Rekayasa Pondasi
Dipublikasikan oleh Dewi Sulistiowati pada 18 April 2025
Pendahuluan: Menyatukan Teknologi dan Tanah dalam Geoteknik
Dalam dunia konstruksi, tanah adalah risiko terbesar dan paling tak terduga. Terlebih di negara seperti Bangladesh, yang dipenuhi sungai dan memiliki kondisi tanah yang sangat heterogen. Penelitian oleh Debojit Sarker, Md. Zoynul Abedin, Jewel Sarker & Zahirul Quaium dari Bangladesh University of Engineering and Technology membahas penggunaan MATLAB untuk memprediksi log bor berdasarkan data SPT (Standard Penetration Test) dan distribusi butiran tanah, sebagai solusi cerdas untuk efisiensi biaya dan perencanaan geoteknik yang lebih akurat.
Studi ini menggabungkan analisis numerik, pemetaan kontur, dan validasi model untuk prediksi risiko likuifaksi tanah dalam konteks proyek besar: Janjira Approach Road dari Padma Multipurpose Bridge Project.
Latar Belakang: Mengapa Data Tanah Sangat Penting?
Pekerjaan geoteknik membutuhkan pemahaman menyeluruh terhadap kondisi bawah permukaan. Namun, investigasi tanah sering kali dibatasi oleh anggaran, bukan oleh kebutuhan teknis. Hal ini menyebabkan:
Bangladesh, dengan geologi aluvial dan latar belakang gempa, membutuhkan metode canggih untuk memprediksi profil tanah secara spasial di luar titik pengujian.
Tujuan Penelitian
Fokus utama:
Lokasi Studi: Jalan Pendekat Janjira – Padma Bridge
Rincian lokasi:
Kondisi geologi:
Metodologi: Model MATLAB untuk Prediksi Log Bor
1. Input Data
Total data: lebih dari 600 data point dari 15 titik bor
2. Tools MATLAB yang Digunakan
3. Hasil Model
Studi Kasus: Evaluasi Risiko Likuifaksi
1. Apa Itu Likuifaksi?
Likuifaksi terjadi ketika tanah jenuh air berubah menjadi cair karena tekanan air pori tinggi akibat gempa. Ini menyebabkan:
2. Parameter Analisis
3. Skema Uji:
Validasi Model: Gempa Nepal 2015
Data Gempa:
Rumus Attenuasi PGA (Ulusay et al., 2004):
Untuk menguji keandalan model prediksi berbasis MATLAB, penelitian ini melakukan validasi menggunakan gempa nyata, yaitu gempa Nepal tahun 2015 dengan magnitudo 7.8 Mw. Rumus attenuasi dari Ulusay et al. (2004) digunakan untuk memperkirakan Peak Ground Acceleration (PGA) dengan formula:
log PGA = 0.65M – 0.9 log R – 0.44, di mana M adalah magnitudo gempa dan R adalah jarak dari sumber gempa (dalam kilometer). Dengan M = 7.8 dan R = 830 km, diperoleh nilai PGA sebesar ±0.12g. Hasil analisis menunjukkan bahwa untuk magnitudo 6.7, baik nilai Liquefaction Potential Index (LPI) hasil pengujian langsung (in-situ) maupun prediksi menunjukkan kategori "None". Sementara itu, untuk magnitudo 7.8, baik data in-situ maupun hasil prediksi menyatakan kategori "Low". Kesimpulannya, model berbasis MATLAB ini mampu memprediksi nilai LPI dan distribusi SPT dengan akurasi tinggi, menjadikannya alat yang praktis dan andal untuk perencanaan infrastruktur tahan gempa di daerah rawan likuifaksi.
Kelebihan Model dan Nilai Tambah
Efisiensi Proyek:
Aplikasi Lanjutan:
Kritik Konstruktif:
Implikasi Industri: Mengubah Cara Kita Melihat Tanah
Penelitian ini menunjukkan bahwa teknologi seperti MATLAB:
Bangladesh, dan juga negara lain seperti Indonesia, sangat diuntungkan jika pendekatan ini digunakan di:
Kesimpulan: Teknologi untuk Konstruksi yang Lebih Aman
Model prediktif berbasis MATLAB terbukti:
Studi ini menginspirasi pentingnya integrasi data dan komputasi numerik dalam teknik sipil masa depan.
