Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat
Dipublikasikan oleh Sirattul Istid'raj pada 22 Mei 2025
Latar Belakang: Kebutuhan Mendesak Sertifikasi Kompetensi di Industri Konstruksi
Industri konstruksi merupakan salah satu pilar pembangunan nasional yang menyerap banyak tenaga kerja. Namun, hingga saat ini, sebagian besar pekerja konstruksi di Indonesia masih berasal dari latar belakang pendidikan rendah, dan sebagian besar belum memiliki sertifikasi kompetensi, seperti yang diwajibkan dalam UU No. 2 Tahun 2017 tentang Jasa Konstruksi. Hal ini menimbulkan tantangan serius, khususnya bagi pemerintah daerah dan pelaku industri yang ingin meningkatkan kualitas serta daya saing sektor konstruksi nasional.
Penelitian ini bertujuan untuk menyelidiki sejauh mana hubungan antara kemampuan dan pengalaman tukang bangunan tradisional terhadap kompetensinya, serta implikasi terhadap kebutuhan sertifikasi resmi. Fokus lokasi penelitian adalah Kota Padang, sebagai salah satu wilayah dengan kegiatan pembangunan yang berkembang.
Tujuan Penelitian
Menggambarkan penyebaran pekerja konstruksi yang telah dan belum tersertifikasi.
Menganalisis pengaruh kemampuan dan pengalaman kerja terhadap kompetensi kerja.
Menilai relevansi sertifikasi dengan kondisi tenaga kerja lokal berdasarkan data lapangan.
Metodologi: Pendekatan Kuantitatif melalui Survei Lapangan
Penelitian ini menggunakan pendekatan kuantitatif deskriptif melalui kuesioner yang disebarkan ke 90 responden dari 7 proyek konstruksi di Kota Padang. Responden terdiri dari:
Mandor (9%)
Tukang (36%)
Pekerja harian (55%)
Instrumen penelitian menggunakan skala Likert 1–4, dan data dianalisis menggunakan SPSS dengan uji validitas, reliabilitas, regresi linier berganda, serta uji asumsi klasik (normalitas, linearitas, multikolinearitas, heteroskedastisitas).
Temuan Utama: Potret Realitas Tenaga Kerja Konstruksi Padang
1. Pendidikan dan Sertifikasi
66% pekerja belum tersertifikasi
Mayoritas lulusan SMP (38%) dan SD (30%)
Hanya 16% lulusan SMA
2. Pengalaman dan Posisi Kerja
64% responden punya pengalaman kerja > 1 tahun
Sebagian besar bekerja sebagai “pekerja” bukan tukang ahli
3. Distribusi Sertifikasi
Hanya 34% pekerja memiliki sertifikat kompetensi
Ini berpotensi bertentangan dengan UU No. 2 Tahun 2017, yang mewajibkan pekerja tersertifikasi untuk dapat dipekerjakan secara resmi dalam proyek konstruksi formal.
Analisis Statistik: Hubungan Kemampuan dan Pengalaman terhadap Kompetensi
Melalui analisis regresi linier berganda, ditemukan bahwa:
Kemampuan tukang (X1) berkontribusi 36% terhadap kompetensi kerja.
Pengalaman kerja (X2) menyumbang 33,29%.
Secara simultan, kedua variabel menjelaskan 43,9% dari variasi kompetensi (Y), dengan Adjusted R² = 0,439.
Artinya, faktor lain (pendidikan, motivasi, akses pelatihan) masih menyumbang 56,1% terhadap kompetensi secara keseluruhan.
Interpretasi Persamaan Regresi
Berdasarkan hasil regresi:
Y=4,333+0,529X1+0,386X2Y = 4,333 + 0,529X1 + 0,386X2
Artinya:
Jika kemampuan tukang naik 1 unit, maka kompetensi akan meningkat 52,9%.
Jika pengalaman kerja meningkat 1 unit, maka kompetensi naik 38,6%.
Nilai konstanta menunjukkan bahwa kompetensi tetap memiliki baseline meski tidak dipengaruhi oleh dua faktor tersebut.
Opini Kritis dan Tambahan Wawasan
Kekuatan Penelitian
Menggunakan data primer langsung dari proyek konstruksi, bukan asumsi sekunder.
Memberikan gambaran konkret tentang rendahnya penetrasi sertifikasi kompetensi.
