Rekayasa Pondasi

Mengungkap Peran MATLAB dalam Prediksi Profil Tanah dan Penilaian Risiko Likuifaksi untuk Proyek Infrastruktur

Dipublikasikan oleh Dewi Sulistiowati pada 18 April 2025


Pendahuluan: Menyatukan Teknologi dan Tanah dalam Geoteknik

Dalam dunia konstruksi, tanah adalah risiko terbesar dan paling tak terduga. Terlebih di negara seperti Bangladesh, yang dipenuhi sungai dan memiliki kondisi tanah yang sangat heterogen. Penelitian oleh Debojit Sarker, Md. Zoynul Abedin, Jewel Sarker & Zahirul Quaium dari Bangladesh University of Engineering and Technology membahas penggunaan MATLAB untuk memprediksi log bor berdasarkan data SPT (Standard Penetration Test) dan distribusi butiran tanah, sebagai solusi cerdas untuk efisiensi biaya dan perencanaan geoteknik yang lebih akurat.

Studi ini menggabungkan analisis numerik, pemetaan kontur, dan validasi model untuk prediksi risiko likuifaksi tanah dalam konteks proyek besar: Janjira Approach Road dari Padma Multipurpose Bridge Project.

Latar Belakang: Mengapa Data Tanah Sangat Penting?

Pekerjaan geoteknik membutuhkan pemahaman menyeluruh terhadap kondisi bawah permukaan. Namun, investigasi tanah sering kali dibatasi oleh anggaran, bukan oleh kebutuhan teknis. Hal ini menyebabkan:

  • Informasi tanah tidak akurat
  • Risiko kegagalan pondasi meningkat
  • Biaya koreksi struktural membengkak di tengah proyek

Bangladesh, dengan geologi aluvial dan latar belakang gempa, membutuhkan metode canggih untuk memprediksi profil tanah secara spasial di luar titik pengujian.

Tujuan Penelitian

Fokus utama:

  1. Mengembangkan model matematis berbasis MATLAB untuk:
    • Membuat profil vertikal SPT
    • Memprediksi log bor di lokasi tanpa pengujian langsung
  2. Validasi model menggunakan data lapangan aktual
  3. Mengaplikasikan model pada kasus nyata evaluasi likuifaksi tanah

Lokasi Studi: Jalan Pendekat Janjira – Padma Bridge

Rincian lokasi:

  • Lokasi: Distrik Madaripur, Bangladesh
  • Panjang ruas jalan: 20 km
  • Jumlah titik bor: 15 boreholes
  • Kedalaman uji: hingga 19,5 meter

Kondisi geologi:

  • Aluvium sungai dengan campuran pasir, lanau, kerikil, dan sedikit batuan
  • Kepadatan tanah meningkat drastis di bawah -60 m PWD
  • Potensi likuifaksi tinggi pada lapisan atas saat gempa

Metodologi: Model MATLAB untuk Prediksi Log Bor

1. Input Data

  • Nilai SPT-N
  • Persentase pasir dan halus
  • Ketinggian air tanah
  • Data GPS chainage
  • Kedalaman dan elevasi titik bor

Total data: lebih dari 600 data point dari 15 titik bor

2. Tools MATLAB yang Digunakan

  • interp2, meshgrid, contour, surf: untuk interpolasi multidimensi
  • Script file untuk visualisasi profil SPT
  • Function file untuk pemanggilan fungsi dan hasil prediksi

3. Hasil Model

  • Grafik kontur SPT
  • Plot permukaan distribusi butiran tanah
  • Log bor prediksi pada chainage 26100 yang sesuai dengan data aktual

Studi Kasus: Evaluasi Risiko Likuifaksi

1. Apa Itu Likuifaksi?

Likuifaksi terjadi ketika tanah jenuh air berubah menjadi cair karena tekanan air pori tinggi akibat gempa. Ini menyebabkan:

  • Hilangnya daya dukung tanah
  • Potensi runtuhnya struktur permukaan

2. Parameter Analisis

  • CSR (Cyclic Stress Ratio)
  • CRR (Cyclic Resistance Ratio)
  • FS (Factor of Safety)
  • LPI (Liquefaction Potential Index)

3. Skema Uji:

  • Gempa simulasi: magnitudo 6.0 – 7.8
  • Peak Ground Acceleration (PGA): 0.3g – 0.45g
  • Kedalaman air tanah diasumsikan berada di permukaan tanah

Validasi Model: Gempa Nepal 2015

Data Gempa:

  • Magnitudo: 7.8 Mw
  • Jarak ke lokasi uji: ±830 km
  • Kedalaman hiposenter: 15 km

Rumus Attenuasi PGA (Ulusay et al., 2004):

Untuk menguji keandalan model prediksi berbasis MATLAB, penelitian ini melakukan validasi menggunakan gempa nyata, yaitu gempa Nepal tahun 2015 dengan magnitudo 7.8 Mw. Rumus attenuasi dari Ulusay et al. (2004) digunakan untuk memperkirakan Peak Ground Acceleration (PGA) dengan formula:
log PGA = 0.65M – 0.9 log R – 0.44, di mana M adalah magnitudo gempa dan R adalah jarak dari sumber gempa (dalam kilometer). Dengan M = 7.8 dan R = 830 km, diperoleh nilai PGA sebesar ±0.12g. Hasil analisis menunjukkan bahwa untuk magnitudo 6.7, baik nilai Liquefaction Potential Index (LPI) hasil pengujian langsung (in-situ) maupun prediksi menunjukkan kategori "None". Sementara itu, untuk magnitudo 7.8, baik data in-situ maupun hasil prediksi menyatakan kategori "Low". Kesimpulannya, model berbasis MATLAB ini mampu memprediksi nilai LPI dan distribusi SPT dengan akurasi tinggi, menjadikannya alat yang praktis dan andal untuk perencanaan infrastruktur tahan gempa di daerah rawan likuifaksi.

