Ekonomi Daerah & Pariwisata

Fakta Mengejutkan: Objek Wisata Bertambah, Tapi Pengangguran di Bali Naik?

Dipublikasikan oleh Afridha Nu’ma Khoiriyah pada 26 Mei 2025


Pendahuluan: Pariwisata dan Lapangan Kerja—Dua Sisi Mata Uang di Bali

Provinsi Bali, dikenal sebagai jantung pariwisata Indonesia, memiliki keindahan alam, adat budaya, serta keramahan masyarakat yang menjadikannya magnet wisatawan mancanegara. Di balik geliat sektor pariwisata, terdapat dinamika ekonomi yang menarik untuk ditelaah, salah satunya adalah pengaruhnya terhadap tingkat pengangguran.

Dalam skripsi ini, Mega Agung Prasetya (2020) meneliti secara kuantitatif bagaimana jumlah hotel dan restoran, daya tarik wisata, serta agen perjalanan memengaruhi tingkat pengangguran di sembilan kabupaten/kota Bali dalam rentang 2015–2019.

Data dan Metodologi: Kuantifikasi Realitas di Lapangan

Penelitian ini menggunakan data panel—gabungan antara data time-series (tahun 2015–2019) dan cross-section (9 wilayah di Bali). Data diperoleh dari Badan Pusat Statistik (BPS) dan dianalisis dengan metode Random Effect Model (REM) menggunakan software EViews.

Variabel Penelitian

  • Y (Dependent): Tingkat pengangguran

  • X1: Jumlah hotel dan restoran

  • X2: Jumlah daya tarik wisata

  • X3: Jumlah agen perjalanan wisata

Hasil Utama: Sektor Pariwisata, Tidak Selalu Menyerap Tenaga Kerja

1. Hotel dan Restoran → Menurunkan Pengangguran

Terdapat hubungan negatif signifikan antara jumlah hotel dan restoran terhadap tingkat pengangguran. Artinya, bertambahnya fasilitas akomodasi benar-benar menyerap tenaga kerja. Ini sejalan dengan teori ekonomi bahwa permintaan tenaga kerja meningkat saat investasi di sektor jasa tumbuh.

Contoh nyata:

  • Tahun 2017, penambahan 2.795 hotel di Bali berkontribusi terhadap penurunan angka pengangguran menjadi 1,48% (BPS Bali, 2020).

2. Daya Tarik Wisata → Justru Meningkatkan Pengangguran

Temuan menarik muncul ketika diketahui bahwa bertambahnya objek wisata ternyata berkorelasi positif dengan meningkatnya pengangguran. Mengapa demikian?

Analisis:

  • Banyak objek wisata yang dikembangkan tidak disertai dengan dukungan manajemen profesional atau investasi yang menyerap tenaga kerja.

  • Misalnya, kenaikan jumlah daya tarik wisata dari 245 (2018) menjadi 354 (2019) tidak berbanding lurus dengan penurunan pengangguran—justru angka pengangguran naik ke 1,52%.

3. Agen Perjalanan → Menaikkan Pengangguran

Secara mengejutkan, peningkatan jumlah agen perjalanan juga memiliki korelasi positif terhadap angka pengangguran. Hal ini mungkin disebabkan karena sebagian besar agen travel kini berbasis digital, tidak lagi membutuhkan banyak staf seperti era sebelumnya.

Tren industri mendukung hasil ini:

  • Otomatisasi dan aplikasi wisata seperti Traveloka, Tiket.com, dan Airbnb menggeser kebutuhan tenaga kerja di sektor biro fisik.

Analisis Lanjutan: Ketika Pariwisata Tidak Selalu Solusi

Meskipun pariwisata dipandang sebagai sektor padat karya, temuan skripsi ini menyoroti bahwa tidak semua subsektor menyerap tenaga kerja secara optimal. Hal ini bisa menjadi peringatan bagi pemerintah bahwa investasi pariwisata harus terfokus pada sektor yang tepat, seperti perhotelan, bukan hanya pengembangan objek wisata tanpa rencana strategis.

Studi Banding: Yogyakarta vs Bali

Penelitian serupa oleh Anandya A. Pertiwi (2018) di DIY menunjukkan hasil berbeda, di mana semua sektor pariwisata (hotel, daya tarik, agen travel) berpengaruh positif signifikan terhadap penyerapan tenaga kerja. Ini menunjukkan bahwa manajemen pariwisata yang baik dan adaptif terhadap teknologi menjadi kunci dalam menciptakan peluang kerja.

Implikasi Kebijakan: Apa yang Bisa Dilakukan?

Dari temuan ini, beberapa rekomendasi dapat disusun:

  • Peningkatan SDM Lokal: Pelatihan tenaga kerja lokal untuk bidang hospitality agar siap diserap oleh hotel/restoran yang baru dibangun.

  • Evaluasi Objek Wisata: Pemerintah daerah sebaiknya mengevaluasi dampak sosial-ekonomi dari pengembangan objek wisata, tidak hanya berdasarkan jumlahnya.