Menggunakan analisis statistik menyeluruh dengan pengujian asumsi klasik yang lengkap.
Catatan Kritis
Penelitian hanya melibatkan pekerja di satu kota, sehingga tidak dapat digeneralisasi ke wilayah lain dengan dinamika industri yang berbeda.
Tidak mempertimbangkan dukungan institusional seperti Dinas Tenaga Kerja atau LPK dalam proses sertifikasi.
Studi Kasus dan Tren Terkini
Sebagai contoh, di provinsi Jawa Barat, pemerintah bekerja sama dengan Balai Latihan Kerja (BLK) dan asosiasi kontraktor untuk menyelenggarakan sertifikasi gratis bagi tukang konstruksi. Hasilnya, terdapat peningkatan signifikan dalam daya saing tenaga kerja lokal dan kemudahan akses pekerjaan formal, terutama pada proyek-proyek besar seperti pembangunan jalan tol dan gedung pemerintah.
Penelitian ini memberikan sinyal bahwa pendekatan serupa sangat mungkin diterapkan di Sumatera Barat, terutama di Padang, jika dibarengi dengan kemauan politik dan dukungan anggaran.
Implikasi Praktis: Rekomendasi untuk Pemerintah dan Industri
Pelatihan Pra-Sertifikasi Gratis
Pemerintah perlu menggelar pelatihan teknis singkat berbasis SKKNI agar pekerja siap disertifikasi tanpa biaya besar.
Penguatan Kolaborasi Swasta–Publik
Kolaborasi antara asosiasi kontraktor, Dinas Tenaga Kerja, dan BLK bisa memperluas cakupan sertifikasi.
Pemetaan Kompetensi Tenaga Kerja Lokal
Pemerintah kota dapat menggunakan data seperti dalam penelitian ini sebagai dasar perencanaan kebutuhan pelatihan dan alokasi anggaran pembangunan sumber daya manusia (SDM).
Kaitan Global: Profesionalisasi Tenaga Kerja sebagai Strategi Pembangunan
Di banyak negara seperti Australia, Jepang, dan Jerman, sertifikasi keahlian adalah syarat mutlak dalam sektor konstruksi. Keuntungan bukan hanya pada kualitas bangunan, tapi juga pada perlindungan tenaga kerja dan penguatan ekosistem profesionalisme industri.
Jika Indonesia ingin mencapai standar yang sama, maka strategi harus dimulai dari basis pekerja paling bawah — yakni tukang bangunan dan pekerja tradisional.
Kesimpulan: Mengisi Celah antara Realita dan Regulasi
Penelitian ini memberikan gambaran yang jujur dan berbasis data tentang kesenjangan antara regulasi formal (UU Jasa Konstruksi) dan realitas lapangan. Dengan hanya 34% tenaga kerja tersertifikasi, jelas dibutuhkan intervensi struktural untuk menjembatani kebutuhan industri dengan kapasitas SDM yang ada.
Sumber Referensi
Embun Sari Ayu, Indra Khaidir, Willy Widrev. (2022). Analisis Hubungan Kemampuan dan Pengalaman Pekerja Konstruksi terhadap Sertifikasi Kompetensi Jasa Konstruksi. Jurnal Rekayasa Sipil, Vol. 18, No. 2, Juli 2022.
DOI: https://doi.org/10.25077/jrs.18.2.91-101.2022
Sumber Air
Dipublikasikan oleh Viskha Dwi Marcella Nanda pada 22 Mei 2025
Memahami Urgensi: Mengapa Pengelolaan Sumber Daya Air Harus Terpadu?
Dalam beberapa dekade terakhir, Indonesia menghadapi tantangan serius terkait krisis air—baik dari sisi kualitas, kuantitas, maupun distribusi. Pengelolaan Sumber Daya Air Terpadu (PSDA Terpadu) menjadi salah satu jawaban strategis untuk menjawab kompleksitas ini. Dokumen yang dikaji menyajikan konsep, prinsip, dan tahapan PSDA Terpadu secara komprehensif dengan mengacu pada kerangka dari Global Water Partnership (GWP) dan praktik internasional yang telah disesuaikan dengan konteks Indonesia.
Prinsip Manajemen Terpadu dalam PSDA
PSDA Terpadu mencakup seluruh fungsi manajemen klasik—dari perencanaan, pengorganisasian, pengarahan, koordinasi, pengawasan hingga penganggaran dan pembiayaan. Tujuannya adalah mengintegrasikan aspek sosial, ekonomi, dan ekologi secara harmonis agar setiap kebijakan pengelolaan air tidak menimbulkan konflik antarsektor.
