Perubahan Global

Mengelola Air di Dunia Multilevel: Tantangan Skala dan Masa Depan Tata Kelola Lingkungan

Dipublikasikan oleh Izura Ramadhani Fauziyah pada 16 Juni 2025


Air dan Skala sebagai Isu Kunci Tata Kelola Lingkungan Global

Air merupakan sumber daya yang lintas batas, baik secara geografis maupun kelembagaan. Dalam konteks krisis iklim dan urbanisasi cepat, air tak hanya menjadi "emas biru" yang kian langka, tetapi juga menjadi pusat perdebatan tata kelola lintas skala (multilevel governance). Artikel oleh Timothy Moss dan Jens Newig (2010) menjadi salah satu rujukan penting dalam membingkai tantangan "skala" dalam tata kelola air modern. Artikel ini mengajak pembaca memahami bahwa masalah air tidak bisa ditangani hanya pada satu tingkat pemerintahan—baik lokal maupun global—melainkan membutuhkan pendekatan lintas-skala dan lintas-aktor.

Apa Itu Masalah Skala? Memahami Dimensi Biogeofisik dan Kelembagaan

Skala dalam tata kelola lingkungan memiliki dua dimensi utama:

  1. Dimensi Biogeofisik (Hydrological scale) – seperti DAS (Daerah Aliran Sungai), danau, atau cekungan air tanah.
  2. Dimensi Institusional/Politik – seperti desa, kota, negara bagian, atau level supranasional (misalnya Uni Eropa).

Masalah muncul ketika kedua dimensi ini tidak saling "fit". Misalnya, batas administratif tidak selalu sesuai dengan batas ekosistem air. Hal ini memicu berbagai masalah:

  • Misfit scalar: Ketika sistem kelembagaan tidak sejalan dengan proses ekologi (misalnya, DAS yang membentang lintas wilayah administratif).
  • Vertical interplay: Ketegangan antara kebijakan pusat dan lokal.
  • Rescaling: Perubahan level tata kelola, baik karena desentralisasi (ke bawah) atau integrasi regional (ke atas).
  • Up/downscaling: Generalisasi kebijakan dari satu skala ke skala lain, yang seringkali tidak kontekstual.

Tata Kelola Air Multilevel: Kompleksitas Tak Terelakkan

Pengelolaan air kini tidak lagi menjadi ranah satu aktor tunggal. Dalam era "governance", keterlibatan banyak pihak—pemerintah, swasta, masyarakat sipil, komunitas lokal, hingga organisasi supranasional—menjadi keniscayaan. Konsekuensinya, tata kelola air menjadi arena yang sangat sensitif terhadap dinamika skala.

Studi Kasus: Water Framework Directive (WFD) Uni Eropa

WFD mensyaratkan pengelolaan air berdasarkan DAS, bukan batas negara atau provinsi. Ini menimbulkan rekonfigurasi kekuasaan, di mana aktor-aktor yang mampu beroperasi lintas skala (misalnya LSM besar atau birokrasi pusat) cenderung lebih dominan dibanding komunitas lokal.

Dilema Demokrasi dalam Tata Kelola Air

Artikel ini menyoroti dilema mendasar dalam tata kelola multilevel: antara partisipasi warga (input legitimacy) dan efektivitas kebijakan (output legitimacy).

  • Semakin tinggi level pengambilan keputusan, semakin sulit bagi warga biasa untuk berpartisipasi secara langsung.
  • Semakin rendah level (lokal), efektivitas dalam mengatasi isu kompleks seperti polusi lintas batas atau perubahan iklim juga menurun.

Robert Dahl (1994) menyebut ini sebagai “dilema demokrasi antara partisipasi warga dan efektivitas sistem.”

Sudut Pandang Disipliner: Beragam, Tapi Saling Melengkapi

Artikel ini memperkenalkan pendekatan interdisipliner terhadap masalah skala dalam tata kelola air. Beberapa pendekatan yang dibahas antara lain:

  1. Pendekatan Federalisme Ekonomi (Benson & Jordan)
    Menekankan distribusi fungsi pemerintahan dan pembiayaan antar skala. Mereka membedakan tiga jenis "spillovers":
    • Pollution spillover (contoh: limbah yang meresap ke wilayah tetangga),
    • Competitive spillover (contoh: kompetisi antar wilayah untuk investasi yang melemahkan standar lingkungan),
    • Preservation spillover (contoh: wisatawan dari kota lain yang memanfaatkan keindahan alam wilayah tertentu tanpa berkontribusi langsung pada pelestariannya).
  2. Ekonomi Biaya Transaksi (Roggero & Fritsch)
    Mengkaji efisiensi rescaling dalam pengelolaan Lagoon Venice, Italia, dengan mempertimbangkan biaya koordinasi antarlembaga pada berbagai level.
  3. Deliberatif-Partisipatif (Dore & Lebel)
    Melalui studi tentang Mekong, mereka mendorong deliberasi sebagai jalan tengah untuk mengatasi kompleksitas skala sambil meningkatkan legitimasi.
  4. Pendekatan Geografi Kritis (Thiel, Vreugdenhil dkk.)
    Menjelaskan bagaimana skala merupakan produk sosial-politik yang dinegosiasikan, bukan sesuatu yang alami. Skala adalah alat kekuasaan.

Studi Kasus dan Temuan Kunci:

1. Mekong River (Asia Tenggara) – Dore & Lebel

Dalam pengelolaan Sungai Mekong, skala dipolitisasi oleh berbagai aktor. Negara bagian, LSM, dan lembaga internasional masing-masing "memainkan" skala yang sesuai kepentingan mereka:

  • Negara nasional cenderung mengutamakan skala administratif,
  • LSM menggunakan skala ekosistem untuk mendorong pelestarian,
  • Investor memainkan skala ekonomi (wilayah industri atau turisme).

Temuan penting: Partisipasi tidak cukup; aktor juga harus memiliki kapasitas lintas-skala agar benar-benar berpengaruh.

2. Algarve, Portugal – Thiel

Pemerintah pusat menggunakan dana Uni Eropa dan argumen krisis air untuk merebut kembali kontrol dari pemerintah lokal. Dengan dalih krisis, terjadi "upscaling" kekuasaan. Tujuannya? Melayani kepentingan turisme dan agribisnis skala besar.

3. The Netherlands – Vreugdenhil et al.

Dalam upaya restorasi floodplain, ditemukan bahwa perbedaan pemahaman tentang "skala yang relevan" (ekologis vs administratif) memicu konflik antar aktor. Para peneliti mengusulkan "mapping perbedaan skalar" untuk mengidentifikasi titik benturan sejak awal.

Menantang Kebijakan Konvensional: Apakah Skala DAS Selalu Ideal?

Pendekatan river basin management telah menjadi paradigma dominan. Namun, artikel ini mempertanyakan keabsahan universal dari pendekatan ini:

  • Dalam kasus EU WFD, Moss menunjukkan bahwa pemaksaan pengelolaan berdasarkan DAS bisa mengabaikan konteks lokal.
  • Benson & Jordan membandingkan pendekatan terpusat UE dengan desentralisasi di Australia. Kesimpulan: tidak ada satu model skala yang cocok untuk semua situasi.
  • Dalam banyak kasus, DAS sebagai unit pengelolaan bisa menciptakan masalah baru jika tidak diikuti dengan restrukturisasi kelembagaan dan partisipasi sejati.