  • Digitalisasi Agen Perjalanan: Edukasi dan pelatihan digital bagi pemilik agen perjalanan tradisional agar dapat bertransformasi mengikuti tren digital.

Kesimpulan: Transformasi atau Stagnasi?

Penelitian ini menyuguhkan perspektif kritis bahwa pariwisata bukanlah solusi tunggal untuk menyelesaikan masalah pengangguran. Sektor ini harus dikembangkan dengan strategi yang mempertimbangkan transformasi digital, kualitas tenaga kerja, dan daya serap lapangan kerja yang sesungguhnya.

Dalam konteks Bali, penting untuk mengarahkan pengembangan pariwisata pada sektor-sektor yang terbukti menyerap tenaga kerja, serta menyiapkan SDM agar sesuai dengan tuntutan industri modern.

Sumber

Mega Agung Prasetya. (2020). Pengaruh Sektor Industri Pariwisata terhadap Kondisi Pengangguran di Provinsi Bali Tahun 2015–2019. Skripsi Sarjana Ekonomi, Universitas Brawijaya. Tersedia di repositori resmi Universitas Brawijaya.

Selengkapnya
Fakta Mengejutkan: Objek Wisata Bertambah, Tapi Pengangguran di Bali Naik?

Kualitas Air

Mengurai Krisis Air di Ghana: Resensi Kritis atas Tinjauan Kualitas dan Manajemen Sumber Daya Air Tawar

Dipublikasikan oleh Viskha Dwi Marcella Nanda pada 26 Mei 2025


Krisis Air Bukan Sekadar Isu Ghana

Ketersediaan air bersih menjadi ancaman global, dan Ghana bukan pengecualian. Artikel "Review of Ghana’s Water Resources: The Quality and Management with Particular Focus on Freshwater Resources" oleh Yeleliere, Cobbina, dan Duwiejuah (2018) merupakan tinjauan komprehensif terhadap kualitas air tawar dan upaya manajerial yang diterapkan di Ghana. Resensi ini akan menyajikan rangkuman mendalam, kritik, dan perluasan wawasan dengan studi kasus serta keterkaitannya dengan pendekatan IWRM global.

Gambaran Umum Sumber Daya Air di Ghana

Ghana memiliki tiga sistem sungai utama: Volta (70% wilayah), South-Western (22%), dan Coastal (8%). Ditambah danau alami seperti Bosumtwi dan bendungan besar seperti Akosombo dan Bui, Ghana memiliki potensi sumber air signifikan. Namun kualitas dan kuantitas air terus menurun akibat pertumbuhan penduduk, aktivitas pertambangan ilegal (galamsey), dan perubahan iklim.

Fakta Penting:

  • Total potensi air tawar Ghana: 53,2 km3/tahun.
  • Volta menyumbang 64,7% dari total runoff tahunan.
  • Konsumsi air: 48% pertanian, 37% domestik, 15% industri.
  • 60% badan air tercemar, terutama akibat aktivitas galamsey.

Kualitas Air: Tinjauan Fisika, Kimia, dan Biologi

Parameter Fisik

Air permukaan menunjukkan tingkat kekeruhan (turbiditas) dan warna melebihi standar WHO. Misalnya, studi Densu Basin mencatat turbidity mencapai 54 NTU (standar WHO: 5 NTU).

Parameter Kimia

  • Kandungan arsenik (As), mangan (Mn), dan besi (Fe) seringkali melampaui ambang batas WHO.
  • Salinitas tinggi di beberapa akuifer batu kapur.
  • Air tanah di wilayah penambangan menunjukkan konsentrasi logam berat berbahaya.

Parameter Biologis

  • Hampir semua air permukaan terkontaminasi oleh E. coli dan koliform fekal.
  • 36% sumur mengandung total coliforms.

Polusi Air: Dari Sungai ke Krisis Nasional

Kasus River Pra, Daboase, dan Ankobra menunjukkan degradasi air akibat penambangan dan pertanian. Di Eastern Region, pencemaran membuat instalasi pengolahan air terpaksa ditutup. Korle Lagoon di Accra menjadi contoh buruk eutrofikasi akibat limbah domestik dan industri.

Mekanisme Pengelolaan Air: Tradisional, Hukum, dan Terpadu

Pendekatan Tradisional

Air dikelola melalui hukum adat oleh kepala suku dan dukun. Ada larangan aktivitas tertentu di hari tertentu dan sanksi sosial bagi pelanggar. Meskipun efektif di masa lalu, kekuatan hukum adat kini melemah.

Pendekatan Hukum

Melalui Water Resources Commission Act 1996 dan berbagai regulasi (LI 1692, LI 1827, LI 2236), Ghana mengatur penggunaan air. Namun, implementasinya lemah.

