Pendahuluan: Arsitektur Tak Kasat Mata Bernama Keselamatan
Saya punya kebiasaan buruk. Saat menyeberang jalan kecil yang sepi di dekat rumah, terkadang saya melirik ponsel—sekadar mengecek notifikasi terakhir. Saya tahu itu berisiko, tapi saya sudah "menghitungnya". Kemungkinannya kecil, dampaknya (semoga) tidak besar. Kita semua melakukan kalkulasi mikro seperti ini setiap hari, menimbang-nimbang antara kenyamanan dan bahaya dalam skala kecil.
Namun, bayangkan jika kalkulasi itu bukan tentang notifikasi, melainkan tentang hidup dan mati. Bayangkan jika setiap langkah yang kamu ambil di tempat kerja adalah pertaruhan antara menyelesaikan tugas dan pulang dengan selamat. Inilah dunia yang dihadapi para pekerja konstruksi setiap hari. Dan sering kali, persepsi kita—dan mereka—tentang risiko mana yang paling penting ternyata salah besar.
Baru-baru ini saya menemukan sebuah paper penelitian yang, terus terang, mengubah cara saya memandang data dan bahaya. Judulnya terdengar akademis: "Studi tentang Keselamatan Konstruksi dalam Proyek Konstruksi Bangunan di Kota Metropolitan Bharatpur". Tapi di balik judul itu, ada sebuah cerita manusia yang diceritakan melalui angka. Studi ini mengintip ke dalam tujuh lokasi proyek bangunan yang sedang berjalan di Nepal untuk menilai praktik keselamatan, memberi peringkat pada bahaya yang ada, dan mencari cara untuk memperbaikinya.
Apa yang ditemukan para peneliti ini bukan hanya relevan untuk mandor di Nepal. Ini adalah cermin bagi kita semua. Paper ini adalah sebuah studi kasus yang brilian tentang bagaimana manusia—baik sebagai individu maupun organisasi—secara sistematis meremehkan risiko berkonsekuensi tinggi yang jarang terjadi, sambil terlalu fokus pada gangguan kecil yang terjadi setiap hari. Ini adalah pelajaran universal tentang arsitektur tak kasat mata yang menopang dunia kita: keselamatan.
Di Balik Angka: Kisah Pekerja Tanpa Jaring Pengaman
Untuk benar-benar memahami temuan studi ini, kita harus mulai dari manusianya. Para peneliti tidak hanya mengamati dari jauh; mereka berbicara dengan para pekerja, manajer, dan klien untuk memahami realitas di lapangan. Apa yang mereka temukan melukiskan gambaran yang mengkhawatirkan.
Bayangkan Kamu Bekerja di Ketinggian, Tanpa Pernah Diajari Cara Turun
Mari kita lakukan eksperimen pikiran. Bayangkan hari pertamamu di kantor baru. Kamu diberi akses penuh ke sistem keuangan perusahaan, lengkap dengan wewenang untuk melakukan transfer. Tapi tidak ada satu pun yang memberimu pelatihan. Tidak ada yang menjelaskan apa arti setiap tombol, bagaimana prosedur persetujuannya, atau apa konsekuensi dari kesalahan satu angka nol. Mengerikan, bukan?
Sekarang, ganti "sistem keuangan" dengan "bekerja di atas perancah setinggi lima lantai", dan "kesalahan angka nol" dengan "satu langkah yang salah". Itulah kenyataan pahit yang terungkap dalam studi ini. Salah satu statistik yang paling mengejutkan adalah ini: 83,85% pekerja konstruksi di lokasi yang diteliti tidak pernah menerima pelatihan apa pun terkait keselamatan kerja.