Sumber : Sarker, Debojit; Abedin, Md. Zoynul; Sarker, Jewel; Quaium, Zahirul (2015). Use of MATLAB in Identifying Borehole Log at a Particular Location of a Site. IABSE-JSCE Joint Conference on Advances in Bridge Engineering-III, Dhaka, Bangladesh.
Tantangan Global
Dipublikasikan oleh Izura Ramadhani Fauziyah pada 18 April 2025
Di tengah pesatnya pertumbuhan industri teknologi dan transformasi digital global, posisi Indonesia sebagai salah satu pemain dalam Global Software Development (GSD) semakin mendapat sorotan. Paper berjudul “Software Engineer Competencies in Global Software Development: An Indonesian Perspective” oleh Anita Hidayati, Eko K. Budiardjo, dan Betty Purwandari ini hadir sebagai jawaban atas kebutuhan akan pemetaan kompetensi software engineer Indonesia di ranah global. Penelitian ini tidak hanya menyajikan daftar kompetensi, tetapi juga menyusun pemeringkatan berdasarkan tingkat kepentingan menggunakan pendekatan Analytic Hierarchy Process (AHP). Hasilnya sangat relevan, baik untuk kebijakan pendidikan, pengembangan talenta digital, maupun strategi ekspor layanan IT Indonesia.
Latar Belakang: Peluang dan Tantangan Indonesia dalam GSD
Global Software Development telah menjadi norma baru dalam industri IT sejak awal 1990-an, memungkinkan kolaborasi lintas negara dalam pengembangan perangkat lunak. Negara-negara seperti India, China, dan Filipina telah lama menjadi pemain utama. Sementara itu, Indonesia, meski memiliki potensi besar, belum sepenuhnya diakui sebagai pemain utama GSD. Padahal, menurut Kearney Global Services Location Index 2019, Indonesia menempati peringkat ke-4 dari 50 negara tujuan outsourcing. Namun, rendahnya peringkat Indonesia dalam IMD World Digital Competitiveness Ranking 2020 mengindikasikan lemahnya kapabilitas SDM digital, khususnya dalam kompetensi software engineering.
Metodologi Penelitian: Kombinasi Literatur dan AHP
Penulis menggunakan pendekatan literatur dan Analytic Hierarchy Process (AHP) untuk mengidentifikasi dan mengurutkan kompetensi penting. Sebanyak 6.693 artikel disaring, dan melalui proses bertahap, hanya 27 yang relevan dijadikan referensi utama. Dari situ, dirumuskan 40 sub-kompetensi yang dikelompokkan ke dalam delapan kriteria utama—empat hard competencies dan empat soft competencies.
Kriteria tersebut antara lain:
Pengumpulan data dilakukan melalui kuesioner kepada lima pakar GSD dan software engineering dari berbagai institusi di Indonesia. Skor kepentingan diberikan melalui metode perbandingan berpasangan, lalu diproses menggunakan rumus AHP.
Hasil: Ranking Kompetensi dan Clustering
Dari hasil analisis AHP, diperoleh bobot global dari masing-masing sub-kompetensi. Tiga sub-kompetensi tertinggi berada pada kategori Programming Techniques, yaitu:
Sementara sub-kompetensi dengan bobot terendah terdapat pada kategori Collaboration and Knowledge Management, yaitu:
Menariknya, dari 40 sub-kompetensi yang disusun secara global, tak ada dominasi mutlak antara hard dan soft competencies. Meski hard competencies menempati posisi teratas, soft competencies seperti kemampuan memahami budaya kerja lintas negara, membangun kepercayaan dalam tim, dan kemampuan komunikasi global juga berada dalam 10 besar.
Berikut adalah lima kluster kompetensi yang dihasilkan:
Kluster 1 (Kompetensi Paling Esensial)
Kluster 2 (Sangat Penting)
Kluster 3 (Penting)
Kluster 4 (Cukup Penting)
Kluster 5 (Penting tapi Tidak Mendesak)
Studi Kasus: Analisis Kekuatan dan Kelemahan Engineer Indonesia
Dari pengamatan pakar dan hasil pemeringkatan, diketahui bahwa software engineer Indonesia cukup kuat dalam soft competencies, terutama pada aspek kolaborasi dan pemahaman budaya. Hal ini tak mengherankan mengingat karakter sosial dan budaya kerja kolektif di Indonesia.