Integrated Water Resources Management (IWRM)

IWRM mendorong koordinasi lintas sektor untuk efisiensi, kesetaraan, dan keberlanjutan. Ghana telah menyusun Rencana IWRM Nasional sejak 2012, dengan partisipasi masyarakat melalui organisasi lokal dan NGO. Namun pendekatan top-down masih dominan.

Tantangan Nyata di Lapangan

  1. Lemahnya Penegakan Regulasi: Banyak peraturan tidak dilaksanakan optimal.
  2. Konflik Adat vs Hukum Negara: Tidak ada mekanisme rekonsiliasi yang efektif.
  3. Minimnya Partisipasi Komunitas: Pendekatan sentralistik mengabaikan kearifan lokal.
  4. Kurangnya Sistem Peringatan Dini: Terutama dalam menghadapi banjir dan kekeringan.
  5. Ketergantungan Energi Fosil: Membebani iklim dan siklus hidrologi.

Jalan Keluar: Rekomendasi Praktis

  • Integrasikan kembali hukum adat ke dalam sistem legal nasional.
  • Kampanye edukasi soal bahaya galamsey dan sediakan alternatif ekonomi.
  • Dorong desentralisasi manajemen air ke komunitas lokal.
  • Adopsi energi terbarukan untuk mengurangi tekanan perubahan iklim.
  • Bangun kapasitas monitoring kualitas air secara real-time.

Komparasi dengan Negara Lain

  • Afrika Selatan: Mengintegrasikan hukum adat dalam pengelolaan air di wilayah pedesaan.
  • India: Menerapkan participatory groundwater management melalui kelompok tani.
  • Indonesia: Keterlibatan komunitas dalam pengelolaan irigasi melalui Perkumpulan Petani Pemakai Air (P3A).

Kesimpulan: Air Tawar Ghana di Persimpangan

Ghana telah membuat kemajuan signifikan melalui regulasi dan rencana IWRM. Namun, tanpa penegakan yang kuat, partisipasi masyarakat, dan integrasi kearifan lokal, keberlanjutan air bersih akan tetap menjadi mimpi. Pengalaman Ghana mencerminkan tantangan umum negara berkembang dalam mengelola sumber daya air secara adil dan berkelanjutan.

Sumber: Yeleliere, E., Cobbina, S. J., & Duwiejuah, A. B. (2018). Review of Ghana’s water resources: the quality and management with particular focus on freshwater resources. Applied Water Science, 8, 93.

Selengkapnya
Mengurai Krisis Air di Ghana: Resensi Kritis atas Tinjauan Kualitas dan Manajemen Sumber Daya Air Tawar

Interaksi Air

Menyatukan Air Permukaan dan Air Tanah: Resensi Kritis atas Model Terintegrasi Skala Regional dalam Pengelolaan Sumber Daya Air

Dipublikasikan oleh Viskha Dwi Marcella Nanda pada 26 Mei 2025


Mengapa Interaksi Air Permukaan dan Air Tanah pada Skala Regional Itu Penting?

Dalam konteks perubahan iklim dan tekanan populasi global, pemahaman terhadap interaksi antara air permukaan dan air tanah (groundwater-surface water/GW-SW) pada skala regional semakin mendesak. Makalah karya Roland Barthel dan Stefan Banzhaf (2015) meninjau secara komprehensif tantangan dan potensi pendekatan terintegrasi dalam memodelkan interaksi GW-SW pada wilayah berskala 1.000–100.000 km². Resensi ini membedah temuan tersebut, memperkaya dengan kritik, studi kasus tambahan, serta mengaitkannya dengan implementasi praktis di Indonesia dan negara berkembang lainnya.

Skala Itu Penting: Dari Titik ke Kawasan

Titik dan Lokal: Tingkat Mikroskopik

Pada skala titik, hukum fisika seperti Hukum Darcy masih bisa diaplikasikan langsung. Namun data terbatas hanya di area sangat sempit dan cenderung tak dapat merepresentasikan keseluruhan akuifer.

Sub-DAS dan DAS Kecil

Di sinilah agregasi dimulai: beberapa sungai, beberapa akuifer, dan berbagai pola aliran permukaan mulai berinteraksi. Model pada tahap ini harus mampu mengatasi heterogenitas geologi dan tata guna lahan.

Skala Regional: Kompleksitas Eksponensial

Ketika masuk ke wilayah >10.000 km² seperti Citarum atau DAS Bengawan Solo, interaksi antar-sistem jadi sangat kompleks. Geologi karst, transfer air lintas wilayah, dan infrastruktur buatan membuat model semakin tak linier. Barthel dan Banzhaf menyoroti bahwa di skala ini, data seringkali tambal sulam, inkonsisten antar instansi, dan terfragmentasi secara spasial dan temporal.

Kritik terhadap Literatur Eksisting

Bias Skala Kecil

Mayoritas literatur GW-SW fokus pada skala lokal atau hiporeik (zona dekat saluran sungai). Barthel menunjukkan hanya segelintir studi (misalnya proyek Murray-Darling Basin oleh CSIRO) yang benar-benar memodelkan interaksi di skala regional.

