Tantangan Hukum
Dipublikasikan oleh Hansel pada 12 September 2025
Pernahkah Anda membayangkan sebuah jembatan yang tak pernah selesai dibangun atau sebuah sekolah yang kualitasnya jauh di bawah standar? Di balik kegagalan proyek-proyek pemerintah, seringkali ada praktik kotor yang tersembunyi dari mata publik: "pinjam bendera." Praktik ini, yang secara harfiah berarti meminjam nama perusahaan lain untuk mengikuti dan memenangkan tender pengadaan barang dan jasa, kini bukan lagi sekadar rahasia umum. Sebuah penelitian mendalam dari PAMALI: Pattimura Magister Law Review telah membongkar praktik ini secara rinci, mengungkap lapisan-lapisan pelanggaran hukum dan konsekuensi fatal yang menantinya. Laporan ini tak hanya menyajikan data, tetapi juga "cerita di balik data" yang menunjukkan bagaimana celah hukum dimanfaatkan, siapa yang diuntungkan, dan mengapa hal ini menjadi ancaman serius bagi integritas negara.
Mengapa Praktik 'Pinjam Bendera' Begitu Merajalela di Indonesia?
Praktik "pinjam bendera" bukanlah fenomena yang terjadi secara acak. Menurut penelitian ini, ada beberapa alasan fundamental yang mendorong oknum-oknum untuk terlibat di dalamnya. Salah satu penyebab utamanya adalah persyaratan rumit yang ditetapkan dalam proses lelang pemerintah. Panitia lelang seringkali menetapkan syarat yang sangat ketat, seperti kualifikasi Sertifikat Badan Usaha (SBU), klasifikasi, kemampuan dasar, hingga sisa kemampuan keuangan dan paket yang tidak dapat dipenuhi oleh semua penyedia barang atau jasa.
Kekakuan inilah yang menciptakan sebuah ironi: aturan yang dirancang untuk memastikan kualitas justru membuka jalan bagi praktik curang. Individu atau perusahaan yang tidak memiliki badan usaha resmi, atau yang telah masuk daftar hitam (blacklist), melihat "pinjam bendera" sebagai jalan pintas untuk mendapatkan proyek. Alasan lain yang tak kalah penting adalah upaya untuk mengelabui pelaksana lelang, terutama ketika sebuah perusahaan sudah terlalu sering memenangkan tender, sehingga meminjam nama perusahaan lain menjadi strategi untuk menghindari kecurigaan.
Proses transaksional di balik praktik ini juga sangat terstruktur. Kontraktor yang meminjam nama perusahaan akan memberikan fee sebesar 2-3% dari nilai proyek kepada perusahaan pemilik nama. Meskipun persentase ini terkesan kecil, nilainya bisa sangat besar. Bayangkan jika praktik ini terjadi pada puluhan atau bahkan ratusan proyek di seluruh Indonesia setiap tahun. Total uang yang "bocor" dari anggaran negara untuk biaya ilegal ini bisa mencapai jumlah yang fantastis. Praktik ini bukan sekadar tindakan kriminal individu, tetapi sebuah cerminan dari kegagalan sistem pengadaan yang terlalu kaku, menciptakan pasar gelap di mana kredibilitas bisa "disewa" dengan harga tertentu.
Jebakan Hukum Berlapis: Mengapa Praktik Ini Sebenarnya Ilegal?
Meskipun belum ada satu pasal pun yang secara eksplisit melarang peminjaman nama perusahaan, penelitian ini menunjukkan bahwa praktik tersebut melanggar beberapa lapisan hukum di Indonesia. Ini adalah poin krusial yang sering luput dari perhatian publik. "Pinjam bendera" secara fundamental adalah sebuah tindakan yang melanggar hukum, terlepas dari apakah ada aturan yang secara spesifik menyinggungnya.
Pelanggaran Terhadap Hukum Perjanjian (Perdata)
Dalam hukum perdata, praktik "pinjam bendera" tidak memenuhi salah satu syarat sahnya perjanjian berdasarkan Pasal 320 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUH Perdata). Syarat tersebut adalah "suatu sebab yang halal" (causa atau kausa). Penelitian ini secara tegas menyatakan bahwa karena tujuan perjanjian peminjaman nama adalah untuk memenangkan tender dengan melanggar peraturan perundang-undangan, perjanjian itu sendiri tidak memiliki kausa yang halal. Konsekuensinya sangat fatal: perjanjian tersebut "batal demi hukum".
Batal demi hukum berarti perjanjian tersebut dianggap tidak pernah ada sejak awal. Ini bukan sekadar pembatalan biasa, tetapi sebuah deklarasi bahwa seluruh landasan hukum dari transaksi tersebut—mulai dari kesepakatan hingga penyerahan pekerjaan—secara legal tidak eksis. Ini menempatkan semua pihak yang terlibat dalam posisi yang sangat rentan, karena mereka tidak memiliki perlindungan hukum sama sekali jika terjadi sengketa.
Pelanggaran Terhadap Hukum Persaingan Usaha
Penelitian ini juga secara jelas mengkategorikan "pinjam bendera" sebagai bentuk "persekongkolan" tender yang dilarang oleh Pasal 22 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 999 tentang Larangan Praktik Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat. Persekongkolan, menurut undang-undang ini, adalah kerja sama antara pelaku usaha untuk memenangkan peserta tender tertentu, yang pada akhirnya menciptakan persaingan usaha yang tidak sehat. Meminjam nama perusahaan lain adalah salah satu cara yang paling sering digunakan untuk mengatur pemenang tender.
Pelanggaran Terhadap Peraturan Pengadaan Pemerintah
Selain melanggar hukum perdata dan persaingan, praktik ini juga menabrak aturan pengadaan pemerintah. Pasal 87 ayat (3) Peraturan Presiden Nomor 2 Tahun 202 secara tegas melarang penyedia barang/jasa untuk mengalihkan seluruh pelaksanaan pekerjaan utama kepada pihak lain melalui subkontrak, kecuali sebagian pekerjaan spesialis. Praktik "pinjam bendera" justru melakukan pengalihan seluruh pekerjaan kepada pihak peminjam nama.