Kelebihan Model dan Nilai Tambah

Efisiensi Proyek:

  • Prediksi data tanah di lokasi yang belum diuji → hemat waktu dan biaya
  • Mendukung pengambilan keputusan sejak tahap feasibility

Aplikasi Lanjutan:

  • Perencanaan kota berbasis zona likuifaksi
  • Optimalisasi desain pondasi
  • Basis sistem informasi geoteknik nasional

Kritik Konstruktif:

  • Model belum mengintegrasikan AI/ML untuk prediksi otomatis
  • Belum membandingkan metode ini dengan CPT atau georadar

Implikasi Industri: Mengubah Cara Kita Melihat Tanah

Penelitian ini menunjukkan bahwa teknologi seperti MATLAB:

  • Bukan hanya untuk laboratorium
  • Tapi bisa diterapkan langsung dalam pengambilan keputusan praktis di lapangan

Bangladesh, dan juga negara lain seperti Indonesia, sangat diuntungkan jika pendekatan ini digunakan di:

  • Proyek jembatan di daerah rawa/sungai
  • Pembangunan cepat di area dengan data tanah terbatas
  • Pengelolaan bencana gempa dan banjir

Kesimpulan: Teknologi untuk Konstruksi yang Lebih Aman

Model prediktif berbasis MATLAB terbukti:

  • Mampu memperkirakan log bor secara akurat
  • Menyediakan data penting untuk desain struktur tahan gempa
  • Dapat menghemat anggaran proyek tanpa mengurangi ketepatan teknis

Studi ini menginspirasi pentingnya integrasi data dan komputasi numerik dalam teknik sipil masa depan.

Sumber : Sarker, Debojit; Abedin, Md. Zoynul; Sarker, Jewel; Quaium, Zahirul (2015). Use of MATLAB in Identifying Borehole Log at a Particular Location of a Site. IABSE-JSCE Joint Conference on Advances in Bridge Engineering-III, Dhaka, Bangladesh.

Selengkapnya
Mengungkap Peran MATLAB dalam Prediksi Profil Tanah dan Penilaian Risiko Likuifaksi untuk Proyek Infrastruktur

Tantangan Global

Kompetensi Software Engineer dalam Global Software Development (GSD): Perspektif Indonesia

Dipublikasikan oleh Izura Ramadhani Fauziyah pada 18 April 2025


Di tengah pesatnya pertumbuhan industri teknologi dan transformasi digital global, posisi Indonesia sebagai salah satu pemain dalam Global Software Development (GSD) semakin mendapat sorotan. Paper berjudul “Software Engineer Competencies in Global Software Development: An Indonesian Perspective” oleh Anita Hidayati, Eko K. Budiardjo, dan Betty Purwandari ini hadir sebagai jawaban atas kebutuhan akan pemetaan kompetensi software engineer Indonesia di ranah global. Penelitian ini tidak hanya menyajikan daftar kompetensi, tetapi juga menyusun pemeringkatan berdasarkan tingkat kepentingan menggunakan pendekatan Analytic Hierarchy Process (AHP). Hasilnya sangat relevan, baik untuk kebijakan pendidikan, pengembangan talenta digital, maupun strategi ekspor layanan IT Indonesia.

Latar Belakang: Peluang dan Tantangan Indonesia dalam GSD

Global Software Development telah menjadi norma baru dalam industri IT sejak awal 1990-an, memungkinkan kolaborasi lintas negara dalam pengembangan perangkat lunak. Negara-negara seperti India, China, dan Filipina telah lama menjadi pemain utama. Sementara itu, Indonesia, meski memiliki potensi besar, belum sepenuhnya diakui sebagai pemain utama GSD. Padahal, menurut Kearney Global Services Location Index 2019, Indonesia menempati peringkat ke-4 dari 50 negara tujuan outsourcing. Namun, rendahnya peringkat Indonesia dalam IMD World Digital Competitiveness Ranking 2020 mengindikasikan lemahnya kapabilitas SDM digital, khususnya dalam kompetensi software engineering.

Metodologi Penelitian: Kombinasi Literatur dan AHP

Penulis menggunakan pendekatan literatur dan Analytic Hierarchy Process (AHP) untuk mengidentifikasi dan mengurutkan kompetensi penting. Sebanyak 6.693 artikel disaring, dan melalui proses bertahap, hanya 27 yang relevan dijadikan referensi utama. Dari situ, dirumuskan 40 sub-kompetensi yang dikelompokkan ke dalam delapan kriteria utama—empat hard competencies dan empat soft competencies.

Kriteria tersebut antara lain:

  • Hard Competencies: Teknik Pemrograman, Teknik Requirement, Verifikasi & Validasi, Teknik Kolaborasi
  • Soft Competencies: Budaya, Manajemen Proyek & Kepemimpinan, Komunikasi & Koordinasi, Manajemen Kolaborasi & Pengetahuan

Pengumpulan data dilakukan melalui kuesioner kepada lima pakar GSD dan software engineering dari berbagai institusi di Indonesia. Skor kepentingan diberikan melalui metode perbandingan berpasangan, lalu diproses menggunakan rumus AHP.

Hasil: Ranking Kompetensi dan Clustering

Dari hasil analisis AHP, diperoleh bobot global dari masing-masing sub-kompetensi. Tiga sub-kompetensi tertinggi berada pada kategori Programming Techniques, yaitu:

  1. Kemampuan menggunakan situs social coding – 0.0478
  2. Kemampuan mengadopsi bahasa dan tools pemrograman baru – 0.0472
  3. Kemampuan membangun aplikasi dengan reusable components (CBS) – 0.0470

Sementara sub-kompetensi dengan bobot terendah terdapat pada kategori Collaboration and Knowledge Management, yaitu:

  • Kemampuan menetapkan aturan kerja dengan data terpisah – 0.02016

Menariknya, dari 40 sub-kompetensi yang disusun secara global, tak ada dominasi mutlak antara hard dan soft competencies. Meski hard competencies menempati posisi teratas, soft competencies seperti kemampuan memahami budaya kerja lintas negara, membangun kepercayaan dalam tim, dan kemampuan komunikasi global juga berada dalam 10 besar.

