecil dapat merusak sistem global.
Dalam tesis ini, Lei mengembangkan dua model rantai pasokan: main-backup supply chain dan mutual-assistance supply chain.
Keduanya menggunakan elemen DFTA untuk memetakan kemungkinan kegagalan berdasarkan urutan kejadian dan waktu respons sistem informasi.
Hasil Simulasi
Melalui pendekatan simulasi Monte Carlo, Lei menemukan bahwa sistem dengan pemasok cadangan cenderung lebih resilien terhadap gangguan mendadak—namun hanya jika sistem informasi berfungsi dengan baik. Sebaliknya, pada model mutual-assistance, kegagalan sistem informasi menyebabkan kedua pemasok tidak mampu menyesuaikan kapasitas produksinya, yang bisa berdampak signifikan terhadap keterlambatan pengiriman.
Menariknya, simulasi juga menunjukkan bahwa waktu jeda antara kegagalan pemasok utama dan aktifnya pemasok cadangan adalah titik kritis. Jika jeda ini terlalu lama, inventaris habis dan rantai pasokan akan terhenti. DFTA mampu menangkap interaksi semacam ini dengan sangat baik, yang tidak mungkin dilakukan dengan FTA biasa.
Relevansi Industri dan Aplikasi Nyata
Hasil penelitian ini sangat aplikatif dalam berbagai sektor industri.
Dengan meningkatnya tren elektrifikasi dan otomatisasi, metode DFTA menjadi alat penting dalam era industri 4.0 dan rantai pasokan global yang saling terhubung.
Kritik dan Refleksi
Kekuatan Penelitian
Salah satu keunggulan tesis ini adalah pendekatan yang holistik dan berbasis data. Dengan menggabungkan metode logika (FTA), statistik (Bayesian), dan simulasi (Monte Carlo), peneliti berhasil membangun model yang cukup robust dan fleksibel.
Pendekatan ini juga terbuka untuk dikembangkan lebih lanjut—misalnya dengan memasukkan variabel manusia (human error) atau faktor lingkungan (temperatur ekstrem, kelembapan tinggi) yang seringkali menjadi penyebab kegagalan di lapangan.
Keterbatasan
Beberapa asumsi dalam model, seperti tidak adanya perbaikan komponen atau tidak dihitungnya kegagalan minor seperti selang dan konektor, mungkin terlalu menyederhanakan kenyataan. Selain itu, tidak adanya integrasi langsung dengan perangkat lunak simulasi industri seperti MATLAB, ReliaSoft, atau AnyLogic membuat adopsi di dunia nyata perlu adaptasi tambahan.
Kesimpulan: Menuju Sistem Teknik yang Lebih Tangguh
Tesis ini memberikan kontribusi yang sangat berharga bagi dunia teknik dan manajemen risiko. Dengan membandingkan dua pendekatan—static dan dynamic fault tree analysis—penulis berhasil membuktikan bahwa pemodelan dinamis jauh lebih akurat dalam menangkap realitas sistem kompleks modern.
Lebih dari sekadar riset akademik, hasil penelitian ini memberikan peta jalan untuk para insinyur, manajer proyek, dan perancang sistem dalam membangun sistem yang resilien, adaptif, dan efisien. Di tengah ketidakpastian global dan kompleksitas teknologi yang terus meningkat, model seperti yang ditawarkan Xue Lei bukan hanya solusi teoritis, tetapi kebutuhan strategis.
Sumber
Xue Lei. (2017). Static and Dynamic Fault Tree Analysis with Application to Hybrid Vehicle Systems and Supply Chains [Master’s thesis, Iowa State University]. ProQuest Dissertations Publishing.