Pilar Penting dalam Manajemen:
Kilasan Sejarah: Dari Agenda 21 ke Prinsip Dublin
Deklarasi Rio 1992 dan Agenda 21 mendorong pembangunan berkelanjutan. Prinsip Dublin menjadi pondasi dari IWRM (Integrated Water Resources Management) yang kemudian diadopsi sebagai landasan PSDA Terpadu. Empat prinsip utamanya adalah:
Analisis Kritis: Kompleksitas dan Tantangan PSDA di Indonesia
Persoalan Utama:
Contoh Nyata:
Alih fungsi lahan hutan di kawasan penyangga Jabodetabek menjadi kawasan industri menyebabkan hilangnya daerah resapan dan meningkatnya banjir tahunan di Jakarta. PSDA Terpadu mendorong adanya zonasi ketat dan penataan ruang berbasis daya dukung air.
Kritik Tambahan:
Meski banyak peraturan sudah ada, pelaksanaannya lemah. Penegakan aturan (law enforcement) dan integrasi antarsektor masih menjadi tantangan besar.
Strategi Implementasi PSDA Terpadu
Kerangka Konseptual (GWP, 2001):
Proses Pembangunan:
Tiga Pilar PSDA: Sosial, Lingkungan, dan Ekonomi
Nilai Tambah & Opini
Perbandingan dengan Praktik Internasional:
Konsep PSDA Terpadu sejalan dengan IWRM di negara lain seperti Belanda yang sudah menerapkan kebijakan berbasis DAS sejak tahun 1990-an. Namun, Indonesia perlu memperkuat sistem data, transparansi informasi, dan integrasi kebijakan antar daerah.
Peluang Inovasi:
Sumber:
Dokumen "PSDA Terpadu". Konsep Pengelolaan Sumber Daya Air Terpadu, mengacu pada referensi GWP (2001), Grigg (1996), dan dokumen peraturan Indonesia.
Manajemen Air
Dipublikasikan oleh Viskha Dwi Marcella Nanda pada 22 Mei 2025
Mengapa “Praktikal IWRM” Penting Sekarang?
Lonjakan populasi, urbanisasi, dan iklim ekstrem membuat konflik air kian kompleks. Konsep Integrated Water Resources Management (IWRM) sudah diakui secara global, namun pertanyaannya: bagaimana menjalankannya di lapangan? Paper Kenji Nagata dkk. (2022) menjawab lewat pendekatan Practical IWRM—formula konkrit yang teruji di Sudan, Bolivia, Indonesia, dan Iran. Artikel ini mengulas temuan tersebut, menambahkan data terbaru, kritik, serta peluang implementasi di Indonesia dan kawasan Global South.
Dari Definisi Abstrak ke Aksi Nyata
IWRM—Konsep Besar, Eksekusi Sulit
Practical IWRM—Tiga Pilar Aksi
Pendekatan ini berfokus pada konsensus sosial sebagai inti IWRM, bukan sekadar infrastruktur.
Studi Kasus & Insight Tambahan
Sudan – Air Tanah Bara Basin: Menjaga “Tabungan” di Gurun
Opini: Tanpa skema tarif air tanah progresif dan pembatasan sumur irigasi, council baru riskan jadi “macan kertas”.
Bolivia – Cochabamba: Dari “Water War” ke Dialog
Indonesia – Jakarta: Kota Raksasa yang Terus Tenggelam
Iran – Danau Urmia: Menyelamatkan Laut Garam yang Sekarat
Analisis Kritis & Perbandingan Penelitian Lain
Rekomendasi Praktis bagi Pembuat Kebijakan
Dampak Industri & Tren Masa Depan
Kesimpulan – IWRM sebagai “Proses”, Bukan “Proyek”
Paper Nagata dkk. memecah kebuntuan IWRM dengan resep Practical. Kuncinya: (1) data objektif, (2) kemitraan setara, (3) siklus pembelajaran cepat. Keberhasilan awal di empat negara menunjukkan model ini skalabel, meski perlu penyesuaian kebijakan fiskal dan jaminan keadilan sosial.
Bottom line: Integrasi sumber daya air bukan tujuan akhir, melainkan perjalanan kolektif lintas generasi.
