Menata Risiko dalam Layanan Sosial Pemerintah: Belajar dari Fault Tree Analysis

Dipublikasikan oleh Ririn Khoiriyah Ardianti

20 Mei 2025, 09.18

pexels.com

Layanan Sosial: Kebutuhan Tinggi, Risiko Tinggi

Pemerintah di seluruh dunia semakin mengandalkan organisasi nonpemerintah (NGO) untuk menyediakan layanan sosial yang dulunya dijalankan langsung oleh institusi negara. Perubahan ini memberikan fleksibilitas dalam distribusi layanan, tetapi juga membawa tantangan baru dalam manajemen risiko. Ketika pemerintah menjadi “pembeli layanan” alih-alih penyedia langsung, maka kontrol atas proses layanan menjadi semakin tidak langsung dan kompleks.

Peter Lacey, melalui studinya yang diterbitkan pada tahun 2011, menyajikan pendekatan inovatif berbasis teknik Fault Tree Analysis (FTA) untuk mengidentifikasi dan mengelola risiko dalam sistem layanan sosial yang dibiayai oleh pemerintah. Studi kasus yang dibahas adalah restrukturisasi Departemen Komunitas Queensland, Australia, yang mengelola dana lebih dari AUD 1,6 miliar untuk lebih dari 1.600 organisasi.

Mengapa Fault Tree Analysis Relevan untuk Layanan Sosial?

FTA umumnya dikenal di dunia teknik dan industri untuk menganalisis akar penyebab kegagalan sistem. Dalam artikel ini, Lacey menerapkannya pada konteks yang sangat berbeda—yakni pengelolaan risiko dalam jaringan kompleks antara klien, penyedia layanan (NGO), dan pemberi dana (pemerintah).

FTA dimanfaatkan untuk mengurai risiko “gagalnya sistem layanan” sebagai top event. Dari titik ini, berbagai penyebab ditelusuri secara hierarkis melalui kombinasi logika AND dan OR, membentuk pohon penyebab yang sistematis dan logis.

Studi Kasus: Transformasi Risiko dalam Layanan Komunitas Queensland

Departemen Komunitas Queensland mengalami restrukturisasi besar pada tahun 2009, menyatukan enam badan layanan termasuk Child Safety, Disability Services, dan Housing. Transformasi ini bukan hanya soal efisiensi birokrasi, tetapi juga memperbesar skala pengelolaan dana layanan sosial.

Dari sinilah Lacey mengawali proyeknya: bagaimana menyusun sistem penilaian risiko yang dapat menjembatani strategi tingkat atas dan penilaian operasional di lapangan, khususnya untuk NGO sebagai pelaksana utama.

Membangun Fault Tree: Pemetaan Risiko dalam Tiga Lapisan

1. Risiko dari Pihak Pemberi Dana

Termasuk di dalamnya adalah ketidakcukupan alokasi dana, kebijakan yang kurang presisi, hingga kurangnya integrasi data. Risiko ini diperparah oleh ketidakseimbangan antara kapasitas sektor NGO dan lonjakan permintaan layanan dari masyarakat.

2. Risiko dari NGO

Ini meliputi kegagalan mencapai kuantitas dan kualitas layanan yang diharapkan. Faktor penyebabnya antara lain:

  • Manajemen keuangan yang lemah
  • Prosedur intake klien yang tidak efektif
  • Kualitas kontrol internal yang buruk
  • Kurangnya tenaga profesional yang kompeten

3. Risiko Kolaboratif dan Sistemik

FTA Lacey juga menyoroti pentingnya relasi dinamis antara klien, NGO, dan pemerintah. Sistem gagal jika salah satu pihak tidak menjalankan perannya dengan baik. Hal ini memperkenalkan dimensi baru dalam FTA, yaitu interaksi sosial sebagai faktor risiko.

Dari Peta Risiko ke Aksi Nyata: Risk Register dan Model Penilaian Komposit

Salah satu kontribusi nyata dari studi ini adalah integrasi hasil FTA ke dalam Strategic Risk Register departemen. Risiko-risiko strategis direpresentasikan sebagai cabang dari fault tree, memungkinkan sinkronisasi antara kebijakan makro dan manajemen mikro.

