Ekonomi Daerah & Pariwisata
Dipublikasikan oleh Afridha Nu’ma Khoiriyah pada 26 Mei 2025
Pendahuluan: Pariwisata dan Lapangan Kerja—Dua Sisi Mata Uang di Bali
Provinsi Bali, dikenal sebagai jantung pariwisata Indonesia, memiliki keindahan alam, adat budaya, serta keramahan masyarakat yang menjadikannya magnet wisatawan mancanegara. Di balik geliat sektor pariwisata, terdapat dinamika ekonomi yang menarik untuk ditelaah, salah satunya adalah pengaruhnya terhadap tingkat pengangguran.
Dalam skripsi ini, Mega Agung Prasetya (2020) meneliti secara kuantitatif bagaimana jumlah hotel dan restoran, daya tarik wisata, serta agen perjalanan memengaruhi tingkat pengangguran di sembilan kabupaten/kota Bali dalam rentang 2015–2019.
Data dan Metodologi: Kuantifikasi Realitas di Lapangan
Penelitian ini menggunakan data panel—gabungan antara data time-series (tahun 2015–2019) dan cross-section (9 wilayah di Bali). Data diperoleh dari Badan Pusat Statistik (BPS) dan dianalisis dengan metode Random Effect Model (REM) menggunakan software EViews.
Variabel Penelitian
Y (Dependent): Tingkat pengangguran
X1: Jumlah hotel dan restoran
X2: Jumlah daya tarik wisata
X3: Jumlah agen perjalanan wisata
Hasil Utama: Sektor Pariwisata, Tidak Selalu Menyerap Tenaga Kerja
1. Hotel dan Restoran → Menurunkan Pengangguran
Terdapat hubungan negatif signifikan antara jumlah hotel dan restoran terhadap tingkat pengangguran. Artinya, bertambahnya fasilitas akomodasi benar-benar menyerap tenaga kerja. Ini sejalan dengan teori ekonomi bahwa permintaan tenaga kerja meningkat saat investasi di sektor jasa tumbuh.
Contoh nyata:
Tahun 2017, penambahan 2.795 hotel di Bali berkontribusi terhadap penurunan angka pengangguran menjadi 1,48% (BPS Bali, 2020).
2. Daya Tarik Wisata → Justru Meningkatkan Pengangguran
Temuan menarik muncul ketika diketahui bahwa bertambahnya objek wisata ternyata berkorelasi positif dengan meningkatnya pengangguran. Mengapa demikian?
Analisis:
Banyak objek wisata yang dikembangkan tidak disertai dengan dukungan manajemen profesional atau investasi yang menyerap tenaga kerja.
Misalnya, kenaikan jumlah daya tarik wisata dari 245 (2018) menjadi 354 (2019) tidak berbanding lurus dengan penurunan pengangguran—justru angka pengangguran naik ke 1,52%.
3. Agen Perjalanan → Menaikkan Pengangguran
Secara mengejutkan, peningkatan jumlah agen perjalanan juga memiliki korelasi positif terhadap angka pengangguran. Hal ini mungkin disebabkan karena sebagian besar agen travel kini berbasis digital, tidak lagi membutuhkan banyak staf seperti era sebelumnya.
Tren industri mendukung hasil ini:
Otomatisasi dan aplikasi wisata seperti Traveloka, Tiket.com, dan Airbnb menggeser kebutuhan tenaga kerja di sektor biro fisik.
Analisis Lanjutan: Ketika Pariwisata Tidak Selalu Solusi
Meskipun pariwisata dipandang sebagai sektor padat karya, temuan skripsi ini menyoroti bahwa tidak semua subsektor menyerap tenaga kerja secara optimal. Hal ini bisa menjadi peringatan bagi pemerintah bahwa investasi pariwisata harus terfokus pada sektor yang tepat, seperti perhotelan, bukan hanya pengembangan objek wisata tanpa rencana strategis.
Studi Banding: Yogyakarta vs Bali
Penelitian serupa oleh Anandya A. Pertiwi (2018) di DIY menunjukkan hasil berbeda, di mana semua sektor pariwisata (hotel, daya tarik, agen travel) berpengaruh positif signifikan terhadap penyerapan tenaga kerja. Ini menunjukkan bahwa manajemen pariwisata yang baik dan adaptif terhadap teknologi menjadi kunci dalam menciptakan peluang kerja.
Implikasi Kebijakan: Apa yang Bisa Dilakukan?
