Indonesia mungkin bertekad untuk memenuhi target pengurangan emisi yang ambisius, namun tanpa kebijakan pertanian yang mendukung, target tersebut akan tetap sulit dicapai dan sektor pertanian akan tetap menjadi salah satu penyumbang emisi tertinggi. Oleh karena itu, perombakan kebijakan diperlukan untuk menghasilkan strategi jangka panjang yang mendukung keberlanjutan dan daya dukung lingkungan terhadap kebutuhan manusia.
Pemerintah Indonesia telah mengeluarkan Komitmen Kontribusi Nasional (NDC) pertama untuk mengurangi emisi karbon pada tahun 2016 dan versi terbaru pada bulan September 2022. NDC terbaru menetapkan target pengurangan gas rumah kaca (GRK) di sektor pertanian sebesar 10 juta ton CO2 ekuivalen (Mt CO2 eq) dalam skenario mitigasi tanpa syarat dan 12 Mt CO2 eq dalam skenario bersyarat, yang bertujuan untuk mengurangi emisi masing-masing 0,3 persen dan 0,4 persen dibandingkan dengan business as usual.
Meskipun pertanian harus menghasilkan pangan yang cukup untuk memenuhi kebutuhan bangsa dan untuk memastikan keamanan gizi, upaya untuk melakukannya tidak boleh merusak lingkungan dan berkontribusi dalam memperburuk perubahan iklim. Strategi nol karbon pemerintah memiliki setidaknya empat poin fokus: meningkatkan produktivitas dan intensitas tanaman, mengintegrasikan pertanian dan wanatani, mengoptimalkan lahan yang tidak produktif, dan mengurangi kehilangan dan pemborosan pangan. Namun, dengan sektor pertanian, kehutanan, dan perikanan yang menyumbang 1,29 Mt CO2 eq, Indonesia menghadapi tantangan yang berat dalam mencapai target net zero.
Kebijakan pertanian pemerintah saat ini juga tampaknya tidak mendukung target nol bersih. Sebagai contoh, program lumbung pangan yang disponsori oleh pemerintah di Kalimantan Tengah dan Papua dikembangkan di kawasan hutan dan lahan gambut, sehingga memperburuk krisis iklim dan menyebabkan hilangnya 427,2 ton karbon per hektar lahan gambut yang dikonversi.mDengan mempertimbangkan konsekuensi yang tidak diinginkan dari subsidi pupuk, atau keuntungan yang tidak adil untuk komoditas tertentu dan penggunaan pupuk yang berlebihan, uang tersebut seharusnya dapat dialihkan ke program pertanian yang lebih berkelanjutan.
Target nol emisi harus mendorong Indonesia untuk mempraktikkan pertanian berkelanjutan dalam skala yang luas, sehingga memungkinkan sektor pertanian untuk menjadi lebih tangguh sekaligus meningkatkan kesejahteraan petani dalam jangka panjang.,Implementasi dari upaya untuk mencapai target net zero juga dapat mendorong pengembangan perlengkapan dan peralatan pertanian yang dapat memfasilitasi dekarbonisasi di sektor pertanian. Pergeseran modal dari aset pertanian beremisi tinggi ke aset rendah emisi juga diperlukan.
Bisnis pertanian juga dapat mengembangkan dan mengkomersialkan teknologi seperti pengeditan gen untuk ketahanan terhadap penyakit atau penyerapan karbon yang lebih baik, serta vaksinasi dan aditif pakan untuk mencegah fermentasi enterik. Transisi juga akan membuka peluang untuk transfer pengetahuan tentang praktik pertanian berkelanjutan, serta kerja sama dan investasi internasional dalam teknologi pertanian dan pangan. Akses terhadap informasi, teknologi, pelatihan, dan jaring pengaman yang dirancang dengan baik diperlukan untuk mendorong ketahanan yang lebih besar di daerah pedesaan, tempat sebagian besar petani Indonesia tinggal.
Akses yang setara terhadap daerah aliran sungai untuk irigasi pertanian, disertai dengan pengelolaan air yang tepat melalui pendekatan bentang alam, akan memungkinkan para petani untuk memaksimalkan produktivitas lahan. Sebuah studi baru-baru ini yang dilakukan oleh Center for Indonesian Policy Studies menunjukkan bahwa keterlibatan sektor swasta di bidang pertanian melalui transfer teknologi secara tidak langsung dapat memberikan insentif kepada petani melalui produktivitas dan harga jual yang lebih baik.
Pemerintah perlu meninjau kembali undang-undang, peraturan, dan kebijakan di sektor pertanian dan sektor-sektor terkait lainnya seperti perdagangan, industri, dan pertanahan untuk menghilangkan hal-hal yang menghambat pencapaian target nol karbon, seperti kebijakan pengembangan food estate.
Program food estate, yang terbukti tidak efektif dalam mengatasi masalah ketahanan pangan, telah menggunduli 1,3 juta hektar di Area of Interest (AOI) di Papua, mengancam lingkungan, keanekaragaman hayati, dan ekosistem, serta mengakibatkan hilangnya mata pencaharian masyarakat setempat.
Program ini juga menyumbang 616 Mt CO2 eq dalam emisi gas rumah kaca, setara dengan emisi tahunan Australia atau hampir sepertiga dari keseluruhan emisi Indonesia. Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan No. 24/2020 tentang penyediaan kawasan hutan untuk pengembangan food estate juga berpotensi mendorong deforestasi lebih lanjut di Indonesia, terutama di Sumatera, Kalimantan, dan Papua.
Selain itu, pemerintah terus memberikan subsidi pupuk, dengan nilai subsidi sebesar Rp 25,27 triliun (US$1,68 miliar) pada tahun 2021, yang berkontribusi terhadap peningkatan emisi karbon dari sektor pertanian. Pupuk kimia, proses produksi, transportasi, dan emisi langsung maupun tidak langsung ke tanah bertanggung jawab atas sekitar 171,1 Mt CO2 eq emisi pada tahun 2018. Kecuali jika sistem subsidi diubah, petani tidak akan memiliki pilihan untuk menerapkan praktik pertanian berkelanjutan.
Komitmen nol karbon Indonesia membutuhkan pemahaman menyeluruh mengenai tantangan utama di sektor pertanian dan pangan untuk mencegah pengembangan program-program, seperti program food estate, yang dapat menghambat pencapaian target NDC Indonesia. Selain itu, diperlukan juga harmonisasi kebijakan dan kerja sama antarkementerian yang terkoordinasi dengan baik untuk memastikan bahwa kebijakan, undang-undang, dan peraturan nasional mendukung pencapaian tujuan ini.
- krisis iklim
- pertanian berkelanjutan
- nol emisi
- subsidi pupuk
- Ketahanan Pangan & Pertanian
Disadur dari: cips-indonesia.org