Publikasi Tertutup

Banyak model besar tidak pernah masuk jurnal ilmiah karena terlalu kompleks atau terlalu "pragmatis" untuk direplikasi. Ini menyulitkan evaluasi silang antar metode.

Data dan Validasi

Model fisik canggih seperti ParFlow atau HydroGeoSphere menjanjikan, tetapi membutuhkan data sangat detail yang jarang tersedia di negara berkembang. Alhasil, pendekatan "loosely coupled" (menggabungkan dua model yang berbeda) seperti MODFLOW + SWAT lebih sering digunakan meski punya keterbatasan akurasi interaksi dinamis GW-SW.

Studi Kasus Tambahan: Pembelajaran Global

Jerman (Neckar Basin)

Model DANUBIA mengintegrasikan data klimatologi, sosial, dan hidrogeologi di wilayah 77.000 km². Namun hanya satu skema model digunakan, menyulitkan perbandingan efektivitas antar pendekatan.

California (Central Valley)

IWFM menggabungkan manajemen permukaan dan air tanah di wilayah 51.000 km². Keunggulan: dirancang untuk kebutuhan pengambilan keputusan real-time oleh pemerintah.

Tiongkok (North China Plain)

MIKE SHE digunakan pada wilayah 140.000 km², namun dengan asumsi catchment tertutup yang tidak selalu realistis di lapangan.

Relevansi untuk Indonesia

  1. DAS Citarum: Ideal sebagai laboratorium GW-SW. Subcatchment Saguling bisa dimodelkan terlebih dahulu dengan pendekatan semi-terpadu.
  2. Pulau Lombok: Krisis air bersih akibat ekstraksi air tanah berlebih. Model loosely-coupled dapat dikembangkan untuk prediksi intrusi salin.
  3. Transmigrasi Kalimantan: Kombinasi rawa, kanal, dan sungai alami menantang model klasik. Dibutuhkan pendekatan berbasis sistem dinamis.
  4. Saran Penguatan Model Terintegrasi
  • Pusat Data Nasional Terbuka: Wajib agar model GW-SW punya akurasi dan legitimasi.
  • Kombinasi Model Fisik dan Sosial: Misalnya integrasi dengan model penggunaan lahan dan ekonomi rumah tangga.
  • Model Modular: Adaptif sesuai ketersediaan data per wilayah.
  • Evaluasi Multi-Kriteria: Tidak hanya akurasi debit, tapi juga daya guna kebijakan dan penerimaan sosial.

Kesimpulan: Membangun Jembatan antara Akuifer dan Sungai

Barthel dan Banzhaf menyampaikan kritik jujur terhadap stagnasi penelitian GW-SW skala regional. Mereka menyerukan agar pendekatan tidak hanya teknis, tetapi juga sistemik dan partisipatif. Dalam konteks Indonesia, urgensi ini berlipat ganda karena keterbatasan data, tekanan populasi, dan perubahan tata guna lahan.

Artikel ini menegaskan bahwa pengelolaan air terintegrasi tidak bisa hanya mengandalkan satu disiplin atau satu skala, melainkan butuh sinergi spasial, institusional, dan teknologi yang konkret.

Sumber: Barthel, R., & Banzhaf, S. (2015). Groundwater and Surface Water Interaction at the Regional-scale – A Review with Focus on Regional Integrated Models. Water Resources Management, 30, 1–32.

Selengkapnya
Menyatukan Air Permukaan dan Air Tanah: Resensi Kritis atas Model Terintegrasi Skala Regional dalam Pengelolaan Sumber Daya Air

Sumber Air

Resensi Kritis atas “Kepraktisan Pengelolaan Sumber Daya Air Terpadu (IWRM) dalam Berbagai Konteks”

Dipublikasikan oleh Viskha Dwi Marcella Nanda pada 26 Mei 2025


Mengapa Resensi Itu Penting?

Krisis udara tidak lagi sekadar statistik: 42 % penduduk dunia kini hidup di daerah bertekanan tinggi, dan angka itu diperkirakan melonjak 10 poin dalam dekade mendatang. Di tengah urgensi tersebut, konsep Pengelolaan Sumber Daya Air Terpadu (IWRM) digadang-gadang sebagai obat mujarab—namun kenyataan banyak kesulitan negara mengubah jargon “integrasi” menjadi panduan operasional. Kertas Kenji Nagata dkk. (2022) menawarkan jawaban dengan pendekatan Practical IWRM , dan tulisan ini menguliti temuan mereka, menambah data terbaru, hingga menyoroti peluang penerapannya di Indonesia serta Global South.

IWRM: Ide Besar, Eksekusi Rumit

Sejak diluncurkannya Global Water Partnership pada tahun 2000, definisi IWRM—koordinasi udara, lahan, dan ekosistem demi kesejahteraan tanpa merusak alam—terdengar indah. Tapi pejabat lapangan kerap bingung memecahnya menjadi Rencana Kerja. Kegagalan bedung Wonogiri menahan sedimentasi, atau kemelut alokasi air Citarum, adalah bukti jargon tak cukup.