Skala sebagai Produk Politik: Siapa Diuntungkan, Siapa Tersingkir?

Skala bukan sekadar unit spasial. Dalam banyak kasus, skala dikonstruksi untuk melayani kekuasaan. Beberapa temuan menarik:

  • Aktor besar (negara, perusahaan) lebih mampu melakukan "scale jumping" untuk mendapatkan pengaruh.
  • Skala bisa digunakan untuk melegitimasi intervensi eksternal—misalnya, Uni Eropa mengintervensi lokalitas atas nama koordinasi lintas batas.
  • Skala sering dijadikan "pembungkus" narasi—misalnya, "masalah ini terlalu besar untuk lokal, perlu pengelolaan global".

Implikasi Praktis dan Rekomendasi:

Untuk Peneliti:

  • Gunakan pendekatan lintas skala dan interdisipliner dalam studi kebijakan air.
  • Hindari asumsi bahwa "skala DAS" selalu solusi terbaik.

Untuk Pengambil Kebijakan:

  • Akui bahwa skala bersifat dinamis dan dapat dinegosiasikan.
  • Rancang kebijakan dengan mempertimbangkan konflik skalar dan potensi manipulasi kekuasaan.
  • Perkuat kemampuan komunitas lokal agar dapat berpartisipasi secara bermakna lintas skala.

Untuk Aktivis Lingkungan:

  • Kuasai narasi dan peta skala untuk mengadvokasi kebijakan.
  • Bangun koalisi lintas level: dari komunitas lokal hingga forum internasional.

Kesimpulan: Skala Bukan Masalah Teknis, Tapi Politik

Artikel ini berhasil membongkar mitos teknokratis dalam pengelolaan air. Masalah skala bukan soal teknis belaka, melainkan medan perebutan kekuasaan, legitimasi, dan efisiensi. Dalam era tata kelola lingkungan yang semakin kompleks dan saling terhubung, memahami dinamika skala menjadi kunci untuk merancang kebijakan yang adil, efektif, dan berkelanjutan.

Bukan lagi pertanyaan “di level mana keputusan harus dibuat?”, melainkan “siapa yang mengontrol skala, dan untuk tujuan siapa?”.

Sumber Artikel:

Moss, T., & Newig, J. (2010). Multilevel Water Governance and Problems of Scale: Setting the Stage for a Broader Debate. Environmental Management, 46, 1–6. DOI: 10.1007/s00267-010-9531-1

Selengkapnya
Mengelola Air di Dunia Multilevel: Tantangan Skala dan Masa Depan Tata Kelola Lingkungan

Perubahan Global

Melangkah Mundur dari Jurang Krisis: Transformasi Pengelolaan Lahan demi Masa Depan Bumi

Dipublikasikan oleh Izura Ramadhani Fauziyah pada 16 Juni 2025


Planet dalam Titik Kritis

Ketika dunia memperingati 30 tahun Konvensi PBB untuk Memerangi Penggurunan (UNCCD), kita justru dihadapkan pada kenyataan yang mengkhawatirkan: enam dari sembilan batas planet telah dilampaui. Laporan khusus dari Potsdam Institute for Climate Impact Research (PIK), bertajuk “Stepping Back from the Precipice”, menyampaikan pesan yang tegas: kita tidak bisa menunda transformasi dalam cara kita mengelola lahan.

Lahan bukan sekadar ruang fisik, tetapi fondasi kehidupan. Ia menopang iklim, menjaga keanekaragaman hayati, menyimpan karbon, menyediakan pangan, dan mendukung budaya. Namun, aktivitas manusia seperti deforestasi, pertanian intensif, dan urbanisasi telah mendorong sistem bumi ke arah titik kritis yang berisiko memicu keruntuhan ekologis.

Kerangka Batas Planet: Sinyal Bahaya Global

Konsep planetary boundaries yang dipelopori oleh Johan Rockström dkk. mengidentifikasi sembilan proses penting dalam sistem bumi yang memiliki ambang batas aman. Jika terlampaui, risiko terjadinya perubahan besar yang tak dapat dipulihkan meningkat drastis.

Dari sembilan batas ini, tujuh sangat dipengaruhi oleh penggunaan lahan:

  • Perubahan sistem lahan
  • Perubahan iklim
  • Gangguan integritas biosfer
  • Perubahan air tawar
  • Aliran biogeokimia (nitrogen dan fosfor)
  • Entitas baru (polutan sintetis)
  • Beban aerosol atmosfer

Fakta mengejutkan: enam dari sembilan batas telah dilampaui, termasuk batas untuk perubahan sistem lahan, integritas biosfer, dan aliran nitrogen. Hanya dalam waktu kurang dari dua abad, umat manusia telah mengguncang stabilitas bumi yang dibangun selama 11.700 tahun era Holosen.

Skala Kerusakan: Dari Amazon hingga Sawah Subur

Laporan PIK menunjukkan bahwa hanya 60% dari tutupan hutan global yang masih tersisa – jauh di bawah ambang batas 75% yang dibutuhkan untuk stabilitas iklim global. Dalam beberapa dekade terakhir:

  • 90% deforestasi disebabkan oleh ekspansi pertanian
  • Savana dan padang rumput kehilangan fungsinya karena konversi lahan
  • Daerah kering (drylands) mengalami desertifikasi permanen akibat overgrazing dan kekeringan

Sebagai contoh, hutan Amazon mengalami deforestasi begitu parah hingga memicu umpan balik yang mempercepat pengeringan kawasan tersebut. Studi menyebutkan potensi tipping point yang bisa mengubah kawasan ini dari penyerap karbon menjadi sumber emisi.

Biaya Nyata: Triliunan Dolar dan Krisis Pangan

Nilai kerugian dari degradasi lahan tidak main-main. Menurut inisiatif Economics of Land Degradation (ELD), kehilangan jasa ekosistem akibat degradasi lahan mencapai antara USD 6,3 hingga 10,6 triliun per tahun.

Kehilangan ini tidak hanya berdampak ekologis, tetapi juga ekonomi dan sosial:

  • Penurunan produktivitas pertanian
  • Krisis air dan kekeringan
  • Konflik lahan dan migrasi ekologis
  • Ketimpangan sosial akibat akses lahan yang tidak merata

Dimensi Sosial-Ekonomi: Siapa yang Paling Rentan?

Transformasi lahan sering terjadi tanpa memperhatikan dimensi keadilan. Laporan PIK menyoroti kelompok paling terdampak:

  • Petani kecil yang kehilangan akses tanah subur
  • Komunitas adat yang tergeser oleh ekspansi agribisnis
  • Perempuan yang tidak memiliki hak atas lahan
  • Masyarakat urban yang terancam oleh banjir akibat betonisasi lahan hijau

Ketidakadilan distribusi manfaat dan beban ini memperparah risiko sosial, memperdalam ketimpangan, dan menghambat partisipasi publik dalam restorasi lahan.

Transformasi Nyata: Strategi Keluar dari Jurang Krisis

Laporan PIK menyarankan enam pendekatan transformatif untuk menjaga keberlanjutan sistem lahan:

1. Produktivitas dan Kesehatan Tanah

Intensifikasi berkelanjutan (sustainable intensification) diperlukan untuk meningkatkan hasil tanpa merusak tanah. Teknologi organik, rotasi tanaman, dan agroekologi terbukti memperbaiki produktivitas sekaligus menjaga kualitas tanah.