Tautan: https://dr.lib.iastate.edu/server/api/core/bitstreams/4fe29870-91f3-4ae2-a9e2-349ff161b3d6/conten
Keselamatan Industri
Dipublikasikan oleh Ririn Khoiriyah Ardianti pada 20 Mei 2025
Mengapa Keselamatan di Industri Pangan Tak Bisa Dianggap Remeh
Industri pengolahan makanan sering kali dianggap lebih aman dibanding industri berat seperti manufaktur logam atau konstruksi. Namun, anggapan ini keliru. Di balik produksi makanan yang tampak sederhana, terdapat beragam potensi kecelakaan kerja yang bisa berakibat serius jika tidak ditangani dengan benar. Studi dari Ifan Riswanto dan Andung Jati Nugroho di CV. Gemilang Kencana—perusahaan kecil-menengah di Wonosobo yang memproduksi manisan carica—membuka mata kita terhadap pentingnya manajemen risiko bahkan di industri berskala UMKM.
Metodologi Ganda: Kombinasi HIRA dan FTA dalam Menguak Risiko
Penelitian ini menggunakan dua pendekatan analisis risiko yang saling melengkapi:
Pendekatan ini memungkinkan peneliti tidak hanya melihat apa yang berbahaya, tapi juga mengapa dan bagaimana potensi kecelakaan itu bisa terjadi.
Studi Kasus: Proses Produksi Carica dan Risiko yang Tersembunyi
Risiko Kecelakaan yang Terjadi
Penelitian dilakukan secara langsung di lantai produksi CV. Gemilang Kencana. Ada tujuh tahapan kerja yang diamati, dan masing-masing dianalisis risikonya:
Dari semua risiko tersebut, hanya satu yang dikategorikan sebagai High Risk, yakni bagian pengemasan dalam cup menggunakan mesin press, yang memperoleh nilai risiko tertinggi sebesar 8 (kategori tinggi). Sisanya terbagi dalam risiko sedang (Moderate) dan rendah (Low).
Temuan Penting: Risiko Tertinggi Terjadi di Tahapan Pengemasan
Tiga Faktor Utama Penyebab Kecelakaan
Melalui analisis Fault Tree (FTA), peneliti berhasil mengidentifikasi tiga akar penyebab dari kecelakaan serius pada tahapan pengemasan:
Lebih lanjut, kecelakaan tambahan juga ditemukan akibat pisau jatuh dari meja kecil dan menimpa kaki pekerja. Di sini terlihat bahwa desain ergonomi dan penyediaan alat yang sesuai menjadi kunci dalam pencegahan kecelakaan.
Analisis Tambahan: Apa yang Bisa Dipelajari dari Data Ini?
Penilaian risiko dalam HIRA menggunakan formula sederhana: Likelihood × Severity. Namun, kekuatannya terletak pada aplikasinya yang konsisten di seluruh proses produksi.
Dari ketujuh risiko yang diamati:
Fakta bahwa hanya satu tahapan masuk kategori “tinggi” bukan berarti tahapan lain bisa diabaikan. Justru pendekatan ini menekankan pentingnya evaluasi berkala dan penguatan budaya K3 dalam operasional sehari-hari.
Perbandingan dengan Studi Lain: Apakah Tren Ini Umum?
Dalam penelitian lain oleh Darmawan et al. (2022) yang menggunakan pendekatan HIRA dan FTA di sektor manufaktur berat, ditemukan bahwa sumber kecelakaan paling umum adalah kesalahan manusia dan kegagalan alat. Temuan ini selaras dengan hasil studi Ifan dan Andung, menegaskan bahwa kombinasi antara pekerja tidak terampil dan peralatan yang kurang layak adalah perpaduan berbahaya—terlepas dari skala industrinya.
Hal yang menarik, penelitian ini justru memperkuat argumen bahwa industri kecil seperti UMKM tidak boleh mengesampingkan sistem K3, bahkan jika proses produksi terlihat sederhana.
Rekomendasi Praktis: Apa yang Bisa Dilakukan Sekarang Juga?
Penelitian ini menghasilkan beberapa rekomendasi nyata dan terukur:
Semua tindakan ini dapat dilakukan tanpa investasi besar, tetapi berpengaruh signifikan terhadap keselamatan dan produktivitas.