Dari temuan ini, beberapa rekomendasi dapat disusun:
Peningkatan SDM Lokal: Pelatihan tenaga kerja lokal untuk bidang hospitality agar siap diserap oleh hotel/restoran yang baru dibangun.
Evaluasi Objek Wisata: Pemerintah daerah sebaiknya mengevaluasi dampak sosial-ekonomi dari pengembangan objek wisata, tidak hanya berdasarkan jumlahnya.
Digitalisasi Agen Perjalanan: Edukasi dan pelatihan digital bagi pemilik agen perjalanan tradisional agar dapat bertransformasi mengikuti tren digital.
Kesimpulan: Transformasi atau Stagnasi?
Penelitian ini menyuguhkan perspektif kritis bahwa pariwisata bukanlah solusi tunggal untuk menyelesaikan masalah pengangguran. Sektor ini harus dikembangkan dengan strategi yang mempertimbangkan transformasi digital, kualitas tenaga kerja, dan daya serap lapangan kerja yang sesungguhnya.
Dalam konteks Bali, penting untuk mengarahkan pengembangan pariwisata pada sektor-sektor yang terbukti menyerap tenaga kerja, serta menyiapkan SDM agar sesuai dengan tuntutan industri modern.
Sumber
Mega Agung Prasetya. (2020). Pengaruh Sektor Industri Pariwisata terhadap Kondisi Pengangguran di Provinsi Bali Tahun 2015–2019. Skripsi Sarjana Ekonomi, Universitas Brawijaya. Tersedia di repositori resmi Universitas Brawijaya.
Kualitas Air
Dipublikasikan oleh Viskha Dwi Marcella Nanda pada 26 Mei 2025
Krisis Air Bukan Sekadar Isu Ghana
Ketersediaan air bersih menjadi ancaman global, dan Ghana bukan pengecualian. Artikel "Review of Ghana’s Water Resources: The Quality and Management with Particular Focus on Freshwater Resources" oleh Yeleliere, Cobbina, dan Duwiejuah (2018) merupakan tinjauan komprehensif terhadap kualitas air tawar dan upaya manajerial yang diterapkan di Ghana. Resensi ini akan menyajikan rangkuman mendalam, kritik, dan perluasan wawasan dengan studi kasus serta keterkaitannya dengan pendekatan IWRM global.
Gambaran Umum Sumber Daya Air di Ghana
Ghana memiliki tiga sistem sungai utama: Volta (70% wilayah), South-Western (22%), dan Coastal (8%). Ditambah danau alami seperti Bosumtwi dan bendungan besar seperti Akosombo dan Bui, Ghana memiliki potensi sumber air signifikan. Namun kualitas dan kuantitas air terus menurun akibat pertumbuhan penduduk, aktivitas pertambangan ilegal (galamsey), dan perubahan iklim.
Fakta Penting:
Kualitas Air: Tinjauan Fisika, Kimia, dan Biologi
Parameter Fisik
Air permukaan menunjukkan tingkat kekeruhan (turbiditas) dan warna melebihi standar WHO. Misalnya, studi Densu Basin mencatat turbidity mencapai 54 NTU (standar WHO: 5 NTU).
Parameter Kimia
Parameter Biologis
Polusi Air: Dari Sungai ke Krisis Nasional
Kasus River Pra, Daboase, dan Ankobra menunjukkan degradasi air akibat penambangan dan pertanian. Di Eastern Region, pencemaran membuat instalasi pengolahan air terpaksa ditutup. Korle Lagoon di Accra menjadi contoh buruk eutrofikasi akibat limbah domestik dan industri.
Mekanisme Pengelolaan Air: Tradisional, Hukum, dan Terpadu
Pendekatan Tradisional
Air dikelola melalui hukum adat oleh kepala suku dan dukun. Ada larangan aktivitas tertentu di hari tertentu dan sanksi sosial bagi pelanggar. Meskipun efektif di masa lalu, kekuatan hukum adat kini melemah.
Pendekatan Hukum
Melalui Water Resources Commission Act 1996 dan berbagai regulasi (LI 1692, LI 1827, LI 2236), Ghana mengatur penggunaan air. Namun, implementasinya lemah.
Integrated Water Resources Management (IWRM)
IWRM mendorong koordinasi lintas sektor untuk efisiensi, kesetaraan, dan keberlanjutan. Ghana telah menyusun Rencana IWRM Nasional sejak 2012, dengan partisipasi masyarakat melalui organisasi lokal dan NGO. Namun pendekatan top-down masih dominan.