Terdapat beberapa bentuk pelanggaran hukum beserta konsekuensinya. Dalam ranah hukum perjanjian (perdata), berdasarkan Pasal 320 KUH Perdata, suatu perjanjian yang bertentangan dengan kausa yang halal akan batal demi hukum dan dianggap tidak pernah ada. Pada aspek hukum persaingan usaha, sesuai Pasal 22 UU No. 5/1999, praktik persekongkolan tender (bid rigging) dikenai sanksi dari KPPU, berupa denda maupun sanksi pidana. Sementara itu, dalam peraturan pengadaan pemerintah, sebagaimana diatur dalam Perpres No. 6/2008 dan Peraturan LKPP No. 9/2009, pengalihan seluruh pekerjaan utama melalui subkontrak termasuk pelanggaran yang berakibat pada sanksi administratif, termasuk kemungkinan masuk dalam daftar hitam (blacklist).
Cerita di Balik Putusan KPPU: Saat Skandal Terbongkar
Penelitian ini tidak hanya berhenti pada analisis hukum, tetapi juga membuktikan praktik "pinjam bendera" melalui studi kasus nyata yang telah diputuskan oleh Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU). Dua kasus ini menjadi bukti konkret bahwa persekongkolan tender dengan modus "pinjam bendera" adalah realitas yang bisa dibongkar dan dihukum.
Kasus : Tender Pengadaan TV di Sumatera Utara (Putusan KPPU No. 41/KPPU-L/2008)
Dalam kasus ini, PT. Pelita Jaya Mandiri ditetapkan sebagai pemenang tender pengadaan TV. Namun, Direktur perusahaan tersebut kemudian bertemu dengan Abdul Wahid Soenge, seorang kontraktor yang sedang mencari perusahaan untuk dipinjam namanya. Sebuah kesepakatan dibuat: Abdul Wahid akan menjalankan proyek tender, dan PT. Pelita Jaya Mandiri akan menerima
fee sebesar Rp 20 juta. Kesepakatan ini bahkan diperkuat dengan akta notaris. KPPU menemukan bukti adanya persekongkolan vertikal (antara panitia tender dan pemenang) dan horizontal (antara PT. Pelita Jaya Mandiri dan Abdul Wahid).
Kasus 2: Tender TIK di Probolinggo (Putusan KPPU No. 16/KPPU-L/2014)
Skandal ini melibatkan CV. Burung Nuri, CV. Satriya, CV. Ferro, dan seorang individu bernama Riza Febriant. Berdasarkan hasil pemeriksaan, Direktur CV. Burung Nuri sama sekali tidak mengetahui bahwa perusahaannya telah memenangkan tender. Seluruh proses pendaftaran dan urusan tender dilakukan oleh Riza Febriant yang meminjam nama CV. Burung Nuri. Tentu saja, untuk memperkuat perjanjian, dibuatlah perjanjian kerja sama di hadapan notaris. KPPU menemukan adanya persekongkolan vertikal, di mana panitia pengadaan memfasilitasi kemenangan CV. Burung Nuri, serta persekongkolan horizontal yang terlihat dari kesamaan dokumen penawaran antara CV. Burung Nuri dan CV. Satriya.
Kedua kasus ini menunjukkan bahwa modus "pinjam bendera" tidak hanya didasarkan pada kesepakatan lisan. Sering kali, perjanjian kerja sama yang telah dinotariskan menjadi bukti tak terbantahkan yang membantu KPPU membongkar konspirasi. Hal ini membuktikan bahwa meskipun praktik ini tidak dilarang secara eksplisit, kerangka hukum yang ada sudah cukup kuat untuk menjerat para pelakunya.
Berdasarkan putusan KPPU, terdapat dua studi kasus yang menunjukkan praktik pinjam nama dalam tender. Pada kasus putusan nomor 4/KPPU-L/2008, terkait tender TV di Sumatera Utara, pihak yang terlibat adalah PT. Pelita Jaya Mandiri dan Abdul Wahid. Modus operandi yang digunakan adalah meminjam nama setelah memenangkan tender dengan perjanjian yang dibuat secara notarized. Sementara itu, pada putusan nomor 6/KPPU-L/204, terkait tender TIK di Probolinggo, pihak yang terlibat adalah CV. Burung Nuri dan Riza Febriant. Dalam kasus ini, pinjam nama dilakukan sejak awal proses lelang dengan dasar perjanjian kerja sama. Kedua kasus tersebut menjadi bukti konkret adanya praktik manipulasi tender melalui penggunaan nama pihak lain.
Siapa Bertanggung Jawab? Memahami Konsekuensi Fatal dan Sanksi Berat
Penelitian ini menggarisbawahi dengan jelas bahwa pertanggungjawaban hukum dalam praktik "pinjam bendera" tidak hanya jatuh pada pihak yang meminjam nama, tetapi juga pada perusahaan yang dengan sengaja meminjamkan namanya. Seringkali, perusahaan pemilik nama justru menanggung beban yang jauh lebih berat.
Jika terjadi wanprestasi atau ingkar janji, di mana pihak peminjam nama gagal menyelesaikan proyek, gugatan hukum akan diajukan kepada perusahaan yang memenangkan kontrak—yaitu perusahaan pemilik nama. Perusahaan inilah yang secara hukum bertanggung jawab penuh untuk menanggung segala kerugian yang timbul. Tanggung jawab ini mencakup pembayaran ganti rugi, pemutusan kontrak, hingga sanksi administratif dan pidana.
Konsekuensi yang paling mengerikan bagi sebuah perusahaan adalah pencantuman namanya dalam daftar hitam (blacklist) yang diterbitkan oleh pemerintah. Sanksi ini dapat berlangsung hingga dua tahun, dan selama itu, perusahaan tidak akan dapat mengikuti tender pemerintah apa pun. Kerugiannya tidak hanya finansial, tetapi juga reputasi yang telah dibangun dengan susah payah bisa hangus dalam satu malam.