Kritik dan Saran Pengembangan
Kelebihan:
Kelemahan:
Penutup: Dari Analisis Risiko ke Budaya Keselamatan
Penelitian ini memberikan peta jalan yang sangat berguna bagi perusahaan kecil-menengah di sektor makanan untuk mulai membangun budaya keselamatan kerja. Meskipun berskala UMKM, CV. Gemilang Kencana sudah menunjukkan langkah proaktif dengan melakukan analisis menyeluruh terhadap potensi bahaya yang ada.
Jika rekomendasi dari studi ini dijalankan, bukan hanya kecelakaan kerja yang berkurang, tetapi juga tingkat kepercayaan pekerja dan efisiensi produksi akan meningkat. Ini membuktikan bahwa keselamatan bukanlah beban, melainkan investasi jangka panjang.
Sumber
Riswanto, I., & Nugroho, A. J. (2024). Analisis Keselamatan Kerja pada CV. Gemilang Kencana Metode HIRA dan Fault Tree Analysis. Kohesi: Jurnal Multidisiplin Saintek, 2(8), 110–124.
Tautan resmi: https://ejournal.warunayama.org/kohesi
Pelestarian Cagar Budaya
Dipublikasikan oleh Afridha Nu’ma Khoiriyah pada 20 Mei 2025
Pendahuluan
Kota Kuno Banten Lama menyimpan segudang nilai sejarah dan budaya yang berakar dari masa Kesultanan Banten. Sayangnya, seiring perkembangan zaman, kawasan ini menghadapi berbagai tantangan degradasi ruang dan tekanan modernisasi yang mengancam keaslian nilai-nilai budayanya. Dalam konteks ini, Yosua Adrian Pasaribu menyusun artikel yang mendalam mengenai strategi penataan ruang sebagai instrumen pelestarian kawasan cagar budaya. Studi ini diterbitkan dalam Kalpataru: Majalah Arkeologi, Vol. 28, No. 2, November 2019.
Penelitian ini berangkat dari pentingnya mempertahankan nilai-nilai kesejarahan kawasan Kota Kuno Banten Lama melalui pendekatan tata ruang. Paper ini menyuguhkan analisis kritis atas kondisi eksisting serta memberikan rekomendasi berbasis prinsip pelestarian budaya dan kaidah penataan ruang modern.
Konteks Historis Kota Kuno Banten Lama
Kota Banten Lama adalah pusat pemerintahan Kesultanan Banten pada abad ke-16 hingga ke-19. Letaknya yang strategis menjadikan wilayah ini sebagai episentrum perdagangan dan pusat spiritual Islam di Nusantara. Di dalamnya terdapat berbagai peninggalan monumental seperti Masjid Agung Banten, Keraton Surosowan, Benteng Speelwijk, dan kanal-kanal kuno.
Namun, realitas saat ini memperlihatkan banyak kerusakan fisik dan konversi lahan yang tak terkendali. Hal ini mengindikasikan bahwa pelestarian tidak bisa lagi bergantung pada konservasi pasif semata, tetapi harus menyatu dengan mekanisme penataan ruang berkelanjutan.
Tujuan dan Metode Penelitian
Tujuan utama artikel ini adalah menganalisis bagaimana penataan ruang dapat diintegrasikan dalam pelestarian kawasan cagar budaya Banten Lama. Metode yang digunakan adalah pendekatan deskriptif kualitatif dengan data utama berupa dokumen historis, regulasi tata ruang, observasi lapangan, dan hasil studi literatur lainnya.
Pendekatan ini memperhatikan aspek morfologi kota, pola ruang, dan intervensi fisik yang telah terjadi. Selain itu, penulis juga melakukan pemetaan zonasi dan evaluasi terhadap masterplan yang ada.
Temuan Utama
1. Pola Ruang yang Terkoyak
Penelitian menemukan bahwa struktur kota lama yang dulu bersifat terintegrasi kini telah terpecah-pecah oleh pemanfaatan ruang modern. Misalnya:
Kawasan pasar modern tumbuh di tengah kompleks situs sejarah,
Akses utama menuju situs kerap terhalang bangunan liar dan warung permanen,
Kanal historis tertutup atau beralih fungsi.