Ini bukan sekadar angka. Ini adalah potret kelalaian sistemik. Ini berarti delapan dari sepuluh orang yang membangun rumah sakit, pusat perbelanjaan, dan gedung-gedung penting lainnya di kota itu bekerja hanya dengan modal nekat dan insting. Data demografis menunjukkan bahwa mayoritas pekerja ini berada di usia produktif (26-35 tahun) dan memiliki pengalaman kerja 3-5 tahun. Mereka bukan pemula. Mereka adalah pekerja berpengalaman yang, kemungkinan besar, bertahan hidup selama ini karena keberuntungan, bukan karena pengetahuan. Mereka telah terbiasa dengan lingkungan berisiko tinggi, menormalkan bahaya sebagai bagian tak terpisahkan dari pekerjaan.
Helm yang Tergantung dan Sepatu Bot yang Tertinggal
Ketika pelatihan ditiadakan, kepatuhan menjadi pilihan, bukan kewajiban. Dan data penggunaan Alat Pelindung Diri (APD) dalam studi ini menunjukkan betapa berbahayanya situasi tersebut. Penggunaan APD sangat rendah dan, yang lebih mengkhawatirkan, sangat tidak konsisten.
Bayangkan dua proyek di kota yang sama, di bawah peraturan yang seharusnya sama. Namun, praktiknya seperti dua dunia yang berbeda:
-
Di lokasi pembangunan Newton Hospital, penggunaan helm mencapai 43,64%. Lumayan, tapi masih kurang dari separuh.
-
Namun, di lokasi Bharatpur City Hall, angka itu anjlok menjadi hanya 11,48%. Artinya, hampir 9 dari 10 pekerja di sana membiarkan kepala mereka tanpa pelindung.
Pola yang sama terlihat pada penggunaan sepatu bot pengaman. Di satu lokasi, tingkat pemakaiannya bisa mencapai 45,45%, sementara di lokasi lain hanya 18,75%.
Variasi yang liar ini menunjukkan sesuatu yang lebih dalam. Ini menandakan bahwa keselamatan di Bharatpur tidak diatur oleh standar industri atau penegakan hukum yang kuat. Sebaliknya, keselamatan bersifat arbitrer. Budaya keselamatan di sebuah proyek bergantung sepenuhnya pada kemauan mandor, kontraktor, atau manajer proyek individu hari itu. Mereka adalah regulator de facto di wilayah kekuasaan mereka. Ini menempatkan beban tanggung jawab yang luar biasa di pundak para pemimpin di lapangan, sekaligus menunjukkan betapa rapuhnya sistem yang ada.
Kalkulus Bencana: Membedah Apa yang Sebenarnya Membunuh di Lokasi Proyek
Bagian paling cemerlang dari studi ini, menurut saya, adalah cara mereka membedah konsep "risiko". Mereka tidak hanya bertanya, "Kecelakaan apa yang paling sering terjadi?" Mereka menggali lebih dalam untuk memahami perbedaan krusial antara frekuensi dan fatalitas.
Bukan Bahaya yang Paling Sering, Tapi yang Paling Mengerikan
Para peneliti menggunakan metode penilaian risiko yang cerdas. Mereka menghitung Skor Risiko dengan mengalikan dua faktor: Kemungkinan (Likelihood)—seberapa sering sebuah insiden terjadi—dan Konsekuensi (Consequences)—seberapa parah dampaknya jika terjadi.
Bayangkan risiko seperti volume suara. Ada suara yang sering kita dengar tapi pelan, seperti notifikasi ponsel. Mengganggu, tapi tidak berbahaya. Lalu ada suara yang jarang sekali terdengar tapi memekakkan telinga, seperti alarm kebakaran. Suara inilah yang menuntut perhatian penuh kita.
Studi ini menemukan bahwa para pekerja di lokasi konstruksi hidup dengan "notifikasi ponsel" yang berisik setiap hari. Insiden yang paling sering mereka alami, dengan skor kemungkinan tertinggi (Relative Importance Index atau RII sebesar 0.864), adalah "Tertimpa limbah dan bahan mentah yang diletakkan sembarangan" (Struck by wastage and raw materials placed haphazardly). Ini adalah bahaya yang konstan, mengganggu, dan menyebabkan cedera ringan.