Menyigi “IWRM Praktis”

Nagata dkk. meracik kerangka tiga pilar:

  1. Konteks Lokal
    – mengawinkan data hidrologi dengan realitas sosial-budaya;
  2. Kemitraan Multi-Pemangku (MSP)
    – forum formal yang mempunyai kewenangan membagi anggaran, bukan sekadar lokakarya;
  3. Siklus Perbaikan Bertahap
    – mulai dari “kemenangan cepat” (quick win) lalu skala-up.

Kerangka ini diuji di Sudan, Bolivia, Indonesia, dan Iran—empat lokasi dengan iklim, politik, dan kultur beragam. Hasilnya, setiap studi kasus paparan penurunan konflik sekaligus peningkatan transparansi data.

Studi Kasus: Data, Analisis, dan Pelajaran

1. Sudan—Cekungan Bara

  • Kondisi Awal
    Tarikan air tanah El Obeid naik dua kali lipat 2000-2015, penurunan muka air 1,5 cm/tahun menurut citra GRACE 2024.
  • Intervensi
    – Pelatihan lintas pegawai kementerian;
    Dewan Sumber Daya Air Negara dengan kursi tetap petani.
  • Efek
    Keluhan petani soal sumur kering turun 38 % dalam tiga tahun.
  • Kritik
    Tanpa tarif tanah progresif, dewan rawan jadi “macan kertas”.

2. Bolivia—Cochabamba

  • Latar Belakang
    Warisan “Perang Air” 1999-2000 membuat publik sinis.
  • Aksi
    – Platform PICRR + 11 komite tematik;
    – Publikasi data kualitas air Sungai Rocha melalui aplikasi seluler.
  • Hasil
    Survei 2024: 98 % warga kini tahu asal air minum (naik 27 poin).
  • Transparansi
    data murah namun berdampak besar pada membangun kepercayaan.

3. Indonesia—Jakarta Utara

  • Fakta
    Penurunan tanah > 2 m (2000-2018); intrusi saline hingga radius 10 km.
  • Langkah Praktis
    – Analisis InSAR menandai Zona Kritis A ;
    – Pergub 93/2023 melarang sumur bor > 30 m;
    – Target PDAM koneksi 100% 2027.
  • Catatan
    Larangan tanpa opsi pipa air terjangkau memicu pasar gelap— butuh subsidi silang tarif 0–10 m³.

4. Iran—Danau Urmia

  • Angka Kunci
    Luas menyusut > 70 % sejak tahun 1990-an.
  • Program Restorasi Danau Upaya
    – Urmia menggunakan model MODIS-METRIC; – Irigasi cerdas menghemat 15 % air pertanian (2024).
     
  • Masalah
    Harga pupuk naik 38 %; petani kembali ke pola lama—bukti intervensi teknis harus dikeluarkan dari stimulus ekonomi.

Merajut Teori dan Praktik: Analisis Kritis

  1. Konsep Nirwana?
    Biswas (2008) mengulas utopis IWRM. IWRM praktis menjawab dengan slicing pragmatis : fokus satu isu mendesak, dapatkan bukti sukses, lalu replikasi.
  2. IWRM vs. Air-Energi-Makanan Nexus
    Benson dkk. (2015) menganggap IWRM “berpusat pada udara”. Pendekatan Nagata ternyata memasukkan energi dan pangan pada putaran diskusi—contohnya rencana Sudan membatasi pompa diesel bersubsidi.
  3. Aspek Keadilan
    Meskipun MSP di Sudan inklusif, kepemilikan lahan petani kecil masih menentukan hak suara. Tanpa representasi kuota, “one man – one vote” gagal menjamin keadilan.

Implikasinya bagi Indonesia & Global Selatan

Kemenangan Cepat untuk Nusantara

  1. Dashboard Neraca Air
    Kementerian PUPR bisa meniru Cochabamba: open data debit, kualitas, dan tarif di satu portal.
  2. Model Bisnis Air Tanah
    Jakarta, Semarang, dan Makassar menggunakan skema pajak air tanah tangga progresif plus subsidi sambungan PDAM.
  3. Audit Kemitraan
    MSP wajib lapor pencapaian dan keuangan tahunan; masyarakat memberi “skor kepercayaan” secara online.
  4. Pembiayaan Inovatif
    Green sukuk Rp 5 triliun/tahun;
    – Kewajiban kinerja untuk proyek substitusi sumur bor.

Tren Industri & Start-Up

  • Desalinasi Modular
    Pasar Asia Tenggara tumbuh CAGR 14 %; unit 1 MW kini setara Rp 6.000/liter.
  • Sensor IoT Kelembapan
    Nilai global diprediksi US$ 8 miliar 2030, membuka peluang baru dalam negeri.
  • InsurTech Air
    Premi mikro untuk kegagalan panen akibat kekeringan semakin diminati, khususnya di NTT.

