Transboundary Aquifers – Challenges and the Way Forward

Dipublikasikan oleh Izura Ramadhani Fauziyah

17 Juni 2025, 11.49

pixabay.com

Krisis Air Global dan Pentingnya Akuifer Lintas Batas

Di tengah krisis air global yang semakin nyata akibat pertumbuhan penduduk, perubahan iklim, dan degradasi sumber daya permukaan, perhatian dunia kini tertuju pada air tanah—khususnya akuifer lintas batas (transboundary aquifers/TBA). Buku “Transboundary Aquifers: Challenges and the Way Forward” (UNESCO, 2022) menyajikan kompilasi studi dan pengalaman dari berbagai belahan dunia, menyoroti tantangan, peluang, dan strategi tata kelola akuifer lintas batas untuk mendukung pembangunan berkelanjutan. Resensi ini mengulas temuan utama, studi kasus, angka-angka penting, serta kritik dan rekomendasi, dengan gaya yang mudah dipahami dan relevan dengan tren global.

Definisi, Skala, dan Urgensi Akuifer Lintas Batas

Akuifer lintas batas adalah cadangan air tanah yang membentang di bawah dua negara atau lebih. Secara global, 153 negara berbagi sumber air lintas batas, dengan lebih dari 40% air tawar dunia berada di wilayah ini. Data IGRAC (2021) menunjukkan terdapat 468 akuifer lintas batas di seluruh dunia, mencakup hampir setiap negara kecuali pulau-pulau kecil. Di kawasan Arab, ada 42 akuifer lintas batas di 21 dari 22 negara, mencakup 58% wilayah regional1.

Akuifer ini menjadi sumber utama air bersih bagi populasi besar, terutama di kawasan kering seperti Timur Tengah dan Afrika Utara. Di Libya, Palestina, dan Arab Saudi, lebih dari 80% pengambilan air tawar berasal dari air tanah. Namun, tekanan eksploitasi, polusi, dan kurangnya tata kelola lintas negara membuat keberlanjutan akuifer semakin terancam1.

Studi Kasus dan Angka-Angka Kunci

1. Kawasan Arab: Ketergantungan dan Kerentanan

  • Krisis Air dan Ketergantungan Eksternal: 18 dari 22 negara Arab berada di bawah ambang kelangkaan air (kurang dari 1.000 m³/kapita/tahun), 13 di antaranya bahkan di bawah 500 m³/kapita/tahun.
  • Ekstraksi Tak Berkelanjutan: Di banyak negara, eksploitasi air tanah melebihi tingkat pengisian ulang, terutama untuk pertanian dan pertumbuhan kota besar.
  • Inisiatif Regional: Kerja sama pada akuifer Nubian Sandstone (Mesir, Libya, Chad, Sudan), North Western Sahara Aquifer System (Aljazair, Tunisia, Libya), dan Al-Saq/Al-Disi (Yordania, Arab Saudi) menjadi contoh penting. Perjanjian Al-Saq/Al-Disi (2015) mengatur pembentukan Komite Teknis Bersama untuk pemantauan dan pertukaran data secara rutin1.

2. ISARM: Inisiatif Global dan Perkembangan Kerja Sama

  • ISARM (International Shared Aquifer Resources Management): Diluncurkan UNESCO pada 2000, ISARM telah mengidentifikasi dan memetakan ratusan akuifer lintas batas, serta mendorong kerja sama ilmiah dan hukum antarnegara.
  • Transboundary Waters Assessment Programme (TWAP): Pada fase pertama (2011), TWAP menilai 199 akuifer lintas batas dan 43 akuifer di negara kepulauan kecil, menghasilkan peta dan basis data global yang kini menjadi rujukan utama1.
  • Pencapaian Hukum: ISARM berkontribusi pada penyusunan 19 Draft Articles on the Law of Transboundary Aquifers oleh UNILC (2008), yang kini menjadi acuan teknis dan normatif dalam negosiasi kerja sama lintas negara1.