Sumber: Nagata, K., Shoji, I., Arima, T., Otsuka, T., Kato, K., Matsubayashi, M., & Omura, M. (2022). Practicality of integrated water resources management (IWRM) in different contexts. International Journal of Water Resources Development, 38(5), 897-919.
Teori Belajar
Dipublikasikan oleh Sirattul Istid'raj pada 22 Mei 2025
Latar Belakang: Krisis Partisipasi Siswa dalam Pembelajaran Teknik
Salah satu tantangan terbesar dalam dunia pendidikan kejuruan, terutama pada program studi Teknik Bangunan di SMK, adalah minimnya keterlibatan aktif siswa dalam proses belajar. Banyak siswa mengalami kesulitan dalam memahami materi teknis seperti konstruksi kayu, yang sering kali disampaikan secara konvensional tanpa mendorong partisipasi aktif atau pemikiran kritis. Hasilnya? Prestasi belajar yang rendah, motivasi menurun, dan pemahaman konsep yang dangkal.
Artikel karya Elisabeth Ado Bue dan Dr. Nurmi Frida DBP ini hadir sebagai respons terhadap permasalahan tersebut. Penelitian mereka mengeksplorasi penerapan model pembelajaran berbasis masalah (Problem-Based Learning / PBL) untuk meningkatkan tiga aspek utama dalam pendidikan kejuruan:
Prestasi belajar siswa
Kualitas mengajar guru
Aktivitas belajar siswa
Tujuan Penelitian
Penelitian ini bertujuan untuk:
Menilai efektivitas model PBL dalam meningkatkan hasil belajar siswa pada kompetensi konstruksi kayu.
Mengevaluasi perubahan cara mengajar guru sebelum dan sesudah penerapan model.
Mengamati peningkatan partisipasi aktif siswa dalam kegiatan belajar-mengajar.
Metodologi Penelitian: Pendekatan Tindakan Kelas (PTK)
Jenis penelitian yang digunakan adalah Penelitian Tindakan Kelas (PTK), dilaksanakan dalam dua siklus pembelajaran.
Tahapan PTK:
Perencanaan: Merancang silabus, bahan ajar, dan skenario pembelajaran berbasis masalah.
Tindakan: Menerapkan skenario yang dirancang di kelas.
Observasi: Guru dan tim kolaborator mengamati kegiatan siswa dan guru.
Refleksi: Mengevaluasi proses dan hasil untuk melakukan perbaikan pada siklus berikutnya.
Instrumen Data:
Tes hasil belajar siswa
Lembar observasi aktivitas guru
Lembar observasi aktivitas siswa
Kriteria ketuntasan minimal (KKM)
Hasil Penelitian: Bukti Nyata Efektivitas PBL
1. Peningkatan Prestasi Belajar
Siklus 1: Nilai rata-rata 2,8 (kategori kurang baik), ketuntasan klasikal hanya 36,36% dari 33 siswa.
Siklus 2: Nilai meningkat menjadi 3,38 (kategori baik), ketuntasan klasikal melonjak menjadi 96,96%.
2. Perubahan Gaya Mengajar Guru
Siklus 1: Skor observasi guru 2,67 (kategori cukup), ditemukan kelemahan seperti:
Tidak menyampaikan tujuan pembelajaran secara jelas.
Kurang dalam membimbing investigasi siswa.
Pengelolaan kelas yang belum efektif.
Siklus 2: Skor meningkat menjadi 3,58 (kategori baik). Guru berhasil:
Memberi motivasi di awal pelajaran.
Membimbing diskusi kelompok dan individu.
Mengelola kelas secara lebih interaktif dan dinamis.
3. Aktivitas Belajar Siswa
Siswa pada siklus awal masih pasif dan bergantung pada teman dalam tugas kelompok.
Siklus kedua menunjukkan perbaikan dalam hal:
Inisiatif bertanya kepada guru
Meningkatkan kolaborasi antaranggota kelompok
Antusias dalam diskusi dan pemecahan masalah
Studi Kasus: Implementasi Nyata di SMK Negeri 1 Madiun
Penelitian ini dilakukan di kelas X Teknik Bangunan SMKN 1 Madiun dengan total 33 siswa. Topik yang diajarkan adalah kompetensi konstruksi kayu, sebuah bidang yang membutuhkan keterampilan praktis dan pemahaman teknis.