Berikut adalah lima kluster kompetensi yang dihasilkan:

Kluster 1 (Kompetensi Paling Esensial)

  • Seluruh sub-kompetensi dari Programming Techniques (C1)
  • Menekankan pentingnya kemampuan teknis inti seperti coding kolaboratif dan pembelajaran teknologi baru.

Kluster 2 (Sangat Penting)

  • Seluruh sub-kompetensi Cultural Awareness dan Requirement Techniques
  • Menggarisbawahi pentingnya adaptasi budaya dan kebutuhan stakeholder lintas lokasi dalam GSD.

Kluster 3 (Penting)

  • Sub-kompetensi dari Project Management & Leadership dan Communication & Coordination
  • Fokus pada kerja tim, kepemimpinan dinamis, dan komunikasi efektif.

Kluster 4 (Cukup Penting)

  • Collaboration Techniques dan sebagian besar dari Verification and Validation
  • Termasuk penguasaan tools kolaborasi, keamanan, serta testing tools.

Kluster 5 (Penting tapi Tidak Mendesak)

  • Collaboration and Knowledge Management
  • Meski berada di bawah, kluster ini berfungsi sebagai pelengkap kluster sebelumnya.

Studi Kasus: Analisis Kekuatan dan Kelemahan Engineer Indonesia

Dari pengamatan pakar dan hasil pemeringkatan, diketahui bahwa software engineer Indonesia cukup kuat dalam soft competencies, terutama pada aspek kolaborasi dan pemahaman budaya. Hal ini tak mengherankan mengingat karakter sosial dan budaya kerja kolektif di Indonesia.

Namun, tantangan besar terletak pada aspek teknis, terutama:

  • Programming Techniques
  • Requirement Engineering
  • Verification and Validation

Rendahnya skor pada aspek-aspek ini menunjukkan perlunya peningkatan kurikulum pendidikan tinggi, pelatihan industri, dan pengalaman proyek nyata agar engineer Indonesia mampu bersaing dengan engineer dari India, Filipina, dan Vietnam.

Implikasi Kebijakan dan Strategi

Hasil penelitian ini sangat bermanfaat bagi berbagai pihak:

  • Pemerintah: Dapat digunakan sebagai dasar penyusunan roadmap peningkatan kompetensi digital nasional. Misalnya, kurikulum Merdeka Belajar-Kampus Merdeka bisa disesuaikan dengan kompetensi GSD.
  • Industri IT: Sebagai pedoman dalam rekrutmen, pelatihan, dan pengembangan SDM IT.
  • Akademisi: Untuk merancang program studi atau pelatihan sertifikasi berbasis kebutuhan nyata industri global.
  • Investor Asing: Memberikan gambaran yang lebih jelas terhadap potensi SDM Indonesia sebagai mitra GSD.

Perbandingan dengan Studi Lain

Jika dibandingkan dengan studi oleh Saldaña-Ramos et al. (2014) yang juga menyusun kompetensi untuk GSD, pendekatan paper ini lebih menyeluruh karena memadukan AHP dan kontekstualisasi lokal (Indonesia). Paper ini juga lebih aplikatif karena tidak hanya memberikan deskripsi, tapi juga prioritas pengembangan.

Kelebihan dan Kelemahan Penelitian

Kelebihan:

  • Metodologi kuat (AHP dan NVivo)
  • Melibatkan praktisi nyata
  • Pemeringkatan jelas dan terstruktur
  • Kontribusi nyata untuk negara berkembang

Kekurangan:

  • Jumlah responden terbatas (5 orang)
  • Tidak menyertakan perspektif internasional untuk perbandingan langsung

Penutup dan Rekomendasi

Artikel ini berhasil menjawab kebutuhan mendesak dalam pemetaan kompetensi software engineer Indonesia di kancah global. Dengan metodologi yang solid dan hasil yang aplikatif, studi ini menjadi referensi penting bagi strategi pengembangan SDM digital nasional.

Namun, untuk meningkatkan daya saing, langkah lanjutan seperti pelibatan responden lintas negara, penerapan hasil dalam bentuk pelatihan dan program pendidikan, serta pengukuran dampak setelah implementasi sangat disarankan.

Pengembangan ke depan dapat diarahkan pada pemetaan kompetensi dalam tim Agile (Scrum), yang kini menjadi standar dalam proyek GSD. Jika Indonesia ingin menegaskan diri sebagai “the next India” dalam outsourcing IT, maka investasi pada pengembangan hard competencies mutlak diperlukan.

Sumber asli artikel: Anita Hidayati, Eko K. Budiardjo, dan Betty Purwandari. "Software Engineer Competencies in Global Software Development: An Indonesian Perspective." Tehnički vjesnik 29, 2(2022), 683–691.

 

Selengkapnya
Kompetensi Software Engineer dalam Global Software Development (GSD): Perspektif Indonesia

Keinsinyuran

Etika dalam Dunia Teknik: Ketika Insinyur Dihadapkan pada Dilema Moral

Dipublikasikan oleh Izura Ramadhani Fauziyah pada 18 April 2025


Mengapa Etika Teknik Sangat Krusial?

Dalam dunia teknik yang penuh tekanan waktu, anggaran ketat, dan ekspektasi tinggi, insinyur sering kali dihadapkan pada pilihan sulit. Tugas mereka bukan sekadar menyusun gambar atau merancang jembatan, tapi juga menjamin keselamatan publik, kejujuran profesional, dan integritas moral. Steve Starrett, seorang profesor teknik sipil di Kansas State University, melalui artikel ini mengajak kita melihat lebih dekat berbagai dilema etika yang nyata dan menghantui karier teknik hingga saat ini.