Hal ini menyebabkan disorientasi ruang dan melemahkan kohesi spasial warisan budaya.
2. Minimnya Regulasi Zonasi Berbasis Sejarah
Zonasi yang ditetapkan pemerintah daerah belum mempertimbangkan nilai historis dan arkeologis secara menyeluruh. Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) cenderung bersifat normatif dan belum selaras dengan kebutuhan pelestarian kawasan cagar budaya.
Contohnya, tidak adanya zonasi penyangga antara area inti situs dan aktivitas komersial mengakibatkan tekanan pembangunan yang destruktif.
Strategi Penataan Ruang untuk Pelestarian
A. Integrasi Prinsip Konservasi dalam RTRW
Pasaribu merekomendasikan agar konservasi ruang menjadi bagian tak terpisahkan dari kebijakan RTRW. Ini meliputi:
Penetapan buffer zone (zona penyangga),
Revitalisasi koridor sejarah,
Restorasi kanal-kanal sebagai bagian dari sistem drainase dan pariwisata.
B. Pemetaan Nilai Historis sebagai Dasar Perencanaan
Penulis menekankan pentingnya inventarisasi nilai sejarah untuk menyusun peta potensi warisan budaya. Pemetaan ini harus mencakup:
Tingkat kerusakan fisik,
Nilai simbolik dan spiritual,
Potensi pengembangan edukasi dan wisata sejarah.
C. Partisipasi Masyarakat Lokal
Penataan ruang tidak akan efektif tanpa keterlibatan aktif masyarakat. Edukasi budaya dan penguatan ekonomi lokal berbasis cagar budaya seperti UMKM kerajinan dan wisata religi menjadi solusi partisipatif.
Studi Banding
Sebagai nilai tambah, pendekatan penataan ruang berbasis pelestarian di Banten Lama dapat dibandingkan dengan praktik di negara lain, seperti:
Kyoto, Jepang, yang menerapkan zonasi ketat dan penggunaan material arsitektur tradisional.
Georgetown, Malaysia, yang berhasil memadukan pelestarian warisan kolonial dengan aktivitas komersial melalui manajemen zona budaya.
Studi kasus ini menunjukkan pentingnya pengawasan ketat, insentif kepada warga, serta penguatan hukum pelestarian.
Dampak Praktis dan Potensi Ke Depan
Penelitian ini memiliki dampak praktis yang besar, di antaranya:
Menjadi referensi kebijakan tata ruang daerah di kawasan heritage lain,
Mendorong integrasi antara dinas kebudayaan dan perencanaan wilayah,
Memberi dasar kuat untuk regulasi pelestarian berbasis spasial.
Ke depan, pendekatan ini juga dapat digunakan untuk kawasan seperti Kota Tua Jakarta, Trowulan (Mojokerto), hingga Kampung Naga di Tasikmalaya.
Kritik dan Catatan Pengembangan
Meskipun artikel ini cukup komprehensif, beberapa hal bisa diperdalam:
Keterlibatan stakeholders seperti Balai Pelestarian Cagar Budaya kurang disorot secara spesifik,
Tidak ada analisis ekonomi mengenai biaya konservasi dan dampak pengembangan ekonomi lokal,
Kurang penekanan pada ancaman bencana (banjir, gempa) yang dapat merusak kawasan sejarah.
Pengembangan ke depan perlu memasukkan indikator keberlanjutan lingkungan dalam strategi pelestarian berbasis ruang.
Kesimpulan
Artikel karya Yosua Adrian Pasaribu ini berhasil menyoroti urgensi dan strategi penataan ruang dalam pelestarian kawasan cagar budaya, khususnya Kota Kuno Banten Lama. Dengan pendekatan kualitatif yang kritis dan berbasis data historis, artikel ini merekomendasikan sinergi antara konservasi budaya dan kebijakan ruang. Selain itu, keterlibatan masyarakat dan pemetaan nilai budaya menjadi fondasi penting bagi keberlanjutan kawasan.