3. Eropa dan Amerika: Regulasi dan Implementasi

  • Eropa: Dengan 226 ‘groundwater bodies’ lintas batas, Uni Eropa mengadopsi Water Framework Directive (WFD) yang mewajibkan pengelolaan berbasis DAS dan kerja sama internasional. Namun, hanya 74% akuifer yang mencapai status kimia baik, dan 40% badan air permukaan yang memenuhi standar1.
  • Amerika Utara: Di perbatasan AS-Meksiko, lebih dari 30 akuifer lintas batas menopang lebih dari 15 juta jiwa. Namun, hanya satu perjanjian formal yang berlaku (San Luis Mesa, 1973), selebihnya masih berupa kerja sama informal dan terbatas1.

Tantangan Utama dalam Tata Kelola Akuifer Lintas Batas

1. Kekurangan Data dan Pengetahuan

Kurangnya data yang akurat dan keterbukaan informasi menjadi hambatan utama. Banyak negara tidak memiliki pemetaan akuifer yang memadai, dan data yang ada sering tidak dibagikan antarnegara. Inisiatif seperti Inventory of Shared Water Resources in Western Asia (UNESCWA & BGR, 2013) membantu mengidentifikasi dan memetakan akuifer, namun pembaruan dan keterbukaan data masih terbatas1.

2. Kapasitas Teknis dan Kelembagaan

Banyak negara kekurangan kapasitas teknis untuk memantau dan mengelola akuifer secara berkelanjutan. Kapasitas ini meliputi kemampuan analisis hidrogeologi, pemantauan kualitas air, hingga pengembangan sistem informasi bersama. Tanpa kapasitas yang memadai, sulit bagi negara untuk bernegosiasi atau menerapkan kebijakan bersama1.

3. Keterbatasan Kerangka Hukum dan Politik

Hanya sedikit akuifer lintas batas yang diatur oleh perjanjian formal. Di tingkat global, baru ada 8 perjanjian spesifik akuifer, dan cakupan kerja sama operasional untuk SDG 6.5.2 masih 42% (lebih rendah dari target global). Proses negosiasi sering terhambat oleh perbedaan kepentingan, ketimpangan kapasitas, dan kekhawatiran kedaulatan1.

4. Pendanaan dan Keberlanjutan Proyek

Pendanaan menjadi isu krusial, baik untuk riset, pengembangan kapasitas, maupun pembentukan institusi bersama. Banyak proyek kerja sama bergantung pada dana internasional (misal, GEF, SDC), sehingga keberlanjutan jangka panjang sering dipertanyakan1.

Studi Kasus: Praktik Baik dan Pelajaran Penting

1. North Western Sahara Aquifer System (NWSAS):

Tiga negara (Aljazair, Tunisia, Libya) membentuk mekanisme konsultasi sejak 2008, dengan tujuan pertukaran data, pemantauan bersama, dan skenario pengelolaan. Meski belum menghasilkan perjanjian formal, mekanisme ini meningkatkan transparansi dan kapasitas teknis1.

2. Stampriet Transboundary Aquifer System (STAS), Afrika Selatan:

Melalui proyek GGRETA (Governance of Groundwater Resources in Transboundary Aquifers), Botswana, Namibia, dan Afrika Selatan membentuk Multi-Country Cooperation Mechanism (MCCM) untuk pertukaran data dan pemantauan bersama. MCCM menjadi model pertama integrasi tata kelola akuifer ke dalam organisasi DAS lintas negara (ORASECOM)1.

3. Eropa: Pengelolaan Terpadu dan Tantangan Implementasi

Water Framework Directive mendorong pendekatan berbasis DAS, namun implementasi di tingkat lokal kerap terhambat fragmentasi kelembagaan dan perbedaan standar antarnegara. Studi di Belanda menunjukkan perlunya pendekatan lintas sektor dan skala, serta keterlibatan aktor lokal dalam penetapan tujuan dan pemantauan kualitas air1.

Analisis Kritis: Kesenjangan, Inovasi, dan Rekomendasi

1. Kesenjangan Ilmu Pengetahuan dan Kebijakan

Meskipun kemajuan besar dicapai dalam pemetaan dan penilaian akuifer, transfer pengetahuan ke pembuat kebijakan masih lemah. Banyak keputusan strategis diambil tanpa data ilmiah yang memadai, atau tanpa mempertimbangkan dinamika sosial-ekonomi dan ekologi1.