Studi Kasus: Tragedi Skywalk Hyatt Regency, Kansas City (1981)

Kronologi Singkat

Pada 17 Juli 1981, sebuah pesta dansa teh digelar di atrium Hotel Hyatt Regency di Kansas City. Ratusan tamu berdiri di skywalk (jembatan kaca gantung) untuk melihat acara dari atas. Tiba-tiba, skywalk tersebut runtuh. Akibatnya:

  • 114 orang tewas
  • Lebih dari 200 lainnya terluka

Apa yang Salah?

  • Desain awal skywalk diubah oleh produsen baja tanpa evaluasi ulang menyeluruh dari insinyur.
  • Gambar desain yang masih bersifat preliminary dianggap final oleh produsen.
  • Komunikasi antara tim desain dan vendor sangat buruk.
  • Desakan proyek cepat (fast-track project) membuat insinyur menyetujui perubahan tanpa verifikasi memadai.

Pelajaran Utama:

  • Dua insinyur kehilangan lisensi mereka.
  • Kota Kansas City menerapkan sistem inspeksi dan review proyek yang jauh lebih ketat pasca tragedi.
  • Total penyelesaian hukum mencapai sekitar $140 juta.

Prinsip Etika ASCE dan Relevansinya

Menurut Kode Etik ASCE (2006), kanon fundamental pertama adalah:

“Insinyur harus mengutamakan keselamatan, kesehatan, dan kesejahteraan publik serta berusaha mematuhi prinsip pembangunan berkelanjutan dalam tugas profesional mereka.”

Pedoman turunannya menyatakan bahwa insinyur hanya boleh menyetujui dokumen desain yang telah ditinjau secara menyeluruh dan dianggap aman. Dalam kasus Hyatt, standar ini dilanggar, menunjukkan bahwa kesalahan etis bisa berakibat sangat fatal, bukan hanya bagi korban tetapi juga karier profesional si insinyur.

6 Pelajaran Kunci dari Dr. Mark Abkowitz tentang Kecelakaan Teknik

Abkowitz, profesor di Vanderbilt University, meneliti penyebab umum kecelakaan besar. Ia menyimpulkan 12 pelajaran penting; berikut yang paling relevan secara etika:

  1. Kegagalan komunikasi selalu terlibat dalam setiap bencana.
  2. Perencanaan adalah investasi, bukan beban waktu.
  3. Faktor finansial sering kali berkontribusi besar dalam bencana buatan manusia.
  4. Pemotongan prosedur standar adalah penyebab umum kecelakaan.
  5. Kesalahan desain dan konstruksi menjadi faktor kunci.
  6. Tidak ada proyek yang sempurna, tapi risiko bisa diminimalkan dengan integritas proses.

Etika Sehari-hari: Praktik Kecil, Imbas Besar

Penulis membagikan pengalaman pribadi saat magang di lembaga negara. Seorang inspektur teknik secara rutin “meminta” peralatan dari kontraktor seperti gergaji listrik atau kabel ekstensi, seolah-olah itu barang bekas. Dalam kenyataannya, semua alat masih bagus, dan praktik ini menjadi semacam barter tak resmi demi “perlakuan baik” dari inspektur. Ini merupakan contoh nyata korupsi kecil (petty corruption), yang bertentangan dengan prinsip ASCE Canon 6:

“Insinyur harus menolak segala bentuk suap, penipuan, dan korupsi dalam aktivitas teknik atau konstruksi.”

Starrett mengaku saat itu belum punya keberanian melapor, karena masih magang. Namun ia menekankan bahwa lingkungan kantor mengetahui hal ini tapi membiarkannya—hal yang juga merupakan pelanggaran etika institusional.

Dilema Etika Nyata di Dunia Teknik

Starrett, sebagai profesor dan saksi ahli di pengadilan, telah mendengar ratusan kisah etika dari kolega insinyur. Berikut beberapa dilema yang sering muncul:

  • Tekanan dari atasan atau klien untuk menyederhanakan perhitungan agar proyek lebih murah.
  • Ketidaksinkronan gambar rencana dan pelaksanaan, tapi tetap dilanjutkan karena deadline.
  • Pemberian ‘bonus proyek’ kepada inspektur agar laporan audit tetap hijau.

Semua contoh ini menunjukkan bahwa dilema etika bukan hal langka. Yang membedakan insinyur hebat dan gagal adalah bagaimana mereka merespons tekanan tersebut.

Refleksi Mahasiswa dan Implikasi Pendidikan

Dalam salah satu kelas etika tekniknya, seorang mahasiswa pascasarjana berkata,

“Saya tidak pernah membayangkan bahwa saya bisa menghadapi dilema etika dalam karier teknik saya. Kelas ini benar-benar membuka mata.”

Hal ini membuktikan bahwa pendidikan teknik di banyak kampus masih terlalu teknis dan minim pendidikan etika. Padahal, keputusan teknis selalu berdampingan dengan pertimbangan moral.

Apa yang Bisa Kita Pelajari?

Untuk Insinyur Muda:

  • Jangan mengabaikan pelatihan etika, karena akan jadi pedoman saat kamu bimbang.
  • Jangan takut bertanya jika ragu, lebih baik lambat tapi selamat.

Untuk Kampus Teknik:

  • Integrasikan kasus nyata ke dalam kurikulum.
  • Dorong diskusi terbuka tentang dilema etika agar mahasiswa terbiasa berpikir kritis dan reflektif.

Untuk Industri:

  • Terapkan budaya whistleblower.
  • Sediakan saluran etika yang aman dan rahasia untuk laporan pelanggaran.

Penutup: Teknik adalah Profesi, Bukan Sekadar Pekerjaan

Artikel ini menyampaikan pesan yang sangat kuat: insinyur tidak hanya memegang tanggung jawab teknis, tetapi juga moral. Seiring meningkatnya tekanan proyek dan ekspektasi bisnis, semakin banyak insinyur yang dihadapkan pada pilihan antara efisiensi dan integritas.

Etika bukan aksesoris dalam dunia teknik, tapi fondasi dari semua keputusan yang menyangkut nyawa dan keselamatan publik. Seorang insinyur sejati adalah mereka yang berani berkata “tidak” ketika sebuah keputusan membahayakan banyak orang, tak peduli seberapa kecil risikonya atau besar tekanan yang diterima.

