Strategi Manajemen Risiko yang Efektif dalam Proyek Infrastruktur: Pembelajaran Penting dari Studi McKinsey

Dipublikasikan oleh Izura Ramadhani Fauziyah

27 Mei 2025, 11.47

freepik.com

Proyek infrastruktur berskala besar merupakan tulang punggung pertumbuhan ekonomi, namun sejarah telah menunjukkan bahwa proyek-proyek ini kerap menghadapi kegagalan akibat manajemen risiko yang buruk. Laporan McKinsey Working Papers on Risk No. 52 berjudul "A Risk-Management Approach to a Successful Infrastructure Project: Initiation, Financing, and Execution" menjadi referensi penting yang menawarkan kerangka kerja sistematis untuk mengidentifikasi, mengelola, dan mengalokasikan risiko sepanjang siklus hidup proyek infrastruktur. Artikel ini memberikan resensi kritis terhadap temuan McKinsey, menyoroti studi kasus kegagalan proyek global, serta mengeksplorasi strategi mitigasi risiko yang dapat mengubah pendekatan pelaksanaan proyek publik dan swasta secara lebih efektif.

Manajemen Risiko: Kebutuhan Mendesak dalam Proyek Infrastruktur Global

Menurut McKinsey, nilai total pipeline proyek infrastruktur global diperkirakan mencapai $9 triliun, di mana sepertiganya berada di Asia. India, misalnya, merencanakan investasi sebesar $550 miliar dalam lima tahun ke depan, terutama untuk sektor energi dan utilitas. Namun, kendati kebutuhan meningkat pesat, mayoritas proyek ini masih diwarnai oleh pembengkakan biaya, keterlambatan, dan kerugian besar akibat kurangnya pengelolaan risiko yang terstruktur.

Contohnya, proyek Eurotunnel antara Inggris dan Prancis mencatat biaya akhir sebesar €15 miliar, lebih dari dua kali lipat anggaran awal €7,5 miliar. Jalur kereta barang Betuwe Line di Belanda awalnya direncanakan sebesar €2,3 miliar, namun realisasi biayanya melebihi €5 miliar. Proyek Bandara Kuala Lumpur Terminal Baru pun mengalami penundaan lebih dari satu tahun dengan biaya yang terus membengkak.

Dampak Ekonomi dari Risiko yang Tidak Dikelola

McKinsey memperkirakan bahwa dalam lima tahun ke depan, nilai kerugian langsung akibat risiko yang tidak dikelola dalam proyek-proyek infrastruktur berskala besar bisa melebihi $1,5 triliun. Ini belum termasuk dampak terhadap pertumbuhan PDB dan efek reputasi yang merugikan negara dan masyarakat. Hal ini terjadi karena manajemen risiko tidak terintegrasi secara menyeluruh dalam siklus proyek, mulai dari tahap perencanaan, desain, pengadaan, pelaksanaan konstruksi, hingga operasi.

Kesalahan Umum: Risiko Tidak Dialokasikan ke Pihak yang Tepat

Salah satu akar masalah paling serius adalah kesalahan dalam mengalokasikan risiko. Dalam proyek-proyek publik, pemerintah seringkali gagal memahami batas kemampuan dan selera risiko dari pihak swasta, terutama dalam struktur kemitraan publik-swasta (PPP). Hasilnya adalah pembiayaan swasta menjadi mahal, berisiko tinggi, atau bahkan tidak tersedia, yang akhirnya dibebankan ke anggaran negara dan masyarakat umum.

Pendekatan Manajemen Risiko Berbasis Siklus Hidup Proyek

McKinsey menawarkan model manajemen risiko yang mencakup seluruh siklus hidup proyek, mulai dari perencanaan hingga operasional. Model ini meliputi:

  1. Risiko harus dipetakan dan dianalisis sebelum proyek dimulai. Ini mencakup skenario terburuk seperti bencana alam, konflik sosial, inflasi biaya material, dan keterlambatan pengadaan.
  2. Risiko harus dialokasikan kepada pihak yang paling mampu mengelolanya, baik itu pengembang, kontraktor, pemerintah, atau penyedia dana.
  3. Proyek harus dinilai berdasarkan risiko dan potensi imbal hasilnya, termasuk dalam studi kelayakan dan pemodelan ekonomi.
  4. Perlu ada mekanisme komunikasi risiko yang berjalan dari manajemen puncak ke lapangan, serta pelatihan risiko untuk semua pemangku kepentingan.
  5. Misalnya, penggunaan KPI kontrak berbasis milestone, kontrol kualitas mingguan, dan pelaporan risiko harian di lapangan.