Namun, tantangan besar terletak pada aspek teknis, terutama:
Rendahnya skor pada aspek-aspek ini menunjukkan perlunya peningkatan kurikulum pendidikan tinggi, pelatihan industri, dan pengalaman proyek nyata agar engineer Indonesia mampu bersaing dengan engineer dari India, Filipina, dan Vietnam.
Implikasi Kebijakan dan Strategi
Hasil penelitian ini sangat bermanfaat bagi berbagai pihak:
Perbandingan dengan Studi Lain
Jika dibandingkan dengan studi oleh Saldaña-Ramos et al. (2014) yang juga menyusun kompetensi untuk GSD, pendekatan paper ini lebih menyeluruh karena memadukan AHP dan kontekstualisasi lokal (Indonesia). Paper ini juga lebih aplikatif karena tidak hanya memberikan deskripsi, tapi juga prioritas pengembangan.
Kelebihan dan Kelemahan Penelitian
Kelebihan:
Kekurangan:
Penutup dan Rekomendasi
Artikel ini berhasil menjawab kebutuhan mendesak dalam pemetaan kompetensi software engineer Indonesia di kancah global. Dengan metodologi yang solid dan hasil yang aplikatif, studi ini menjadi referensi penting bagi strategi pengembangan SDM digital nasional.
Namun, untuk meningkatkan daya saing, langkah lanjutan seperti pelibatan responden lintas negara, penerapan hasil dalam bentuk pelatihan dan program pendidikan, serta pengukuran dampak setelah implementasi sangat disarankan.
Pengembangan ke depan dapat diarahkan pada pemetaan kompetensi dalam tim Agile (Scrum), yang kini menjadi standar dalam proyek GSD. Jika Indonesia ingin menegaskan diri sebagai “the next India” dalam outsourcing IT, maka investasi pada pengembangan hard competencies mutlak diperlukan.
Sumber asli artikel: Anita Hidayati, Eko K. Budiardjo, dan Betty Purwandari. "Software Engineer Competencies in Global Software Development: An Indonesian Perspective." Tehnički vjesnik 29, 2(2022), 683–691.
Keinsinyuran
Dipublikasikan oleh Izura Ramadhani Fauziyah pada 18 April 2025
Mengapa Etika Teknik Sangat Krusial?
Dalam dunia teknik yang penuh tekanan waktu, anggaran ketat, dan ekspektasi tinggi, insinyur sering kali dihadapkan pada pilihan sulit. Tugas mereka bukan sekadar menyusun gambar atau merancang jembatan, tapi juga menjamin keselamatan publik, kejujuran profesional, dan integritas moral. Steve Starrett, seorang profesor teknik sipil di Kansas State University, melalui artikel ini mengajak kita melihat lebih dekat berbagai dilema etika yang nyata dan menghantui karier teknik hingga saat ini.
Studi Kasus: Tragedi Skywalk Hyatt Regency, Kansas City (1981)
Kronologi Singkat
Pada 17 Juli 1981, sebuah pesta dansa teh digelar di atrium Hotel Hyatt Regency di Kansas City. Ratusan tamu berdiri di skywalk (jembatan kaca gantung) untuk melihat acara dari atas. Tiba-tiba, skywalk tersebut runtuh. Akibatnya:
Apa yang Salah?
Pelajaran Utama:
Prinsip Etika ASCE dan Relevansinya
Menurut Kode Etik ASCE (2006), kanon fundamental pertama adalah:
“Insinyur harus mengutamakan keselamatan, kesehatan, dan kesejahteraan publik serta berusaha mematuhi prinsip pembangunan berkelanjutan dalam tugas profesional mereka.”
Pedoman turunannya menyatakan bahwa insinyur hanya boleh menyetujui dokumen desain yang telah ditinjau secara menyeluruh dan dianggap aman. Dalam kasus Hyatt, standar ini dilanggar, menunjukkan bahwa kesalahan etis bisa berakibat sangat fatal, bukan hanya bagi korban tetapi juga karier profesional si insinyur.