Tantangan Nyata di Lapangan
Jalan Keluar: Rekomendasi Praktis
Komparasi dengan Negara Lain
Kesimpulan: Air Tawar Ghana di Persimpangan
Ghana telah membuat kemajuan signifikan melalui regulasi dan rencana IWRM. Namun, tanpa penegakan yang kuat, partisipasi masyarakat, dan integrasi kearifan lokal, keberlanjutan air bersih akan tetap menjadi mimpi. Pengalaman Ghana mencerminkan tantangan umum negara berkembang dalam mengelola sumber daya air secara adil dan berkelanjutan.
Sumber: Yeleliere, E., Cobbina, S. J., & Duwiejuah, A. B. (2018). Review of Ghana’s water resources: the quality and management with particular focus on freshwater resources. Applied Water Science, 8, 93.
Interaksi Air
Dipublikasikan oleh Viskha Dwi Marcella Nanda pada 26 Mei 2025
Mengapa Interaksi Air Permukaan dan Air Tanah pada Skala Regional Itu Penting?
Dalam konteks perubahan iklim dan tekanan populasi global, pemahaman terhadap interaksi antara air permukaan dan air tanah (groundwater-surface water/GW-SW) pada skala regional semakin mendesak. Makalah karya Roland Barthel dan Stefan Banzhaf (2015) meninjau secara komprehensif tantangan dan potensi pendekatan terintegrasi dalam memodelkan interaksi GW-SW pada wilayah berskala 1.000–100.000 km². Resensi ini membedah temuan tersebut, memperkaya dengan kritik, studi kasus tambahan, serta mengaitkannya dengan implementasi praktis di Indonesia dan negara berkembang lainnya.
Skala Itu Penting: Dari Titik ke Kawasan
Titik dan Lokal: Tingkat Mikroskopik
Pada skala titik, hukum fisika seperti Hukum Darcy masih bisa diaplikasikan langsung. Namun data terbatas hanya di area sangat sempit dan cenderung tak dapat merepresentasikan keseluruhan akuifer.
Sub-DAS dan DAS Kecil
Di sinilah agregasi dimulai: beberapa sungai, beberapa akuifer, dan berbagai pola aliran permukaan mulai berinteraksi. Model pada tahap ini harus mampu mengatasi heterogenitas geologi dan tata guna lahan.
Skala Regional: Kompleksitas Eksponensial
Ketika masuk ke wilayah >10.000 km² seperti Citarum atau DAS Bengawan Solo, interaksi antar-sistem jadi sangat kompleks. Geologi karst, transfer air lintas wilayah, dan infrastruktur buatan membuat model semakin tak linier. Barthel dan Banzhaf menyoroti bahwa di skala ini, data seringkali tambal sulam, inkonsisten antar instansi, dan terfragmentasi secara spasial dan temporal.
Kritik terhadap Literatur Eksisting
Bias Skala Kecil
Mayoritas literatur GW-SW fokus pada skala lokal atau hiporeik (zona dekat saluran sungai). Barthel menunjukkan hanya segelintir studi (misalnya proyek Murray-Darling Basin oleh CSIRO) yang benar-benar memodelkan interaksi di skala regional.
Publikasi Tertutup
Banyak model besar tidak pernah masuk jurnal ilmiah karena terlalu kompleks atau terlalu "pragmatis" untuk direplikasi. Ini menyulitkan evaluasi silang antar metode.
Data dan Validasi
Model fisik canggih seperti ParFlow atau HydroGeoSphere menjanjikan, tetapi membutuhkan data sangat detail yang jarang tersedia di negara berkembang. Alhasil, pendekatan "loosely coupled" (menggabungkan dua model yang berbeda) seperti MODFLOW + SWAT lebih sering digunakan meski punya keterbatasan akurasi interaksi dinamis GW-SW.
Studi Kasus Tambahan: Pembelajaran Global
Jerman (Neckar Basin)
Model DANUBIA mengintegrasikan data klimatologi, sosial, dan hidrogeologi di wilayah 77.000 km². Namun hanya satu skema model digunakan, menyulitkan perbandingan efektivitas antar pendekatan.
California (Central Valley)
IWFM menggabungkan manajemen permukaan dan air tanah di wilayah 51.000 km². Keunggulan: dirancang untuk kebutuhan pengambilan keputusan real-time oleh pemerintah.