Sumber artikel asli :
Starrett, S. (2013). Engineers Face Ethical Dilemmas. Leadership and Management in Engineering, 13(1), 49–50. American Society of Civil Engineers.

 

Selengkapnya
Etika dalam Dunia Teknik: Ketika Insinyur Dihadapkan pada Dilema Moral

Keinsinyuran

Potret Kompetensi Insinyur Sipil Indonesia: Apakah Kita Siap Menyambut Masa Depan Konstruksi Berkelanjutan?

Dipublikasikan oleh Izura Ramadhani Fauziyah pada 18 April 2025


Latar Belakang: Mengapa Kompetensi Insinyur Sipil Perlu Dikaji?

Industri konstruksi memegang peran vital dalam pembangunan infrastruktur, namun keberhasilan proyek tidak hanya ditentukan oleh material dan teknologi, melainkan oleh sumber daya manusianya. Dalam konteks ini, insinyur sipil sebagai aktor utama dituntut memiliki tiga pilar kompetensi: pengetahuan (knowledge), keterampilan (skills), dan sikap (attitude).

Penelitian oleh H. Setiawan dan F. Raharjo dari Universitas Atma Jaya Yogyakarta ini mencoba mengukur ketiga aspek tersebut dalam konteks Indonesia, dengan referensi profil insinyur sipil tahun 2025 yang ditetapkan oleh American Society of Civil Engineers (ASCE). Studi ini penting karena bisa menjadi dasar perbaikan kurikulum teknik sipil dan pengembangan SDM di sektor konstruksi nasional.

Metodologi Penelitian: Survei Kompetensi Berdasarkan 21 Atribut ASCE

Penelitian ini melibatkan 100 praktisi teknik sipil dari berbagai latar belakang (kontraktor, konsultan, ASN, dan wirausahawan di bidang konstruksi). Mereka diminta menilai 21 atribut kompetensi berdasarkan dua hal:

  • Tingkat kepentingan (importance)
  • Tingkat performa aktual (performance)

Analisis dilakukan menggunakan:

  • Statistik deskriptif (mean dan standar deviasi)
  • Spearman Rank Correlation
  • Importance-Performance Analysis (IPA) Matrix

Hasil Utama: Soft Skills Mendominasi, Pengetahuan Akademik Mulai Tergeser

1. Komunikasi: Kompetensi Nomor Satu

Dari seluruh atribut, kemampuan komunikasi menempati peringkat tertinggi baik dalam aspek kepentingan (mean: 3,50) maupun performa (mean: 3,78). Ini menunjukkan bahwa industri sangat menghargai kemampuan insinyur dalam menyampaikan ide dan berkolaborasi lintas disiplin.

2. Pengetahuan Justru di Posisi Terendah

Kategori knowledge memiliki rata-rata terendah dibanding skill dan attitude. Pengetahuan teknis dasar seperti matematika, fisika, desain struktur, bahkan sustainability hanya menempati posisi ke-16 dalam kepentingan dan ke-21 dalam performa.

3. Attitude dan Skill Dianggap Lebih Penting

Kategori sikap (attitudes) seperti kejujuran, integritas, rasa ingin tahu, dan komitmen terhadap etika mendapatkan skor tinggi baik dalam persepsi maupun praktik. Begitu juga dengan keterampilan seperti manajemen proyek, adaptasi teknologi baru, dan kerja sama tim.

Studi Kasus: Sustainability Masih Dianggap “Tambahan”

Salah satu temuan yang mencolok adalah rendahnya perhatian terhadap kompetensi keberlanjutan (sustainability). Atribut ini hanya menempati peringkat ke-16 dalam hal kepentingan dan ke-18 dalam hal performa. Padahal, isu keberlanjutan menjadi sangat penting dalam konstruksi global, mengingat kontribusi sektor ini terhadap emisi karbon dan limbah bangunan.

Hal ini menunjukkan bahwa banyak insinyur sipil di Indonesia belum menjadikan prinsip pembangunan berkelanjutan sebagai kompetensi inti, dan ini bisa menjadi tantangan besar dalam era pembangunan hijau.

Analisis Korelasi dan Matriks IPA: Semua Kompetensi Dianggap Penting dan Terlaksana Baik

Spearman Rank Correlation menunjukkan koefisien korelasi sebesar 0,892, mengindikasikan hubungan yang sangat kuat dan positif antara kepentingan dan performa. Artinya, atribut yang dianggap penting juga cenderung dijalankan dengan baik oleh para insinyur.

Dalam analisis Importance–Performance Matrix (IPA), seluruh atribut berada di kuadran kedua (tinggi kepentingan, tinggi performa). Ini menunjukkan bahwa secara umum, para insinyur di Indonesia telah memenuhi ekspektasi dasar kompetensi yang dibutuhkan industri saat ini.

Implikasi Bagi Pendidikan Tinggi dan Dunia Industri

1. Kampus Teknik Harus Meninjau Ulang Kurikulum

Fakta bahwa kategori pengetahuan berada di posisi terbawah seharusnya menjadi bahan refleksi untuk program studi teknik sipil. Kampus tidak bisa hanya fokus pada mata kuliah teori, tetapi perlu mengintegrasikan:

  • Pelatihan komunikasi teknis
  • Studi kasus berbasis proyek
  • Penguatan kompetensi keberlanjutan

2. Perusahaan Perlu Melanjutkan Pelatihan Soft Skills

Salah satu peluang besar bagi perusahaan adalah mengembangkan program pelatihan internal yang berfokus pada kepemimpinan, manajemen konflik, dan etika profesional, yang semuanya terbukti berperan besar dalam performa insinyur.

3. Pemerintah Perlu Memperkuat Regulasi Kompetensi Hijau

Mengingat pentingnya isu lingkungan, pemerintah perlu mendorong sertifikasi keberlanjutan sebagai syarat wajib dalam proyek infrastruktur, dan menyelaraskan pendidikan teknik dengan agenda pembangunan berkelanjutan.