6 Pelajaran Kunci dari Dr. Mark Abkowitz tentang Kecelakaan Teknik
Abkowitz, profesor di Vanderbilt University, meneliti penyebab umum kecelakaan besar. Ia menyimpulkan 12 pelajaran penting; berikut yang paling relevan secara etika:
Etika Sehari-hari: Praktik Kecil, Imbas Besar
Penulis membagikan pengalaman pribadi saat magang di lembaga negara. Seorang inspektur teknik secara rutin “meminta” peralatan dari kontraktor seperti gergaji listrik atau kabel ekstensi, seolah-olah itu barang bekas. Dalam kenyataannya, semua alat masih bagus, dan praktik ini menjadi semacam barter tak resmi demi “perlakuan baik” dari inspektur. Ini merupakan contoh nyata korupsi kecil (petty corruption), yang bertentangan dengan prinsip ASCE Canon 6:
“Insinyur harus menolak segala bentuk suap, penipuan, dan korupsi dalam aktivitas teknik atau konstruksi.”
Starrett mengaku saat itu belum punya keberanian melapor, karena masih magang. Namun ia menekankan bahwa lingkungan kantor mengetahui hal ini tapi membiarkannya—hal yang juga merupakan pelanggaran etika institusional.
Dilema Etika Nyata di Dunia Teknik
Starrett, sebagai profesor dan saksi ahli di pengadilan, telah mendengar ratusan kisah etika dari kolega insinyur. Berikut beberapa dilema yang sering muncul:
Semua contoh ini menunjukkan bahwa dilema etika bukan hal langka. Yang membedakan insinyur hebat dan gagal adalah bagaimana mereka merespons tekanan tersebut.
Refleksi Mahasiswa dan Implikasi Pendidikan
Dalam salah satu kelas etika tekniknya, seorang mahasiswa pascasarjana berkata,
“Saya tidak pernah membayangkan bahwa saya bisa menghadapi dilema etika dalam karier teknik saya. Kelas ini benar-benar membuka mata.”
Hal ini membuktikan bahwa pendidikan teknik di banyak kampus masih terlalu teknis dan minim pendidikan etika. Padahal, keputusan teknis selalu berdampingan dengan pertimbangan moral.
Apa yang Bisa Kita Pelajari?
Untuk Insinyur Muda:
Untuk Kampus Teknik:
Untuk Industri:
Penutup: Teknik adalah Profesi, Bukan Sekadar Pekerjaan
Artikel ini menyampaikan pesan yang sangat kuat: insinyur tidak hanya memegang tanggung jawab teknis, tetapi juga moral. Seiring meningkatnya tekanan proyek dan ekspektasi bisnis, semakin banyak insinyur yang dihadapkan pada pilihan antara efisiensi dan integritas.
Etika bukan aksesoris dalam dunia teknik, tapi fondasi dari semua keputusan yang menyangkut nyawa dan keselamatan publik. Seorang insinyur sejati adalah mereka yang berani berkata “tidak” ketika sebuah keputusan membahayakan banyak orang, tak peduli seberapa kecil risikonya atau besar tekanan yang diterima.
Sumber artikel asli :
Starrett, S. (2013). Engineers Face Ethical Dilemmas. Leadership and Management in Engineering, 13(1), 49–50. American Society of Civil Engineers.
Keinsinyuran
Dipublikasikan oleh Izura Ramadhani Fauziyah pada 18 April 2025
Latar Belakang: Mengapa Kompetensi Insinyur Sipil Perlu Dikaji?
Industri konstruksi memegang peran vital dalam pembangunan infrastruktur, namun keberhasilan proyek tidak hanya ditentukan oleh material dan teknologi, melainkan oleh sumber daya manusianya. Dalam konteks ini, insinyur sipil sebagai aktor utama dituntut memiliki tiga pilar kompetensi: pengetahuan (knowledge), keterampilan (skills), dan sikap (attitude).
Penelitian oleh H. Setiawan dan F. Raharjo dari Universitas Atma Jaya Yogyakarta ini mencoba mengukur ketiga aspek tersebut dalam konteks Indonesia, dengan referensi profil insinyur sipil tahun 2025 yang ditetapkan oleh American Society of Civil Engineers (ASCE). Studi ini penting karena bisa menjadi dasar perbaikan kurikulum teknik sipil dan pengembangan SDM di sektor konstruksi nasional.