2. Restorasi Ekosistem

Contoh sukses datang dari program “Green Great Wall” di Afrika dan restorasi hutan mangrove di Asia Tenggara yang tidak hanya menahan abrasi tetapi juga memperbaiki perikanan pesisir.

3. Manajemen Air Berbasis Ekosistem

Dengan 18% daratan dunia kini mengalami kekeringan ekstrem (indikator blue water) dan 15,8% menghadapi kehilangan kelembaban tanah (green water), diperlukan pendekatan berbasis ekohidrologi dan efisiensi irigasi.

4. Solusi Digital

Pemanfaatan AI, big data, dan remote sensing dalam pemetaan degradasi lahan dan pengambilan keputusan berbasis bukti semakin krusial.

5. Integrasi Rantai Pasok

Kebijakan lahan tidak bisa dipisahkan dari konsumsi global. Praktik produksi kedelai di Amerika Selatan, misalnya, terkait erat dengan permintaan pakan di Eropa dan Asia. Transparansi rantai pasok dan jejak karbon produk pertanian perlu ditingkatkan.

6. Perbaikan Tata Kelola

Laporan menyoroti pentingnya kepastian hak atas tanah, transparansi, dan insentif fiskal untuk restorasi. Subsidi yang justru mendorong deforestasi perlu direformasi.

Studi Kasus Inspiratif: Harapan dari Berbagai Belahan Dunia

• Ethiopia: Regreening Highlands

Melalui community-led watershed management, lebih dari 3 juta hektar lahan berhasil direstorasi. Peningkatan tutupan vegetasi berdampak positif pada air tanah dan ketahanan pangan.

• Brasil: Pembatasan Legal Amazon

Meskipun mendapat tekanan dari ekspansi pertanian, beberapa wilayah di Brasil berhasil menurunkan deforestasi melalui sistem monitoring berbasis satelit, penegakan hukum, dan insentif bagi petani kecil.

• India: Digital Soil Health Cards

Program ini meningkatkan efisiensi penggunaan pupuk dan memperbaiki hasil panen di lebih dari 140 juta petani.

Pendekatan Adil: Transformasi Tidak Bisa Seragam

Laporan PIK menegaskan pentingnya prinsip keadilan dan inklusivitas dalam aksi transformatif. Tidak semua negara, komunitas, atau individu memiliki kapasitas yang sama untuk bertindak. Oleh karena itu, pendekatan berbasis fair share, pengurangan jejak ekologis negara maju, dan dukungan keuangan internasional menjadi sangat penting.

Rekomendasi Kebijakan: Dari Ilmiah ke Implementasi

  1. Integrasikan batas planet dalam kebijakan nasional dan lokal.
  2. Berikan prioritas pendanaan untuk restorasi dan pengelolaan lahan berkelanjutan.
  3. Bangun mekanisme partisipatif yang melibatkan masyarakat akar rumput.
  4. Reformasi sistem subsidi pertanian dan kehutanan agar sejalan dengan keberlanjutan.
  5. Gunakan kerangka kerja batas planet sebagai alat pengambilan keputusan dalam perdagangan, investasi, dan infrastruktur.

Penutup: Kita Masih Bisa Melangkah Mundur

Laporan PIK memberikan kita peta jalan untuk menghindari bencana ekologi yang sedang mengintai. Dengan pengelolaan lahan yang berkeadilan, berbasis data, dan kolaboratif lintas sektor, kita masih memiliki peluang untuk melangkah mundur dari jurang.

Masa depan tidak ditentukan oleh ketidakpastian, tetapi oleh pilihan. Dan pilihan itu harus dimulai dari bagaimana kita memperlakukan lahan—penyangga kehidupan kita di planet ini.

Sumber Artikel:

Tomalka, J., Hunecke, C., Murken, L., Heckmann, T., Cronauer, C., Becker, R., Collignon, Q., Collins-Sowah, P., Crawford, M., Gloy, N., Hampf, A., Lotze-Campen, H., Malevolti, G., Maskell, G., Müller, C., Popp, A., Vodounhessi, M., Gornott, C., Rockström, J. (2024). Stepping back from the precipice: Transforming land management to stay within planetary boundaries. Potsdam, Germany: Potsdam Institute for Climate Impact Research.

Selengkapnya
Melangkah Mundur dari Jurang Krisis: Transformasi Pengelolaan Lahan demi Masa Depan Bumi

Perubahan Global

Membangun Ketahanan dalam Sistem Sosial-Ekologis: Strategi Adaptif untuk Menghadapi Perubahan Global

Dipublikasikan oleh Izura Ramadhani Fauziyah pada 16 Juni 2025


Mengapa Sistem Sosial dan Ekologi Tidak Bisa Dipisahkan

Krisis iklim, degradasi lingkungan, dan disrupsi sosial-ekonomi telah mengubah cara kita memandang hubungan antara manusia dan alam. Dalam konteks ini, muncul kebutuhan mendesak untuk membangun sistem yang tidak hanya tahan terhadap guncangan, tetapi juga mampu beradaptasi dan bertransformasi. Buku Navigating Social-Ecological Systems: Building Resilience for Complexity and Change, yang diedit oleh Fikret Berkes, Johan Colding, dan Carl Folke, menjadi salah satu rujukan utama dalam memahami bagaimana masyarakat bisa membangun resiliensi sosial-ekologis dalam menghadapi dinamika dan ketidakpastian masa depan.

Apa Itu Sistem Sosial-Ekologis dan Ketahanan?

Sistem sosial-ekologis (SES) adalah sistem yang saling terkait antara manusia dan lingkungan tempat mereka hidup. Dalam konteks ini, “resiliensi” bukan sekadar kemampuan bertahan, tetapi juga:

  • Kapasitas untuk menyerap gangguan,
  • Kemampuan beradaptasi terhadap perubahan kondisi,
  • Dan potensi untuk melakukan transformasi struktural bila diperlukan.

Buku ini membingkai ketahanan sebagai proses aktif dan bukan kondisi tetap. Dalam dunia yang semakin kompleks dan tak terduga, pendekatan ini menjadi sangat relevan.

Tiga Modal Ketahanan: Persistensi, Adaptasi, dan Transformasi

Salah satu kontribusi terbesar buku ini adalah penjabaran tentang tiga modal utama dalam membangun ketahanan:

  1. Persistensi: Kemampuan sistem untuk mempertahankan struktur dan fungsi utama meskipun terjadi gangguan.
  2. Adaptasi: Kapasitas aktor sosial (individu, komunitas, lembaga) untuk belajar dan mengubah perilaku agar sesuai dengan kondisi baru.
  3. Transformasi: Kemampuan untuk mengubah sistem secara menyeluruh ketika sistem saat ini sudah tidak bisa lagi menopang keberlanjutan.

Ketiga modal ini bukan hanya teoretis, tetapi juga dijelaskan melalui berbagai studi kasus konkret dari seluruh dunia.

Studi Kasus: Ketahanan dalam Praktik Nyata

1. Kepulauan James Bay Cree, Kanada

Komunitas adat Cree di Kanada menghadapi tekanan besar dari pembangunan bendungan hidroelektrik yang merusak lanskap dan ekosistem tradisional mereka. Namun, alih-alih menyerah pada dampak tersebut, mereka menunjukkan adaptasi dengan:

  • Mengintegrasikan pengetahuan lokal dan ilmiah dalam pemantauan perubahan lingkungan,
  • Menegosiasikan hak-hak pengelolaan dengan pemerintah,
  • Mengembangkan lembaga kolaboratif untuk melindungi sumber daya air dan perikanan.