Permasalahan Awal:
Siswa menganggap pelajaran membosankan.
Kurang percaya diri dalam bertanya dan berdiskusi.
Pembelajaran bersifat satu arah.
Solusi:
Guru menggunakan pendekatan PBL dengan kasus nyata.
Siswa diberi peran aktif untuk memecahkan permasalahan teknis.
Guru berperan sebagai fasilitator, bukan hanya pemberi informasi.
Opini Kritis & Nilai Tambah
Kelebihan Penelitian:
Relevansi tinggi dengan konteks pendidikan kejuruan.
Metodologi PTK sangat tepat untuk mengevaluasi proses pembelajaran secara iteratif.
Data kuantitatif dan kualitatif seimbang, memberikan gambaran menyeluruh.
Kritik Konstruktif:
Penelitian belum membandingkan PBL dengan metode lain (misalnya: direct instruction atau cooperative learning).
Fokus hanya pada satu kelas dan satu kompetensi (konstruksi kayu), sehingga generalisasi ke mata pelajaran lain belum tentu valid.
Kaitan dengan Tren Pendidikan Global
Penerapan PBL bukanlah hal baru di dunia pendidikan internasional. Di negara-negara seperti Finlandia dan Singapura, pendekatan berbasis masalah telah menjadi standar dalam pendidikan kejuruan. Menurut Barrows (1986), PBL efektif dalam meningkatkan kemampuan berpikir kritis, kolaborasi, dan penerapan konsep ke situasi nyata—semua ini adalah soft skill yang sangat dibutuhkan di dunia kerja konstruksi.
Penelitian Elisabeth dan Nurmi ini menjadi bukti bahwa penerapan pendekatan global seperti PBL bisa sukses diimplementasikan dalam konteks lokal Indonesia dengan modifikasi yang sesuai.
Implikasi Praktis
Berdasarkan temuan penelitian, berikut beberapa saran yang dapat diterapkan:
Guru SMK sebaiknya diberikan pelatihan intensif terkait metode PBL agar lebih percaya diri dalam memfasilitasi proses belajar aktif.
Siswa Teknik Bangunan perlu didorong untuk lebih banyak melakukan praktik lapangan berbasis kasus nyata.
Kurikulum SMK perlu memasukkan elemen PBL secara sistematis, bukan hanya sebagai eksperimen kelas.
Kesimpulan: Pendidikan yang Menghidupkan Konstruksi
Penelitian ini membuktikan bahwa model Pembelajaran Berbasis Masalah (PBL) dapat secara signifikan meningkatkan hasil belajar siswa, memperbaiki kualitas pengajaran guru, serta mendorong siswa untuk aktif, bertanya, dan berpikir kritis.
Model ini ideal untuk kompetensi kejuruan yang bersifat aplikatif, seperti konstruksi kayu. Maka, penelitian ini layak menjadi referensi wajib bagi para guru SMK, pengembang kurikulum, dan praktisi pendidikan vokasi.
Sumber Artikel
Penelitian ini dapat diakses dalam:
Elisabeth Ado Bue & Dr. Nurmi Frida DBP (2016). "Meningkatkan Prestasi Belajar Siswa dengan Penerapan Model Pembelajaran Berbasis Masalah pada Kompetensi Konstruksi Kayu Kelas X Program Studi Keahlian Teknik Bangunan SMK Negeri 1 Madiun."
Dipublikasikan di Jurnal Kajian Pendidikan Teknik Bangunan, Vol. 3 No. 3 (2016), halaman 113–117.
Website Jurnal Resmi: tekniksipilunesa.org
Sumber Daya
Dipublikasikan oleh Viskha Dwi Marcella Nanda pada 22 Mei 2025
Pendahuluan: Udara, Sumber Kehidupan yang Kini Terancam
Air adalah sumber daya vital yang menopang kehidupan, pembangunan, dan ekosistem. Namun kenyataannya, lebih dari dua miliar manusia kini hidup dalam tekanan udara tinggi, dan 700 juta lainnya diprediksi akan mengungsi akibat kelangkaan udara pada tahun 2030 (UN Environment, 2018). Krisis ini bukan hanya soal ketersediaan fisik air, melainkan cara kita mengelolanya.