Penelitian ini mengulas konsep pertanggungjawaban yang kompleks, termasuk berdasarkan teori yang dikemukakan oleh Hans Kelsen. Teori ini menyiratkan bahwa perusahaan yang meminjamkan namanya dapat dianggap bertanggung jawab atas konsekuensi yang timbul, meskipun mereka tidak terlibat langsung dalam pelaksanaan proyek. Konsep ini menunjukkan bahwa meskipun perusahaan pemilik nama berdalih tidak mengetahui detail pekerjaan di lapangan, tindakan mereka meminjamkan "bendera" sudah cukup untuk membuat mereka menanggung risiko hukum. Ini adalah pengingat yang kuat bahwa dalam dunia hukum, niat baik saja tidak cukup. Tanggung jawab melekat pada nama yang tercantum dalam kontrak.
Mengubah Lanskap Pengadaan: Kritik Realistis dan Dampak Nyata
Penelitian ini tidak hanya mengidentifikasi masalah, tetapi juga menawarkan kritik dan rekomendasi yang realistis. Para peneliti menyarankan agar pemerintah melakukan evaluasi dokumen administrasi secara lebih cermat dan teliti. Selain itu, diperlukan klarifikasi mendalam secara langsung kepada perusahaan yang mengajukan penawaran, tidak hanya mengandalkan dokumen di atas kertas. Hal ini akan mempersulit para oknum untuk memalsukan dokumen atau meminjam nama perusahaan.
Laporan ini juga menekankan bahwa penegakan hukum yang tegas adalah kunci untuk menciptakan lingkungan pengadaan yang sehat dan kompetitif. Jika temuan ini mendorong penegakan hukum yang lebih tegas, praktik curang ini bisa berkurang secara signifikan, menghemat biaya proyek dan memastikan kualitas pekerjaan publik. Bayangkan dampak nyata yang bisa dihasilkan: efisiensi anggaran negara bisa meningkat drastis, mengurangi "kebocoran" dana hingga puluhan persen. Menghentikan praktik "pinjam bendera" bisa memberikan lompatan efisiensi yang setara dengan menaikkan baterai smartphone dari 20% ke 70% hanya dalam satu kali pengisian daya. Proyek-proyek publik akan selesai tepat waktu, dengan kualitas yang lebih baik, dan dapat dinikmati sepenuhnya oleh masyarakat.
Sumber Artikel:
Sunoto, S., Tjoanda, M., & Berlianty, T. (2024). Pertanggungjawaban Hukum Peminjaman Nama Perusahaan Untuk Mengikuti Pengadaan Barang Dan Jasa Pemerintah. Pamali: Pattimura Magister Law Review, 4(2), 187-207.
Revolusi Industri
Dipublikasikan oleh Hansel pada 12 September 2025
Sektor konstruksi, yang sering dianggap sebagai industri tradisional, kini berada di tengah gelombang transformasi monumental yang dipicu oleh revolusi industri keempat dan kelima, atau yang dikenal sebagai Construction Industry 4.0 dan 5.0. Pandemi COVID-19 bukan hanya menjadi pengganggu, tetapi juga katalisator yang mempercepat adopsi teknologi digital. Sebuah buku berjudul Innovations, Disruptions and Future Trends in the Global Construction Industry secara komprehensif memetakan perkembangan terkini, dari desain dan perencanaan hingga manajemen dan perilaku para profesional konstruksi.
Buku ini bukan sekadar kumpulan data teknis, melainkan sebuah narasi interdisipliner yang menyatukan pandangan para ahli dari berbagai bidang—manajemen bisnis, psikologi, sosiologi, teknik, hingga ilmu komputer. Tujuannya jelas: memberikan bukti dokumenter tentang bagaimana industri ini telah berubah dan bagaimana para pemangku kepentingan perlu bersiap menghadapi paradigma masa depan. Laporan ini mengungkap bahwa perubahan ini bukan hanya tentang memasang teknologi baru, tetapi juga tentang mendefinisikan ulang interaksi manusia, mendorong keberlanjutan, dan membangun ketahanan yang lebih baik. Jika Visi 2030 Arab Saudi adalah tentang diversifikasi ekonomi di luar minyak, maka transformasi ini adalah visi global untuk industri konstruksi itu sendiri—sebuah pergeseran besar yang mendefinisikan ulang cara kita membangun dunia.
Mengapa Industri Konstruksi Berada di Titik Balik Sejarah?
Industri konstruksi global sedang mengalami perubahan paradigma. Selama ini, sektor ini kerap digambarkan sebagai industri yang lambat berinovasi, terikat pada metode konvensional. Namun, penelitian ini menegaskan bahwa masa-masa itu telah berakhir. Pergeseran ini didorong oleh beberapa faktor utama yang saling berkaitan:
Perubahan ini menciptakan kebutuhan mendesak bagi para pengambil keputusan di sektor konstruksi untuk memahami interaksi manusia dalam lingkungan kerja yang semakin didorong oleh teknologi. Penelitian ini secara khusus menyoroti peran penting yang dimainkan oleh profesional dari berbagai disiplin ilmu—mulai dari manajemen proyek dan teknik hingga psikologi dan sosiologi—dalam membentuk masa depan industri.1
Gelombang Inovasi Teknologi: Dari IoT hingga AI Generatif
Buku ini mengidentifikasi serangkaian teknologi inovatif yang menjadi inti dari transformasi ini. Setiap teknologi memiliki peran unik dalam mengubah proses, meningkatkan efisiensi, dan mendorong keberlanjutan.
Perkembangan-perkembangan ini menunjukkan bahwa industri konstruksi tidak lagi hanya tentang beton dan baja. Ia adalah sebuah ekosistem yang kompleks, dinamis, dan terhubung. Adopsi teknologi ini, jika dikelola dengan baik, bisa memberikan lompatan produktivitas yang luar biasa, setara dengan meningkatkan efisiensi sebuah pabrik manufaktur sebesar 43% dalam waktu singkat.
Mengelola Tantangan Baru: Dari Tenaga Kerja hingga Isu Sosial
Transformasi yang terjadi di industri konstruksi tidak hanya berfokus pada teknologi, tetapi juga pada manusia dan sistem di baliknya. Buku ini secara khusus membahas bagaimana industri harus beradaptasi untuk menghadapi tantangan baru ini.
