Mengapa IoT Penting untuk Masa Depan Konstruksi?
Revolusi industri 4.0 menuntut setiap sektor untuk beradaptasi secara digital, termasuk industri konstruksi yang selama ini dikenal sebagai salah satu sektor paling lambat dalam mengadopsi teknologi. Internet of Things (IoT) konsep di mana perangkat fisik terhubung dan berkomunikasi melalui internet tanpa campur tangan manusia secara langsung menjadi tulang punggung dari transformasi digital ini. Artikel karya Wimala dan Imanuela mencoba menjawab pertanyaan penting: “Sejauh mana penerapan IoT di industri konstruksi, khususnya di Indonesia?”
Tujuan dan Metodologi Penelitian
Penelitian ini bertujuan untuk mengevaluasi perkembangan dan kesenjangan penerapan IoT dalam industri konstruksi antara Indonesia dan beberapa negara maju lainnya. Dengan menggunakan metode bibliometrik dan perangkat lunak Publish or Perish 7, penulis menganalisis 46 karya ilmiah dari tahun 2010 hingga 2021 yang berkaitan dengan IoT di industri konstruksi. Lima ranah utama yang dikaji dalam penelitian ini adalah:
- Construction Safety,
- Machine Control,
- Site Monitoring,
- Fleet Management,
- Project Management.
Negara-negara yang dianalisis mencakup Cina, Jepang, Korea Selatan, Malaysia, Amerika Serikat, dan Inggris, sementara Indonesia dijadikan studi banding sebagai negara berkembang dengan adopsi teknologi yang relatif baru.
Hasil Penelitian: Di Mana Posisi Indonesia?
Fakta Penting:
- China mendominasi dengan 19 publikasi, mewakili 41% dari total karya ilmiah yang dikaji. Fokus utama mereka adalah construction safety.
- Indonesia baru mulai menerapkan IoT di sektor konstruksi sekitar tahun 2018 terpaut 16 tahun dibanding Jepang yang sudah memulainya sejak 2002.
- Rata-rata h-index penulis di Indonesia dalam topik ini hanya 5, jauh dibandingkan penulis luar negeri dengan rata-rata 139.
- Investasi R&D Indonesia hanya 0,1% dari PDB, sangat tertinggal dibanding Korea (4,81%), Jepang (3,56%), atau China (2,2%).
Lima Ranah IoT di Konstruksi: Siapa Unggul di Mana?
1. Construction Safety (Keselamatan Kerja)
China unggul dalam penerapan early warning system berbasis sensor untuk mendeteksi potensi bahaya seperti radiasi, getaran, dan listrik. Sistem ini memiliki tingkat keberhasilan deteksi hingga 98% dalam 7 hari pertama dan 92% dalam 60 hari. Inisiatif besar pemerintah seperti Construction Information Management Service Sharing (CIMSS) juga mendukung digitalisasi data proyek, mengurangi penggunaan kertas hingga 40% dan mempercepat pengiriman dokumen proyek sebesar 7,3%.
2. Fleet Management
Inggris menjadi pionir dengan memanfaatkan IoT untuk mengatur pengiriman material secara presisi menggunakan sensor dan sistem pembayaran otomatis. Efeknya bukan hanya meningkatkan efisiensi logistik, tetapi juga memangkas kebutuhan tenaga kerja di lapangan, yang berpotensi menghemat dana hingga 14,6 triliun USD secara global.
3. Site Monitoring
Malaysia masih menggunakan sistem manual berbasis kertas, namun tengah bertransisi ke sistem digital. Pemerintahnya telah mengeluarkan National IoT Roadmap 2015 untuk mempercepat adopsi teknologi monitoring proyek berbasis sensor dan augmented reality.
4. Project Management
Amerika Serikat, sebagai negara asal banyak inovasi digital, menerapkan BIM (Building Information Modeling) yang terintegrasi dengan IoT. Sejak 2010, beberapa negara bagian mewajibkan penggunaan BIM untuk proyek pemerintah. IoT diintegrasikan untuk pengambilan keputusan real-time, pelacakan aset, dan manajemen biaya proyek secara otomatis.
