Konstruksi
Dipublikasikan oleh Wafa Nailul Izza pada 23 Mei 2025
Mengapa PT. X Selalu Gagal Tender? Menelusuri Akar Masalah yang Kompleks
Dalam dunia konstruksi, proses tender adalah gerbang pertama menuju keberhasilan proyek. Namun, bagi PT. X—sebuah BUMN yang bergerak di bidang fabrikasi dan galangan—tender sering kali menjadi batu sandungan. Pada tahun 2015, dari 9 kali keikutsertaan tender di sektor minyak dan gas, divisi General Engineering PT. X gagal memenangkan satu pun, dengan 77,8% kekalahan dan 22,2% tender ditunda. Pertanyaannya: mengapa tingkat kegagalan begitu tinggi?
Penelitian yang dilakukan oleh Dewi Masitah dalam tugas akhirnya di Institut Teknologi Sepuluh Nopember menganalisis fenomena ini dengan pendekatan kuantitatif dan metode ganda: Failure Mode and Effect Analysis (FMEA) serta Fault Tree Analysis (FTA). Melalui dua metode ini, peneliti tidak hanya mengidentifikasi faktor kegagalan, tapi juga memetakan sumber penyebab kegagalan paling kritis dalam sistem tender PT. X.
Metode Analisis: FMEA dan FTA Sebagai Alat Diagnostik
Failure Mode and Effect Analysis (FMEA) FMEA digunakan untuk menentukan prioritas risiko berdasarkan nilai Risk Priority Number (RPN), yang diperoleh dari perkalian Severity, Occurrence, dan Detection.
Fault Tree Analysis (FTA) FTA melengkapi FMEA dengan menganalisis akar penyebab kegagalan melalui pemetaan hubungan logika antar kejadian (basic event). Hasilnya:
Dua Faktor Kritis: Dokumen Lemah dan Estimasi Tidak Realistis
Kualitas Dokumen Tender yang Buruk Dari hasil observasi dan kuesioner, ditemukan bahwa dokumen tender PT. X sering:
Contoh kasus nyata di lapangan menunjukkan bahwa dokumen tender yang tidak lengkap dapat langsung menggugurkan partisipasi dari seleksi awal.
Estimasi Biaya yang Tidak Kompetitif Kesalahan estimasi meliputi:
Salah satu kasus menunjukkan bahwa PT. X memberikan penawaran 15% lebih tinggi dibanding kompetitor karena mengandalkan data lama tanpa penyesuaian terhadap kondisi pasar terkini.
Sumber Penyebab: Analisis Mendalam dari FTA
Melalui analisis pohon kesalahan, ditemukan bahwa:
Semua faktor ini terjalin erat dan membentuk mata rantai penyebab yang menjatuhkan peluang PT. X.
Studi Banding dan Implikasi Praktis
Bandingkan dengan PT. Y Dalam studi pembanding tak langsung, PT. Y yang memenangkan lebih dari 60% tender tahun yang sama, menerapkan strategi:
Hal ini menunjukkan bahwa kesuksesan tender tidak hanya soal harga, tetapi juga strategi, komunikasi, dan ketepatan informasi.
Rekomendasi Praktis untuk PT. X
1. Tingkatkan kompetensi SDM: Pelatihan intensif tentang penyusunan dokumen dan estimasi biaya.
2. Gunakan basis data aktual: Jangan mengandalkan referensi proyek lama.
3. Buat tim lintas fungsi: Gabungkan engineer, estimator, legal, dan marketing dalam satu meja.
4. Gunakan checklist standar FMEA untuk tender: Untuk setiap proyek, nilai risiko harus dinilai dan disepakati.
5. Lakukan evaluasi pasca-tender: Apa yang salah? Apa yang bisa diperbaiki?
Kritik terhadap Penelitian
Penelitian ini sangat bermanfaat, tetapi tidak tanpa keterbatasan:
Namun, metode yang digunakan sudah sangat representatif untuk studi kegagalan tender.
Penutup: Saatnya Tender Menjadi Keunggulan Strategis
Kegagalan tender tidak selamanya buruk, asalkan perusahaan mampu belajar dan beradaptasi. PT. X memiliki peluang besar untuk berbenah dengan menyusun strategi manajemen tender yang lebih solid. Paper ini menyajikan kerangka dan data yang dapat dijadikan acuan untuk memperbaiki sistem internal perusahaan—mulai dari kualitas dokumen, kemampuan estimasi, hingga pendekatan komunikasi terhadap klien.
Ke depan, perusahaan jasa konstruksi harus mulai memandang tender bukan sebagai proses administratif, melainkan sebagai instrumen kompetitif dan refleksi profesionalisme perusahaan.
Sumber:
Masitah, Dewi. (2016). Analisa Kegagalan Pada Proses Tender Pekerjaan Konstruksi Di PT. X. Institut Teknologi Sepuluh Nopember. Diakses dari https://repository.its.ac.id/4163
Pemborosan Kontruksi
Dipublikasikan oleh Wafa Nailul Izza pada 23 Mei 2025
Pendahuluan: Mengapa Pemborosan Masih Jadi Isu Kritis di Industri Konstruksi Indonesia?
Industri konstruksi di Indonesia merupakan sektor krusial dalam pembangunan nasional. Dengan menyerap sekitar 4,2 juta tenaga kerja atau 4,83% dari total angkatan kerja pada 1997, sektor ini menempati posisi ketiga setelah industri makanan dan tekstil. Namun, pertumbuhan kuantitas tidak diimbangi oleh kualitas, terbukti dengan 88% tenaga kerja tergolong tidak terampil. Salah satu permasalahan utama yang masih membayangi industri ini adalah pemborosan (waste) dalam pelaksanaan proyek.
