Pendahuluan
Di tengah akselerasi pembangunan infrastruktur nasional, salah satu tantangan mendasar yang dihadapi Indonesia adalah keterbatasan tenaga teknisi konstruksi yang layak dan tersertifikasi. Artikel ilmiah oleh Muhammad Agung Wibowo dan Manlian R. A. Simanjuntak (2021) membahas secara mendalam kondisi ini melalui kajian model kelaikan tenaga teknisi konstruksi di DKI Jakarta, Jawa Barat, dan D.I. Yogyakarta. Resensi ini bertujuan mengulas isi penelitian tersebut secara kritis, dengan penambahan analisis praktis dan keterkaitannya dengan tantangan dunia konstruksi saat ini.
Latar Belakang dan Signifikansi Penelitian
Tantangan Sertifikasi Tenaga Konstruksi
Berdasarkan data Kementerian PUPR tahun 2020, dari 5,2 juta tenaga kerja konstruksi, hanya 107.562 orang atau sekitar 6,46% yang memiliki sertifikat, terdiri dari 29.417 pemegang SKA dan 78.145 pemegang SKT. Artinya, lebih dari 93% pekerja belum tersertifikasi—angka yang mengkhawatirkan di tengah tuntutan mutu dan keselamatan kerja.
Peran Strategis Teknisi dalam Proyek Infrastruktur
Tenaga teknisi, berada di antara level operator dan tenaga ahli, memegang peran vital dalam implementasi teknis dan pengawasan mutu di lapangan. Tanpa kompetensi dan sertifikasi yang memadai, kualitas pembangunan bisa terancam.
Metode Penelitian
Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif-deskriptif berbasis Soft Systems Methodology (SSM). Tujuh tahap SSM diterapkan, termasuk analisis rich picture dan model konseptual berbasis CATWOE (Customers, Actors, Transformation, Worldview, Owners, Environmental constraints). Data dikumpulkan dari literatur, database konstruksi nasional, dan studi sebelumnya.
Temuan Utama dan Analisis Wilayah
Komposisi Tenaga Teknisi Berdasarkan Kualifikasi
Berikut adalah distribusi tenaga teknisi pada tiga wilayah yang dikaji:
-
DKI Jakarta: 3.972 (Kualifikasi I), 985 (II), 29.565 (III)
-
Jawa Barat: 14.206 (I), 6.933 (II), 17.152 (III)
-
D.I. Yogyakarta: 1.918 (I), 1.560 (II), 3.111 (III)
Tren penting: Jakarta mengalami penurunan teknisi hingga 33% dari 2019 ke 2020, sedangkan Jawa Barat tumbuh 29%, Yogyakarta naik 5%. Perbedaan ini menunjukkan perlunya strategi daerah yang kontekstual.
Ketidakseimbangan Supply dan Demand
Laporan McKinsey Global Institute (2016) menyebutkan bahwa pada 2030, Indonesia membutuhkan 113 juta tenaga teknisi, namun per 2020 baru tersedia 57 juta. Ketimpangan ini makin terasa dalam sektor konstruksi, yang sangat bergantung pada SDM teknis.
Kajian Model Kelaikan Tenaga Teknisi
Model kelaikan teknisi konstruksi dalam studi ini dibangun berdasarkan indikator Project Resource Management (PRM) dari PMBOK dan ISO 9001:2015. Indikator tersebut mencakup:
-
Perencanaan sumber daya
-
Akuisisi tim proyek
-
Pengembangan tim
-
Pengelolaan tim
Penerapan CATWOE mengungkap bahwa transformasi yang dibutuhkan adalah penerapan sistem manajemen SDM konstruksi berbasis kompetensi dan sertifikasi, dengan LPJK dan pemerintah sebagai aktor utama.
Nilai Tambah dan Implikasi Praktis
Perbandingan dengan Studi Sebelumnya
Studi ini memperkuat hasil Widiasanti (2013) dan Haryadi (2010), yang menyoroti bahwa portfolio kompetensi dan dukungan asosiasi profesi seperti LPJK menjadi kunci peningkatan kelaikan tenaga teknisi. Namun, penelitian ini menambahkan kerangka CATWOE sebagai pendekatan sistemik yang memberi kejelasan peran dan strategi aksi.
Relevansi Industri Saat Ini
-
MEAs dan persaingan tenaga asing: Ketersediaan teknisi kompeten domestik menjadi benteng penting dari masuknya tenaga asing non-kompeten.
-
Digitalisasi konstruksi: Perlu teknisi yang adaptif terhadap BIM, alat ukur digital, dan software perencanaan.
Kritik terhadap Penelitian
Kelebihan:
-
Pendekatan SSM dan CATWOE memberikan kerangka sistemik yang jarang digunakan di riset tenaga kerja konstruksi.
-
Data didasarkan pada sumber kredibel nasional dan disusun terstruktur.
Kelemahan:
-
Sampel wilayah terbatas pada tiga provinsi—belum mewakili Indonesia Timur.
-
Tidak ada data primer melalui wawancara atau survei lapangan.
Rekomendasi Strategis
-
Peningkatan pelatihan dan sertifikasi teknisi oleh LPJK dengan kolaborasi kampus vokasi.
-
Pendekatan berbasis daerah: Daerah harus menyusun strategi berdasarkan proyeksi kebutuhan SDM lokal.
-
Digitalisasi sistem manajemen SDM konstruksi, termasuk pelacakan portofolio teknisi.
-
Inklusi indikator PRM dan ISO dalam regulasi nasional, agar kelaikan tidak hanya administratif, tapi operasional.
Kesimpulan
Penelitian ini menyajikan peta permasalahan sekaligus model konseptual untuk mengatasi krisis tenaga teknisi konstruksi di Indonesia. Dengan pendekatan sistemik berbasis SSM dan analisis CATWOE, studi ini berhasil menghubungkan antara regulasi, kebutuhan pasar, dan kesiapan SDM. Penerapan model ini dapat menjadi pijakan penting bagi pembuat kebijakan dan penyedia jasa konstruksi untuk mewujudkan pembangunan berkelanjutan.
Sumber Referensi
-
Wibowo, M. A., & Simanjuntak, M. R. A. (2021). Kajian Model Kelaikan Tenaga Teknisi Konstruksi di dalam Proses Pembangunan Infrastruktur di Beberapa Wilayah Indonesia. Seminar Nasional Ketekniksipilan, Infrastruktur dan Industri Jasa Konstruksi (KIIJK).