Bandingkan dengan Studi Lain: Apakah Tren Global Sama?

Penelitian ini selaras dengan temuan Male et al. (2011) dan Ajayi (2021) yang menyatakan bahwa soft skills seperti komunikasi, kolaborasi, dan sikap kerja sangat berpengaruh terhadap kesuksesan profesional insinyur di berbagai negara. Namun, Indonesia tampak masih tertinggal dalam hal kesadaran akan sustainability jika dibandingkan dengan negara seperti Australia, Jepang, atau Inggris.

Kesimpulan: Kompetensi Insinyur Masa Depan Harus Lebih dari Sekadar Teknikal

Studi ini menyampaikan pesan kuat: menjadi insinyur sipil andal tidak cukup hanya bermodal ilmu teknik. Justru kompetensi non-teknis seperti komunikasi, integritas, manajemen, dan kolaborasi menjadi pembeda utama di lapangan.

Namun, ada satu catatan kritis yang tidak boleh diabaikan: rendahnya perhatian terhadap sustainability adalah alarm keras. Jika kita ingin berperan dalam pembangunan berkelanjutan global, maka pendidikan dan pelatihan teknik di Indonesia harus segera memasukkan prinsip hijau dan sosial sebagai bagian inti dari kompetensi profesional.

Sumber artikel asli:
Setiawan, H., & Raharjo, F. (2019). Knowledge, Skills and Attitudes of Civil Engineers in Indonesia. IOP Conference Series: Materials Science and Engineering, 615, 012030. doi:10.1088/1757-899X/615/1/012030.

 

Selengkapnya
Potret Kompetensi Insinyur Sipil Indonesia: Apakah Kita Siap Menyambut Masa Depan Konstruksi Berkelanjutan?

Industri Kontruksi

Relevansi Kurikulum Teknik Bangunan dengan Kebutuhan Industri Konstruksi: Siapkah Lulusan Kita Bersaing?

Dipublikasikan oleh Izura Ramadhani Fauziyah pada 18 April 2025


Mengapa Kurikulum Teknik Bangunan Perlu Diuji Ulang?

Industri konstruksi Indonesia tengah melesat, menjadi penyumbang besar terhadap pertumbuhan ekonomi nasional. Namun, pertanyaan besarnya: apakah lulusan teknik bangunan dari perguruan tinggi sudah siap kerja? Data menunjukkan bahwa 51% lulusan dari Program Studi Pendidikan Teknik Bangunan Universitas Negeri Jakarta (UNJ) tahun 2024 masih belum terserap di dunia kerja. Ini jadi sinyal kuat adanya “gap” antara kompetensi lulusan dan kebutuhan industri.

Artikel oleh Ansheila Rusyda Subiyantari dkk. ini mengangkat isu penting: bagaimana relevansi kurikulum pendidikan teknik bangunan terhadap Standar Kompetensi Kerja Nasional Indonesia (SKKNI) khususnya dalam manajemen konstruksi dan bangunan.

Konteks Penelitian: Industri Konstruksi dan SKKNI

SKKNI adalah standar nasional yang mendefinisikan kompetensi yang harus dimiliki tenaga kerja di berbagai sektor, termasuk konstruksi. KKNI (Kerangka Kualifikasi Nasional Indonesia) kemudian membagi jenjang kualifikasi ke dalam 9 level. Level 4–6 biasanya diperuntukkan bagi teknisi dan analis, termasuk lulusan sarjana terapan atau sarjana teknik.

Penelitian ini memetakan keterkaitan antara unit kompetensi dalam SKKNI dan capaian pembelajaran (CPL) dalam kurikulum Teknik Bangunan UNJ. Tujuannya? Mengidentifikasi area yang sudah relevan, dan yang masih perlu dibenahi.

Metodologi: Analisis Dokumen dan FGD

Penelitian menggunakan pendekatan deskriptif-kuantitatif dengan metode analisis dokumen terhadap Rencana Pembelajaran Semester (RPS) dari 26 posisi pekerjaan yang diambil dari SKKNI 2024. Data ini dipadukan dengan Focus Group Discussion (FGD) bersama dosen Teknik Bangunan untuk mengonfirmasi hasil temuan dan merumuskan rekomendasi.

Hasil Utama: Seberapa Relevan Kurikulum Kita?

Mapping Posisi Kerja

Dari 71 posisi pekerjaan pada klasifikasi bangunan dalam SKKNI, hanya 14 yang relevan untuk level teknisi/analis. Tapi hanya 10 posisi yang memiliki dokumen SKKNI lengkap. Sementara pada sub-klasifikasi manajemen pelaksanaan konstruksi, dari 39 posisi kerja, 16 posisi relevan untuk teknisi/analis, semuanya memiliki dokumen SKKNI.

Contoh posisi kerja:

  • GD01: Field Manager for Building Work Implementation (KKNI 6)
  • MK01: HSE Personnel (KKNI 4)
  • MK16: Senior Quantity Surveyor (KKNI 6)

Skor Relevansi

Tiap posisi kerja dibandingkan dengan konten RPS untuk melihat seberapa besar kesesuaiannya. Berikut beberapa hasil penting:

Sangat Relevan (VR):

  • GD03 (Junior Building Work Field Executor): 86%
  • GD08 (Middle Building Maintenance Executor): 100%
  • MK10–MK16 (Estimator dan Surveyor): 100%

Relevan (R):

  • GD01 (Field Manager): 67%
  • MK01 (HSE Personnel): 62%
  • MK04–MK05 (Technical Facilitator): 79%

Cukup Relevan (QR):

  • MK06–MK09 (Quality Engineers): 57%

Tidak Relevan (I):

  • MK02 & MK03 (HSE Supervisor): 38%

Studi Kasus: Kekosongan Kompetensi pada Posisi Strategis

Posisi seperti Field Manager (GD01) dan RISHA Building Planner (GD10) memiliki skor relevansi di bawah 70%. Ini artinya, meskipun dua posisi ini penting, lulusan Teknik Bangunan UNJ belum dibekali cukup kompetensi terkait metode pelaksanaan konstruksi dan teknologi beton pracetak seperti RISHA.