Metodologi Penelitian: Survei Kompetensi Berdasarkan 21 Atribut ASCE
Penelitian ini melibatkan 100 praktisi teknik sipil dari berbagai latar belakang (kontraktor, konsultan, ASN, dan wirausahawan di bidang konstruksi). Mereka diminta menilai 21 atribut kompetensi berdasarkan dua hal:
Analisis dilakukan menggunakan:
Hasil Utama: Soft Skills Mendominasi, Pengetahuan Akademik Mulai Tergeser
1. Komunikasi: Kompetensi Nomor Satu
Dari seluruh atribut, kemampuan komunikasi menempati peringkat tertinggi baik dalam aspek kepentingan (mean: 3,50) maupun performa (mean: 3,78). Ini menunjukkan bahwa industri sangat menghargai kemampuan insinyur dalam menyampaikan ide dan berkolaborasi lintas disiplin.
2. Pengetahuan Justru di Posisi Terendah
Kategori knowledge memiliki rata-rata terendah dibanding skill dan attitude. Pengetahuan teknis dasar seperti matematika, fisika, desain struktur, bahkan sustainability hanya menempati posisi ke-16 dalam kepentingan dan ke-21 dalam performa.
3. Attitude dan Skill Dianggap Lebih Penting
Kategori sikap (attitudes) seperti kejujuran, integritas, rasa ingin tahu, dan komitmen terhadap etika mendapatkan skor tinggi baik dalam persepsi maupun praktik. Begitu juga dengan keterampilan seperti manajemen proyek, adaptasi teknologi baru, dan kerja sama tim.
Studi Kasus: Sustainability Masih Dianggap “Tambahan”
Salah satu temuan yang mencolok adalah rendahnya perhatian terhadap kompetensi keberlanjutan (sustainability). Atribut ini hanya menempati peringkat ke-16 dalam hal kepentingan dan ke-18 dalam hal performa. Padahal, isu keberlanjutan menjadi sangat penting dalam konstruksi global, mengingat kontribusi sektor ini terhadap emisi karbon dan limbah bangunan.
Hal ini menunjukkan bahwa banyak insinyur sipil di Indonesia belum menjadikan prinsip pembangunan berkelanjutan sebagai kompetensi inti, dan ini bisa menjadi tantangan besar dalam era pembangunan hijau.
Analisis Korelasi dan Matriks IPA: Semua Kompetensi Dianggap Penting dan Terlaksana Baik
Spearman Rank Correlation menunjukkan koefisien korelasi sebesar 0,892, mengindikasikan hubungan yang sangat kuat dan positif antara kepentingan dan performa. Artinya, atribut yang dianggap penting juga cenderung dijalankan dengan baik oleh para insinyur.
Dalam analisis Importance–Performance Matrix (IPA), seluruh atribut berada di kuadran kedua (tinggi kepentingan, tinggi performa). Ini menunjukkan bahwa secara umum, para insinyur di Indonesia telah memenuhi ekspektasi dasar kompetensi yang dibutuhkan industri saat ini.
Implikasi Bagi Pendidikan Tinggi dan Dunia Industri
1. Kampus Teknik Harus Meninjau Ulang Kurikulum
Fakta bahwa kategori pengetahuan berada di posisi terbawah seharusnya menjadi bahan refleksi untuk program studi teknik sipil. Kampus tidak bisa hanya fokus pada mata kuliah teori, tetapi perlu mengintegrasikan:
2. Perusahaan Perlu Melanjutkan Pelatihan Soft Skills
Salah satu peluang besar bagi perusahaan adalah mengembangkan program pelatihan internal yang berfokus pada kepemimpinan, manajemen konflik, dan etika profesional, yang semuanya terbukti berperan besar dalam performa insinyur.
3. Pemerintah Perlu Memperkuat Regulasi Kompetensi Hijau
Mengingat pentingnya isu lingkungan, pemerintah perlu mendorong sertifikasi keberlanjutan sebagai syarat wajib dalam proyek infrastruktur, dan menyelaraskan pendidikan teknik dengan agenda pembangunan berkelanjutan.
Bandingkan dengan Studi Lain: Apakah Tren Global Sama?
Penelitian ini selaras dengan temuan Male et al. (2011) dan Ajayi (2021) yang menyatakan bahwa soft skills seperti komunikasi, kolaborasi, dan sikap kerja sangat berpengaruh terhadap kesuksesan profesional insinyur di berbagai negara. Namun, Indonesia tampak masih tertinggal dalam hal kesadaran akan sustainability jika dibandingkan dengan negara seperti Australia, Jepang, atau Inggris.
