Dibentuk untuk kepentingan Perang Asia Timur Raya, Pembela Tanah Air (PETA) terbukti menjadi alat pertama untuk mempertahankan kemerdekaan Indonesia.
Senin, 9 Maret 1942. Panglima Tertinggi KNIL (Tentara Kerajaan Hindia Belanda) Letnan Jenderal H. Ter Poorten (lewat radio) menyerukan agar pasukannya menghentikan semua perlawanan terhadap Tentara Ke-16 Kekaisaran Jepang.
Seruan tersebut menjadi pertanda resmi Bala Tentara Jepang menguasai seluruh Indonesia (waktu itu masih bernama Hindia Belanda). Demikian menurut sejarawan Onghokham dalam Runtuhnya Hindia Belanda.
Awalnya kemenangan Bala Tentara Jepang itu disambut secara suka cita oleh sebagian besar rakyat Hindia Belanda. Di mana-mana, mereka dielu-elukan sebagai sang pembebas dari belenggu penjajahan Belanda yang sudah berlangsung selama ratusan tahun.
Bahkan secara historis, kehadiran Jepang di tanah Jawa kerap dihubung-hubungkan dengan ramalan tua dari Prabu Jayabaya, seorang raja Kediri yang memerintah dari tahun 1135-1157.
Namun seiring waktu, lambat laun pendudukan Bala Tentara Jepang di Indonesia memperlihatkan watak aslinya. Menurut sejarawan Jepang Aiko Kurasawa, sesungguhnya tujuan pokok penyerbuan Jepang ke wilayah selatan (termasuk Indonesia) adalah untuk mengeksploitasi sumber-sumber daya ekonomi demi kepentingan perang.
"Wajar jika pecahnya perang dan pendudukan pasukan militer Jepang mengakibatkan perubahan besar-besaran di dalam struktur ekonomi," ujar Aiko Kurasawa dalam Kuasa Jepang di Jawa: Perubahan Sosial di Pedesaan 1942-1945.
Api Kebencian terhadap Tentara Jepang
Kekecewaan yang dibarengi kemarahan juga terjadi setelah Bala Tentara Jepang melakukan kebijakan-kebijakan yang dinilai tidak hanya merugikan rakyat Indonesia, tapi juga menghina kemanusiaan.
Pengambilan paksa sumber daya manusia Indonesia untuk jugun ianfu (wanita penghibur bagi para prajurit Jepang yang sedang berperang), romusha (pekerja paksa untuk mengerjakan berbagai infrastruktur perang Jepang) dan penyerahan padi secara paksa menjadikan rakyat Indonesia menemukan bentuk rasa bencinya kepada pemerintah militer Jepang.
Di tengah situasi seperti itu, pada 7 September 1943, Gatot Mangkupradja (salah seorang tokoh pergerakan nasional Indonesia) mengusulkan kepada pemerintah militer Jepang supaya bangsa Indonesia dapat ikut serta dalam usaha pertahanan dengan dibentuknya kesatuan-kesatuan dari pemuda Indonesia sendiri.
Dalam kondisi sedang menurunnya daya tempur tentara Jepang di Pasifik Barat Daya kala itu, usulan tersebut merupakan ide yang sangat brilian. Pada 3 Oktober 1943, Letnan Jenderal Kumakici Harada (Panglima Tentara Ke-16 Jepang) memaklumkan Osamu Seirei No.44 yang secara resmi mensahkan dibentuknya PETA (Pembela Tanah Air).
Cikal Bakal Angkatan Perang RI
Sekilas pendirian, PETA seolah merupakan bentuk loyalitas tak terbatas dari orang-orang Indonesia. Namun sesungguhnya itu mengandung suatu rencana tertentu dari para tokoh pergerakan kemerdekaan Indonesia yakni untuk kali pertama membentuk suatu cikal bakal tentara nasional.
Kendati disebut sebagai 'tentara sukarela', dalam kenyataannya pemuda-pemuda dari seluruh Pulau Jawa dipaksa harus bergabung dengan PETA. Para pemuda itu bahkan masuk PETA awalnya karena diculik, digiring dan dipaksa memasuki 'neraka' pendidikan militer Jepang di Komplek Jawa Boei Gyugun Karibu Reseitai Bogor (sekarang Gedung Museum PETA).
Eddie Soekardi dan adiknya Harry Soekardi adalah contoh dua pemuda Indonesia yang awalnya dipaksa menjadi anggota PETA. Mereka merupakan bagian dari 20 pemuda angkatan pertama yang pada suatu dini hari diangkut ke Stasiun Bandung. Dari Bandung, mereka dikirim dengan kereta api menuju Bogor.
"Kami kemudian baru tahu nasib kami ketika sesampai di Bogor langsung ditempatkan di Komplek Jawa Boei Gyugun Karibu Reseitai. Di sanalah kami mulai memperoleh latihan kemiliteran yang sangat berat, hingga di antara kami awalnya banyak yang menangis," kenang Eddie Soekardi, lelaki kelahiran Sukabumi pada 18 Februari 1916.
Setelah keterampilan dan kemampuan mereka dianggap memadai, para calon perwira PETA itu pun dilantik. Yang berusia tua diangkat sebagai daidancho (komandan batalyon), yang berusia agak tua diangkat menjadi chudancho (komandan kompi), yang berusia agak muda diangkat sebagai shodancho (komandan peleton) sedangkan yang berusia lebih muda diangkat sebagai bundancho (komandan regu).
Bersama rekan-rekannya dari eks KNIL (Tentara Kerajaan Hindia Belanda) dan eks laskar, merekalah yang kemudian menjadi cikal bakal terbentuknya angkatan perang Republik Indonesia.
Sumber Artikel: merdeka.com