Begitu pula posisi HSE Supervisor dan Quality Engineer yang memerlukan kompetensi tinggi di aspek keselamatan kerja dan pengendalian mutu. Namun, sebagian besar konten ini belum ada dalam kurikulum yang berjalan.

GAP Kompetensi: Apa yang Masih Kurang?

Penelitian menemukan kekosongan dalam kurikulum yang cukup signifikan, antara lain:

Kurikulum belum mencakup:

  • Metode kerja lapangan
  • Pengendalian mutu
  • Konstruksi berkelanjutan
  • Manajemen darurat (emergency response)
  • HSE planning dan supervisi

Solusi: Apa yang Harus Dilakukan?

Peneliti merekomendasikan beberapa pendekatan untuk menjembatani kesenjangan:

Penguatan Mata Kuliah Eksisting:

  • HSE
  • Material Testing
  • AMDAL
  • Mechanical Earthmoving

Penambahan Mata Kuliah Baru:

  • Construction Methods
  • Sustainable Construction

Materi baru ini akan mengakomodasi tren industri terkini seperti BIM, Lean Construction, dan Value Engineering, sekaligus menjawab kebutuhan posisi kerja yang membutuhkan keterampilan praktis tinggi.

Dampak pada Dunia Nyata: Siapa Diuntungkan?

  1. Mahasiswa akan memiliki kompetensi lebih terukur dan siap kerja, menurunkan tingkat pengangguran lulusan.
  2. Industri mendapatkan tenaga kerja yang langsung bisa berkontribusi, tanpa perlu banyak pelatihan ulang.
  3. Kampus meningkat reputasinya melalui tracer study dan IKU (Indikator Kinerja Utama) lulusan terserap kerja.
  4. Pemerintah mendapatkan SDM konstruksi yang sesuai dengan kebijakan pembangunan nasional.

Opini Penulis: Kebutuhan Mendesak untuk “Link and Match” Nyata

Artikel ini membuka mata bahwa transformasi kurikulum bukan lagi pilihan, tapi keharusan. Dunia konstruksi saat ini membutuhkan tenaga profesional yang tidak hanya paham teori, tetapi juga punya keterampilan praktis dan kesadaran akan standar kerja global.

Relevansi dengan SKKNI adalah langkah konkret menuju “link and match” antara kampus dan industri. Jika perubahan ini tidak segera dilakukan, risiko ketidaksesuaian lulusan dengan pasar kerja akan semakin besar, memperpanjang daftar pengangguran terdidik.

Kesimpulan: Saatnya Bergerak dari Teori ke Aksi

Rekomendasi utama dari studi ini sangat jelas: revitalisasi kurikulum Teknik Bangunan di Indonesia, khususnya di UNJ, harus segera dilakukan. Penyesuaian dengan SKKNI bukan hanya soal administratif, tetapi menyangkut masa depan lulusan dan daya saing bangsa.

Penambahan mata kuliah seperti Sustainable Construction dan Construction Methods bukan sekadar tren, melainkan tuntutan realitas lapangan. Dalam era Revolusi Industri 4.0 dan pembangunan berkelanjutan, hanya lulusan yang adaptif, terampil, dan profesional yang akan mampu bertahan dan bersinar.

Sumber asli artikel:
Subiyantari, Ansheila Rusyda; Gazali, Abdhy; Handoyo, Santoso Sri; & Arifah, Shilmi. (2024). Relevance of Building Engineering Education Curriculum towards SKKNI Building and Construction Management Competencies. Jurnal Pensil: Pendidikan Teknik Sipil, Volume 13, Nomor 3, hlm. 299–313.

 

Selengkapnya
Relevansi Kurikulum Teknik Bangunan dengan Kebutuhan Industri Konstruksi: Siapkah Lulusan Kita Bersaing?

Keinsinyuran

Program Profesi Insinyur UMI: Menjawab Tantangan Industri dan Regulasi Keinsinyuran di Indonesia

Dipublikasikan oleh Izura Ramadhani Fauziyah pada 18 April 2025


Mengapa Program Profesi Insinyur (PSPPI) Penting di Era Industri Modern?

Indonesia tengah menghadapi tantangan besar dalam pembangunan infrastruktur dan peningkatan daya saing industri. Namun, realitas menunjukkan bahwa banyak sarjana teknik belum tersertifikasi sebagai insinyur profesional. Program Profesi Insinyur (PSPPI) menjadi jawaban konkret terhadap amanat Undang-Undang No. 11 Tahun 2014 tentang Keinsinyuran yang mendorong terciptanya tenaga profesional yang tak hanya cakap secara teknis, tapi juga diakui secara hukum dan etis.

Universitas Muslim Indonesia (UMI) melalui Fakultas Teknologi Industri menjadi salah satu dari 40 perguruan tinggi yang ditunjuk pemerintah untuk menyelenggarakan PSPPI. Presentasi ini merekam perjalanan, strategi, dan capaian dari pelaksanaan PSPPI UMI—khususnya dalam konteks pengembangan SDM teknik di Kabupaten Konawe Utara, Sulawesi Tenggara.

Sekilas Tentang PSPPI UMI

UMI resmi menerima mandat penyelenggaraan PSPPI pada Januari 2017 dari Kementerian Ristekdikti. Dengan melibatkan 25 dosen tetap bergelar Insinyur Profesional Madya (IPM), satu IPU (Utama), dan dua penerima ASEAN Eng, program ini menegaskan komitmen terhadap mutu dan profesionalisme.

Tidak kalah menarik, Bupati Konawe Utara, Dr. Ir. Ruksamin, M.Si, tercatat sebagai wisudawan pertama PSPPI UMI dengan nomor stambuk 001. Ini menjadi simbol kuat integrasi antara pemerintah daerah, industri, dan akademisi dalam memajukan sektor teknik lokal.