Kesimpulan: Kompetensi Insinyur Masa Depan Harus Lebih dari Sekadar Teknikal
Studi ini menyampaikan pesan kuat: menjadi insinyur sipil andal tidak cukup hanya bermodal ilmu teknik. Justru kompetensi non-teknis seperti komunikasi, integritas, manajemen, dan kolaborasi menjadi pembeda utama di lapangan.
Namun, ada satu catatan kritis yang tidak boleh diabaikan: rendahnya perhatian terhadap sustainability adalah alarm keras. Jika kita ingin berperan dalam pembangunan berkelanjutan global, maka pendidikan dan pelatihan teknik di Indonesia harus segera memasukkan prinsip hijau dan sosial sebagai bagian inti dari kompetensi profesional.
Sumber artikel asli:
Setiawan, H., & Raharjo, F. (2019). Knowledge, Skills and Attitudes of Civil Engineers in Indonesia. IOP Conference Series: Materials Science and Engineering, 615, 012030. doi:10.1088/1757-899X/615/1/012030.
Industri Kontruksi
Dipublikasikan oleh Izura Ramadhani Fauziyah pada 18 April 2025
Mengapa Kurikulum Teknik Bangunan Perlu Diuji Ulang?
Industri konstruksi Indonesia tengah melesat, menjadi penyumbang besar terhadap pertumbuhan ekonomi nasional. Namun, pertanyaan besarnya: apakah lulusan teknik bangunan dari perguruan tinggi sudah siap kerja? Data menunjukkan bahwa 51% lulusan dari Program Studi Pendidikan Teknik Bangunan Universitas Negeri Jakarta (UNJ) tahun 2024 masih belum terserap di dunia kerja. Ini jadi sinyal kuat adanya “gap” antara kompetensi lulusan dan kebutuhan industri.
Artikel oleh Ansheila Rusyda Subiyantari dkk. ini mengangkat isu penting: bagaimana relevansi kurikulum pendidikan teknik bangunan terhadap Standar Kompetensi Kerja Nasional Indonesia (SKKNI) khususnya dalam manajemen konstruksi dan bangunan.
Konteks Penelitian: Industri Konstruksi dan SKKNI
SKKNI adalah standar nasional yang mendefinisikan kompetensi yang harus dimiliki tenaga kerja di berbagai sektor, termasuk konstruksi. KKNI (Kerangka Kualifikasi Nasional Indonesia) kemudian membagi jenjang kualifikasi ke dalam 9 level. Level 4–6 biasanya diperuntukkan bagi teknisi dan analis, termasuk lulusan sarjana terapan atau sarjana teknik.
Penelitian ini memetakan keterkaitan antara unit kompetensi dalam SKKNI dan capaian pembelajaran (CPL) dalam kurikulum Teknik Bangunan UNJ. Tujuannya? Mengidentifikasi area yang sudah relevan, dan yang masih perlu dibenahi.
Metodologi: Analisis Dokumen dan FGD
Penelitian menggunakan pendekatan deskriptif-kuantitatif dengan metode analisis dokumen terhadap Rencana Pembelajaran Semester (RPS) dari 26 posisi pekerjaan yang diambil dari SKKNI 2024. Data ini dipadukan dengan Focus Group Discussion (FGD) bersama dosen Teknik Bangunan untuk mengonfirmasi hasil temuan dan merumuskan rekomendasi.
Hasil Utama: Seberapa Relevan Kurikulum Kita?
Mapping Posisi Kerja
Dari 71 posisi pekerjaan pada klasifikasi bangunan dalam SKKNI, hanya 14 yang relevan untuk level teknisi/analis. Tapi hanya 10 posisi yang memiliki dokumen SKKNI lengkap. Sementara pada sub-klasifikasi manajemen pelaksanaan konstruksi, dari 39 posisi kerja, 16 posisi relevan untuk teknisi/analis, semuanya memiliki dokumen SKKNI.