Penelitian ini penting tidak hanya bagi pengelola situs sejarah, tetapi juga bagi perencana kota dan pembuat kebijakan yang ingin mengintegrasikan pelestarian budaya ke dalam pembangunan berkelanjutan.
Sumber
Pasaribu, Yosua Adrian. “Penataan Ruang dalam Rangka Pelestarian Kawasan Cagar Budaya: Kajian Kota Kuno Banten Lama.” Kalpataru: Majalah Arkeologi, Vol. 28 No. 2, November 2019.
Distribusi
Dipublikasikan oleh Ririn Khoiriyah Ardianti pada 20 Mei 2025
Layanan Sosial: Kebutuhan Tinggi, Risiko Tinggi
Pemerintah di seluruh dunia semakin mengandalkan organisasi nonpemerintah (NGO) untuk menyediakan layanan sosial yang dulunya dijalankan langsung oleh institusi negara. Perubahan ini memberikan fleksibilitas dalam distribusi layanan, tetapi juga membawa tantangan baru dalam manajemen risiko. Ketika pemerintah menjadi “pembeli layanan” alih-alih penyedia langsung, maka kontrol atas proses layanan menjadi semakin tidak langsung dan kompleks.
Peter Lacey, melalui studinya yang diterbitkan pada tahun 2011, menyajikan pendekatan inovatif berbasis teknik Fault Tree Analysis (FTA) untuk mengidentifikasi dan mengelola risiko dalam sistem layanan sosial yang dibiayai oleh pemerintah. Studi kasus yang dibahas adalah restrukturisasi Departemen Komunitas Queensland, Australia, yang mengelola dana lebih dari AUD 1,6 miliar untuk lebih dari 1.600 organisasi.
Mengapa Fault Tree Analysis Relevan untuk Layanan Sosial?
FTA umumnya dikenal di dunia teknik dan industri untuk menganalisis akar penyebab kegagalan sistem. Dalam artikel ini, Lacey menerapkannya pada konteks yang sangat berbeda—yakni pengelolaan risiko dalam jaringan kompleks antara klien, penyedia layanan (NGO), dan pemberi dana (pemerintah).
FTA dimanfaatkan untuk mengurai risiko “gagalnya sistem layanan” sebagai top event. Dari titik ini, berbagai penyebab ditelusuri secara hierarkis melalui kombinasi logika AND dan OR, membentuk pohon penyebab yang sistematis dan logis.
Studi Kasus: Transformasi Risiko dalam Layanan Komunitas Queensland
Departemen Komunitas Queensland mengalami restrukturisasi besar pada tahun 2009, menyatukan enam badan layanan termasuk Child Safety, Disability Services, dan Housing. Transformasi ini bukan hanya soal efisiensi birokrasi, tetapi juga memperbesar skala pengelolaan dana layanan sosial.
Dari sinilah Lacey mengawali proyeknya: bagaimana menyusun sistem penilaian risiko yang dapat menjembatani strategi tingkat atas dan penilaian operasional di lapangan, khususnya untuk NGO sebagai pelaksana utama.
Membangun Fault Tree: Pemetaan Risiko dalam Tiga Lapisan
1. Risiko dari Pihak Pemberi Dana
Termasuk di dalamnya adalah ketidakcukupan alokasi dana, kebijakan yang kurang presisi, hingga kurangnya integrasi data. Risiko ini diperparah oleh ketidakseimbangan antara kapasitas sektor NGO dan lonjakan permintaan layanan dari masyarakat.
2. Risiko dari NGO
Ini meliputi kegagalan mencapai kuantitas dan kualitas layanan yang diharapkan. Faktor penyebabnya antara lain:
3. Risiko Kolaboratif dan Sistemik
FTA Lacey juga menyoroti pentingnya relasi dinamis antara klien, NGO, dan pemerintah. Sistem gagal jika salah satu pihak tidak menjalankan perannya dengan baik. Hal ini memperkenalkan dimensi baru dalam FTA, yaitu interaksi sosial sebagai faktor risiko.