5. Machine Control
Korea Selatan menjadi pionir dalam otomatisasi mesin konstruksi. Sejak tahun 2014, mereka menghadapi krisis kekurangan tenaga kerja konstruksi, sehingga pada 2020, pemerintah mengucurkan dana sebesar $173 juta untuk mewujudkan Smart Construction 2025. Targetnya, pada 2030 seluruh proses konstruksi akan sepenuhnya otomatis, termasuk penggunaan IoT untuk maintenance mesin secara real-time.
Bagaimana dengan Indonesia?
Baru sejak 2018 IoT mulai masuk ke sektor konstruksi Indonesia, bersamaan dengan maraknya penggunaan perangkat wearable seperti smartwatch. Hingga kini, kontribusi terbesar justru datang dari perusahaan BUMN PT Waskita Karya, yang mengembangkan teknologi HoloLens—kacamata realitas campuran yang terhubung dengan model BIM untuk komunikasi proyek digital.
Dari sisi kebijakan, Kementerian Komunikasi dan Informatika telah merilis Peraturan Menteri No. 1 Tahun 2019 mengenai izin penggunaan frekuensi untuk perangkat IoT. Namun, belum ada peta jalan (roadmap) nasional yang secara khusus menargetkan IoT di sektor konstruksi.
Kesenjangan Kunci: Apa yang Membuat Indonesia Tertinggal?
Faktor-faktor yang dikaji dalam artikel ini meliputi:
- Rendahnya Investasi R&D: Hanya 0,28% dari PDB nasional yang dialokasikan untuk penelitian dan pengembangan.
- Tidak adanya Roadmap khusus konstruksi IoT, seperti “Smart Construction 2025” di Korea atau “Construction 2025” di Inggris.
- Kurangnya sinergi antara industri dan lembaga riset, terlihat dari jumlah publikasi ilmiah yang masih sangat rendah.
- Keterbatasan SDM dan teknologi pendukung, termasuk pemahaman atas platform BIM, sensor digital, dan teknologi wearable.
Potensi Pasar dan Arah Masa Depan
Ketua Umum Asosiasi IoT Indonesia (ASIOTI) menyebut bahwa pada 2022, nilai pasar IoT di Indonesia bisa mencapai Rp350 triliun, dengan 400 juta sensor aktif. Ini mencerminkan peluang besar yang belum sepenuhnya dimanfaatkan oleh sektor konstruksi. Dengan pasar sebesar itu, sektor konstruksi bisa menjadi pemicu revolusi digital berikutnya jika adopsi teknologi dilakukan secara terencana dan masif.
Kritik dan Saran Pengembangan
Artikel ini sangat informatif dalam membandingkan posisi Indonesia dengan negara-negara maju lainnya. Namun, ada beberapa hal yang dapat dikembangkan ke depan:
- Tambahan data primer: Artikel ini sepenuhnya berbasis kajian literatur; ke depan sebaiknya dilengkapi dengan data lapangan dari proyek konstruksi aktual di Indonesia.
- Analisis risiko dan kendala implementasi: Belum dibahas secara mendalam potensi hambatan seperti keamanan siber, interoperabilitas platform, atau tantangan biaya awal.
- Studi kasus spesifik di Indonesia: Hanya Waskita Karya yang disebut; akan lebih kuat jika ada lebih banyak contoh aktual dari perusahaan swasta atau proyek pemerintah.
Kesimpulan: Indonesia Perlu Langkah Konkret untuk Kejar Ketertinggalan
Secara umum, penelitian ini memberikan gambaran menyeluruh tentang kemajuan implementasi IoT di sektor konstruksi global dan posisi Indonesia yang masih jauh tertinggal. Meski demikian, peluang untuk mengejar ketertinggalan sangat terbuka, mengingat pertumbuhan pesat pasar IoT domestik dan kebutuhan mendesak akan efisiensi di sektor konstruksi.
Indonesia butuh:
- Investasi R&D yang signifikan,
- Kebijakan nasional spesifik tentang IoT di konstruksi,
- Kolaborasi antara industri dan universitas,
- Digitalisasi proyek-proyek pemerintah sebagai pemicu.
Dengan langkah-langkah itu, IoT tidak hanya menjadi tren teknologi, tetapi pondasi bagi era baru konstruksi yang lebih efisien, aman, dan transparan di tanah air.
Sumber Artikel Asli:
Wimala, M., & Imanuela, K. (2022). Perkembangan Internet of Things di Industri Konstruksi. Journal of Sustainable Construction, Vol. 1 No. 2, Maret 2022, 43–51. Universitas Katolik Parahyangan.