Hasilnya? Komunitas ini tidak hanya bertahan, tetapi memperkuat posisi politik dan ekologis mereka di wilayah tersebut.

2. Perikanan Laguna Venice, Italia

Perikanan laguna di Venice menghadapi tantangan dari polusi industri dan perubahan pasar global. Melalui penguatan koperasi lokal, adaptasi terhadap regulasi Uni Eropa, dan perlindungan ekosistem perairan, nelayan berhasil mempertahankan ketahanan ekonomi sambil menjaga ekosistem.

Ini adalah contoh bagaimana kapasitas kelembagaan dan adaptasi pasar bisa memperkuat ketahanan dalam sistem SES.

3. Sistem Irigasi Tradisional di Bali (Subak)

Sistem Subak, yang berusia ratusan tahun, adalah bentuk tata kelola air berbasis komunitas di Bali. Dalam sistem ini:

  • Keputusan distribusi air diambil secara kolektif melalui pura dan forum adat.
  • Pengetahuan lokal diwariskan lintas generasi.
  • Hubungan antara agama, ekologi, dan produksi pertanian menyatu dalam satu sistem yang adaptif terhadap cuaca dan krisis.

Ketika sistem ini mulai tertekan oleh pembangunan pariwisata dan perubahan kebijakan pertanian nasional, Subak tetap menjadi contoh ketahanan berbasis budaya dan spiritualitas.

Kunci Ketahanan: Sembilan Prinsip Pengelolaan Sistem SES

Para penulis merumuskan sembilan prinsip inti untuk memperkuat ketahanan sosial-ekologis, antara lain:

  1. Belajar adaptif dan eksperimentasi: Tidak ada satu solusi tetap; semua kebijakan harus dianggap uji coba yang bisa diperbaiki.
  2. Diversitas dan redundansi: Keanekaragaman ekologi dan sosial meningkatkan peluang sistem untuk bertahan.
  3. Konektivitas: Hubungan antar elemen sistem harus seimbang—tidak terlalu terisolasi, tapi juga tidak terlalu terhubung hingga rentan.
  4. Partisipasi dan pembelajaran sosial: Keberhasilan jangka panjang membutuhkan keterlibatan warga dalam pengambilan keputusan.
  5. Sumber daya pengetahuan lokal: Pengetahuan tradisional bukanlah warisan masa lalu, melainkan aset masa depan.
  6. Kepemimpinan lintas skala: Dibutuhkan pemimpin lokal, regional, dan nasional yang mampu menjembatani berbagai level pengambilan keputusan.
  7. Kepercayaan dan jejaring sosial: Ketahanan sosial tumbuh dari hubungan timbal balik, bukan dari kontrol sepihak.
  8. Monitoring dan feed-back loop: Evaluasi berkelanjutan memungkinkan penyesuaian kebijakan secara real time.
  9. Peluang untuk transformasi: Sistem harus mengenali kapan saatnya berubah secara radikal, bukan hanya memperbaiki bagian-bagian kecil.

Dinamika Skala dan Waktu: Tantangan Lintas Dimensi

Salah satu kekuatan buku ini adalah penguraian bagaimana sistem sosial-ekologis beroperasi dalam berbagai skala ruang dan waktu. Sebuah keputusan pertanian lokal bisa berdampak pada perubahan iklim global, sementara kejadian global seperti pandemi bisa mengguncang ekonomi lokal.

Oleh karena itu, pendekatan ketahanan tidak bisa dilakukan secara sektoral. Perlu mekanisme koordinasi antar-skala, seperti:

  • Kelembagaan lintas pemerintah,
  • Forum multi-aktor dari komunitas hingga korporasi,
  • Integrasi data spasial dan temporal untuk perencanaan jangka panjang.

Mengelola Ketidakpastian: Dari Stresor hingga Tipping Point

Ketidakpastian adalah bagian tak terpisahkan dari sistem SES. Buku ini mengajak pembaca untuk tidak melihat ketidakpastian sebagai musuh, tetapi sebagai ruang inovasi dan pembelajaran.

Contohnya adalah bagaimana ekosistem perairan dapat bertahan terhadap pencemaran jangka pendek, tapi bisa kolaps jika melewati batas ambang (tipping point). Strategi yang disarankan adalah:

  • Memantau indikator awal perubahan mendasar,
  • Mengembangkan skenario masa depan,
  • Menggunakan “resilience thinking” dalam evaluasi risiko.

Kritik dan Nilai Tambah dari Buku Ini

Kelebihan:

  • Berbasis data empiris dari berbagai belahan dunia.
  • Menyatukan teori dan praktik dengan sangat baik.
  • Memberikan panduan konkret untuk kebijakan dan tata kelola.

Catatan Kritis:

  • Beberapa bagian terlalu teoretis bagi pembaca non-akademik.
  • Kurang eksplorasi konteks perkotaan modern seperti smart cities dan platform digital dalam membentuk resiliensi.
  • Minim data kuantitatif atau metrik yang bisa langsung diterapkan oleh pembuat kebijakan.

Meski demikian, nilai utama buku ini adalah sebagai kerangka kerja strategis untuk berpikir lintas disiplin dan lintas skala.

Relevansi untuk Indonesia dan Dunia Global Selatan

Indonesia, sebagai negara kepulauan dengan keragaman budaya dan risiko bencana yang tinggi, sangat membutuhkan pendekatan seperti ini. Sistem irigasi tradisional, hutan adat, dan komunitas pesisir memiliki karakteristik SES yang khas. Namun, tekanan dari ekonomi ekstraktif dan proyek infrastruktur besar sering mengabaikan prinsip-prinsip ketahanan sosial-ekologis.

Menerapkan prinsip dari buku ini akan sangat membantu dalam:

  • Membangun kota tangguh terhadap iklim,
  • Merancang sistem pangan lokal yang adaptif,
  • Melindungi hak masyarakat adat atas sumber daya alam.

Menuju Masa Depan yang Adaptif dan Kolaboratif

“Navigating Social-Ecological Systems” bukan hanya bacaan akademis, tetapi panduan praktis bagi siapa saja yang ingin membangun masa depan berkelanjutan. Di tengah ketidakpastian iklim, krisis air, dan gejolak sosial, membangun ketahanan berarti menyatukan pengetahuan lokal, tata kelola partisipatif, dan fleksibilitas dalam kebijakan.

Sebagaimana ditegaskan dalam buku ini, ketahanan bukanlah soal bertahan tanpa perubahan, melainkan kemampuan untuk berubah tanpa kehilangan jati diri.

Sumber Artikel :

Berkes, F., Colding, J., & Folke, C. (Eds.). (2003). Navigating Social-Ecological Systems: Building Resilience for Complexity and Change. Cambridge University Press.

Selengkapnya
Membangun Ketahanan dalam Sistem Sosial-Ekologis: Strategi Adaptif untuk Menghadapi Perubahan Global

Sumber Daya Alam

Solusi Berbasis Alam untuk Kota Tahan Iklim: Pelajaran dari Pengelolaan Air Hujan di Swedia

Dipublikasikan oleh Izura Ramadhani Fauziyah pada 16 Juni 2025


Ketika Kota Butuh Alam untuk Bertahan

Perubahan iklim telah mengubah wajah kota. Hujan deras yang tiba-tiba, banjir kilat, dan sistem drainase yang kolaps kini menjadi kenyataan rutin di banyak wilayah urban. Kota-kota seperti Malmö, Gävle, dan Jönköping di Swedia telah mengalami kerugian miliaran krona akibat badai ekstrem dalam satu dekade terakhir. Untuk merespons tantangan ini, pendekatan tradisional berbasis infrastruktur abu-abu (seperti beton dan pipa) mulai ditinggalkan. Sebagai gantinya, muncullah konsep yang lebih adaptif: solusi berbasis alam (Nature-based Solutions/NbS).