Dari Peta Risiko ke Aksi Nyata: Risk Register dan Model Penilaian Komposit
Salah satu kontribusi nyata dari studi ini adalah integrasi hasil FTA ke dalam Strategic Risk Register departemen. Risiko-risiko strategis direpresentasikan sebagai cabang dari fault tree, memungkinkan sinkronisasi antara kebijakan makro dan manajemen mikro.
Untuk menyederhanakan pelaksanaan, dikembangkanlah Common Risk Assessment Model—model penilaian komposit yang menggunakan indeks risiko berdasarkan:
Setiap elemen diberikan skor ordinal, dan skor totalnya digunakan untuk menentukan prioritas organisasi:
Studi Data: Uji Model dan Distribusi Beta
Untuk menguji validitas model, dilakukan uji desktop terhadap 45 organisasi menggunakan data aktual. Melalui pendekatan distribusi beta dan pemrograman linier, model dikalibrasi agar dapat membedakan organisasi dengan risiko tinggi dan rendah secara statistik.
Hasilnya, model ini berhasil:
Nilai Tambah dan Relevansi Global
Studi ini bukan hanya penting untuk Queensland, tapi juga menjadi cermin bagi banyak negara berkembang yang menggantungkan layanan sosial kepada NGO. Misalnya:
Dengan menerapkan FTA dalam konteks ini, manajemen risiko menjadi lebih transparan, logis, dan strategis.
Kritik dan Catatan Penting
Kelebihan:
Kelemahan:
Implikasi Praktis: Dari Analisis ke Reformasi
Beberapa poin penting yang dapat ditarik dari pendekatan Lacey antara lain:
Kesimpulan: Menjadikan Risiko Sebagai Alat Navigasi, Bukan Halangan
Dengan pendekatan fault tree, Peter Lacey telah menunjukkan bahwa manajemen risiko tidak harus reaktif atau administratif. Ia bisa menjadi alat navigasi untuk kebijakan publik yang lebih tajam, responsif, dan efisien. Studi ini bukan hanya tentang mitigasi risiko, tetapi juga tentang cara melihat sistem layanan sosial secara menyeluruh—melibatkan klien, penyedia, dan pemerintah sebagai mitra yang saling terhubung.
Di era ketika peran NGO terus tumbuh, dan kebutuhan akan transparansi semakin mendesak, pendekatan seperti ini layak dijadikan standar baru dalam pengelolaan dana publik.
Sumber
Lacey, P. (2011). An Application of Fault Tree Analysis to the Identification and Management of Risks in Government Funded Human Service Delivery. Queensland Government.
Tersedia di: ResearchGate
Sumber Daya
Dipublikasikan oleh Viskha Dwi Marcella Nanda pada 20 Mei 2025
Mengapa Manajemen Air Komunitas Penting?
Air adalah urat nadi kehidupan. Namun dalam banyak kasus, pengelolaannya masih sentralistik dan jauh dari komunitas yang terdampak langsung. Di sinilah muncul konsep Community-Based Natural Resources Management (CBNRM), termasuk di Kenya dengan inisiatif Water Resources Users Associations (WRUAs). Dalam studi mendalam oleh Richards dan Syallow (2018), WRUA diteliti secara kritis di Mara Basin, Kenya—sebuah kawasan yang secara ekologis penting dan sosial-ekonomi kompleks.
WRUA: Solusi Desentralisasi yang Diuji di Lapangan
WRUA merupakan bentuk kelembagaan lokal yang dimandatkan untuk mengelola sub-catchment sungai secara kolaboratif. Di Kenya, ini didorong oleh regulasi seperti Water Act 2002 dan Water Act 2016, yang menekankan partisipasi masyarakat dan perlindungan environmental flows.
Namun, apakah pelibatan komunitas ini benar-benar berhasil? Richards dan Syallow membedah empat WRUA di Mara Basin (Amala, Leshuta, Isei, dan Naikarra) menggunakan kerangka keadilan dari Schreckenberg et al. (2016), yaitu: recognition, procedure, dan distribution.
