Strategi Optimalisasi Manajemen Inventaris di Organisasi Terdesentralisasi: Studi Kasus Atlas Copco Secoroc AB

Dipublikasikan oleh Dewi Sulistiowati

12 Maret 2025, 08.29

Pixabay.com

Pendahuluan

Manajemen inventaris merupakan aspek krusial dalam rantai pasok yang memengaruhi biaya operasional, kepuasan pelanggan, dan daya saing perusahaan. Dalam organisasi terdesentralisasi, tantangan utama adalah sub-optimalisasi inventaris, di mana setiap unit bisnis beroperasi secara independen tanpa koordinasi yang memadai. Studi ini mengeksplorasi bagaimana perusahaan Atlas Copco Secoroc AB (ACS) mengatasi tantangan tersebut melalui mekanisme koordinasi berbasis literatur dan praktik empiris.

Tantangan Manajemen Inventaris di Organisasi Terdesentralisasi

Organisasi besar dengan banyak cabang menghadapi masalah fragmentasi manajemen stok, di mana setiap unit mengelola inventarisnya sendiri tanpa mempertimbangkan dampaknya terhadap organisasi secara keseluruhan. Beberapa tantangan utama yang dihadapi ACS antara lain:

  • Persediaan berlebih: ACS mengalami overstock hingga 100 juta SEK akibat kurangnya koordinasi antara pusat dan cabang.
  • Kurangnya transparansi data: Minimnya pertukaran informasi menyebabkan pengambilan keputusan yang kurang optimal.
  • Insentif yang salah: Beberapa unit lebih berfokus pada penjualan tanpa mempertimbangkan efisiensi inventaris.

Mekanisme Koordinasi yang Diterapkan ACS

Untuk mengatasi permasalahan tersebut, ACS menerapkan beberapa mekanisme koordinasi yang telah terbukti dalam literatur dan studi empiris, antara lain:

1. Sentralisasi Terbatas

ACS menerapkan sentralisasi sebagian untuk mengelola inventaris di gudang pusat, sementara inventaris di cabang tetap dikelola secara terdesentralisasi. Strategi ini memungkinkan:

  • Stabilitas permintaan di gudang pusat.
  • Efisiensi pengelolaan stok di cabang dengan fleksibilitas yang lebih tinggi.

2. Transparansi Informasi melalui IT

ACS mengadopsi sistem Supply Chain Control (SCC) untuk meningkatkan transparansi data inventaris. Manfaat yang diperoleh meliputi:

  • Peningkatan akurasi data stok.
  • Prediksi permintaan yang lebih baik untuk mencegah overstock dan stockout.
  • Koordinasi yang lebih baik antar divisi dalam rantai pasok.

3. Standardisasi dan Formalisasi Prosedur

ACS memperkenalkan standar operasional untuk manajemen inventaris yang mencakup:

  • Dokumentasi prosedur di portal perusahaan.
  • Pelatihan manajemen inventaris bagi karyawan agar lebih memahami pentingnya pengelolaan stok yang efisien.

4. Kontrol Kinerja dengan KPI yang Ketat

ACS menerapkan Turnover in Days (TID) sebagai Key Performance Indicator (KPI) untuk mengukur efektivitas inventaris. Dengan pengukuran ini:

  • Subsidiari dengan performa rendah dapat segera diintervensi.
  • Manajer dapat melakukan perbaikan berbasis data nyata.

5. Pendidikan dan Pelatihan Karyawan

Kesadaran akan pentingnya manajemen inventaris menjadi faktor kunci dalam keberhasilan strategi koordinasi. ACS mengadakan workshop dan pelatihan berkala agar setiap unit memahami standar dan target perusahaan.

Hasil Implementasi Mekanisme Koordinasi

Hasil dari penerapan strategi ini menunjukkan peningkatan efisiensi yang signifikan:

  • Pengurangan stok usang dan tidak terjual hingga 30%.
  • Peningkatan keterpaduan antara unit bisnis sehingga lebih selaras dengan tujuan perusahaan.
  • Peningkatan kontrol pusat terhadap stok di gudang dan distribusi.

Kesimpulan dan Implikasi

Kasus ACS membuktikan bahwa tantangan sub-optimalisasi dalam organisasi terdesentralisasi dapat diatasi dengan kombinasi strategi yang tepat. Sentralisasi terbatas, transparansi data, standardisasi prosedur, kontrol kinerja, dan pelatihan karyawan merupakan langkah-langkah penting yang dapat diterapkan di perusahaan lain yang mengalami masalah serupa.

Sumber : Posazhennikova, V., & Kravchenkova, M. (2012). Optimization of total finished goods inventory management in decentralized organisation: A Case Study on Atlas Copco Secoroc AB. Jönköping University.