Di akhir konsep Pengelolaan Sumber Daya Air Terpadu (IWRM) mengambil peran penting. Makalah yang ditulis oleh Alesia Dedaa Ofori dan Anna Mdee (2021) membedah pendekatan holistik ini dengan detail mendalam, membahas sejarah, konsep, praktik, serta tantangan aktualnya dalam konteks pencapaian Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (SDG 6).
Apa Itu IWRM? Memahami Inti Konsepnya
Definisi dan Pilar Utama
IWRM adalah pendekatan yang mengintegrasikan seluruh aspek pengelolaan udara—baik dari sisi sosial, ekonomi, ekologi, maupun institusional. Tujuannya adalah memastikan pemanfaatan udara yang efisien, berkeadilan, dan berkelanjutan. Konsep ini dirumuskan dengan prinsip empat utama dalam Konferensi Dublin 1992:
Prinsip-prinsip ini bukan sekedar idealisme teoritis, melainkan dasar untuk reformasi kebijakan di berbagai negara.
Evolusi Pengelolaan Air: Dari Sektor Tertutup ke Pendekatan Terintegrasi
Dari Praktik Terfragmentasi ke Kebutuhan Integrasi
Sebelum era IWRM, pengelolaan air kerap terpecah-pecah. Misalnya, di Amerika Serikat dan Tiongkok, udara permukaan dan udara tanah dikelola oleh lembaga yang berbeda tanpa koordinasi. Hasilnya? Konflik antarsektor, inefisiensi, dan ketidakadilan dalam alokasi.
IWRM hadir menjawab masalah ini dengan semangat kolaboratif lintas sektor, mulai dari energi, pertanian, hingga lingkungan hidup. Namun sebagaimana dijelaskan dalam makalah, transisi ini tidak mudah.
Studi Kasus Ghana: Implementasi IWRM di Dunia Nyata
Reformasi Struktural dan Tantangan Lapangan
Ghana merupakan salah satu negara di Sub-Sahara Afrika yang menerapkan IWRM secara progresif. Sejak tahun 1996, negara ini membentuk Komisi Sumber Daya Air (WRC) dan mengembangkan rencana IWRM di berbagai wilayah sungai seperti Densu, Pra, dan White Volta.
Prosesnya melibatkan pemetaan pemangku kepentingan, studi sosial-ekonomi, hingga penguatan kapasitas lokal. Dewan Basin dibentuk secara inklusif, melibatkan aktor negara dan non-negara, termasuk tokoh adat, pemuda, perempuan, LSM, dan sektor swasta.
Namun, dalam praktiknya, banyak tantangan muncul:
Hal ini menunjukkan bahwa meskipun struktur sudah dibangun, implementasi substansial masih menjadi PR besar .
Tantangan Global dalam Mengarusutamakan IWRM
Kompleksitas Lintas Lembaga dan Sektor
Menurut laporan UNEP (2012), hanya 50% negara yang benar-benar mampu menerapkan IWRM secara efektif. Tiga tantangan utama yang muncul adalah:
Lebih jauh lagi, makalah ini mengkritisi bahwa banyak negara hanya menyesuaikan kebijakan di atas kertas untuk memenuhi syarat bantuan donor internasional, tanpa komitmen nyata di lapangan.
IWRM vs Nexus: Saling Lengkap atau Saling Gantikan?
IWRM sering dibandingkan dengan pendekatan water-energy-food nexus . Nexus menempatkan udara, pangan, dan energi dalam bobot yang seimbang. Sebaliknya, IWRM tetap menjadikan udara sebagai pusat, namun menyerap dimensi lain dalam kerangka integratif.
Alih-alih bersaing, pendekatan ini seharusnya dipandang sebagai strategi sinergi , terutama dalam konteks perubahan iklim dan krisis multidimensi.
Dimensi Sosial IWRM: Inklusi, Keadilan, dan Gender
Perempuan sebagai Agen Kunci
Dalam banyak budaya, perempuan bertanggung jawab atas rumah tangga. IWRM mengakui peran penting ini dan menempatkan perempuan sebagai aktor penting dalam pengambilan keputusan. Ini menjadi sorotan yang kuat di dalam kertas, sebagai kemajuan signifikan dalam tata kelola sumber daya alam yang sensitif gender .
Keadilan Sosial dan Akses Air
Udara adalah hak dasar manusia. Namun kenyataannya, distribusi udara masih sangat timpang. IWRM berupaya merespons dengan mendorong tarif udara yang adil, perizinan transparan, dan melindungi kelompok rentan. Hal ini sejalan dengan dimensi sosial SDG 6.