Studi Kasus Mara Basin: Apa yang Bisa Dipelajari?
1. Amala WRUA: Partisipasi yang Digerakkan Donor
Didirikan dengan dukungan WWF, Amala WRUA berupaya menanam pohon bernilai ekonomi (alpukat, mangga) di wilayah riparian. Sayangnya, banyak aktivitasnya lebih ditentukan oleh agenda donor dibanding kebutuhan lokal.
2. Leshuta WRUA: Partisipasi Tinggi, Implemetasi Lemah
Berada di wilayah semi-kering, WRUA ini mengandalkan CBO dan diskusi komunitas. Namun, kegiatan nyata seperti rehabilitasi sumber mata air atau perlindungan sempadan sungai seringkali belum terwujud karena ketergantungan pada pihak luar.
3. Isei WRUA: Kepemimpinan Lokal yang Transformatif
Dipimpin oleh seorang mantan pelaku pariwisata, WRUA ini sukses menghubungkan konservasi dengan kesejahteraan ekonomi. Anggotanya menanam 500 bibit teh, melakukan konservasi sumber air, dan bahkan berhasil meningkatkan pendapatan melalui penjualan madu dan susu.
4. Naikarra WRUA: Infrastruktur Jalan Tengah
Dibentuk oleh donor, WRUA ini membangun infrastruktur konservasi seperti gabion dan saluran air untuk memisahkan akses ternak dan manusia. Fokus utamanya adalah perlindungan environmental flows dibanding pendekatan berbasis penghasilan.
Tiga Pilar Evaluasi WRUA: Analisis Kritis
A. Recognition (Pengakuan)
Sebagian besar WRUA masih menghadapi masalah elite capture. Agenda sering datang dari luar, bukan dari bawah. Namun, contoh Isei menunjukkan bahwa jika masyarakat diberi ruang dan kepercayaan, hasilnya bisa jauh lebih kuat.
B. Procedure (Prosedur dan Partisipasi)
Meskipun ada upaya inklusif, partisipasi sering bersifat formalitas. WRUA idealnya menjadi jembatan antara komunitas dan otoritas air seperti WRA, tetapi koordinasi dan kejelasan peran masih minim.
C. Distribution (Distribusi Manfaat dan Beban)
Manfaat konservasi tidak selalu adil. Misalnya, donor memberikan sapi perah atau pelatihan lebah kepada kelompok aktif, tapi kelompok marjinal atau petani miskin bisa tertinggal. Ini menciptakan ketimpangan baru dalam nama konservasi.
Tantangan Umum WRUA: Apa yang Harus Diwaspadai?
Refleksi Global: Pelajaran bagi Dunia
Model WRUA sangat relevan di negara-negara berkembang seperti Indonesia, Nepal, dan Tanzania. Namun, seperti yang ditunjukkan studi ini, keberhasilannya sangat bergantung pada:
WRUA harus bisa menjawab pertanyaan: Apakah komunitas benar-benar merasa memiliki dan mendapatkan manfaat dari konservasi ini?
Opini Penulis: WRUA Masih Perlu Disempurnakan
Studi ini sangat bermanfaat untuk menunjukkan kompleksitas tata kelola air berbasis komunitas. Namun, masih ada ruang untuk menyempurnakan:
Jika tidak, WRUA hanya akan menjadi formalitas administratif belaka.
Kesimpulan: WRUA adalah Harapan yang Butuh Dukungan
WRUA bukan solusi sempurna, tapi bisa menjadi jalan keluar dari kegagalan pendekatan top-down. Ketika komunitas diberdayakan secara inklusif, adil, dan berkelanjutan, pengelolaan sumber daya air bisa jadi lebih efektif dan manusiawi.
Sumber:
Richards, N., & Syallow, D. (2018). Water Resources Users Associations in the Mara Basin, Kenya: Pitfalls and Opportunities for Community Based Natural Resources Management. Frontiers in Environmental Science, 6:138.