Yogyakarta Jadi Ibukota Darurat: Kisah Nyata Republik Bertahan di Tengah Krisis

Dipublikasikan oleh Afridha Nu’ma Khoiriyah

28 April 2025, 10.36

pixabay

Pendahuluan

Perpindahan Ibukota Republik Indonesia dari Jakarta ke Yogyakarta antara tahun 1946 hingga 1949 menjadi peristiwa strategis yang sangat menentukan perjalanan sejarah bangsa. Dalam skripsinya, Joko Winarto (2009) mengangkat bagaimana perubahan tersebut tidak hanya berdampak pada aspek politik, tetapi juga sosial, ekonomi, dan budaya. Artikel ini mengulas temuan utama paper tersebut, menambahkan analisis tambahan, mengaitkan dengan tren sejarah modern, serta menawarkan interpretasi kritis untuk memperkaya pemahaman.

Latar Belakang Sejarah: Urgensi Perpindahan Ibukota

Setelah proklamasi 17 Agustus 1945, situasi keamanan di Jakarta memburuk drastis akibat agresi tentara sekutu dan Belanda (NICA). Serangan teror yang meningkat terhadap pemimpin Republik membuat Jakarta tidak lagi aman untuk menjalankan pemerintahan. Karena itu, pada 4 Januari 1946, Ibukota dipindahkan ke Yogyakarta — suatu keputusan yang terbukti krusial dalam menjaga kelangsungan Republik.

Studi Kasus:

  • Pada Desember 1945, terjadi upaya pembunuhan terhadap Perdana Menteri Sutan Sjahrir.

  • Insiden di Senen dan Kwitang Jakarta memperlihatkan ancaman nyata terhadap keamanan elite Republik.

Mengapa Yogyakarta?

Menurut Joko Winarto, ada beberapa alasan strategis:

  • Dukungan Sultan HB IX: Komitmen politik Sultan Hamengkubuwono IX dan Paku Alam VIII untuk mendukung Republik menjadi faktor utama.

  • Letak Geografis: Yogyakarta berada di tengah Pulau Jawa, memudahkan akses ke berbagai wilayah dan relatif terlindung dari ancaman militer asing.

  • Kondisi Sosial-Politik: Tidak adanya revolusi sosial seperti di daerah lain menjadikan Yogyakarta stabil.

  • Ketersediaan Infrastruktur: Yogyakarta memiliki sistem birokrasi yang sudah terorganisir, serta markas besar militer di bawah Jenderal Sudirman.

Data Tambahan:

  • Penduduk Yogyakarta melonjak dari 170.000 jiwa menjadi 600.000 jiwa pada masa ini, akibat eksodus warga dan pemerintahan.

Sistem Pemerintahan di Yogyakarta

Selama periode 1946–1949, sistem pemerintahan di Yogyakarta menggabungkan unsur tradisional kerajaan dan struktur republik modern. Sultan HB IX dan Paku Alam VIII bertindak sebagai kepala daerah dengan dukungan KNID (Komite Nasional Indonesia Daerah).

Unsur Kritis:

  • Pemerintahan ini mencerminkan bentuk negara hybrid, yang menggabungkan monarki dan republik, sebuah model yang jarang ditemui dalam sejarah negara modern.

Dampak Sosial dan Ekonomi

Dampak Sosial:

  • Lonjakan penduduk memicu krisis perumahan: satu rumah bahkan dihuni lebih dari 10 keluarga.

  • Munculnya “kampung-kampung darurat” dan kelangkaan pangan.

Dampak Ekonomi:

  • Blokade Ekonomi Belanda menyebabkan inflasi parah.

  • Pemerintah menerbitkan ORI (Oeang Republik Indonesia) untuk menggantikan uang Jepang.

  • Didirikannya Bank Negara Indonesia pada 1 November 1946 sebagai upaya stabilisasi keuangan.

Studi Banding:
Jika dibandingkan dengan Phnom Penh saat pengungsian masa Perang Saudara Kamboja (1975), kondisi Yogyakarta menunjukkan adaptasi lebih cepat terhadap tekanan eksternal.

Serangan Belanda dan Strategi Bertahan

Belanda meluncurkan Agresi Militer II pada Desember 1948, menyerang Yogyakarta sebagai Ibukota RI. Namun, melalui strategi gerilya yang dipimpin Jenderal Sudirman, serta diplomasi intensif (misalnya, Perjanjian Roem-Roijen), Indonesia mampu menjaga eksistensinya di kancah internasional.

Angka Penting:

  • Durasi Agresi II: 19 Desember 1948 – 5 Januari 1949.

  • Jumlah korban sipil di Yogyakarta akibat agresi ini mencapai ribuan.

Analisis Tambahan: Relevansi Sejarah dalam Konteks Modern

Kondisi Yogyakarta 1946–1949 memperlihatkan pelajaran penting:

  • Manajemen Krisis Pemerintahan: Bagaimana pemerintahan bisa berpindah tanpa kehilangan legitimasi.

  • Kekuatan Simbolik Kota: Seperti Yogyakarta yang menjadi simbol perjuangan nasional, di era sekarang, kota-kota cadangan seperti Bandung atau Palangkaraya juga sering disebut sebagai alternatif pusat pemerintahan darurat.

Kritik dan Evaluasi

Walaupun skripsi ini cukup sistematis, beberapa kritik yang dapat diajukan:

  • Kurang membahas perspektif masyarakat akar rumput: Fokus lebih banyak pada elite politik.

  • Minim analisis perbandingan dengan daerah lain: Seperti Aceh atau Surabaya yang mengalami revolusi sosial lebih keras.

  • Keterbatasan Sumber Primer: Reliansi besar pada literatur sekunder mengurangi kekayaan sudut pandang.

Opini Tambahan:
Seandainya skripsi ini lebih mengangkat kisah para pengungsi atau tokoh lokal non-elit di Yogyakarta, narasinya akan terasa lebih hidup dan berimbang.

Kesimpulan

Perpindahan Ibukota ke Yogyakarta menjadi bukti ketahanan Republik muda dalam menghadapi situasi krisis. Dukungan sosiopolitik lokal, kombinasi kekuatan diplomasi dan militer, serta inovasi ekonomi seperti penerbitan ORI menjadi faktor vital dalam mempertahankan eksistensi Republik Indonesia.

Relevansi Saat Ini:

  • Pemerintah Indonesia saat ini tengah mempersiapkan perpindahan Ibukota ke Nusantara (IKN) di Kalimantan. Belajar dari Yogyakarta 1946, kunci suksesnya adalah mendapatkan dukungan lokal, menjaga keamanan nasional, dan membangun infrastruktur pemerintahan yang fleksibel.

Sumber

Winarto, Joko. (2009). Kondisi Yogyakarta Saat Perpindahan Ibukota Republik Indonesia dari Jakarta ke Yogyakarta Tahun 1946–1949. Universitas Negeri Semarang.