Contoh posisi kerja:
Skor Relevansi
Tiap posisi kerja dibandingkan dengan konten RPS untuk melihat seberapa besar kesesuaiannya. Berikut beberapa hasil penting:
Sangat Relevan (VR):
Relevan (R):
Cukup Relevan (QR):
Tidak Relevan (I):
Studi Kasus: Kekosongan Kompetensi pada Posisi Strategis
Posisi seperti Field Manager (GD01) dan RISHA Building Planner (GD10) memiliki skor relevansi di bawah 70%. Ini artinya, meskipun dua posisi ini penting, lulusan Teknik Bangunan UNJ belum dibekali cukup kompetensi terkait metode pelaksanaan konstruksi dan teknologi beton pracetak seperti RISHA.
Begitu pula posisi HSE Supervisor dan Quality Engineer yang memerlukan kompetensi tinggi di aspek keselamatan kerja dan pengendalian mutu. Namun, sebagian besar konten ini belum ada dalam kurikulum yang berjalan.
GAP Kompetensi: Apa yang Masih Kurang?
Penelitian menemukan kekosongan dalam kurikulum yang cukup signifikan, antara lain:
Kurikulum belum mencakup:
Solusi: Apa yang Harus Dilakukan?
Peneliti merekomendasikan beberapa pendekatan untuk menjembatani kesenjangan:
Penguatan Mata Kuliah Eksisting:
Penambahan Mata Kuliah Baru:
Materi baru ini akan mengakomodasi tren industri terkini seperti BIM, Lean Construction, dan Value Engineering, sekaligus menjawab kebutuhan posisi kerja yang membutuhkan keterampilan praktis tinggi.
Dampak pada Dunia Nyata: Siapa Diuntungkan?
Opini Penulis: Kebutuhan Mendesak untuk “Link and Match” Nyata
Artikel ini membuka mata bahwa transformasi kurikulum bukan lagi pilihan, tapi keharusan. Dunia konstruksi saat ini membutuhkan tenaga profesional yang tidak hanya paham teori, tetapi juga punya keterampilan praktis dan kesadaran akan standar kerja global.
Relevansi dengan SKKNI adalah langkah konkret menuju “link and match” antara kampus dan industri. Jika perubahan ini tidak segera dilakukan, risiko ketidaksesuaian lulusan dengan pasar kerja akan semakin besar, memperpanjang daftar pengangguran terdidik.
Kesimpulan: Saatnya Bergerak dari Teori ke Aksi
Rekomendasi utama dari studi ini sangat jelas: revitalisasi kurikulum Teknik Bangunan di Indonesia, khususnya di UNJ, harus segera dilakukan. Penyesuaian dengan SKKNI bukan hanya soal administratif, tetapi menyangkut masa depan lulusan dan daya saing bangsa.
Penambahan mata kuliah seperti Sustainable Construction dan Construction Methods bukan sekadar tren, melainkan tuntutan realitas lapangan. Dalam era Revolusi Industri 4.0 dan pembangunan berkelanjutan, hanya lulusan yang adaptif, terampil, dan profesional yang akan mampu bertahan dan bersinar.
Sumber asli artikel:
Subiyantari, Ansheila Rusyda; Gazali, Abdhy; Handoyo, Santoso Sri; & Arifah, Shilmi. (2024). Relevance of Building Engineering Education Curriculum towards SKKNI Building and Construction Management Competencies. Jurnal Pensil: Pendidikan Teknik Sipil, Volume 13, Nomor 3, hlm. 299–313.
Keinsinyuran
Dipublikasikan oleh Izura Ramadhani Fauziyah pada 18 April 2025
Mengapa Program Profesi Insinyur (PSPPI) Penting di Era Industri Modern?
Indonesia tengah menghadapi tantangan besar dalam pembangunan infrastruktur dan peningkatan daya saing industri. Namun, realitas menunjukkan bahwa banyak sarjana teknik belum tersertifikasi sebagai insinyur profesional. Program Profesi Insinyur (PSPPI) menjadi jawaban konkret terhadap amanat Undang-Undang No. 11 Tahun 2014 tentang Keinsinyuran yang mendorong terciptanya tenaga profesional yang tak hanya cakap secara teknis, tapi juga diakui secara hukum dan etis.
Universitas Muslim Indonesia (UMI) melalui Fakultas Teknologi Industri menjadi salah satu dari 40 perguruan tinggi yang ditunjuk pemerintah untuk menyelenggarakan PSPPI. Presentasi ini merekam perjalanan, strategi, dan capaian dari pelaksanaan PSPPI UMI—khususnya dalam konteks pengembangan SDM teknik di Kabupaten Konawe Utara, Sulawesi Tenggara.