Laporan terbaru dari Stockholm Environment Institute (SEI) berjudul “Nature-based Solutions in Municipal Stormwater Management in Sweden” (2025), membedah bagaimana kota-kota di Swedia mengadopsi NbS untuk mengelola limpasan air hujan secara berkelanjutan. Penelitian ini menggali data biaya, manfaat tambahan (co-benefits), serta tantangan institusional dari penerapan NbS di 38 kota Swedia.

Apa Itu Solusi Berbasis Alam (NbS)?

NbS adalah pendekatan yang menggunakan proses alami untuk mengatasi tantangan lingkungan dan sosial. Dalam konteks air hujan, NbS mencakup:

  • Atap hijau
  • Taman hujan (rain gardens)
  • Perkerasan berpori
  • Kolam retensi/detensi
  • Bio-swales
  • Lahan basah buatan

Alih-alih hanya memindahkan air secepat mungkin ke saluran pembuangan, NbS bertujuan menyerap, menahan, menyaring, dan memanfaatkan air secara lokal sambil mempercantik kota dan meningkatkan kualitas hidup.

Mengapa Swedia Memilih NbS?

Swedia memiliki target ambisius. Pada 2025, semua kota yang rawan dampak limpasan air hujan harus menyusun peta risiko, merancang rencana aksi, dan mulai mengimplementasikan sistem pengelolaan air hujan yang berkelanjutan.

Dukungan kebijakan ini memicu eksplorasi NbS sebagai solusi. Penelitian SEI menunjukkan bahwa 29 dari 38 kota besar di Swedia telah memiliki dokumen strategi pengelolaan air hujan, meskipun istilah “NbS” jarang disebutkan secara eksplisit. Sebaliknya, istilah seperti "sistem terbuka", "berkelanjutan", atau "multifungsi" lebih sering digunakan.

Manfaat Ganda: NbS Bukan Sekadar Drainase

Salah satu keunggulan utama NbS adalah kemampuannya memberikan manfaat tambahan (co-benefits). Dalam laporan SEI, manfaat tersebut mencakup:

  • Pengendalian banjir
  • Peningkatan kualitas air
  • Keanekaragaman hayati
  • Estetika dan kesehatan masyarakat
  • Pengurangan efek pulau panas kota
  • Penyerapan karbon
  • Penghematan energi dan air

Sebagai contoh, rain garden dengan tanaman bunga dapat menyerap limpasan air sekaligus memperindah lingkungan dan menyediakan habitat bagi serangga penyerbuk.

Namun, studi SEI juga mengungkap bahwa hanya 25% dokumen kota yang menyebutkan manfaat pengurangan panas dan kurang dari 10% yang menyebutkan manfaat penyerapan karbon atau pengurangan energi. Artinya, masih banyak potensi NbS yang belum tergarap secara optimal dalam perencanaan kota.

Biaya: Apakah NbS Mahal?

Salah satu kekhawatiran umum terhadap NbS adalah biaya. SEI melakukan pencarian data biaya pembangunan dan pemeliharaan NbS di situs pemerintah kota dan database nasional seperti VISS. Hasilnya cukup beragam:

  • Green Roof: Biaya pemasangan berkisar antara 250–12.000 SEK/m² (setara €22–1.073), tergantung jenis tanaman dan struktur. Biaya operasional tahunan sekitar 7–10 SEK/m².
  • Rain Garden: Dapat menelan biaya hingga 17.500 SEK/m² (€1.565), dengan biaya pemeliharaan tergantung jenis vegetasi (rumput, semak, pohon).
  • Kolam Retensi: Biaya pembangunan antara 150–6.000 SEK/m². O&M tahunan berkisar 29–67 SEK/m² tergantung metode pengerukan dan fungsi estetika.

Yang menarik, kota Malmö menunjukkan bahwa solusi NbS di atas tanah (open communal storage) bisa 50% lebih murah dibandingkan solusi drainase bawah tanah tradisional. Kota Kopenhagen memperkirakan bahwa strategi NbS untuk menghadapi hujan badai bisa menghemat 9 miliar DKK dibandingkan pendekatan konvensional.

Studi Kasus: Kota yang Menerapkan NbS secara Progresif

1. Eskilstuna

Mengembangkan sistem referensi biaya NbS, termasuk kolam retensi dengan biaya estimasi 1000 SEK/m² dan biaya O&M 58 SEK/m²/tahun. Ini menjadi acuan dalam perencanaan ke depan.

2. Helsingborg dan Landskrona

Menyusun dokumen pembanding antara solusi NbS terbuka dengan sistem drainase bawah tanah. Hasilnya menunjukkan efisiensi biaya NbS jauh lebih tinggi, terutama pada pengembangan kawasan baru.

3. Malmö

Menggunakan data dari Kopenhagen sebagai pembanding, menunjukkan bahwa biaya kerusakan akibat banjir (600 juta SEK pada 2014) lebih mahal daripada investasi preventif menggunakan NbS.

Tantangan: Dari Hukum Sampai Koordinasi

Laporan SEI menyoroti bahwa tantangan terbesar bukan teknologi, tetapi institusi dan koordinasi. Di Swedia, sebagian besar lahan perkotaan dimiliki oleh pihak swasta. Pemerintah kota tidak memiliki kewenangan penuh untuk menerapkan NbS di lahan privat.

Selain itu, pembagian tanggung jawab antar dinas, khususnya dalam tahap perencanaan, desain, konstruksi, dan pemeliharaan, masih belum seragam. Hanya sebagian kota seperti Malmö dan Ystad yang sudah memiliki matrix pembagian tugas lintas tahap dan departemen.

Kebijakan dan Dukungan Regulasi: Sudah Cukupkah?

NbS mendapat dukungan dari berbagai kebijakan nasional dan internasional:

  • EU Green Deal
  • EU Taxonomy
  • Wastewater Directive baru
  • Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (SDGs)
  • Strategi Keanekaragaman Hayati Uni Eropa

Namun, laporan SEI mencatat bahwa kebijakan saat ini belum sepenuhnya menghitung nilai tambah dari NbS, khususnya dalam konteks pengajuan anggaran atau investasi. Co-benefits sering kali tidak masuk dalam penilaian cost-benefit resmi, sehingga menghambat implementasi.

Rekomendasi SEI: Menuju Kota yang Lebih Tangguh

Laporan ini merekomendasikan delapan langkah strategis:

  1. Pengembangan dokumen kota yang mendukung NbS secara eksplisit.
  2. Standardisasi biaya dan data O&M untuk memudahkan replikasi.
  3. Penguatan database nasional NbS, lengkap dengan desain, biaya, manfaat, dan evaluasi pasca-implementasi.
  4. Perluasan perhatian pada co-benefits, termasuk kualitas udara dan penghematan energi.
  5. Evaluasi pasca-implementasi, bukan hanya satu kali, tetapi secara berkala.
  6. Klarifikasi pembagian peran dan tanggung jawab dalam seluruh siklus hidup proyek.
  7. Pelibatan pemangku kepentingan eksternal, seperti pemilik properti dan perusahaan perumahan.
  8. Pengakuan eksplisit atas manfaat ganda NbS dalam regulasi dan perencanaan anggaran.