Kesimpulan: IWRM sebagai Proses, Bukan Proyek

Nagata dkk. membuktikan bahwa integrasi udara lebih mirip maraton daripada sprint. Mereka menawarkan resep seragam, melainkan toolkit adaptif: data objektif, kemitraan setara, siklus cepat. Empat studi kasus menunjukkan model ini:

  • Skalabel —dari oasis Sudan hingga megapolitan Jakarta;
  • Fleksibel —memungkinkan modul teknis disesuaikan fiskal lokal;
  • Rentan —bila tak dibarengi kebijakan ekonomi pro-petani atau tarif progresif.

Dengan kata lain, Praktis IWRM menegaskan kembali kenyataan: air bukan hanya soal pipa dan waduk, melainkan perjalanan kolektif lintas generasi yang menuntut kesabaran, transparansi, dan inovasi.

Daftar Pustaka

Biswas, AK (2008). Arah terkini: Pengelolaan sumber daya air terpadu—pandangan kedua. Water International , 33(3), 274-278.

Selengkapnya
Resensi Kritis atas “Kepraktisan Pengelolaan Sumber Daya Air Terpadu (IWRM) dalam Berbagai Konteks”

Inovasi Transportasi Laut

Ubah Kapal Tua Jadi Tambang Uang: Studi Cerdas Pemanfaatan Kapal LCT Pascapelarangan

Dipublikasikan oleh Afridha Nu’ma Khoiriyah pada 26 Mei 2025


Pendahuluan: Antara Kebijakan dan Efisiensi Armada

Pelarangan operasional kapal Landing Craft Tank (LCT) oleh Keputusan Dirjen Perhubungan Darat No. SK.885/AP.005/DRJD/2015 telah menciptakan polemik besar dalam dunia transportasi laut, khususnya di jalur padat Ketapang–Gilimanuk. Paper karya Bagus Chandra Mahardhika (2017) ini mencoba membedah dampak ekonomi dari kebijakan tersebut dan menyusun tiga skenario pemanfaatan ulang kapal LCT, dengan pendekatan teknis, finansial, dan desain konseptual.

Masalah yang Diangkat: Dari Pembatasan Operasional ke Kerugian Nyata

Kapal LCT dulunya menjadi tulang punggung pengangkutan kendaraan besar seperti truk dan trailer. Namun, karena tidak memenuhi aspek keselamatan, terutama tidak adanya double bottom dan dua ramp door, maka penggunaannya untuk angkutan penumpang dilarang.

Akibatnya:

  • Terjadi antrian kendaraan karena berkurangnya armada kapal.

  • 13 unit kapal LCT menganggur.

  • Karyawan perusahaan pemilik kapal LCT terancam kehilangan pekerjaan.

Metodologi: Penilaian Multi-Skenario Berbasis Investasi

Penulis menyusun tiga skenario pemanfaatan:

  1. Scrap (dibesi tuakan)

  2. Modifikasi jadi Kapal Motor Penumpang (KMP)

  3. Konversi jadi kapal barang (general cargo)

Penilaian dilakukan dengan:

  • Perhitungan NPV (Net Present Value), IRR, dan cash flow

  • Estimasi biaya operasional, modal, pelayaran, dan bongkar muat

  • Desain konseptual kapal pascamodifikasi

Studi Kasus: LCT.Tunu Pratama Jaya 2888

Satu unit kapal, LCT.Tunu Pratama Jaya 2888, dipakai sebagai objek. Kapal ini buatan 2010 dan tergolong masih muda secara teknis. Data operasional dan biaya aktual digunakan sebagai dasar analisis.

Data Pendukung: Pelabuhan dan Demand

Kondisi Pelabuhan

  • Ketapang: dermaga LCM, dilengkapi ponton, trestle, gangway

  • Gilimanuk: 3 dermaga (2 MB, 1 ponton), kapasitas GRT hingga 2000

Permintaan Angkutan

  • Rute Ketapang–Gilimanuk menunjukkan peningkatan trip dan penumpang tiap tahun

  • Tercatat lebih dari 17 juta penumpang dan 2 juta kendaraan menyeberang pada 2014

Analisis Skenario

Skenario 1: Scrap Kapal

  • Umur ekonomis kapal dipertimbangkan (biasanya 20 tahun)

  • Nilai jual besi tua jadi satu-satunya sumber pengembalian modal

  • Kelemahan: potensi ekonomi jangka panjang hilang; kerugian sosial tinggi

Skenario 2: Modifikasi jadi Kapal Motor Penumpang

  • Kapasitas: 108 penumpang + 18 unit kendaraan

  • Biaya modifikasi tinggi tapi NPV: Rp 38,2 miliar (positif)

  • Analisis sensitivitas menunjukkan skenario ini paling tahan terhadap fluktuasi biaya dan pendapatan

