Transformasi Lansekap Kota: Evaluasi Kinerja dan Pengelolaan Conservancy Lanes di Shivamogga

Dipublikasikan oleh Timothy Rumoko

01 Desember 2025, 12.01

Sumber: pexels.com

Latar Belakang Teoretis

Studi kasus C22 menempatkan konservansi lane—jalur servis sempit di antara blok bangunan—sebagai objek evaluasi urban yang penting dalam konteks pembangunan kota cerdas. Awalnya, lorong-lorong ini berfungsi sebagai zona pembuangan sampah, saluran drainase terbuka, area yang rawan kriminalitas, dan ruang yang sepenuhnya terpinggirkan. Dalam dokumen proyek, konservansi lane di Shivamogga diketahui berjumlah 176 jalur dengan panjang total sekitar 70 km, sebagian besar berada di kawasan permukiman lama kota. Pengabaian bertahun-tahun menjadikannya ruang yang secara sosial tidak aman, secara ekologis bermasalah, dan secara ekonomi tidak produktif

Kerangka teoretis penelitian ini memadukan konsep manajemen ruang kota, teori imageability Kevin Lynch, dan pendekatan evaluatif terhadap ruang publik. Lynch berpendapat bahwa ruang kota memiliki kualitas citra tertentu yang memengaruhi cara individu memahami lingkungannya. Kualitas tersebut—keterbacaan, identitas, dan daya ingat—menjadi indikator penting dalam menilai kembali konservansi lane yang telah direvitalisasi menjadi ruang komunal, vending zone, dan area olahraga terbuka

Selain itu, pengembangan lorong-lorong ini terkait erat dengan visi Area-Based Development (ABD) Smart City Mission, yang menekankan transformasi ruang-ruang residual menjadi aset perkotaan yang ekonomis, inklusif, dan ramah lingkungan. Pendekatan ABD dalam kasus Shivamogga menegaskan bahwa revitalisasi konservansi lane bukan hanya persoalan perbaikan fisik, melainkan restrukturisasi fungsi sosial ruang — sebuah interpretasi yang konsisten dengan teori urbanisme partisipatif dan manajemen ruang publik modern.

Metodologi dan Kebaruan

Metodologi yang digunakan bersifat campuran (mixed-method), menggabungkan dokumentasi kondisi eksisting, survei infrastruktur, wawancara pemangku kepentingan, dan kuesioner pengguna. Struktur penelitian dipecah menjadi lima langkah utama:

  1. Inventarisasi seluruh conservancy lane, mengklasifikasikannya berdasarkan kondisi fisik, fungsi, transportasi, kualitas ruang, dan potensi ekonomi.

  2. Analisis lingkungan sekitar, termasuk pola aktivitas, karakter bangunan, transit, dan pemetaan pergerakan pengguna.

  3. Wawancara dan survei, untuk menangkap persepsi keamanan, fungsi, kemudahan akses, dan penggunaan aktual.

  4. Penilaian kinerja ruang, melalui indikator seperti imageability, keamanan, inklusivitas, pemeliharaan, dan aksesibilitas.

Kebaruan penelitian ini tampak pada struktur evaluasinya yang menggabungkan indikator public space quality assessment, analisis perilaku pengguna, dan interpretasi manajemen perkotaan. Pendekatan ini melengkapi strategi Smart City yang biasanya terlalu teknokratis, dengan memberi ruang bagi pemahaman mikro tentang dinamika sosial dan ekonomi yang berlangsung di lorong-lorong kota.

Aspek menarik lain adalah cara tim mengidentifikasi tiga kategori konservansi lane berdasarkan fungsi dominan:

  • Open gym dan ruang bermain (di kawasan permukiman)

  • Vending zone / food street (di persimpangan dan area komersial)

  • Parking dan auto stand (di dekat koridor belanja)

Kategorisasi ini memungkinkan evaluasi yang lebih presisi terkait kebutuhan dan tantangan tiap tipe ruang.

Temuan Utama dan Kontekstualisasinya

1. Revitalisasi Ruang Residual Menjadi Ruang Publik Aktif

Lorong-lorong yang dulu digunakan sebagai tempat pembuangan sampah kini berubah menjadi ruang sosial dan rekreasi. Pada kawasan permukiman, pembentukan open gym dan ruang bermain menghadirkan fungsi komunal yang diperkuat oleh persepsi positif warga mengenai keamanan dan kebersihan. Banyak responden menyatakan bahwa lorong yang dulunya gelap dan bau kini dapat digunakan semua usia, mulai dari anak-anak hingga lansia

Transformasi ini memperkuat lanskap sosial permukiman, menumbuhkan interaksi, serta menciptakan “ruang ketiga” yang bermakna secara sosial.

2. Ekonomi Informal Menguat Lewat Food Street

Pada beberapa titik komersial, lorong dialihfungsikan menjadi food street yang menampung vendor lokal yang sebelumnya memenuhi bahu jalan. Relokasi ini menghasilkan dua dampak utama:

  • Deklarifikasi lalu lintas, sehingga persimpangan menjadi tertata

  • Peningkatan kinerja ekonomi vendor, meskipun pemasukan menjadi lebih stabil dan tidak lagi mengandalkan mobilitas lokasi

Pengamatan lapangan menunjukkan bahwa vendor melakukan personalisasi ruang secara kreatif — menambah tegel, pencahayaan, dan kamera CCTV — menciptakan proses placemaking yang memperkuat identitas lane.