Sekilas Tentang PSPPI UMI
UMI resmi menerima mandat penyelenggaraan PSPPI pada Januari 2017 dari Kementerian Ristekdikti. Dengan melibatkan 25 dosen tetap bergelar Insinyur Profesional Madya (IPM), satu IPU (Utama), dan dua penerima ASEAN Eng, program ini menegaskan komitmen terhadap mutu dan profesionalisme.
Tidak kalah menarik, Bupati Konawe Utara, Dr. Ir. Ruksamin, M.Si, tercatat sebagai wisudawan pertama PSPPI UMI dengan nomor stambuk 001. Ini menjadi simbol kuat integrasi antara pemerintah daerah, industri, dan akademisi dalam memajukan sektor teknik lokal.
Kurikulum Berbasis Praktik: Pendidikan untuk Profesional yang Sudah Bekerja
Berbeda dengan pendidikan akademik atau vokasi, PSPPI dirancang sebagai pendidikan untuk orang yang sudah bekerja. Tidak boleh ada lulusan PSPPI yang menganggur—itulah filosofi utamanya. Sistem pembelajarannya lebih menekankan pada praktik keinsinyuran di lapangan:
Materi kuliah terdiri dari kode etik, profesionalisme, K3L (keselamatan, kesehatan kerja dan lingkungan), praktik keinsinyuran, studi kasus, hingga pemaparan di seminar dan workshop.
Siapa yang Bisa Mengikuti PSPPI?
Syarat Umum:
Jalur Reguler vs RPL:
Capaian Pembelajaran dan Kompetensi Lulusan
Lulusan PSPPI diharapkan memenuhi level 7 KKNI, yakni:
Ini mencerminkan visi bahwa lulusan PSPPI bukan sekadar teknisi, melainkan pengambil keputusan strategis dalam dunia teknik yang dinamis.
Tantangan Implementasi dan Solusi di UMI
UMI melakukan berbagai upaya sistematis untuk menyukseskan program ini:
Pengelolaan Lembaga:
Pendanaan:
Evaluasi Mutu:
Studi Kasus Konawe Utara: Sinergi Pendidikan dan Pemerintah Daerah
Menjadikan Bupati sebagai wisudawan pertama bukan sekadar simbolis. Ini adalah wujud nyata bagaimana pemerintah daerah turut serta dalam memperkuat profesionalisme teknis di wilayahnya. Kabupaten Konawe Utara dikenal sebagai daerah pertambangan dan pertanian yang memerlukan dukungan SDM teknik unggul. Dengan hadirnya PSPPI di daerah ini, terjadi percepatan dalam pencetakan insinyur yang tidak hanya mumpuni secara teknis, tapi juga berorientasi pada pembangunan berkelanjutan.
Catatan Kritis: Apa yang Perlu Ditingkatkan?
Meskipun desain program sangat progresif, terdapat beberapa tantangan yang layak diperhatikan:
Sebagai langkah ke depan, perlu dikembangkan sistem pelacakan alumni, penguatan jejaring dengan industri pengguna lulusan, dan integrasi sistem digital untuk pengelolaan portofolio peserta secara daring.
Kesimpulan: PSPPI sebagai Pilar Transformasi SDM Teknik Indonesia
Program Profesi Insinyur di UMI menjadi representasi bagaimana pendidikan tinggi bisa bertransformasi menjadi lebih adaptif, responsif, dan relevan terhadap kebutuhan industri. Melalui pendekatan berbasis praktik, evaluasi kompetensi, dan kolaborasi multi-pihak, program ini mencetak insinyur yang tidak hanya ahli, tapi juga siap terjun langsung dalam tantangan pembangunan nasional.
Lebih dari itu, program ini mendorong semangat keinsinyuran sebagai panggilan etis—dimana ilmu dan teknologi diabdikan demi kesejahteraan manusia dan keberlanjutan lingkungan. PSPPI adalah cerminan visi insinyur masa depan Indonesia: profesional, bermoral, dan berdaya saing global.
Sumber artikel:
Zakir Sabara & Taufik Nur. “Presentasi dan Sosialisasi Program Profesi Insinyur Fakultas Teknologi Industri UMI di Kabupaten Konawe Utara Sulawesi Tenggara”. Presentasi, 2017.