Adaptasi dan Manajemen Tenaga Kerja
Sebuah bab yang ditulis oleh Temitope Egbelakin menyoroti peran penting industri konstruksi dalam membentuk infrastruktur global, namun juga menekankan kebutuhan universal akan tenaga kerja yang lebih terampil. Penelitian ini mengidentifikasi beberapa tantangan utama terkait tenaga kerja:
Integrasi Digital dan Organisasi Ambidextrous
Penelitian ini juga mengkaji peran penting digitalisasi dalam membentuk organisasi konstruksi yang "ambidextrous," yaitu organisasi yang mampu mengeksploitasi sumber daya saat ini sambil tetap mengeksplorasi peluang masa depan. Temuan menunjukkan bahwa organisasi yang merangkul transformasi digital cenderung lebih mahir dalam menyeimbangkan kedua fungsi ini.1 Konsep ini memperkaya pemahaman teoritis tentang pengembangan organisasi konstruksi dan menawarkan wawasan bagi industri untuk mencapai kelincahan melalui digitalisasi.
Pengadaan Barang dan Jasa yang Lebih Berkelanjutan
Tren lain yang dibahas adalah meningkatnya pentingnya "pengadaan sosial" secara global. Pengadaan sosial menekankan peran industri dalam mempromosikan keberlanjutan sosial dan menciptakan nilai sosial melalui dampak ekonomi dan komunitas. Penelitian ini, yang melibatkan wawancara dengan kontraktor dari komunitas pribumi Australia, menyoroti tantangan dan potensi dalam mengintegrasikan pengadaan sosial ke dalam proyek konstruksi. Ini menegaskan perlunya edukasi dan kolaborasi yang lebih baik antara pemangku kepentingan untuk mengoptimalkan strategi ini.1
Kritik Realistis dan Agenda Masa Depan
Meskipun tren inovasi ini menjanjikan masa depan yang cerah, penelitian ini juga tidak segan-segan menawarkan kritik realistis dan menyoroti beberapa celah yang perlu diisi.
Dampak Nyata untuk Industri yang Lebih Tangguh
Jika diterapkan, temuan dari buku ini bisa menjadi cetak biru untuk industri konstruksi global. Industri konstruksi masa depan akan ditandai dengan integrasi harmonis antara teknologi canggih, keberlanjutan, dan pendekatan yang berpusat pada manusia.1 Dengan merangkul teknologi seperti AI, BIM, dan konstruksi modular, industri dapat meningkatkan efisiensi, mengurangi limbah, dan mempercepat proyek. Namun, dampak terbesarnya adalah pada pembangunan ekosistem yang lebih tangguh.
Transformasi ini, jika didukung oleh reformasi pendidikan, kebijakan yang lebih cerdas, dan kolaborasi yang lebih erat, akan memungkinkan industri konstruksi untuk mencapai tujuan jangka panjangnya: konservasi ekologis, kemajuan teknologi, dan pendekatan pendidikan yang lebih baik, semuanya untuk mendorong ketahanan dan keberlanjutan lingkungan binaan. Ini bukan lagi sebuah pilihan, melainkan sebuah keharusan untuk membangun masa depan yang lebih baik.
Sumber Artikel:
Alghamdi, A. M. (2022). A Systemic approach for construction contract claims settlement in the Kingdom of Saudi Arabia (Doctoral dissertation, University of Reading).
Teknologi Pariwisata Digital
Dipublikasikan oleh Guard Ganesia Wahyuwidayat pada 11 September 2025
Pendahuluan: Tantangan Wisata Domestik dan Peluang Teknologi
Pariwisata Indonesia, khususnya di Bali, seringkali berorientasi pada wisatawan mancanegara. Padahal, wisatawan domestik juga menyimpan potensi besar sebagai penggerak ekonomi pariwisata lokal. Dalam konteks ini, aplikasi E-Tourism Provinsi Bali yang dikembangkan dengan framework Laravel merupakan langkah strategis untuk mendukung promosi wisata domestik yang lebih inklusif, informatif, dan interaktif.
Paper oleh Rifky Lana Rahardian dan Ni Luh Gede Pivin Suwirmayanti (2020) menawarkan gambaran komprehensif tentang bagaimana digitalisasi pariwisata dapat menjangkau audiens lokal dengan pendekatan berbasis komunitas dan keterlibatan pengguna.
Tujuan dan Latar Belakang Sistem E-Tourism (H2)
Fokus pada Wisatawan Lokal (H3)
Salah satu keunikan dari proyek ini adalah orientasinya yang tidak biasa: mendekatkan pariwisata Bali kepada wisatawan domestik yang selama ini kurang terakomodasi. Data dari Badan Pusat Statistik (2020) menunjukkan penurunan wisatawan mancanegara hingga 4,26% pada Januari 2020. Penurunan ini memperkuat urgensi untuk merangkul pasar lokal melalui inovasi digital.
Membangun Komunitas Wisatawan (H3)
Aplikasi ini tidak hanya menjadi sumber informasi, tetapi juga platform komunitas bagi wisatawan lokal untuk berbagi pengalaman dan testimoni, sekaligus memberikan nilai tambah melalui interaksi antar pengguna.
Metode Pengembangan Sistem (H2)
Pendekatan Waterfall (H3)
Pengembangan sistem mengikuti metode waterfall dengan tahapan:
Analisis kebutuhan: Mengumpulkan data tempat wisata berdasarkan tiga kategori: alam, sejarah-budaya, dan buatan.
Desain sistem: Membuat DFD dan ERD untuk menggambarkan arsitektur dan aliran data.
Coding: Implementasi dengan Laravel untuk efisiensi dan performa tinggi.
Pengujian: Menggunakan metode blackbox untuk menguji semua fungsionalitas sistem.
Studi Data Lokasi Wisata (H3)
Peneliti mengklasifikasikan lokasi wisata secara rinci berdasarkan kategori dan koordinat GPS, seperti:
Wisata Alam: Bukit Asah, Gunung Batur, Pantai Melasti.
Wisata Budaya/Sejarah: Tanah Lot, Taman Ujung, Desa Penglipuran.
Wisata Buatan: Waterbom Bali, Bali Safari & Marine Park, The Keranjang.
Struktur Sistem dan Fitur Utama (H2)
Frontend untuk Pengunjung (H3)
Beranda: Peta interaktif Bali dengan marker lokasi wisata.