Kritik dan Refleksi: Apa yang Bisa Ditingkatkan?

Laporan ini sangat komprehensif, tetapi tetap memiliki keterbatasan:

  • Belum melibatkan pemangku kepentingan secara langsung.
  • Tidak melakukan analisis ekonomi menyeluruh atas efektivitas biaya.
  • Kurangnya pembahasan risiko NbS seperti keamanan anak-anak pada kolam terbuka.

Ke depan, integrasi NbS perlu diperkuat dengan studi kasus yang mengevaluasi dampak jangka panjang, termasuk pada pengurangan beban pengolahan air limbah, kesehatan masyarakat, dan nilai properti.

Menyulam Kota dan Alam dalam Satu Narasi

Pengelolaan air hujan bukan lagi sekadar urusan teknis, tetapi bagian dari narasi besar tentang keberlanjutan kota. NbS membuka peluang untuk menyatukan fungsi ekologis dan sosial dalam satu rancangan urban yang adaptif dan resilien.

Swedia menunjukkan bahwa dengan kebijakan yang mendukung, data yang transparan, dan kolaborasi multi-aktor, kota masa depan bisa menjadi tempat yang lebih hijau, lebih aman, dan lebih menyenangkan untuk ditinggali. Kini saatnya kota-kota lain—termasuk di Indonesia—belajar dari praktik baik ini dan mulai menenun kembali relasi harmonis antara air, alam, dan manusia.

Sumber Artikel:

Gunnarsson, M., & Barquet, K. (2025). Nature-based Solutions in Municipal Stormwater Management in Sweden: Costs, Co-benefits, Responsibilities and Policies. SEI Report. DOI: https://doi.org/10.51414/sei2025.002

Selengkapnya
Solusi Berbasis Alam untuk Kota Tahan Iklim: Pelajaran dari Pengelolaan Air Hujan di Swedia

Perubahan Iklim

​​​​​​​Ketidakpastian dalam Adaptasi Perubahan Iklim dan Pengelolaan Lahan: Tantangan Global dan Jalan Menuju Solusi

Dipublikasikan oleh Izura Ramadhani Fauziyah pada 13 Juni 2025


Dunia yang Semakin Tak Pasti

Ketika perubahan iklim menjadi semakin nyata, muncul satu persoalan besar yang sering terabaikan: ketidakpastian. Tidak hanya dalam proyeksi iklim itu sendiri, tetapi juga dalam adaptasi dan kebijakan yang harus diambil untuk menghadapinya. Paper berjudul “Assessing Uncertainties in Climate Change Adaptation and Land Management” karya Walter Leal Filho dkk. menyoroti dimensi kompleks ketidakpastian yang dihadapi oleh para pengambil kebijakan, akademisi, dan praktisi di seluruh dunia dalam menghadapi dampak perubahan iklim.

Artikel ini mengungkap bahwa ketidakpastian bukan hanya hambatan teknis, tetapi juga hambatan psikologis dan kebijakan. Tanpa pemahaman dan pengelolaan ketidakpastian yang baik, tindakan adaptasi bisa terhambat atau bahkan gagal.

Memahami Akar Ketidakpastian: Epistemik dan Irreducible

Penulis membedakan dua jenis utama ketidakpastian:

  1. Irreducible uncertainty: Ketidakpastian yang melekat pada sistem alam, misalnya variabilitas iklim yang tidak bisa diprediksi secara sempurna.

  2. Epistemic uncertainty: Ketidakpastian karena keterbatasan pengetahuan atau data yang dapat diperbaiki seiring waktu.

Kedua jenis ini sangat relevan dalam konteks pengelolaan lahan dan adaptasi iklim karena keduanya memengaruhi desain kebijakan dan infrastruktur yang tangguh terhadap perubahan iklim.

Metodologi Global dan Representatif

Studi ini menggunakan survei daring dengan 142 responden dari 50 negara di enam benua. Mayoritas responden berasal dari negara berkembang (sekitar 2/3), dengan kontribusi terbanyak dari Afrika (39,4%), diikuti oleh Eropa (26,1%), dan Amerika Selatan serta Asia masing-masing 10,6%.

Profil responden menunjukkan bahwa:

  • 69,7% memiliki gelar PhD.

  • Sebanyak 87,23% sangat menyadari urgensi adaptasi iklim.

  • Lebih dari separuh responden berusia 41–60 tahun, menunjukkan bahwa tanggapan datang dari kelompok profesional berpengalaman.

Faktor-Faktor Utama yang Mempengaruhi Ketidakpastian

Para responden mengidentifikasi sejumlah faktor yang mempengaruhi ketidakpastian dalam adaptasi iklim dan pengelolaan lahan. Yang paling dominan adalah:

  • Faktor lingkungan: Dianggap paling penting oleh 60% responden.

  • Faktor kesehatan dan sosial: Masing-masing dianggap sangat penting oleh lebih dari 43%.

  • Faktor ekonomi dan politik: Juga mendominasi persepsi ketidakpastian dalam kebijakan publik.

  • Faktor teknis dan etika: Cenderung dianggap kurang penting secara relatif, tetapi tetap berpengaruh dalam konteks teknologi dan keadilan iklim.

Temuan ini menegaskan bahwa adaptasi iklim tidak bisa hanya berbasis sains atau teknologi, tetapi harus memadukan perspektif sosial, politik, dan ekonomi secara integral.

Ketidakpastian dalam Praktik: Studi Kasus dan Dampaknya

1. Infrastruktur Anti-Banjir dan Curah Hujan Tak Menentu

Ketidakpastian dalam pola curah hujan ekstrem menyulitkan perencanaan infrastruktur tahan banjir. Di beberapa negara, ketidaktepatan data menyebabkan pembangunan bendungan atau saluran air yang tidak efektif saat banjir benar-benar terjadi.

2. Integrasi Energi Terbarukan

Studi ini juga menyoroti bahwa ketidakpastian mengenai interaksi antara energi surya, angin, dan air menghambat transisi menuju energi bersih. Belum ada pemahaman menyeluruh bagaimana ketiganya dapat diintegrasikan secara efisien dalam berbagai kondisi iklim.

3. Adaptasi Pertanian

Petani di negara berkembang sering menghadapi kebingungan karena proyeksi iklim yang tidak konsisten. Ketika musim tanam menjadi semakin tidak menentu, dan pola hujan bergeser drastis, mereka sulit menentukan kapan dan bagaimana bercocok tanam. Hal ini memperparah ketahanan pangan.

Alat untuk Mengurangi Ketidakpastian: Apa yang Digunakan Praktisi?

Dalam upaya mengurangi ketidakpastian, para praktisi menggunakan berbagai alat. Berdasarkan hasil survei:

  • 50% mengandalkan studi jangka panjang, seperti laporan IPCC dan kajian akademik.

  • 41,27% mengandalkan dokumen resmi dari PBB.

  • 36,92% mengandalkan opini pakar.

  • 21,36% menggunakan studi yang ditugaskan oleh pemerintah.

  • Hanya 8,99% yang mengandalkan film atau media populer sebagai sumber informasi.