Tiongkok (North China Plain)
MIKE SHE digunakan pada wilayah 140.000 km², namun dengan asumsi catchment tertutup yang tidak selalu realistis di lapangan.
Relevansi untuk Indonesia
Kesimpulan: Membangun Jembatan antara Akuifer dan Sungai
Barthel dan Banzhaf menyampaikan kritik jujur terhadap stagnasi penelitian GW-SW skala regional. Mereka menyerukan agar pendekatan tidak hanya teknis, tetapi juga sistemik dan partisipatif. Dalam konteks Indonesia, urgensi ini berlipat ganda karena keterbatasan data, tekanan populasi, dan perubahan tata guna lahan.
Artikel ini menegaskan bahwa pengelolaan air terintegrasi tidak bisa hanya mengandalkan satu disiplin atau satu skala, melainkan butuh sinergi spasial, institusional, dan teknologi yang konkret.
Sumber: Barthel, R., & Banzhaf, S. (2015). Groundwater and Surface Water Interaction at the Regional-scale – A Review with Focus on Regional Integrated Models. Water Resources Management, 30, 1–32.
Sumber Air
Dipublikasikan oleh Viskha Dwi Marcella Nanda pada 26 Mei 2025
Mengapa Resensi Itu Penting?
Krisis udara tidak lagi sekadar statistik: 42 % penduduk dunia kini hidup di daerah bertekanan tinggi, dan angka itu diperkirakan melonjak 10 poin dalam dekade mendatang. Di tengah urgensi tersebut, konsep Pengelolaan Sumber Daya Air Terpadu (IWRM) digadang-gadang sebagai obat mujarab—namun kenyataan banyak kesulitan negara mengubah jargon “integrasi” menjadi panduan operasional. Kertas Kenji Nagata dkk. (2022) menawarkan jawaban dengan pendekatan Practical IWRM , dan tulisan ini menguliti temuan mereka, menambah data terbaru, hingga menyoroti peluang penerapannya di Indonesia serta Global South.
IWRM: Ide Besar, Eksekusi Rumit
Sejak diluncurkannya Global Water Partnership pada tahun 2000, definisi IWRM—koordinasi udara, lahan, dan ekosistem demi kesejahteraan tanpa merusak alam—terdengar indah. Tapi pejabat lapangan kerap bingung memecahnya menjadi Rencana Kerja. Kegagalan bedung Wonogiri menahan sedimentasi, atau kemelut alokasi air Citarum, adalah bukti jargon tak cukup.
Menyigi “IWRM Praktis”
Nagata dkk. meracik kerangka tiga pilar:
Kerangka ini diuji di Sudan, Bolivia, Indonesia, dan Iran—empat lokasi dengan iklim, politik, dan kultur beragam. Hasilnya, setiap studi kasus paparan penurunan konflik sekaligus peningkatan transparansi data.
Studi Kasus: Data, Analisis, dan Pelajaran
1. Sudan—Cekungan Bara
2. Bolivia—Cochabamba
3. Indonesia—Jakarta Utara
4. Iran—Danau Urmia
Merajut Teori dan Praktik: Analisis Kritis
Implikasinya bagi Indonesia & Global Selatan
Kemenangan Cepat untuk Nusantara
Tren Industri & Start-Up
Kesimpulan: IWRM sebagai Proses, Bukan Proyek
Nagata dkk. membuktikan bahwa integrasi udara lebih mirip maraton daripada sprint. Mereka menawarkan resep seragam, melainkan toolkit adaptif: data objektif, kemitraan setara, siklus cepat. Empat studi kasus menunjukkan model ini:
Dengan kata lain, Praktis IWRM menegaskan kembali kenyataan: air bukan hanya soal pipa dan waduk, melainkan perjalanan kolektif lintas generasi yang menuntut kesabaran, transparansi, dan inovasi.
Daftar Pustaka
Biswas, AK (2008). Arah terkini: Pengelolaan sumber daya air terpadu—pandangan kedua. Water International , 33(3), 274-278.
