Trigana Air Service Penerbangan 267 (IL/TGN 267) adalah Trigana Air Service ATR 42-300 yang jatuh di Gunung Tangok pada 16 Agustus 2015 dalam perjalanan dari Jayapura menuju Oksibil. Puing-puing pesawat ditemukan warga setempat pada malam harinya. 16 Agustus di Distrik Okbape.
Saat jumlah korban tewas mencapai 54, Trigana Air Service Penerbangan 267 menjadi kecelakaan ATR 42 yang paling mematikan, melampaui rekor yang dibuat oleh Santa Penerbangan 518 Barbara Airlines. Indonesia Airlines merupakan kecelakaan pesawat ketiga yang menewaskan lebih dari 50 orang dalam waktu kurang dari delapan bulan, setelah kecelakaan AirAsia Indonesia Penerbangan 8501 dan kecelakaan pesawat C-130 Hercules tahun lalu, menjadikannya kecelakaan paling mematikan dalam sejarah Maskapai Trigana.
Pesawat
Pesawat yang terlibat dalam kejadian ini berjenis ATR 42-300 dengan nomor seri 102 dan kode registrasi PK-YRN. Pesawat ini pertama kali terbang pada Mei 1988, dikirim ke Trans States Airlines pada tahun 1989, dan terakhir dioperasikan oleh Trigana Air Service pada 24 Januari 2005. Menurut Trigana Airlines, berbeda dengan kasus Santa Barbara Airlines yang sistem navigasi pesawatnya rusak, sistem navigasi (GPS) ATR yang terlibat dalam kecelakaan tersebut dipastikan sempurna. Hal ini juga didukung oleh Pengelola Bandara Sentani.
Keberangkatan
Pesawat lepas landas dari Bandara Sentani pukul 13:21 waktu setempat (UTC+9) dan mendarat mulai waktu setempat (UTC+9). 9). Namun, pesawat tidak mendarat satu jam setelah waktu yang dijadwalkan. Pesawat kehilangan kontak dengan pengatur lalu lintas udara pada pukul 14.55 waktu setempat, sekitar 10 menit sebelum mendarat di Bandara Oxyville.
Hilangnya kontak yang dilaporkan dilaporkan oleh Trigana Air yang menerbangkan salah satu pesawat DHC-6 miliknya. Itu sudah dipesan. Ayo pergi ke Sentani untuk mencari pesawat yang hilang. Sekitar 45 menit setelah hilang kontak, BASARNAS membentuk regu pencarian pesawat untuk mencari pesawat yang hilang tersebut. Menurut Kementerian Perhubungan, tidak ada bukti bahwa kru mengirimkan sinyal SOS sebelum hilangnya. BASARNAS meluncurkan penerbangan ATR 42 pada pukul 15.30. BASARNAS mengumumkan bahwa kawasan pegunungan tempat hilangnya Trigana Air tidak pernah tersentuh tangan manusia.
Pada 17 Agustus, BASARNAS menambah personel untuk mencari pesawat tersebut. Sementara pencarian dilanjutkan dengan berjalan kaki. Pihak berwenang mengatakan warga setempat melihat pesawat itu terbang rendah di atas Gunung Dangok di distrik Okbape. Tak lama kemudian, suara keras terdengar dari lereng gunung. Menteri Perikanan Susi Pudjiastuti yang juga pemilik jet pribadi Susi Air menambahkan helikopter Bell milik Susi Air akan membantu pencarian. Selain itu, Adventist Aviation Indonesia juga menambah pesawat untuk membantu pencarian. TNI dan BASARNAS juga mengadakan hari pencarian di Sektor 3 Ogbappe pada pagi hari. Salah satu pesawat pencari Air Adventist Indonesia menemukan puing-puing pesawat masih terbakar dan berasap. Fragmen tersebut ditemukan di Pegunungan Tangok sekitar wilayah Abmisibil atau 12 mil dari Oksibil, pada ketinggian 8.300 kaki atau 2.350 meter di atas permukaan laut. Sebanyak 54 awak dan penumpang pesawat dinyatakan tewas di lokasi kejadian.
Beberapa media memberitakan bahwa cuaca di kawasan tersebut sangat buruk pada saat kecelakaan terjadi, disertai angin kencang dan petir. Namun postingan lain juga menyebutkan cuaca saat itu sedang sempurna. Saat itu, Menteri Perhubungan Ignasius Jonan mengatakan bukan faktor cuaca yang menjadi penyebabnya dan diambil dari stasiun cuaca BMKG daerah. BMKG pun mendukung hal tersebut dengan memberikan bukti bahwa lokasi kejadian dikatakan dalam kondisi baik. Cerita ini didukung oleh laporan penerbangan sebelumnya yang menyatakan bahwa kondisi cuaca di Bandara Sentani "sangat baik" pada saat itu, bahkan setelah mendarat di Sentani.
Banyak pilot melaporkan bahwa menerbangkan pesawatnya di Papua sangatlah sulit. Hal ini disebabkan oleh sifat pegunungan dan dataran Papua. Melansir Detik.com, seorang pilot bernama Andi Gunawan mengatakan sangat sulit menjadi pilot di Papua karena kondisi lingkungan. Ia menambahkan, jika ada pilot yang bisa terbang ke Papua, maka mereka bisa terbang kemana saja di dunia. Ignasius Jonan mengatakan, sistem navigasi udara Indonesia sudah ketinggalan jaman, apalagi di daerah terpencil seperti Papua, sistem navigasinya bisa dikatakan sama seperti tahun 1950. Ia menambahkan, sebagian besar sistem navigasi udara di Papua mengandalkan visual flight system (VFR) dibandingkan sebagian besar bandara yang menggunakan instrument flight rule (IFR) sebelum mendarat. Sistem video
Sumber: id.wikipedia.com