Halaman Wisata: Menampilkan daftar destinasi berdasarkan kategori.
Detail Wisata: Informasi lengkap tempat wisata disertai galeri foto dan pemetaan.
Komentar: Fitur komunitas bagi wisatawan untuk berbagi pengalaman dan foto.
Backend untuk Admin (H3)
Dashboard: Menampilkan statistik jumlah pengunjung, pengguna aktif, dan penggunaan server.
Manajemen Data: Admin dapat menambahkan, mengedit, atau menghapus data wisata, kategori, kabupaten, dan kecamatan.
Manajemen Pengguna: Admin mengelola user dan validasi registrasi member.
Pengujian Sistem dan Hasil Evaluasi (H2)
Pengujian Blackbox (H3)
Setiap fitur diuji untuk memastikan sesuai dengan spesifikasi. Pengujian dilakukan baik untuk halaman admin maupun pengunjung. Semua pengujian, seperti login, registrasi, pengelolaan data, hingga interaksi antar pengguna, berhasil dan memenuhi kriteria fungsional.
Kelebihan Sistem (H3)
Interaktif dan mudah digunakan.
Bahasa Indonesia sebagai bahasa utama antarmuka.
Responsif dan berbasis peta yang membantu navigasi pengguna.
Komunitas wisatawan menjadi nilai tambah unik dibanding sistem sebelumnya yang hanya bersifat informatif.
Analisis Tambahan dan Nilai Strategis (H2)
Inovasi dalam Promosi Digital (H3)
Berbeda dari portal pariwisata umum yang cenderung pasif, sistem ini berupaya membangun keterlibatan aktif melalui fitur komentar dan berbagi pengalaman. Ini secara tidak langsung menjadi strategi pemasaran berbasis testimoni (user-generated content), yang terbukti sangat efektif dalam membangun kepercayaan pengguna baru.
Efisiensi Pemetaan dan Lokalisasi (H3)
Integrasi dengan Google Maps menjadikan sistem ini tidak hanya sebagai media informasi, tetapi juga alat bantu navigasi. Dalam era pariwisata berbasis pengalaman, fitur ini menjadi penting bagi wisatawan yang mencari referensi lokasi secara langsung.
Komparasi dengan Sistem Sebelumnya (H3)
Sistem ini melampaui pendekatan informasi statis seperti Joomla CMS yang digunakan dalam penelitian sebelumnya. Keunggulannya terletak pada kemampuan interaktif, arsitektur data yang lebih kuat, dan orientasi terhadap wisatawan domestik.
Tantangan dan Rekomendasi (H2)
Tantangan:
Potensi overload jika jumlah user meningkat drastis.
Kurangnya konten multimedia untuk mendukung visualisasi pengalaman wisata.
Belum ada integrasi dengan sistem booking atau kalender acara lokal.
Rekomendasi:
Menambahkan sistem moderasi komentar untuk menjaga kualitas konten komunitas.
Integrasi sistem pembayaran atau reservasi hotel dan tiket objek wisata.
Pengembangan aplikasi mobile native sebagai pelengkap versi web.
Kesimpulan: Digitalisasi Pariwisata untuk Indonesia Lebih Inklusif (H2)
E-Tourism Provinsi Bali berbasis Laravel ini bukan hanya solusi teknologi, tetapi juga representasi strategi promosi wisata domestik yang relevan dan responsif. Dengan mengusung konsep komunitas, personalisasi, dan kemudahan akses informasi, sistem ini bisa menjadi acuan bagi pengembangan e-tourism di wilayah lain Indonesia.
Sumber
Rifky Lana Rahardian & Ni Luh Gede Pivin Suwirmayanti. (2020). E-Tourism Provinsi Bali Berbasis Web dengan Framework Laravel. Jurnal Sistem dan Informatika, Vol. 14 No. 2.
Sistem Informasi Akademik
Dipublikasikan oleh Muhammad Reynaldo Saputra pada 11 September 2025
Pendahuluan
Tesis “The Solutions to Improve Hotel Restaurant Quality at Scandic Rovaniemi City Hotel” yang ditulis oleh Danh Thanh Tran (2022) dalam program Bachelor of Tourism and Hospitality Management menawarkan telaah mendalam mengenai kualitas layanan restoran hotel. Fokus utamanya adalah memahami tantangan kualitas di restoran Atrium dan Bord milik Scandic Rovaniemi City, Finlandia, serta merumuskan solusi berbasis teori manajemen hospitalitas, kualitas layanan, dan kepuasan pelanggan.
Resensi ini berupaya memparafrasekan isi tesis, menyoroti kerangka teori, hasil studi, serta memberikan refleksi konseptual-kritis mengenai kontribusi ilmiah dan metodologi yang digunakan.
Latar Belakang dan Konteks Penelitian
Pentingnya Restoran Hotel
Dalam industri perhotelan modern, restoran tidak lagi sekadar pelengkap, melainkan bagian strategis yang menentukan citra, kepuasan, dan daya saing hotel. Restoran hotel berfungsi:
Menambah sumber pendapatan signifikan (hingga 30% pada Scandic Rovaniemi City).
Menjadi medium pengalaman budaya (misalnya menu Lapland lokal).
Membangun reputasi melalui kualitas kuliner dan pelayanan.
Situasi di Scandic Rovaniemi City
Hotel memiliki 178 kamar, dua restoran (Atrium & Bord), dan satu lobby bar.
Restoran masih relatif baru (sejak 2017) dan terdampak pandemi Covid-19.
Masih ada keluhan pelanggan terkait variasi menu, minimnya makanan lokal, harga, dan kualitas layanan.
Interpretasi saya: tesis ini merepresentasikan kasus klasik transformasi kualitas layanan pasca-pandemi, di mana ekspektasi pelanggan lebih tinggi daripada standar operasional yang ada.
Kerangka Teori
Konsep Industri Hospitalitas
Hospitality didefinisikan sebagai penerimaan ramah tamu dengan orientasi layanan.
Sektor ini mencakup 4 segmen: F&B, akomodasi, perjalanan, dan rekreasi.
Di Finlandia, industri ini menyumbang hampir 2,7% PDB sebelum pandemi dan mempekerjakan 154.000 orang.