Paper "Waste in the Indonesian Construction Projects" karya Sugiharto Alwi, Keith Hampson, dan Sherif Mohamed (2002) menyajikan studi mendalam terkait insiden pemborosan dalam proyek konstruksi non-residensial dan infrastruktur di Indonesia. Fokus utama penelitian ini adalah pada aktivitas non-nilai tambah yang merugikan produktivitas dan performa kontraktor. Artikel ini meresensi dan menganalisis lebih jauh temuan dalam paper tersebut, memperkaya dengan interpretasi, data, studi kasus, dan sudut pandang industri terkini.
Metodologi Kuantitatif dalam Menelusuri Sumber Pemborosan
Penelitian ini menggunakan pendekatan kuantitatif melalui penyebaran 300 kuesioner kepada 125 perusahaan kontraktor, dengan tingkat respons sekitar 40% (99 responden dari 46 kontraktor). Para responden terdiri dari Project Manager, Site Manager, hingga Supervisor, dengan rata-rata pengalaman kerja 13 tahun.
Sebanyak 53 variabel yang berkontribusi terhadap pemborosan diidentifikasi dan dikelompokkan menjadi dua kategori utama:
Analisis dilakukan menggunakan paired-samples t-test dan model skor tertimbang untuk menentukan signifikansi tiap variabel.
Variabel Pemborosan Utama: Kombinasi Buruk antara Waktu, Sumber Daya, dan Koordinasi
Lima Variabel Pemborosan Teratas
Hasil pengolahan data menunjukkan enam variabel paling signifikan dalam memicu pemborosan:
1. Perbaikan pekerjaan finishing
2. Menunggu material
3. Keterlambatan jadwal
4. Pekerja lamban atau tidak efektif
5. Pemborosan bahan baku di lokasi
6. Kurangnya pengawasan
Sebagai contoh, pada proyek gedung perkantoran di Jakarta Selatan tahun 2021, keterlambatan pasokan keramik menyebabkan pengerjaan ulang lantai yang berdampak pada pergeseran jadwal 3 minggu dan biaya tambahan Rp150 juta.
Pengawasan yang lemah juga menjadi sorotan. Menurut Alwi dkk., pengawas sering kali tidak terlibat aktif dalam proses harian sehingga koreksi atas pekerjaan salah dilakukan terlambat. Akibatnya, terjadi rework yang tidak hanya memboroskan waktu, tetapi juga material.
Akar Masalah: Penyebab Utama Pemborosan Konstruksi
Tujuh Penyebab Dominan Pemborosan
Tujuh penyebab utama yang diidentifikasi dari hasil uji t adalah:
Contoh aktualnya terjadi pada pembangunan jembatan di Kalimantan Timur, di mana perubahan desain struktur akibat permintaan tambahan estetika dari pemilik proyek menyebabkan pekerjaan pondasi harus diulang. Biaya proyek membengkak 12% dan mundur dari jadwal semula.
Ketidakmampuan pekerja dalam membaca gambar teknis juga diangkat sebagai masalah klasik. Banyak pekerja lapangan merepresentasikan keterampilan berdasarkan pengalaman kerja informal dan tidak melalui pelatihan struktural.
Strategi Identifikasi dan Dokumentasi Pemborosan
Alwi dkk. menyarankan pendekatan dokumentasi yang ketat sebagai langkah awal mitigasi pemborosan.
Langkah-langkah Identifikasi:
Implementasi sistem ini memungkinkan deteksi dini masalah, seperti tumpang tindih pekerjaan atau pengulangan pekerjaan karena salah spesifikasi.
Alat bantu yang disarankan:
Solusi Alternatif: Meretas Jalan Menuju Konstruksi Efisien
Penelitian ini tidak berhenti pada identifikasi masalah, tetapi juga menawarkan solusi konkret:
Studi oleh Koskela (1992) memperkuat pandangan ini, bahwa pengurangan pemborosan harus berbasis pada pemahaman proses produksi secara menyeluruh dan kolaboratif.
Kritik dan Komparasi: Di Mana Letak Kelemahan Studi Ini?
Walau penelitian ini memberikan fondasi kuat untuk memahami pemborosan dalam proyek konstruksi di Indonesia, beberapa catatan perlu dikemukakan:
Namun, kekuatan utama riset ini adalah pada pendekatan sistematis dan keterlibatan praktisi langsung dari lapangan.
Kesimpulan: Membumikan Konsep "Lean" di Proyek Konstruksi Indonesia
Pemborosan dalam proyek konstruksi Indonesia bukan sekadar kehilangan material, tapi juga mencakup waktu yang terbuang, tenaga kerja tidak efektif, dan lemahnya koordinasi. Paper Alwi dkk. memberikan kontribusi nyata dalam membuka pemahaman mendalam atas isu ini.
Melalui identifikasi variabel dan penyebab pemborosan, disertai strategi dokumentasi dan alternatif solusi, penelitian ini menegaskan bahwa peningkatan performa proyek tidak hanya soal teknologi, tetapi juga pengelolaan sumber daya manusia, koordinasi, dan budaya kerja.
Industri konstruksi Indonesia membutuhkan sistem yang adaptif, kolaboratif, dan berbasis data untuk membangun proyek yang lebih efisien, hemat biaya, dan tepat waktu.
Sumber:
Alwi, S., Hampson, K., & Mohamed, S. (2002). Waste in the Indonesian Construction Projects. Proceedings of the 1st International Conference of CIB W107 – Creating a Sustainable Construction Industry in Developing Countries, pp. 305–315. CSIR, South Africa. Diakses dari: https://eprints.qut.edu.au/4163/