Inovasi Transportasi Laut
Dipublikasikan oleh Afridha Nu’ma Khoiriyah pada 26 Mei 2025
Pendahuluan: Antara Kebijakan dan Efisiensi Armada
Pelarangan operasional kapal Landing Craft Tank (LCT) oleh Keputusan Dirjen Perhubungan Darat No. SK.885/AP.005/DRJD/2015 telah menciptakan polemik besar dalam dunia transportasi laut, khususnya di jalur padat Ketapang–Gilimanuk. Paper karya Bagus Chandra Mahardhika (2017) ini mencoba membedah dampak ekonomi dari kebijakan tersebut dan menyusun tiga skenario pemanfaatan ulang kapal LCT, dengan pendekatan teknis, finansial, dan desain konseptual.
Masalah yang Diangkat: Dari Pembatasan Operasional ke Kerugian Nyata
Kapal LCT dulunya menjadi tulang punggung pengangkutan kendaraan besar seperti truk dan trailer. Namun, karena tidak memenuhi aspek keselamatan, terutama tidak adanya double bottom dan dua ramp door, maka penggunaannya untuk angkutan penumpang dilarang.
Akibatnya:
Terjadi antrian kendaraan karena berkurangnya armada kapal.
13 unit kapal LCT menganggur.
Karyawan perusahaan pemilik kapal LCT terancam kehilangan pekerjaan.
Metodologi: Penilaian Multi-Skenario Berbasis Investasi
Penulis menyusun tiga skenario pemanfaatan:
Scrap (dibesi tuakan)
Modifikasi jadi Kapal Motor Penumpang (KMP)
Konversi jadi kapal barang (general cargo)
Penilaian dilakukan dengan:
Perhitungan NPV (Net Present Value), IRR, dan cash flow
Estimasi biaya operasional, modal, pelayaran, dan bongkar muat
Desain konseptual kapal pascamodifikasi
Studi Kasus: LCT.Tunu Pratama Jaya 2888
Satu unit kapal, LCT.Tunu Pratama Jaya 2888, dipakai sebagai objek. Kapal ini buatan 2010 dan tergolong masih muda secara teknis. Data operasional dan biaya aktual digunakan sebagai dasar analisis.
Data Pendukung: Pelabuhan dan Demand
Kondisi Pelabuhan
Ketapang: dermaga LCM, dilengkapi ponton, trestle, gangway
Gilimanuk: 3 dermaga (2 MB, 1 ponton), kapasitas GRT hingga 2000
Permintaan Angkutan
Rute Ketapang–Gilimanuk menunjukkan peningkatan trip dan penumpang tiap tahun
Tercatat lebih dari 17 juta penumpang dan 2 juta kendaraan menyeberang pada 2014
Analisis Skenario
Skenario 1: Scrap Kapal
Umur ekonomis kapal dipertimbangkan (biasanya 20 tahun)
Nilai jual besi tua jadi satu-satunya sumber pengembalian modal
Kelemahan: potensi ekonomi jangka panjang hilang; kerugian sosial tinggi
Skenario 2: Modifikasi jadi Kapal Motor Penumpang
Kapasitas: 108 penumpang + 18 unit kendaraan
Biaya modifikasi tinggi tapi NPV: Rp 38,2 miliar (positif)
Analisis sensitivitas menunjukkan skenario ini paling tahan terhadap fluktuasi biaya dan pendapatan
Skenario 3: Konversi ke General Cargo
Rute diusulkan: Tanjung Perak – Tembaga – Wangi – Benoa – balik lagi
Beroperasi di daerah dengan arus barang tinggi
NPV lebih kecil dari skenario 2, dan tidak seefisien karena kebutuhan logistik tambahan
Perbandingan Investasi (Data Kunci)
SkenarioNPV (Rp)IRR (%)Payback PeriodRisikoScrap--LangsungSangat tinggiKMP38.193.204.003,6620%< 5 tahunRendahCargo12 M-an12%~7 tahunSedang
Analisis Desain: Efisiensi dan Fungsi Baru
Modifikasi dilakukan dengan pendekatan spiral design:
Menambahkan ruang akomodasi
Menyesuaikan ventilasi, sistem keselamatan, dan jalur evakuasi
Layout dibuat untuk mendukung double loading ramp, sesuai standar IMO untuk ferry penumpang
Kritik Konstruktif terhadap Penelitian
Kelebihan:
Memakai data riil dan metodologi investasi yang matang
Simulasi 3 skenario memberikan ruang pertimbangan luas
Analisis desain memperkuat kelayakan teknis
Kelemahan:
Tidak membahas implikasi sosial secara detail (misalnya pekerja kapal LCT)