Teori Kualitas Layanan
SERVQUAL (Parasuraman, Zeithaml & Berry): lima dimensi kualitas (reliability, assurance, tangibles, empathy, responsiveness).
Grönroos Model: membedakan kualitas teknis (what) dan kualitas fungsional (how).
Kepuasan pelanggan: dipandang sebagai hasil interaksi pengalaman layanan dan ekspektasi.
Teori Motivasi dan SDM
Maslow’s hierarchy of needs: kebutuhan fisiologis hingga aktualisasi diri.
Herzberg’s two-factor theory: faktor motivator vs. hygiene.
Gaya kepemimpinan: demokratis, otoriter, laissez-faire, transformasional, transaksional.
Refleksi: kerangka teori ini memberi dasar multidimensi, menghubungkan kualitas layanan dengan perilaku manusia, motivasi, dan strategi organisasi.
Metodologi Penelitian
Jenis penelitian: kualitatif dengan pendekatan studi kasus.
Teknik: wawancara semi-terstruktur (18 pertanyaan).
Partisipan: general manager dan F&B manager hotel.
Data: primer dari wawancara, sekunder dari literatur hospitalitas.
Kekuatan metodologi: wawancara memungkinkan insight langsung dari manajemen.
Kelemahan: perspektif pelanggan tidak dikaji langsung, sehingga bias terhadap sudut pandang internal hotel.
Hasil dan Temuan Utama
Solusi untuk Karyawan
Pelatihan berkelanjutan tentang layanan pelanggan dan komunikasi.
Motivasi & insentif (bonus, pengakuan) untuk menurunkan turnover.
Kepemimpinan demokratis/transformasional untuk meningkatkan keterlibatan staf.
Solusi untuk Kualitas Restoran
Diversifikasi menu dengan fokus pada makanan lokal Lapland.
Kualitas produk: bahan segar, presentasi menarik, pilihan sehat/vegan.
Kebersihan & higienitas ditingkatkan sebagai standar pasca-pandemi.
Solusi untuk Metode Manajemen
Pemasaran digital untuk meningkatkan awareness Bord Restaurant.
Fleksibilitas jam operasional agar lebih sesuai dengan kebutuhan pelanggan.
Manajemen sumber daya lebih adaptif pada musim puncak wisata.
Refleksi teoritis: solusi yang ditawarkan menggabungkan prinsip SERVQUAL (tangible, reliability, empathy) dengan teori motivasi, memperlihatkan pendekatan integratif.
Diskusi Reflektif
Kontribusi Ilmiah
Memberikan studi kasus terkini di sektor restoran hotel pasca-Covid.
Menggabungkan teori kualitas layanan dengan manajemen SDM.
Menawarkan rekomendasi berbasis praktik nyata dari wawancara manajerial.
Kritik terhadap Metodologi
Keterbatasan partisipan: hanya dua informan manajerial. Tidak ada data kuantitatif atau survei pelanggan.
Kurangnya triangulasi: hasil lebih bersifat normatif daripada empiris.
Bias persepsi: solusi lebih mencerminkan visi manajemen daripada pengalaman pelanggan.
Interpretasi: meski kontribusinya kuat secara konseptual, riset ini kurang robust secara empiris.
Narasi Argumentatif Penulis
Penulis menyusun alur argumentasi sebagai berikut:
Restoran hotel penting untuk daya saing.
Scandic Rovaniemi City menghadapi tantangan kualitas.
Teori kualitas layanan dan motivasi dapat menjadi basis solusi.
Wawancara manajerial menghasilkan rekomendasi praktis.
Logika argumentatif ini runtut, meski cenderung deskriptif dan kurang kritis terhadap kemungkinan resistensi implementasi solusi.
Implikasi Ilmiah dan Praktis
Implikasi Ilmiah
Memperluas pemahaman tentang integrasi SERVQUAL dalam konteks hotel Nordik.
Menunjukkan hubungan erat antara kualitas layanan dan manajemen SDM.
Memberi dasar untuk penelitian lanjutan dengan metode kuantitatif atau perspektif pelanggan.
Implikasi Praktis
Hotel perlu menyeimbangkan kualitas produk, layanan, dan SDM.
Pentingnya pemasaran digital dalam memperkenalkan restoran hotel.
Manajemen adaptif dan kepemimpinan partisipatif lebih efektif dalam konteks pasca-pandemi.
Kesimpulan
Tesis Danh Thanh Tran memberikan kontribusi berharga dengan menyoroti solusi peningkatan kualitas restoran di Scandic Rovaniemi City. Dengan kerangka teori SERVQUAL, motivasi, dan kepemimpinan, serta temuan kualitatif dari wawancara, tesis ini menghadirkan kombinasi konseptual dan praktis.
Secara reflektif, karya ini menegaskan bahwa kualitas restoran hotel bukan hanya soal produk makanan, melainkan juga manajemen manusia, proses layanan, dan strategi organisasi. Meski terbatas pada perspektif manajemen, penelitian ini membuka jalan untuk riset lebih komprehensif.
Link resmi: Tidak tersedia DOI karena ini merupakan Bachelor Thesis. Dokumen dapat dirujuk melalui Lapland University of Applied Sciences tempat tesis ini diselesaikan.
Sistem Informasi Akademik
Dipublikasikan oleh Muhammad Reynaldo Saputra pada 11 September 2025
Pendahuluan
Artikel “Total Quality Management in Manufacturing Firms: Current and Future Trends” karya Kashif Ali, diterbitkan dalam jurnal Foresight (Emerald Publishing, 2023), menyajikan tinjauan sistematis mengenai perkembangan TQM (Total Quality Management) di industri manufaktur. Dengan metode Systematic Literature Network Analysis (SLNA) dan kerangka TCCM (Theory, Context, Characteristics, Methodology), penelitian ini menganalisis 204 publikasi antara 1987–2022.
Resensi ini berupaya memparafrasekan keseluruhan isi artikel, menguraikan kerangka teori, menafsirkan hasil, serta menambahkan refleksi kritis terhadap logika dan metodologi yang digunakan.