Studi Kasus: Gagalnya Manajemen Risiko di Proyek Nyata

Laporan ini memuat beberapa studi kasus sebagai bukti nyata dari risiko yang tidak dikelola secara benar:

  • Proyek Jalur Kereta HSL-Zuid di Belanda: Meski sempat memenangkan penghargaan “PPP Deal of the Year”, proyek ini mengalami pembengkakan biaya sebesar 43% karena desain proyek dibagi menjadi tiga subproyek tanpa koordinasi yang memadai, memunculkan risiko antarmuka yang tidak diantisipasi sejak awal.
  • Bandara Hong Kong: Penundaan dalam pembukaan bandara menyebabkan kerugian ekonomi sebesar $600 juta akibat konektivitas dan fungsi operasional yang tidak optimal.
  • Proyek Oedo Subway Line di Tokyo: Perkiraan pendapatan awal sangat optimistik, namun pada kenyataannya realisasi pendapatan jauh di bawah ekspektasi, menunjukkan pentingnya stress-testing dan forecasting berbasis realita.

Transformasi Budaya Risiko: Contoh Penerapan Nyata

Salah satu perusahaan transportasi besar pada tahun 2011 memutuskan untuk melakukan reformasi menyeluruh terhadap sistem manajemen risikonya. Tujuannya adalah mengurangi provision risiko sebesar sepertiga. Permasalahan awal yang mereka hadapi antara lain:

  • Tidak adanya definisi risiko yang seragam antarproyek.
  • Silo antar departemen dalam mengelola risiko.
  • Kurangnya pelatihan risiko di semua tingkatan organisasi.

Setelah perubahan dilakukan, perusahaan membentuk struktur tata kelola risiko yang baru, menetapkan KPI risiko yang transparan, dan melakukan pelaporan risiko secara reguler. Hasilnya adalah peningkatan efisiensi, pengurangan keterlambatan, dan pengelolaan portofolio proyek yang lebih efektif.

Relevansi dan Penerapan di Indonesia

Dalam konteks Indonesia, pendekatan ini sangat relevan mengingat banyak proyek besar seperti tol trans-Jawa, MRT Jakarta, dan Ibu Kota Negara (IKN) yang melibatkan investasi multi-miliar dolar dan kompleksitas tinggi. Seringkali proyek tersebut mengalami keterlambatan atau pembengkakan biaya akibat faktor cuaca, perubahan desain, atau ketidakjelasan tanggung jawab antar lembaga. Jika pemerintah dan mitra swasta dapat mengadopsi pendekatan siklus hidup dan mengintegrasikan praktik manajemen risiko sejak tahap perencanaan, maka kualitas dan efisiensi pembangunan bisa meningkat secara signifikan.

Kritik terhadap Praktik Saat Ini dan Rekomendasi Perubahan

Laporan ini memberikan kritik tajam terhadap ketergantungan pada pendekatan ad hoc, administratif, dan sekadar kepatuhan terhadap regulasi. Sebaliknya, McKinsey mendorong transformasi mendalam menuju manajemen risiko yang terintegrasi dan strategis. Untuk mencapai ini, rekomendasi yang dapat diterapkan adalah:

  • Membentuk tim risiko proyek independen sejak tahap inisiasi.
  • Menyusun risk register berbasis probabilitas dan dampak serta memperbarui secara berkala.
  • Menggunakan sistem insentif/punitive berbasis kepatuhan risiko untuk kontraktor dan mitra.
  • Menerapkan manajemen perubahan yang adaptif terhadap fluktuasi pasar dan dinamika sosial-politik.

Kesimpulan: Mengelola Risiko, Meningkatkan Kesuksesan Proyek

Pendekatan McKinsey terhadap manajemen risiko proyek infrastruktur adalah seruan untuk bertindak di tengah besarnya nilai proyek global dan seringnya kegagalan pelaksanaan. Tanpa pendekatan risiko yang matang dan menyeluruh, proyek-proyek besar akan terus menghadapi krisis reputasi, pembengkakan biaya, dan pemborosan anggaran. Namun dengan mengadopsi kerangka kerja yang mencakup seluruh siklus hidup, mengalokasikan risiko secara strategis, dan menanamkan budaya risiko dari atas ke bawah, infrastruktur masa depan dapat dibangun lebih cepat, lebih murah, dan lebih andal. Ini adalah perubahan paradigma yang harus diadopsi tidak hanya oleh negara maju, tetapi juga oleh negara berkembang yang tengah melakukan pembangunan besar-besaran seperti Indonesia.

Sumber asli:
Frank Beckers, Nicola Chiara, Adam Flesch, Jiri Maly, Eber Silva, Uwe Stegemann. A Risk-Management Approach to a Successful Infrastructure Project: Initiation, Financing, and Execution. McKinsey Working Papers on Risk, No. 52, November 2013.