Untuk menyederhanakan pelaksanaan, dikembangkanlah Common Risk Assessment Model—model penilaian komposit yang menggunakan indeks risiko berdasarkan:

  • Risiko keuangan (likelihood x impact)
  • Risiko kualitas layanan
  • Risiko tenaga kerja dan kepemimpinan

Setiap elemen diberikan skor ordinal, dan skor totalnya digunakan untuk menentukan prioritas organisasi:

  • Immediate Concern: skor >400 (top 1%)
  • High Priority: 326–400 (top 5%)
  • Moderate Priority: 251–325 (top 20%)
  • Low Priority: <251 (80% terbawah)

Studi Data: Uji Model dan Distribusi Beta

Untuk menguji validitas model, dilakukan uji desktop terhadap 45 organisasi menggunakan data aktual. Melalui pendekatan distribusi beta dan pemrograman linier, model dikalibrasi agar dapat membedakan organisasi dengan risiko tinggi dan rendah secara statistik.

Hasilnya, model ini berhasil:

  • Mengurangi beban administratif bagi NGO dengan pendekatan collect-once-use-often.
  • Menyoroti bahwa sebagian data yang dikumpulkan sebelumnya sebenarnya tidak berdampak signifikan pada penilaian risiko.
  • Menemukan bahwa inconsistency in data definition lebih berbahaya daripada missing data.

Nilai Tambah dan Relevansi Global

Studi ini bukan hanya penting untuk Queensland, tapi juga menjadi cermin bagi banyak negara berkembang yang menggantungkan layanan sosial kepada NGO. Misalnya:

  • Di Pakistan, NGO diandalkan untuk layanan HIV/AIDS karena keterbatasan akses pemerintah ke komunitas marginal.
  • Di Amerika Latin, negara seperti Guatemala dan El Salvador menggunakan pendekatan berbasis hasil untuk kontrak layanan kesehatan dengan NGO.

Dengan menerapkan FTA dalam konteks ini, manajemen risiko menjadi lebih transparan, logis, dan strategis.

Kritik dan Catatan Penting

Kelebihan:

  • Inovatif dalam menerapkan teknik teknikal (FTA) ke bidang sosial.
  • Mampu menjembatani manajemen strategis dan operasional.
  • Mendorong pengembangan model penilaian risiko yang efisien dan aplikatif.

Kelemahan:

  • Fault tree sangat bergantung pada asumsi yang dapat bersifat subyektif.
  • Beberapa program seperti perumahan jangka panjang tidak terakomodasi dengan baik oleh model berbasis consequence/investment.
  • Perlu pengembangan lebih lanjut pada variabel “kapasitas peningkatan efisiensi” karena keterbatasan data produktivitas program.

Implikasi Praktis: Dari Analisis ke Reformasi

Beberapa poin penting yang dapat ditarik dari pendekatan Lacey antara lain:

  • Pengurangan beban administratif NGO melalui penghapusan redundansi penilaian risiko oleh berbagai program.
  • Peningkatan akuntabilitas keputusan defunding, karena risiko dapat ditautkan langsung ke top-level strategic risk.
  • Peningkatan integrasi data antar lembaga pemerintah dan NGO, termasuk standarisasi definisi risiko dan pemanfaatan data performa yang sudah tersedia.
  • Penyesuaian strategi pelatihan dan intervensi berbasis klasifikasi risiko (misalnya pelatihan keuangan untuk NGO dengan skor risiko keuangan tinggi).

Kesimpulan: Menjadikan Risiko Sebagai Alat Navigasi, Bukan Halangan

Dengan pendekatan fault tree, Peter Lacey telah menunjukkan bahwa manajemen risiko tidak harus reaktif atau administratif. Ia bisa menjadi alat navigasi untuk kebijakan publik yang lebih tajam, responsif, dan efisien. Studi ini bukan hanya tentang mitigasi risiko, tetapi juga tentang cara melihat sistem layanan sosial secara menyeluruh—melibatkan klien, penyedia, dan pemerintah sebagai mitra yang saling terhubung.

Di era ketika peran NGO terus tumbuh, dan kebutuhan akan transparansi semakin mendesak, pendekatan seperti ini layak dijadikan standar baru dalam pengelolaan dana publik.

Sumber

Lacey, P. (2011). An Application of Fault Tree Analysis to the Identification and Management of Risks in Government Funded Human Service Delivery. Queensland Government.
Tersedia di: ResearchGate