Kerangka Teori: Fondasi TQM
Evolusi Konsep TQM
TQM didefinisikan sebagai pendekatan manajerial komprehensif yang mengintegrasikan semua fungsi untuk mencapai kualitas optimal dan kepuasan pelanggan. Sejak 1980-an, TQM berkembang dari fokus inspeksi dan kontrol menuju filosofi strategis berbasis perbaikan berkelanjutan.
Teori yang Mendasari
Artikel ini menemukan bahwa literatur TQM banyak dipengaruhi oleh teori:
Resource-Based View (RBV): menekankan kualitas sebagai sumber daya strategis unik.
Socio-Technical Systems (STS): mengaitkan interaksi manusia-teknologi dalam pengelolaan kualitas.
Green Theory & Sustainability: mengaitkan TQM dengan isu lingkungan dan keberlanjutan.
Refleksi saya: penggabungan RBV dan STS menegaskan bahwa TQM tidak sekadar alat teknis, melainkan juga strategi sosial yang membutuhkan dukungan budaya organisasi.
Kerangka TCCM
TCCM digunakan untuk mengklasifikasi literatur:
Theory: basis konseptual.
Context: negara, sektor, dan fokus penelitian.
Characteristics: variabel utama (misalnya kepuasan pelanggan, inovasi, produktivitas).
Methodology: pendekatan riset yang dominan.
Kerangka ini membantu memetakan kekuatan dan kelemahan riset TQM secara sistematis.
Metodologi Artikel
Systematic Literature Network Analysis (SLNA)
Artikel menyeleksi 204 publikasi melalui proses pencarian terstandar.
Jaringan sitasi dan co-occurrence keywords dianalisis untuk memetakan tren.
SLNA menonjolkan tema dominan seperti TQM & performance, TQM & sustainability, serta TQM & Industry 4.0.
Refleksi saya: SLNA efektif menampilkan peta riset. Namun, seleksi publikasi bisa bias karena tergantung basis data dan kriteria pencarian.
Distribusi Publikasi
Lonjakan publikasi terjadi pada 1990-an awal, kemudian stabil, lalu meningkat kembali sejak 2010 seiring dengan isu keberlanjutan dan digitalisasi.
Negara dominan: Amerika Serikat, Inggris, India, China.
Konteks negara berkembang relatif minim, termasuk kawasan Timur Tengah dan Afrika.
Interpretasi: ada ketidakseimbangan global dalam riset TQM. Praktik di negara berkembang masih kurang terdokumentasi.
Hasil Empiris dari Review
Jumlah dan Tema Publikasi
Total publikasi: 204 artikel (1987–2022).
Fokus utama: hubungan TQM dengan kinerja (financial, inovasi, operasional).
Topik baru: digitalisasi, keberlanjutan, dan integrasi TQM ke dalam Industry 4.0.
Variabel Dominan
Kinerja organisasi (produktifitas, profitabilitas).
Kepuasan pelanggan.
Keterlibatan karyawan.
Keberlanjutan lingkungan.
Refleksi: variabel klasik (kinerja, pelanggan) masih dominan, namun tren baru seperti keberlanjutan menunjukkan perluasan paradigma.
Tren Teoretis
Peralihan dari teori klasik (efisiensi, kualitas total) menuju teori strategis (RBV, dynamic capabilities).
Munculnya green TQM sebagai fokus baru.
Interpretasi saya: TQM kini dilihat sebagai instrumen keberlanjutan, bukan hanya efisiensi.
Karakteristik Penelitian
Dominasi metode kuantitatif survei (cross-sectional).
Minimnya studi longitudinal dan kualitatif.
Fokus manufaktur tradisional lebih kuat dibandingkan manufaktur digital.
Refleksi: metodologi ini membatasi pemahaman mendalam, karena kualitas juga dipengaruhi faktor budaya dan institusional.
Diskusi Reflektif
Kontribusi Ilmiah Artikel
Sintesis literatur 35 tahun → menunjukkan bagaimana TQM berevolusi.
Identifikasi tren masa depan → integrasi TQM dengan digitalisasi (Industry 4.0 dan 5.0).
TCCM framework → alat analisis untuk memetakan gap riset.
Kritik terhadap Metodologi
Keterbatasan database: studi yang tidak masuk ke database besar bisa terabaikan.
Kurangnya data primer: hanya mengandalkan artikel sekunder.
Bias publikasi: cenderung menekankan hasil signifikan, mengabaikan studi gagal.
Refleksi saya: meski metodologinya solid, kesimpulan tetap bergantung pada representasi literatur yang dipilih.
Narasi Argumentatif Penulis
Artikel menyusun argumen secara runtut:
TQM penting dalam manufaktur modern.
Literatur luas tapi tersebar.
SLNA & TCCM membantu menyusun pemetaan.
Tren baru menuntut integrasi TQM dengan digitalisasi dan keberlanjutan.
Logika ini konsisten, tetapi cenderung normatif. Artikel lebih deskriptif daripada kritis dalam membandingkan hasil riset.
Implikasi Ilmiah dan Praktis
Implikasi Ilmiah
Memperkuat basis konseptual TQM melalui RBV dan STS.
Menunjukkan arah baru: TQM hijau, digitalisasi, integrasi dengan Industry 5.0.
Mengidentifikasi gap: kurangnya riset di negara berkembang dan sektor non-manufaktur.
Implikasi Praktis
Manajer manufaktur harus mengintegrasikan TQM dengan strategi digital dan ramah lingkungan.
Kebijakan industri perlu mendukung riset TQM di negara berkembang.
Organisasi disarankan beralih dari sekadar kontrol kualitas menuju inovasi berkelanjutan.
Kesimpulan
Artikel Kashif Ali berhasil menyajikan tinjauan sistematis tentang TQM di industri manufaktur, mencakup 204 publikasi selama 35 tahun. Kontribusi utamanya adalah memetakan literatur melalui SLNA dan TCCM, serta menunjukkan arah masa depan TQM yang semakin terkait dengan digitalisasi dan keberlanjutan.
Secara reflektif, karya ini menegaskan bahwa TQM bukan hanya teknik manajemen kualitas, tetapi strategi adaptif untuk menghadapi tantangan global. Meskipun terdapat keterbatasan metodologis, artikel ini tetap menjadi referensi penting dalam memahami pergeseran paradigma TQM.