Pelajaran Kebijakan dan Rekomendasi Strategi
Kunci Sukses Implementasi IWRM
Dari hasil kajian dan praktik di Ghana serta negara-negara lain, berikut beberapa pelajaran penting:
Tantangan Masa Depan
Penutup: IWRM Bukan Sekadar Teknokrasi, tapi Perjuangan Kolektif
Seperti yang ditegaskan Ofori dan Mdee, IWRM bukanlah solusi instan, melainkan proses panjang yang politis, partisipatif, dan penuh negosiasi. Pendekatan ini menawarkan harapan untuk masa depan yang lebih adil dan berkelanjutan dalam pengelolaan udara—tetapi hanya jika dijalankan secara inklusif dan konsisten.
Sumber Utama:
Ofori, AD, & Mdee, A. (2021). Pengelolaan Sumber Daya Air Terpadu . Dalam W. Leal Filho dkk. (Eds.), Air Bersih dan Sanitasi, Ensiklopedia Tujuan Pembangunan Berkelanjutan PBB . Springer.
Proyek Kontruksi
Dipublikasikan oleh Sirattul Istid'raj pada 22 Mei 2025
Pendahuluan: Mengapa Produktivitas Adalah Isu Kritis?
Dalam dunia konstruksi, produktivitas tenaga kerja telah menjadi perhatian utama bagi kontraktor, pemilik proyek, hingga pemerintah. Masalah klasik seperti keterlambatan proyek, pembengkakan biaya, dan penurunan kualitas sering kali berakar dari produktivitas kerja yang rendah. Hal inilah yang melatarbelakangi penelitian David Trisno dan timnya yang fokus pada dua kota besar: Surabaya dan Samarinda.
Artikel ini bukan hanya sekadar mencatat data, tetapi mencoba mengungkap hubungan sebab-akibat antara berbagai faktor—baik internal maupun eksternal—dengan hasil kerja aktual di lapangan, khususnya pada pekerjaan dinding. Penelitian ini membawa pendekatan realistis melalui observasi langsung dan analisis kuantitatif yang menyentuh level operasional proyek.
Tujuan Penelitian
Penelitian ini bertujuan untuk:
Mengidentifikasi faktor-faktor utama yang memengaruhi produktivitas pekerjaan dinding.
Menganalisis faktor dominan melalui pendekatan studi lapangan pada dua kota dengan iklim dan kondisi proyek yang berbeda.
Memberikan data produktivitas aktual sebagai tolok ukur praktis bagi proyek serupa.
Metodologi: Studi Lapangan dan Kuantifikasi
Pendekatan
Penelitian ini menggunakan pendekatan studi kasus dengan metode kuantitatif. Data dikumpulkan melalui:
Observasi langsung di lapangan.
Pengambilan data produktivitas pekerjaan dinding (pasangan bata, plesteran, dan acian).
Penggunaan rumus produktivitas:
P=VT×nP = \frac{V}{T \times n}
Di mana:
PP: Produktivitas (m²/orang/hari)
VV: Volume pekerjaan
TT: Durasi pekerjaan (hari)
nn: Jumlah pekerja
Temuan Kunci: Produktivitas dan Faktor-Faktor yang Memengaruhi
Lokasi Surabaya
Data produktivitas diperoleh dari pekerjaan lantai 4 gedung di Surabaya. Hasil perhitungan menunjukkan variasi yang cukup mencolok:
Pemasangan Bata: Produktivitas tertinggi mencapai 1,32 m²/jam, terendah 0,19 m²/jam.
Plesteran: Rata-rata produktivitas berada di kisaran 0,29 – 0,49 m²/orang/jam.
Acian: Produktivitas harian tertinggi tercatat 2,32 m²/orang/jam.
Lokasi Samarinda
Data dari lantai 3 gedung di Samarinda memperlihatkan pola yang berbeda:
Pasangan Bata: Tertinggi di angka 0,45 m²/orang/jam, dengan fluktuasi lebih rendah dibandingkan Surabaya.
Plesteran: Fluktuasi rendah, rata-rata antara 0,3–0,38 m²/orang/jam.
Acian: Produktivitas puncak hingga 2,55 m²/orang/jam, cukup tinggi untuk skala proyek serupa.