3. Pengelolaan Parkir dan Tantangan Keamanan

Konservansi lane di kawasan komersial juga dikembangkan menjadi zona parkir. Instalasi boom barrier telah dilakukan tetapi belum berfungsi secara finansial. Keamanan masih menjadi isu besar: pencurian properti umum dan minimnya sistem pemantauan disebut sebagai masalah utama. Pengguna menilai bahwa desain parkir menghasilkan beberapa zona mati yang kemudian digunakan sebagai tempat pembuangan sampah

4. Tantangan Teknis dan Kelembagaan

Beberapa tantangan krusial dalam pelaksanaan proyek mencakup:

  • Relokasi jaringan listrik dan pipa air yang menuntut koordinasi lintas instansi

  • Kondisi kerja yang berbahaya, mengingat lorong sebelumnya terkontaminasi limbah

  • Risiko vandalism dan pencurian, terutama pada bangunan atau fasilitas baru seperti grill drainase

  • Ketergantungan pada pengelolaan komunitas, terutama di area permukiman

Hal-hal ini membawa konsekuensi serius terkait keberlanjutan fasilitas yang dibangun.

5. Dampak Terhadap Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (SDGs)

Proyek ini berdampak langsung atau tidak langsung pada 13 dari 17 SDG. Temuan yang paling signifikan:

  • SDG 3 (Kesehatan dan Kesejahteraan): ruang terbuka, sanitasi lebih baik, dan lingkungan bebas bau

  • SDG 6 (Air Bersih dan Sanitasi): penutupan drainase terbuka dan penyediaan air di food street

  • SDG 8 (Pekerjaan Layak dan Pertumbuhan Ekonomi): food street memberi penghasilan stabil

  • SDG 11 (Kota dan Komunitas Berkelanjutan): konservansi lane menjadi ruang publik komunal dan titik aktivitas ekonomi 

Kontribusi terhadap SDG ini memperkuat argumen bahwa konservansi lane tidak hanya sebagai fungsi servis, tetapi sebagai infrastruktur sosial-ekonomi yang vital.

Keterbatasan dan Refleksi Kritis

Penelitian mengakui sejumlah keterbatasan strategis:

  • Beberapa data kriminalitas atau kecelakaan tidak dapat diverifikasi karena kurangnya pelaporan formal.

  • Tidak semua konservansi lane disurvei karena ada yang masih konstruksi atau ditutup.

  • Respon survei kemungkinan bias berdasarkan usia, gender, atau kepentingan tertentu.

Dari perspektif akademik, dapat dikritik bahwa:

  • Evaluasi imageability masih bersifat deskriptif, belum didukung pengukuran spasial yang lebih presisi.

  • Pendekatan kuantitatif pada penilaian ekonomi (misal dampak pendapatan vendor) kurang dieksplorasi.

  • Relasi antara kebijakan Smart City dan kapasitas komunitas lokal untuk mengelola ruang belum dianalisis secara struktural.

Selain itu, keberlanjutan jangka panjang sangat bergantung pada kualitas pemeliharaan. Tanpa sistem manajemen terpadu, konservansi lane berpotensi kembali ke kondisi awal.

Implikasi Ilmiah di Masa Depan

Dari temuan, beberapa implikasi penting dapat ditarik:

  1. Konservansi lane sebagai laboratorium urban mikro: revitalisasinya menawarkan model replikasi untuk kota-kota India lain yang memiliki jaringan lorong tradisional.

  2. Manajemen ruang berbasis komunitas memperlihatkan potensi besar, khususnya pada kawasan permukiman.

  3. Relokasi aktivitas informal menuntut desain yang sensitif terhadap dinamika ekonomi kecil, bukan sekadar penataan ruang.

  4. Integrasi dengan koridor NMT dan fasilitas publik lain dapat memperluas dampak lorong sebagai infrastruktur mobilitas lokal.

  5. Konsep imageability dapat dioperasionalkan dalam desain mikro—melalui mural, pencahayaan, lansekap—untuk meningkatkan identitas ruang.

Refleksi Penutup

Penelitian ini menunjukkan bahwa konservansi lane, yang secara historis dipandang sebagai ruang sisa, dapat menjadi komponen vital dalam pembangunan kota berkelanjutan. Revitalisasi lorong-lorong ini tidak hanya memperbaiki estetika dan kebersihan, tetapi secara signifikan membentuk ulang ekosistem sosial, ekonomi, dan lingkungan.

Dalam konteks urbanisasi India yang cepat, pendekatan seperti ini memberikan pelajaran penting: transformasi kota tidak selalu membutuhkan pembangunan megaproyek. Reformasi ruang-ruang kecil—jika dilakukan dengan analisis yang presisi dan pendekatan sosial yang peka—dapat menghasilkan efek sistemik bagi kualitas hidup warga dan identitas kota.

Sumber

Studi Kasus C22: Conservancy Lanes Quality Evaluation: Prerequisites for Space Management, Shivamogga. (2023). Dalam SAAR: Smart Cities and Academia Towards Action and Research (Part C: Urban Infrastructure). National Institute of Urban Affairs (NIUA)