Temuan ini menunjukkan bahwa walaupun komunikasi publik penting, para profesional lebih mempercayai sumber ilmiah yang terverifikasi.

Strategi Pengurangan Ketidakpastian: Konsensus Global dan Lokal

Mayoritas responden setuju bahwa panduan atau pedoman harus disusun di berbagai tingkat:

  • 28,2% mengusulkan pengembangan panduan global dan regional.

  • 16,9% ingin ada pedoman dari tingkat global hingga lokal.

  • Hanya 1,4% yang menyarankan untuk menerima ketidakpastian sebagai bagian dari sistem dan bekerja dengannya.

Ini menunjukkan bahwa sebagian besar pemangku kepentingan masih menganggap ketidakpastian sebagai sesuatu yang harus dikendalikan, bukan dimanfaatkan secara adaptif.

Analisis Kritis: Menakar Realisme dan Harapan

Meskipun artikel ini memberikan kontribusi besar terhadap literatur adaptasi iklim, terdapat beberapa catatan penting:

  1. Responden Didominasi oleh Kelompok Akademik dan Profesional
    Ini bisa menimbulkan bias persepsi karena belum tentu mencerminkan masyarakat umum atau komunitas lokal yang terdampak langsung.

  2. Pandangan Masih Normatif terhadap Ketidakpastian
    Kebanyakan responden menganggap ketidakpastian sebagai hambatan, bukan peluang. Padahal dalam ekologi, ketidakpastian adalah hal alami yang bisa digunakan sebagai dasar pengambilan keputusan adaptif.

  3. Belum Banyak Dibahas Peran Teknologi Baru seperti AI dan IoT
    Padahal teknologi ini bisa digunakan untuk mempersempit ketidakpastian dalam perencanaan lahan dan mitigasi risiko bencana.

Relevansi Global dan Implikasi Kebijakan

Penelitian ini menunjukkan bahwa persepsi terhadap ketidakpastian sangat dipengaruhi oleh konteks geografis dan sosial-politik. Di negara-negara berkembang, ketidakpastian sering dihadapi dengan keterbatasan kapasitas institusional. Oleh karena itu:

  • Pemerintah harus mengembangkan kebijakan berbasis skenario yang fleksibel dan mengakomodasi ketidakpastian.

  • Investasi dalam sistem peringatan dini, riset lokal, dan partisipasi masyarakat sangat penting untuk meningkatkan ketahanan adaptif.

  • Kerja sama internasional diperlukan, bukan hanya dalam pendanaan iklim, tetapi juga dalam berbagi data, teknologi, dan pengalaman.

Mengelola Bukan Menghindari Ketidakpastian

Alih-alih mencoba menghilangkan ketidakpastian, pendekatan yang lebih realistis adalah mengelolanya dengan informasi yang lebih baik, komunikasi yang jelas, dan partisipasi lintas sektor.

Artikel ini berhasil menyoroti bahwa ketidakpastian bukan alasan untuk diam, melainkan panggilan untuk bertindak lebih cerdas, kolaboratif, dan berbasis bukti.

Sumber Artikel:

Leal Filho, W.; Stojanov, R.; Wolf, F.; Matandirotya, N.R.; Ploberger, C.; Ayal, D.Y.; Azam, F.M.S.; AL-Ahdal, T.M.A.; Sarku, R.; Tchiadje, N.F.; et al. Assessing Uncertainties in Climate Change Adaptation and Land Management. Land 2022, 11, 2226. https://doi.org/10.3390/land11122226 dokumen atau ringkasan visual (infografis), saya siap membantu.

Selengkapnya
​​​​​​​Ketidakpastian dalam Adaptasi Perubahan Iklim dan Pengelolaan Lahan: Tantangan Global dan Jalan Menuju Solusi

Perubahan Iklim

Evaluasi Kinerja Green Climate Fund di Bangladesh — Peluang dan Tantangan dalam Mendukung Adaptasi dan Mitigasi Perubahan Iklim

Dipublikasikan oleh Izura Ramadhani Fauziyah pada 13 Juni 2025


Pentingnya Green Climate Fund bagi Negara Rentan Iklim

Bangladesh merupakan salah satu negara yang paling rentan terhadap dampak perubahan iklim global, dengan risiko tinggi banjir, siklon, intrusi salinitas, dan kenaikan permukaan laut. Sebagai negara delta rendah dengan 79% wilayahnya berupa dataran banjir, Bangladesh menghadapi tantangan besar dalam menjaga ketahanan sosial-ekologisnya. Green Climate Fund (GCF) hadir sebagai instrumen pendanaan internasional yang mendukung adaptasi dan mitigasi perubahan iklim di negara-negara berkembang, termasuk Bangladesh. Paper "Forward-Looking Performance Review of the Green Climate Fund: Bangladesh Country Visit Report" (2019) oleh Independent Evaluation Unit (IEU) GCF mengulas secara mendalam bagaimana GCF beroperasi di Bangladesh, termasuk model bisnis, kebijakan, proses, dan hasil yang dicapai sejauh ini.

Model Bisnis dan Struktur Organisasi GCF di Bangladesh

Kepemilikan Negara dan Peran NDA

Bangladesh menunjukkan tingkat kepemilikan yang kuat terhadap program GCF, dengan Economic Relations Division (ERD) di Kementerian Keuangan sebagai National Designated Authority (NDA) dan focal point (FP) GCF. NDA berperan sentral dalam mengkoordinasikan proses no-objection, mengelola pipeline proyek, serta memobilisasi berbagai pemangku kepentingan, termasuk pemerintah, CSO, dan sektor swasta. NDA juga membentuk sekretariat dan komite penasihat dengan anggota dari berbagai sektor untuk mendukung proses pengambilan keputusan.

Entitas Akses Langsung (DAEs) dan Entitas Terakreditasi (AEs)

Bangladesh telah menetapkan enam entitas nasional sebagai calon DAEs, dua di antaranya telah terakreditasi: Infrastructure Development Company Limited (IDCOL) dan Palli Karma-Sahayak Foundation (PKSF). IDCOL fokus pada proyek mitigasi sektor swasta dengan risiko menengah (kategori B), sedangkan PKSF menangani proyek adaptasi sektor publik dengan risiko rendah (kategori C). Namun, keterbatasan kapasitas teknis dan risiko yang dapat ditanggung DAEs membatasi cakupan proyek yang dapat mereka tangani, sehingga sebagian besar proyek masih dikembangkan oleh entitas terakreditasi internasional (iAEs) seperti UNDP, KfW, dan World Bank.

Proses No-Objection dan Pengajuan Proposal

Proses no-objection di Bangladesh dilakukan secara daring melalui platform yang dikembangkan NDA, dengan tahapan screening, konsultasi komite, dan persetujuan akhir oleh NDA. Meskipun proses ini sudah berjalan, beberapa AEs mengeluhkan kompleksitas dan ketidaksesuaian proses GCF dengan konteks nasional, termasuk kebutuhan persetujuan tambahan dari kementerian terkait dan Dewan Ekonomi Nasional untuk proyek dengan nilai lebih dari USD 5,9 juta.

Kebijakan, Proses, dan Tantangan dalam Akses Dana GCF

Kebijakan GCF dan Implementasinya

Kebijakan GCF, terutama yang terkait dengan risiko, lingkungan dan sosial (ESS), serta gender, dianggap relevan namun memberatkan dalam pelaksanaan. Pemerintah Bangladesh, melalui DoE, memiliki kebijakan lingkungan yang sudah mapan, sehingga beberapa persyaratan GCF dianggap kaku dan sulit diadaptasi. Selain itu, pendekatan GCF yang sangat berhati-hati terhadap risiko dinilai menghambat inovasi dan investasi dalam proyek yang lebih berisiko namun potensial berdampak besar.