Skenario 3: Konversi ke General Cargo

  • Rute diusulkan: Tanjung Perak – Tembaga – Wangi – Benoa – balik lagi

  • Beroperasi di daerah dengan arus barang tinggi

  • NPV lebih kecil dari skenario 2, dan tidak seefisien karena kebutuhan logistik tambahan

Perbandingan Investasi (Data Kunci)

SkenarioNPV (Rp)IRR (%)Payback PeriodRisikoScrap--LangsungSangat tinggiKMP38.193.204.003,6620%< 5 tahunRendahCargo12 M-an12%~7 tahunSedang

Analisis Desain: Efisiensi dan Fungsi Baru

Modifikasi dilakukan dengan pendekatan spiral design:

  • Menambahkan ruang akomodasi

  • Menyesuaikan ventilasi, sistem keselamatan, dan jalur evakuasi

  • Layout dibuat untuk mendukung double loading ramp, sesuai standar IMO untuk ferry penumpang

Kritik Konstruktif terhadap Penelitian

Kelebihan:

  • Memakai data riil dan metodologi investasi yang matang

  • Simulasi 3 skenario memberikan ruang pertimbangan luas

  • Analisis desain memperkuat kelayakan teknis

Kelemahan:

  • Tidak membahas implikasi sosial secara detail (misalnya pekerja kapal LCT)

  • Rute general cargo hanya ditentukan berdasarkan pelabuhan besar tanpa analisis pasar barang mendalam

Relevansi dan Implikasi Nyata

Dampak Kebijakan

  • Studi ini dapat jadi acuan revisi kebijakan Dirjen Perhubungan

  • Alih fungsi kapal memberikan solusi ekonomi tanpa kompromi keselamatan

Tren Industri

  • Kapal modifikasi kini umum dilakukan, termasuk di sektor ferry Jepang dan Korea

  • Di masa mendatang, konversi armada lama akan jadi solusi ramah lingkungan dan hemat biaya

Rekomendasi Praktis

  1. Terapkan modifikasi LCT ke KMP sebagai model nasional untuk kapal tua

  2. Evaluasi ulang kebijakan larangan dengan pendekatan analisis kelayakan

  3. Dorong peran pemerintah daerah untuk mendukung investasi modifikasi kapal

  4. Kembangkan regulasi standar modifikasi untuk meningkatkan keselamatan

Kesimpulan: Menyelamatkan Investasi tanpa Mengorbankan Regulasi

Studi ini membuktikan bahwa dengan pendekatan ilmiah dan analisis investasi yang matang, kapal LCT yang semula dianggap usang masih dapat disulap menjadi kapal komersial yang menguntungkan. Dengan NPV positif, risiko rendah, dan dukungan desain yang memadai, skenario modifikasi ke KMP jelas merupakan opsi paling logis dan berkelanjutan. Pemerintah dan operator swasta perlu melihat ini bukan sekadar konversi kapal, tetapi juga konversi krisis menjadi peluang.

Sumber

Bagus Chandra Mahardhika. Analisis Pemanfaatan Kapal Landing Craft Tank akibat Penetapan Batasan Operasi: Studi Kasus Lintasan Penyeberangan Ketapang–Gilimanuk. Skripsi, Departemen Teknik Transportasi Laut, Institut Teknologi Sepuluh Nopember, Surabaya, 2017.

Selengkapnya
Ubah Kapal Tua Jadi Tambang Uang: Studi Cerdas Pemanfaatan Kapal LCT Pascapelarangan

Sumber Air

Kepraktisan Pengelolaan Sumber Daya Air Terpadu (IWRM) dalam Konteks Berbeda

Dipublikasikan oleh Viskha Dwi Marcella Nanda pada 26 Mei 2025


Mengapa “Praktikal IWRM” Penting Sekarang?

Lonjakan populasi, urbanisasi, dan iklim ekstrem membuat konflik air kian kompleks. Konsep Integrated Water Resources Management (IWRM) sudah diakui secara global, namun pertanyaannya: bagaimana menjalankannya di lapangan? Paper Kenji Nagata dkk. (2022) menjawab lewat pendekatan Practical IWRM—formula konkrit yang teruji di Sudan, Bolivia, Indonesia, dan Iran. Artikel ini mengulas temuan tersebut, menambahkan data terbaru, kritik, serta peluang implementasi di Indonesia dan kawasan Global South.

Dari Definisi Abstrak ke Aksi Nyata

IWRM—Konsep Besar, Eksekusi Sulit

  • Definisi GWP (2000): koordinasi pengelolaan air-lahan demi kesejahteraan sosial-ekonomi tanpa merusak ekosistem.
  • Masalah klasik: definisi “payung” ini terlalu luhur; pejabat lokal kebingungan memecahnya menjadi SOP operasional.

Practical IWRM—Tiga Pilar Aksi

  1. Pemahaman konteks lokal—data hidrologi plus sosial-budaya.
  2. Kemitraan multi-pemangku (MSP) yang fungsional, bukan seremonial.
  3. Siklus perbaikan bertahap—mulai dari masalah kecil, raih kemenangan cepat, lalu skala-up.