Namun, "alarm kebakaran" yang sesungguhnya—risiko dengan konsekuensi paling fatal (RII 0.923)—adalah "Jatuh dari ketinggian" (Falling from height). Insiden ini mungkin tidak terjadi setiap hari, tetapi ketika terjadi, dampaknya bisa katastropik.
Pemisahan antara "yang paling sering" dan "yang paling mematikan" ini adalah inti dari manajemen risiko yang efektif. Ini memaksa kita untuk mengalihkan fokus dari sekadar memadamkan api-api kecil ke upaya mencegah ledakan besar.
Tiga Risiko Ekstrem yang Menuntut Perhatian Penuh
Dengan mengalikan skor Kemungkinan dan Konsekuensi, para peneliti memetakan setiap bahaya ke dalam matriks risiko, mulai dari "Rendah" hingga "Ekstrem". Tiga jenis kecelakaan secara konsisten mendarat di zona merah paling berbahaya.
Tiga Rahasia Sederhana untuk Dunia Kerja yang Lebih Aman
Setelah mengidentifikasi masalah dengan begitu jelas, bagian terbaik dari studi ini adalah solusinya ternyata sangat sederhana, berbiaya rendah, dan berfokus pada manusia. Para peneliti meminta semua pemangku kepentingan—pekerja, klien, konsultan, dan kontraktor—untuk memberi peringkat pada langkah-langkah perbaikan yang paling efektif. Tiga teratas bukanlah tentang membeli teknologi mahal atau merombak seluruh sistem. Semuanya tentang mengubah perilaku sehari-hari.
Kekuatan dari Obrolan Lima Menit Setiap Pagi
Rekomendasi nomor satu, dengan skor RII tertinggi 0.91818, adalah "Pengarahan keselamatan sebelum mulai kerja setiap hari di lokasi proyek" (Safety brief before start of work each day on work site).
Ini terdengar sangat sederhana, bukan? Tapi pikirkan dampaknya. Ini bukan tentang birokrasi atau mengisi formulir. Ini tentang ritual. Ini tentang seorang mandor mengumpulkan timnya, menatap mata mereka, dan berkata, "Oke kawan-kawan, hari ini kita akan bekerja di sisi utara. Area itu licin karena hujan semalam. Pastikan perancah sudah diperiksa. Ali, kamu yang awasi kabel listrik. Kita jaga satu sama lain."
Percakapan lima menit ini secara langsung mengatasi masalah budaya keselamatan yang arbitrer. Ia menciptakan standar harian, membangun kesadaran kolektif, dan mengubah keselamatan dari aturan di atas kertas menjadi tanggung jawab bersama. Biayanya? Hampir nol. Dampaknya? Paling tinggi menurut orang-orang yang paling tahu.
Belajar Bukan Sekali, Tapi Berkali-kali
Dua rekomendasi berikutnya saling melengkapi dengan sempurna: "Pelatihan & kesadaran rutin terkait K3 untuk pekerja" (RII 0.89758) dan "Penggunaan APD secara wajib di lokasi konstruksi" (RII 0.89455).
Ini menegaskan kembali apa yang kita lihat sebelumnya: masalahnya bukan karena pekerja tidak mau aman, tetapi sering kali karena mereka tidak pernah diajari caranya secara konsisten. Pelatihan bukanlah acara satu kali, melainkan proses berkelanjutan. Dan kewajiban menggunakan APD tanpa pelatihan dan pengawasan hanyalah aturan kosong.
Ketiga solusi teratas ini—percakapan harian, pelatihan rutin, dan penegakan aturan dasar—semuanya bersifat perilaku dan budaya. Ini adalah sebuah kesimpulan yang memberdayakan. Studi ini menunjukkan bahwa perbaikan keselamatan yang paling signifikan tidak harus datang dari investasi modal yang besar. Ia datang dari investasi pada manusia, komunikasi, dan konsistensi. Tantangannya bukan pada dompet, melainkan pada kemauan.