Proses Akreditasi yang Panjang dan Kompleks

Proses akreditasi DAEs memakan waktu hingga tiga tahun, dengan persyaratan yang sulit dipenuhi terutama oleh lembaga pemerintah yang tidak dapat mengubah kebijakan internal secara cepat. Hal ini menyebabkan beberapa entitas nasional enggan mengajukan akreditasi, meskipun kapasitas mereka sebenarnya cukup untuk mengelola proyek GCF. Disarankan agar GCF mempertimbangkan audit langsung atau akreditasi bersyarat yang disertai dengan penguatan kapasitas untuk mempercepat proses.

Hambatan dalam Pengembangan Proposal dan Implementasi Proyek

Sejauh ini, Bangladesh telah mengajukan sekitar 20 konsep dan proposal pendanaan, namun hanya tiga yang disetujui dan baru satu yang mulai diimplementasikan (FP004). Proses desain dan persetujuan proposal sangat lama, rata-rata memakan waktu dua tahun, yang menyebabkan proyek kehilangan relevansi data baseline dan tumpang tindih dengan inisiatif lain di lapangan. Kurangnya definisi jelas tentang konsep kunci seperti "climate rationale," "country ownership," dan "paradigm shift" juga menambah kebingungan dalam penyusunan proposal.

Studi Kasus Proyek GCF di Bangladesh

FP004: Climate Resilient Infrastructure Mainstreaming (KfW)

  • Durasi: 72 bulan
  • Dana Disburse: USD 0,15 juta (per 2018)
  • Target Manfaat: Meningkatkan kapasitas adaptasi 134.000 orang secara langsung dan 10,4 juta orang secara tidak langsung melalui infrastruktur tahan iklim
  • Penilaian: Tinggi untuk kebutuhan penerima dan kepemilikan negara, namun rendah untuk efisiensi dan efektivitas
  • Tantangan: Proyek terlambat satu tahun dari jadwal awal karena proses persetujuan yang panjang

FP069: Enhancing Adaptive Capacities of Coastal Communities (UNDP)

  • Durasi: 72 bulan
  • Dana Disburse: USD 4,74 juta (per 2019)
  • Target Manfaat: Sekitar 719.229 orang di komunitas pesisir, terutama perempuan, mendapatkan kapasitas adaptasi terhadap salinitas akibat perubahan iklim
  • Penilaian: Tinggi untuk kepemilikan dan kebutuhan penerima, sedang untuk potensi dampak dan paradigma perubahan

FP070: Global Clean Cooking Programme (World Bank)

  • Durasi: 42 bulan
  • Dana: Dalam proses negosiasi
  • Target Manfaat: 17,8 juta orang mendapat manfaat dari penggunaan kompor bersih dan pengurangan emisi gas rumah kaca sebesar 2,89 juta ton CO2 ekuivalen
  • Penilaian: Tinggi untuk kebutuhan penerima dan kepemilikan, namun iTAP menilai potensi dampak dan paradigma perubahan lebih rendah karena kurang fokus pada kelompok paling rentan

Analisis dan Opini: Peluang dan Tantangan GCF di Bangladesh

Peluang

  • Bangladesh telah menunjukkan komitmen tinggi dengan mengalokasikan 8,82% anggaran nasional untuk perubahan iklim, serta membentuk mekanisme nasional seperti Climate Change Trust Fund (CCTF).
  • Keberadaan DAEs nasional yang mulai terakreditasi membuka peluang untuk meningkatkan akses langsung dan relevansi lokal dalam pelaksanaan proyek.
  • Pipeline proyek yang besar (48 proyek prioritas dari 230 ide) menunjukkan potensi besar untuk pengembangan program adaptasi dan mitigasi.

Tantangan

  • Proses birokrasi yang panjang dan kompleks menghambat percepatan implementasi proyek, yang sangat krusial mengingat kebutuhan adaptasi yang mendesak.
  • Kapasitas teknis DAEs masih terbatas, terutama dalam penyusunan proposal yang memenuhi kriteria GCF, sehingga ketergantungan pada iAEs masih tinggi.
  • Kurangnya definisi dan panduan yang jelas dari GCF mengenai konsep kunci menyebabkan kebingungan dan ketidakefisienan dalam proses pengajuan dan evaluasi proyek.
  • Pergantian personel yang tinggi di NDA mengakibatkan hilangnya memori institusional dan kontinuitas dalam pengelolaan GCF.

Perbandingan dengan Studi Lain

Penemuan ini sejalan dengan studi lain yang menunjukkan bahwa keberhasilan akses dana iklim internasional sangat bergantung pada kapasitas institusional dan kesesuaian prosedur dengan konteks nasional. Negara-negara berkembang dengan mekanisme koordinasi yang kuat dan kepemilikan lokal yang tinggi cenderung lebih berhasil dalam mengimplementasikan proyek adaptasi dan mitigasi.

Rekomendasi untuk Meningkatkan Efektivitas GCF di Bangladesh

  • Penguatan Kapasitas NDA dan DAEs: Penambahan staf teknis yang stabil dan pelatihan intensif untuk meningkatkan kemampuan penyusunan proposal dan manajemen proyek.
  • Penyederhanaan Proses dan Definisi Konsep: GCF perlu menyediakan panduan yang jelas dan praktis terkait climate rationale, country ownership, dan paradigm shift untuk mengurangi kebingungan.
  • Pendekatan Akreditasi yang Fleksibel: Pertimbangkan akreditasi bersyarat dan audit langsung untuk mempercepat proses dan memperluas partisipasi entitas nasional.
  • Peningkatan Komunikasi dan Dukungan Teknis: GCF Secretariat harus lebih proaktif dalam berinteraksi dengan negara dan AEs untuk memberikan dukungan teknis yang konsisten dan responsif.
  • Pengembangan Model Programatik: Mempertimbangkan pendekatan program yang mengintegrasikan beberapa proyek untuk mengoptimalkan dampak dan efisiensi sumber daya.

Kesimpulan

Laporan evaluasi GCF di Bangladesh ini memberikan gambaran yang komprehensif tentang dinamika, capaian, dan hambatan dalam mengakses serta mengimplementasikan dana iklim di negara yang sangat rentan ini. Meskipun terdapat kemajuan signifikan dalam membangun mekanisme nasional dan pipeline proyek, tantangan birokrasi, kapasitas teknis, dan ketidakjelasan kebijakan masih menjadi hambatan utama. Dengan perbaikan proses, penguatan kapasitas, dan dukungan yang lebih adaptif dari GCF, Bangladesh berpotensi memaksimalkan manfaat dana iklim untuk meningkatkan ketahanan dan mengurangi emisi secara signifikan.

Sumber Artikel Asli:
Independent Evaluation Unit (IEU). (2019). Forward-Looking Performance Review of the Green Climate Fund (FPR) – Bangladesh Country Visit Report. Green Climate Fund.

Selengkapnya
Evaluasi Kinerja Green Climate Fund di Bangladesh — Peluang dan Tantangan dalam Mendukung Adaptasi dan Mitigasi Perubahan Iklim
« First Previous page 277 of 1.291 Next Last »