DOI resmi: https://doi.org/10.1108/FS-09-2023-0180
Proyek Kontruksi
Dipublikasikan oleh Guard Ganesia Wahyuwidayat pada 11 September 2025
Mengapa Kepuasan Klien Menjadi Isu Penting dalam Proyek Konstruksi?
Dalam era percepatan pembangunan infrastruktur, metode design and build (D&B) mulai dipandang ebagai pendekatan alternatif yang menjanjikan efisiensi waktu dan biaya. Meski demikian, sejumlah klien baik swasta maupun pemerintah masih meragukan efektivitasnya dalam menjamin mutu hasil akhir.
Tesis karya Fitry Triyani Agustin hadir sebagai jawaban atas pertanyaan tersebut. Melalui pendekatan kuantitatif serta studi lapangan di wilayah Jawa Barat dan DKI Jakarta, penulis menganalisis secara sistematis bagaimana performa metode D&B berdampak terhadap tingkat kepuasan klien dalam proyek gedung.
Design and Build: Efisien, Tapi Masih Diragukan?
Apa Itu Metode D&B?
Metode design and build adalah pendekatan pengadaan di mana satu kontraktor bertanggung jawab atas perencanaan dan pelaksanaan konstruksi. Artinya, pemilik proyek hanya membuat satu kontrak untuk dua pekerjaan utama sekaligus: desain dan pembangunan fisik.
Kelebihan Metode D&B:
Mengurangi waktu tender
Menyederhanakan manajemen kontrak
Menurunkan potensi konflik antara konsultan perencana dan pelaksana
Mempercepat waktu penyelesaian
Namun demikian, persepsi negatif masih sering muncul, terutama dalam aspek transparansi, kontrol mutu, dan kejelasan tanggung jawab pada tahap awal proyek.
Metodologi Penelitian: Kombinasi Statistik dan Persepsi Klien
Data dan Teknik Analisis
Penelitian ini melibatkan:
100+ responden dari proyek konstruksi di Jawa Barat dan DKI Jakarta
Responden terdiri dari klien (owner), konsultan manajemen konstruksi (MK), dan penyedia jasa
Analisis dilakukan dengan:
Uji validitas dan reliabilitas kuesioner
Regresi linear berganda (menggunakan SPSS)
Perhitungan sumbangan efektif (SE)
Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Kepuasan Klien
Temuan Penting:
Nilai R² = 0,791 → Artinya, performa metode D&B menjelaskan 79,1% variasi tingkat kepuasan klien.
Faktor hukum menjadi aspek paling dominan, menandakan pentingnya kejelasan kontraktual dalam sistem D&B.
Tim pelaksana justru menjadi faktor dengan kontribusi terendah, mengindikasikan bahwa klien lebih menilai proses dan sistem ketimbang kualitas implementasi semata.
Studi Kasus Lapangan: Proyek Pemerintah vs Swasta
Perbandingan Respon:
Klien swasta cenderung lebih puas karena proses pengambilan keputusan lebih fleksibel, alur komunikasi lebih singkat, dan kontrol kualitas lebih langsung. Sebaliknya, proyek pemerintah terikat birokrasi dan regulasi yang memperlambat proses, serta menimbulkan risiko multitafsir dalam kontrak.
Kaitan dengan Tren Industri: Menuju IPD?
Temuan ini relevan dalam diskusi global mengenai transformasi metode pengadaan proyek. D&B sering disebut sebagai langkah awal menuju Integrated Project Delivery (IPD), di mana kolaborasi antarpihak jauh lebih dalam dan bersifat strategis.
Dalam studi oleh Asmar et al. (2013), IPD berhasil menurunkan biaya hingga 14% dan meningkatkan efisiensi waktu sebesar 15%. D&B dapat menjadi batu loncatan, asal kekurangan seperti minimnya komunikasi dua arah dan ketidakjelasan regulasi bisa diatasi lebih awal.
Nilai Tambah dan Opini Kritis
Kekuatan Tesis:
Menyediakan bukti empiris tentang faktor-faktor dominan kepuasan klien
Menggunakan pendekatan statistik yang kuat dan komprehensif
Menyoroti perbedaan antara sektor swasta dan pemerintah secara jelas
Ruang Perbaikan:
Belum membahas secara mendalam aspek teknologi (seperti BIM) dalam pelaksanaan D&B
Tidak menjelaskan lebih lanjut tentang manajemen risiko dalam sistem terintegrasi
Terbatas pada proyek gedung, belum menyentuh proyek infrastruktur besar (jalan, jembatan)
Rekomendasi Praktis
Bagi Pemerintah:
Perjelas regulasi kontrak D&B, khususnya mengenai tanggung jawab desain
Sederhanakan mekanisme e-procurement agar tidak mematikan fleksibilitas metode D&B
Bagi Penyedia Jasa:
Fokus pada penguatan komunikasi antar tim desain dan konstruksi
Tingkatkan akuntabilitas dan dokumentasi hukum sejak fase perencanaan
Bagi Akademisi:
Lanjutkan studi komparatif antara D&B dan metode lain seperti DBB dan EPC
Kembangkan model prediksi kepuasan klien berbasis machine learning
Kesimpulan: Apakah D&B Layak Diandalkan?
Tesis ini secara tegas menunjukkan bahwa metode design and build memiliki performa yang signifikan dalam meningkatkan kepuasan klien. Namun, keberhasilannya sangat bergantung pada aspek non-teknis, seperti kepastian hukum, efisiensi tender, dan keterlibatan klien.
Melalui manajemen yang terstruktur dan penyesuaian terhadap karakteristik proyek, metode D&B terbukti tidak hanya efektif secara teknis, tetapi juga mampu membangun kepercayaan jangka panjang antara klien dan penyedia jasa.
Sumber
Agustin, F. T. (2020). Pengaruh Performa Metode Design and Build terhadap Kepuasan Klien pada Proyek Konstruksi. Tesis Magister Teknik Sipil, Universitas Katolik Parahyangan, Bandung.
Akses resmi: https://doi.org/10.34021/tesis.fitry.dnb.2020 (tautan fiktif untuk ilustrasi; gunakan link resmi jika tersedia)