Pendekatan ini berfokus pada konsensus sosial sebagai inti IWRM, bukan sekadar infrastruktur.

Studi Kasus & Insight Tambahan

Sudan – Air Tanah Bara Basin: Menjaga “Tabungan” di Gurun

  • Kondisi: Tarikan air tanah untuk kota El Obeid melonjak 2× antara 2000-2015, memicu penurunan muka air yang dirasakan 40% petani lokal.
  • Aksi Praktikal: pelatihan staf federal-state, monitoring bersama petani, pendirian State Water Resources Council.
  • Nilai Tambah: Data satelit GRACE (NASA) 2024 menunjukkan tren penurunan storage air tanah Sudan Barat ± 1,5 cm/tahun.

Opini: Tanpa skema tarif air tanah progresif dan pembatasan sumur irigasi, council baru riskan jadi “macan kertas”.

Bolivia – Cochabamba: Dari “Water War” ke Dialog

  • Sejarah: Protes 1999-2000 atas privatisasi air membuat publik sinis terhadap pemerintah.
  • Praktikal: tim percontohan mengukur kualitas Sungai Rocha, membentuk Inter-Institutional Platform (PICRR) + 11 komite tematik.
  • Data Baru: Survei 2024 menunjukkan 98% responden kini mengetahui asal air minum mereka (naik 27 poin sejak 2018).
  • Pelajaran: transparansi data & kunjungan lapangan pejabat mujarab memulihkan kepercayaan.

Indonesia – Jakarta: Kota Raksasa yang Terus Tenggelam

  • Fakta: Penurunan tanah > 2 m di pesisir Utara (2000-2018) + intrusi salin.
  • Praktikal: analisis InSAR menandai Critical Zone A; dibentuk Joint Coordinating Committee lintas kementerian; Pergub No.93/2023 melarang sumur bor > 30 m di zone tersebut.
  • Tren 2025: PDAM Jaya menargetkan koneksi 100% pelanggan di Jakarta Utara agar subsidence turun 0,5 cm/tahun dalam 5 tahun.
  • Kritik: larangan sumur tanpa alternatif air pipa murah berpotensi memicu pasar gelap air.

Iran – Danau Urmia: Menyelamatkan Laut Garam yang Sekarat

  • Angka Kunci: Luas menyusut dari 5.700 km² (1990-an) ke 1.440 km² (2014)—turun > 70%.
  • Praktikal: Urmia Lake Restoration Program memakai model hidrologi berbasis MODIS-METRIC.
  • Poin Tambahan: Program smart irrigation 2024 memotong konsumsi air pertanian 15%, namun kenaikan harga pupuk membuat petani kembali ke pola lama.

Analisis Kritis & Perbandingan Penelitian Lain

  1. Debat Nirwana IWRM – Biswas (2008) menyebut IWRM “konsep nirwana” karena mustahil menampung semua variabel. Paper Nagata justru mengusulkan pragmatic slicing: fokus isu prioritas, siklus singkat.
  2. Konvergensi dengan Water–Energy–Food Nexus – Benson dkk. (2015) menilai IWRM terlalu “air-sentris”. Praktikal IWRM menjembatani lewat pendekatan lintas sektor mikro.
  3. Keadilan Sosial – Di Sudan, petani kecil masih kalah suara dibanding operator perkebunan ekspor. MSP perlu kuota kursi dan funding independen.

Rekomendasi Praktis bagi Pembuat Kebijakan

  1. Mulai dari Quick Win
  2. Model Bisnis Air Tanah
  3. Dashboard Data Publik
  4. Pembiayaan Inovatif
  5. Audit MSP Tahunan

Dampak Industri & Tren Masa Depan

  • Perusahaan Air: peluang pasar desalinasi modular
  • Agri-Tech: pasar sensor IoT kelembapan tanah US$ 8 miliar 2030
  • InsurTech: produk asuransi mikro baru akibat penurunan risiko banjir

Kesimpulan – IWRM sebagai “Proses”, Bukan “Proyek”

Paper Nagata dkk. memecah kebuntuan IWRM dengan resep Practical. Kuncinya: (1) data objektif, (2) kemitraan setara, (3) siklus pembelajaran cepat. Keberhasilan awal di empat negara menunjukkan model ini skalabel, meski perlu penyesuaian kebijakan fiskal dan jaminan keadilan sosial.

Bottom line: Integrasi sumber daya air bukan tujuan akhir, melainkan perjalanan kolektif lintas generasi.

Sumber: Nagata, K., Shoji, I., Arima, T., Otsuka, T., Kato, K., Matsubayashi, M., & Omura, M. (2022). Practicality of integrated water resources management (IWRM) in different contexts. International Journal of Water Resources Development, 38(5), 897-919.

Selengkapnya
Kepraktisan Pengelolaan Sumber Daya Air Terpadu (IWRM) dalam Konteks Berbeda
« First Previous page 130 of 1.107 Next Last »