Jika kamu seorang manajer proyek atau profesional yang ingin menerapkan budaya ini secara sistematis, memahami fondasinya adalah kunci. Ada sumber daya hebat seperti kursus online (https://www.diklatkerja.com/course/prinsip-prinsip-manajemen-risiko-pada-proyek-konstruksi/) di Diklatkerja yang bisa membantu membangun kerangka kerja yang solid untuk timmu.
Refleksi Pribadi: Pertanyaan yang Lupa Diajukan Studi Cemerlang Ini
Sebagai seseorang yang terobsesi dengan cerita di balik data, saya sangat mengagumi metodologi kuantitatif dalam penelitian ini. Studi ini brilian dalam mengukur 'apa' dan 'seberapa banyak'. Data yang mereka kumpulkan sangat kuat dan kesimpulannya tak terbantahkan. Namun, ada satu pertanyaan yang terus menggema di benak saya saat membacanya.
Di Balik "Kenapa Tidak Pakai Helm?": Sebuah Misteri yang Belum Terpecahkan
Studi ini memberitahu kita bahwa hanya 11,48% pekerja di Bharatpur City Hall yang memakai helm. Tapi ia tidak memberitahu kita mengapa.
Mengapa seorang pekerja berpengalaman memutuskan untuk tidak memakai pelindung kepalanya hari itu? Apakah karena helmnya tidak nyaman di bawah terik matahari Nepal? Apakah karena panas dan membuat berkeringat? Apakah ada tekanan sosial untuk tampil "berani" atau "tangguh" di depan rekan-rekannya? Atau mungkin, helm yang disediakan berkualitas buruk, tidak pas, atau bahkan sudah rusak?
Di sinilah saya merasa ada sebuah bab yang hilang—bab kualitatif. Meskipun temuannya hebat, cara analisanya yang murni kuantitatif terasa agak terlalu abstrak untuk pemula dalam memahami akar masalah perilaku. Angka memberitahu kita ada masalah, tapi cerita memberitahu kita di mana harus memulai perbaikan. Wawancara mendalam, kelompok diskusi terfokus, atau observasi etnografis bisa melengkapi angka-angka ini dengan narasi yang kaya. Ini akan memberi kita pemahaman yang lebih dalam tentang hambatan psikologis, budaya, dan praktis yang menghalangi penerapan keselamatan di lapangan.
Kesimpulan: Keselamatan Bukanlah Buku Aturan, Melainkan Percakapan
Pada akhirnya, studi kecil dari Bharatpur, Nepal, ini mengajarkan kita sebuah pelajaran universal yang mendalam. Peningkatan keselamatan yang nyata dan menyelamatkan nyawa tidak selalu datang dari teknologi yang lebih canggih atau buku peraturan yang lebih tebal. Sering kali, ia datang dari praktik-praktik yang paling mendasar dan manusiawi: berbicara satu sama lain setiap hari, meluangkan waktu untuk belajar dan mengajar, dan cukup peduli untuk menegakkan standar dasar secara konsisten.
Keselamatan bukanlah tujuan akhir yang bisa dicapai, melainkan sebuah percakapan tanpa henti.
Setelah membaca ini, saya ingin meninggalkanmu dengan satu pertanyaan: Risiko apa dalam pekerjaan atau hidupmu yang mungkin selama ini kamu salah nilai? Dan percakapan sederhana apa yang bisa kamu mulai besok untuk membuatnya sedikit lebih aman bagi dirimu dan orang-orang di sekitarmu?
Tentu saja, tulisan ini hanya menggores permukaan dari kekayaan data dalam studi aslinya. Kalau kamu tertarik dengan ini dan ingin menyelam lebih dalam, saya sangat merekomendasikan untuk membaca paper aslinya.