Rute general cargo hanya ditentukan berdasarkan pelabuhan besar tanpa analisis pasar barang mendalam
Relevansi dan Implikasi Nyata
Dampak Kebijakan
Studi ini dapat jadi acuan revisi kebijakan Dirjen Perhubungan
Alih fungsi kapal memberikan solusi ekonomi tanpa kompromi keselamatan
Tren Industri
Kapal modifikasi kini umum dilakukan, termasuk di sektor ferry Jepang dan Korea
Di masa mendatang, konversi armada lama akan jadi solusi ramah lingkungan dan hemat biaya
Rekomendasi Praktis
Terapkan modifikasi LCT ke KMP sebagai model nasional untuk kapal tua
Evaluasi ulang kebijakan larangan dengan pendekatan analisis kelayakan
Dorong peran pemerintah daerah untuk mendukung investasi modifikasi kapal
Kembangkan regulasi standar modifikasi untuk meningkatkan keselamatan
Kesimpulan: Menyelamatkan Investasi tanpa Mengorbankan Regulasi
Studi ini membuktikan bahwa dengan pendekatan ilmiah dan analisis investasi yang matang, kapal LCT yang semula dianggap usang masih dapat disulap menjadi kapal komersial yang menguntungkan. Dengan NPV positif, risiko rendah, dan dukungan desain yang memadai, skenario modifikasi ke KMP jelas merupakan opsi paling logis dan berkelanjutan. Pemerintah dan operator swasta perlu melihat ini bukan sekadar konversi kapal, tetapi juga konversi krisis menjadi peluang.
Sumber
Bagus Chandra Mahardhika. Analisis Pemanfaatan Kapal Landing Craft Tank akibat Penetapan Batasan Operasi: Studi Kasus Lintasan Penyeberangan Ketapang–Gilimanuk. Skripsi, Departemen Teknik Transportasi Laut, Institut Teknologi Sepuluh Nopember, Surabaya, 2017.
Sumber Air
Dipublikasikan oleh Viskha Dwi Marcella Nanda pada 26 Mei 2025
Mengapa “Praktikal IWRM” Penting Sekarang?
Lonjakan populasi, urbanisasi, dan iklim ekstrem membuat konflik air kian kompleks. Konsep Integrated Water Resources Management (IWRM) sudah diakui secara global, namun pertanyaannya: bagaimana menjalankannya di lapangan? Paper Kenji Nagata dkk. (2022) menjawab lewat pendekatan Practical IWRM—formula konkrit yang teruji di Sudan, Bolivia, Indonesia, dan Iran. Artikel ini mengulas temuan tersebut, menambahkan data terbaru, kritik, serta peluang implementasi di Indonesia dan kawasan Global South.
Dari Definisi Abstrak ke Aksi Nyata
IWRM—Konsep Besar, Eksekusi Sulit
Practical IWRM—Tiga Pilar Aksi
Pendekatan ini berfokus pada konsensus sosial sebagai inti IWRM, bukan sekadar infrastruktur.
Studi Kasus & Insight Tambahan
Sudan – Air Tanah Bara Basin: Menjaga “Tabungan” di Gurun
Opini: Tanpa skema tarif air tanah progresif dan pembatasan sumur irigasi, council baru riskan jadi “macan kertas”.
Bolivia – Cochabamba: Dari “Water War” ke Dialog
Indonesia – Jakarta: Kota Raksasa yang Terus Tenggelam
Iran – Danau Urmia: Menyelamatkan Laut Garam yang Sekarat
Analisis Kritis & Perbandingan Penelitian Lain
Rekomendasi Praktis bagi Pembuat Kebijakan
Dampak Industri & Tren Masa Depan
Kesimpulan – IWRM sebagai “Proses”, Bukan “Proyek”
Paper Nagata dkk. memecah kebuntuan IWRM dengan resep Practical. Kuncinya: (1) data objektif, (2) kemitraan setara, (3) siklus pembelajaran cepat. Keberhasilan awal di empat negara menunjukkan model ini skalabel, meski perlu penyesuaian kebijakan fiskal dan jaminan keadilan sosial.
Bottom line: Integrasi sumber daya air bukan tujuan akhir, melainkan perjalanan kolektif lintas generasi.
Sumber: Nagata, K., Shoji, I., Arima, T., Otsuka, T., Kato, K., Matsubayashi, M., & Omura, M. (2022). Practicality of integrated water resources management (IWRM) in different contexts. International Journal of Water Resources Development, 38(5), 897-919.