Kurikulum Berbasis Praktik: Pendidikan untuk Profesional yang Sudah Bekerja

Berbeda dengan pendidikan akademik atau vokasi, PSPPI dirancang sebagai pendidikan untuk orang yang sudah bekerja. Tidak boleh ada lulusan PSPPI yang menganggur—itulah filosofi utamanya. Sistem pembelajarannya lebih menekankan pada praktik keinsinyuran di lapangan:

  • 70% pembelajaran dilakukan di tempat kerja, hanya 30% dilakukan di kelas.
  • Durasi program 1–2 semester dengan total 24 SKS.
  • Metode: studi kasus, laporan praktik, proposal kegiatan, seminar, diskusi, serta evaluasi berbasis kehadiran, partisipasi, dan ujian.

Materi kuliah terdiri dari kode etik, profesionalisme, K3L (keselamatan, kesehatan kerja dan lingkungan), praktik keinsinyuran, studi kasus, hingga pemaparan di seminar dan workshop.

Siapa yang Bisa Mengikuti PSPPI?

Syarat Umum:

  • Lulusan sarjana teknik, terapan teknik, pendidikan teknik, atau sains.
  • Telah memiliki pengalaman kerja minimal 2 tahun (reguler) atau 3 tahun (RPL).
  • Sehat jasmani dan rohani, bebas narkoba.
  • Memenuhi seluruh ketentuan dan lulus seleksi perguruan tinggi penyelenggara.

Jalur Reguler vs RPL:

  • Jalur reguler untuk yang belum cukup pengalaman.
  • Jalur RPL (Recognition of Prior Learning) memungkinkan pengakuan pengalaman hingga setara 24 SKS.
  • Jika tidak memenuhi seluruh SKS melalui RPL, sisa kredit dipenuhi lewat program reguler.

Capaian Pembelajaran dan Kompetensi Lulusan

Lulusan PSPPI diharapkan memenuhi level 7 KKNI, yakni:

  • Mampu merencanakan dan mengelola sumber daya teknik secara strategis.
  • Mampu memecahkan masalah teknik melalui pendekatan multidisiplin.
  • Mampu mengambil keputusan keinsinyuran dengan akuntabilitas tinggi.
  • Taat pada kode etik profesi dan memiliki kemampuan riset aplikatif.

Ini mencerminkan visi bahwa lulusan PSPPI bukan sekadar teknisi, melainkan pengambil keputusan strategis dalam dunia teknik yang dinamis.

Tantangan Implementasi dan Solusi di UMI

UMI melakukan berbagai upaya sistematis untuk menyukseskan program ini:

Pengelolaan Lembaga:

  • Menyusun panduan mutu internal dan sistem evaluasi.
  • Menyampaikan laporan kinerja kepada pimpinan universitas secara berkala.
  • Menjalin kemitraan dengan PII, industri, dan kementerian.

Pendanaan:

  • Dibiayai oleh anggaran internal, dana masyarakat (uang kuliah), serta kerja sama dengan industri.
  • Dana digunakan untuk perencanaan, pelaksanaan, evaluasi, hingga pelaporan PS PPI.

Evaluasi Mutu:

  • Penjaminan mutu dilakukan oleh SPM-UMI.
  • Akreditasi dan evaluasi eksternal mengikuti ketentuan lembaga yang berwenang.

Studi Kasus Konawe Utara: Sinergi Pendidikan dan Pemerintah Daerah

Menjadikan Bupati sebagai wisudawan pertama bukan sekadar simbolis. Ini adalah wujud nyata bagaimana pemerintah daerah turut serta dalam memperkuat profesionalisme teknis di wilayahnya. Kabupaten Konawe Utara dikenal sebagai daerah pertambangan dan pertanian yang memerlukan dukungan SDM teknik unggul. Dengan hadirnya PSPPI di daerah ini, terjadi percepatan dalam pencetakan insinyur yang tidak hanya mumpuni secara teknis, tapi juga berorientasi pada pembangunan berkelanjutan.

Catatan Kritis: Apa yang Perlu Ditingkatkan?

Meskipun desain program sangat progresif, terdapat beberapa tantangan yang layak diperhatikan:

  • Belum semua lulusan teknik memahami pentingnya sertifikasi profesi.
  • Pengalaman kerja peserta seringkali tidak terdokumentasi dengan baik untuk kebutuhan RPL.
  • Masih perlunya peningkatan pelatihan dosen pembimbing agar mampu mengarahkan mahasiswa secara efektif di tempat kerja.

Sebagai langkah ke depan, perlu dikembangkan sistem pelacakan alumni, penguatan jejaring dengan industri pengguna lulusan, dan integrasi sistem digital untuk pengelolaan portofolio peserta secara daring.

Kesimpulan: PSPPI sebagai Pilar Transformasi SDM Teknik Indonesia

Program Profesi Insinyur di UMI menjadi representasi bagaimana pendidikan tinggi bisa bertransformasi menjadi lebih adaptif, responsif, dan relevan terhadap kebutuhan industri. Melalui pendekatan berbasis praktik, evaluasi kompetensi, dan kolaborasi multi-pihak, program ini mencetak insinyur yang tidak hanya ahli, tapi juga siap terjun langsung dalam tantangan pembangunan nasional.

Lebih dari itu, program ini mendorong semangat keinsinyuran sebagai panggilan etis—dimana ilmu dan teknologi diabdikan demi kesejahteraan manusia dan keberlanjutan lingkungan. PSPPI adalah cerminan visi insinyur masa depan Indonesia: profesional, bermoral, dan berdaya saing global.

Sumber artikel:

Zakir Sabara & Taufik Nur. “Presentasi dan Sosialisasi Program Profesi Insinyur Fakultas Teknologi Industri UMI di Kabupaten Konawe Utara Sulawesi Tenggara”. Presentasi, 2017.

Selengkapnya
Program Profesi Insinyur UMI: Menjawab Tantangan Industri dan Regulasi Keinsinyuran di Indonesia
page 1 of 884 Next Last »