Analisis Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Produktivitas
Penelitian ini mengidentifikasi dua kategori besar faktor:
1. Faktor Internal
Jumlah pekerja: Terbukti sebagai faktor paling dominan. Tim dengan komposisi ideal (misal 2 tukang + 2 pembantu) menunjukkan efisiensi kerja yang lebih stabil.
Pekerjaan pengecoran dan pemasangan scaffolding: Memberi pengaruh langsung pada jeda kerja dan distribusi tenaga.
Kualitas mortar: Pengadukan yang tidak konsisten memperlambat proses plesteran.
Rotasi tugas pekerja: Mengurangi spesialisasi dan berdampak pada waktu penyelesaian.
2. Faktor Eksternal
Cuaca: Di Samarinda, hujan berkala menjadi penyebab keterlambatan kerja, terutama pada pekerjaan luar bangunan.
Ketersediaan material: Beberapa hari dalam data menunjukkan nihilnya produktivitas karena ketiadaan bahan bangunan.
Studi Kasus & Refleksi Lapangan
Salah satu hari di Surabaya (20 Maret 2021) menunjukkan produktivitas nol akibat ketidakhadiran pekerja dan material. Ini menunjukkan pentingnya sinkronisasi antarbagian dalam proyek. Dalam proyek swasta di Jakarta (2020), penambahan sistem ERP proyek berbasis mobile berhasil mengurangi “downtime” hingga 20%, dan produktivitas meningkat 12%.
Opini dan Komentar Kritis
Kelebihan Studi:
Penyajian data harian menjadikan hasil penelitian sangat aplikatif.
Peneliti melakukan verifikasi langsung di lapangan, meningkatkan validitas hasil.
Kelemahan yang Perlu Dikritisi:
Tidak disertakan data cuaca harian untuk korelasi lebih kuat terhadap produktivitas.
Hanya fokus pada pekerjaan dinding; padahal pekerjaan lain seperti instalasi dan finishing juga memberi pengaruh terhadap ritme proyek.
Perbandingan dengan Penelitian Lain
Penelitian ini memperkuat hasil studi oleh Hutasoit & Sibi (2017) yang menyatakan bahwa jumlah pekerja dan metode kerja adalah faktor utama dalam produktivitas kerja dinding. Namun, David dkk. juga menambahkan dimensi lain: pengaruh teknis operasional seperti pengadukan mortar dan pemasangan scaffolding, yang sering kali luput diperhatikan dalam studi teoritis.
Implikasi Praktis bagi Dunia Konstruksi
Berikut beberapa rekomendasi berbasis temuan:
Atur komposisi tim kerja secara cermat: Komposisi 2 tukang + 2 pembantu tukang terbukti ideal dalam banyak kasus.
Optimalkan logistik mortar: Gunakan sistem batching onsite untuk menjaga kualitas adukan.
Buat checklist cuaca dan pasokan harian untuk menghindari hari-hari nihil produktivitas.
Digitalisasi dokumentasi produktivitas harian agar dapat dilakukan evaluasi mingguan berbasis data.
Kaitan dengan Tren Global
Produktivitas tenaga kerja konstruksi di Indonesia masih berada di bawah rata-rata Asia Tenggara. Negara seperti Vietnam dan Thailand telah menerapkan sistem reward produktivitas harian yang terbukti mendorong pekerja untuk lebih efisien. Temuan dari studi ini bisa menjadi masukan bagi kontraktor dalam negeri yang ingin mengejar ketertinggalan tersebut.
Kesimpulan: Kuantitas Pekerja Masih Jadi Kunci
Penelitian ini berhasil menunjukkan bahwa jumlah pekerja merupakan faktor dominan yang memengaruhi produktivitas pekerjaan dinding di proyek konstruksi di Indonesia. Selain itu, faktor-faktor seperti durasi pengecoran, kualitas mortar, serta kehadiran perancah (scaffolding) juga memiliki dampak nyata terhadap output harian.
Sumber Referensi
Penelitian ini dapat diakses secara lengkap di:
David Trisno, Emmanuel Wendy Secio, Sentosa Limanto. (2022). "Studi Awal pada Faktor yang Mempengaruhi Produktivitas Pekerjaan Konstruksi pada Bangunan di Surabaya dan Samarinda". Journal of Applied Civil and Environmental Engineering, Vol. 2, No. 1, pp. 33–39.
eISSN: 2775-0213 – Link Jurnal Resmi