2. Inovasi Tata Kelola: Kolaborasi dan Keterbukaan

  • Platform Digital: Inisiatif Arab Groundwater Digital Knowledge Platform bertujuan membuka akses data dan memperkuat dialog berbasis bukti.
  • Pendekatan Multi-Level: Studi Belanda menekankan pentingnya sinergi antara kebijakan nasional, regional, dan lokal, serta keterlibatan lintas sektor (ekologi, hukum, sosial, ekonomi) dalam pengelolaan akuifer1.

3. Peran Hukum Internasional

Draft Articles on the Law of Transboundary Aquifers (UNILC, 2008) menjadi rujukan utama, meski belum mengikat secara hukum. Konvensi PBB (1997, 1992) dan protokol regional seperti SADC Revised Protocol on Shared Watercourses juga memberi kerangka kerja sama, namun adopsi dan implementasinya masih terbatas1.

4. Keterlibatan Pemangku Kepentingan

Partisipasi masyarakat, pelaku usaha, dan LSM sangat penting untuk membangun kepercayaan dan komitmen jangka panjang. Studi kasus di perbatasan AS-Meksiko menunjukkan bahwa kerja sama informal dan berbasis komunitas sering lebih efektif daripada pendekatan top-down, terutama dalam konteks sosial-budaya yang kompleks1.

Hubungan dengan Tren Global dan Industri

Krisis air tanah lintas batas kini menjadi isu strategis di tengah perubahan iklim, urbanisasi, dan peningkatan kebutuhan pangan. Industri air minum, pertanian, dan energi kini semakin sadar akan risiko over-extraction dan polusi akuifer. Di sisi lain, digitalisasi data air, inovasi pemantauan, dan kolaborasi lintas sektor menjadi tren baru dalam tata kelola sumber daya air global.

Kritik dan Perbandingan dengan Penelitian Lain

Buku ini berhasil mengangkat kompleksitas isu akuifer lintas batas dari berbagai perspektif—ilmiah, hukum, sosial, dan politik. Namun, tantangan utama tetap pada implementasi di lapangan: kurangnya insentif politik, ketimpangan kapasitas, dan resistensi terhadap transparansi. Studi lain (misal, Eckstein & Sindico, 2014) menyoroti bahwa tanpa insentif ekonomi dan tekanan publik, negara cenderung lamban dalam membangun kerja sama formal.

Rekomendasi Strategis

  1. Perkuat Pengetahuan dan Data Bersama
    Investasi dalam pemetaan, pemantauan, dan pertukaran data lintas negara harus menjadi prioritas utama.
  2. Bangun Kapasitas dan Kelembagaan
    Penguatan kapasitas teknis, hukum, dan kelembagaan di tingkat nasional dan regional sangat penting untuk mendukung negosiasi dan implementasi bersama.
  3. Dorong Kerangka Hukum dan Kesepakatan Formal
    Negara perlu didorong untuk mengadopsi Draft Articles on the Law of Transboundary Aquifers sebagai pedoman, serta membangun perjanjian formal yang mengikat.
  4. Optimalkan Pendanaan dan Inovasi
    Diversifikasi sumber pendanaan, termasuk dari dana perubahan iklim dan pembangunan internasional, serta adopsi teknologi digital untuk pemantauan dan pelaporan.
  5. Libatkan Pemangku Kepentingan Multi-Level
    Keterlibatan masyarakat, sektor swasta, dan LSM dalam perencanaan, pemantauan, dan evaluasi sangat penting untuk membangun legitimasi dan keberlanjutan.

Jalan Panjang Menuju Tata Kelola Akuifer Lintas Batas yang Berkelanjutan

“Transboundary Aquifers: Challenges and the Way Forward” menegaskan bahwa akuifer lintas batas adalah kunci ketahanan air masa depan, namun pengelolaannya menuntut kolaborasi lintas negara, sektor, dan disiplin ilmu. Meski kemajuan signifikan telah dicapai dalam dua dekade terakhir, dunia masih jauh dari target SDG 6.5.2 tentang kerja sama air lintas batas. Tanpa komitmen politik, investasi, dan inovasi tata kelola, risiko konflik, degradasi ekosistem, dan krisis air akan terus membayangi. Buku ini menjadi rujukan penting bagi pembuat kebijakan, ilmuwan, dan praktisi yang ingin membangun masa depan air tanah yang adil dan berkelanjutan.

Sumber artikel :
UNESCO, 2022. Transboundary Aquifers: Challenges and the Way Forward. Sanchez, R. (Ed). Paris, UNESCO.